Karya Ibn Katsir: Kitab Tafsir al-Qur'an al-'Adhim
Pada zaman Nabi Muhammad saw. telah dilakukan penafsiran Al-Qur’an secara lisan yakni dalam bentuk riwayat. Ibn Katsir adalah salah satu mufassir yang menggunakan riwayat sebagai sumber penafsirannya. Beliau memiliki karya kitab dalam bidang tafsir yang populer dikalangan intelektual dan para ulama. Kitab tersebut banyak dijadikan sebagai rujukan bagi para pengkaji tafsir karena pembahasannya yang mudah dipahami oleh masyarakat awam sehingga pesan dalam Al-Qur’an dapat tersampaikan dengan baik.
Penulis
akan mencoba untuk mengkaji sekilas tentang tafsir Ibn katsir sebagai salah
satu kitab yang populer. Dalam penulisan ini akan menjelaskan mengenai biografi
Ibn Katsir sebagai pengarang kitab, bentuk, metode, corak, dan contoh
penafsiran Ibn Katsir. Kami berharap bahwa tulisan ini dapat menambah wawasan
bagi pembaca sehingga tulisan ini dapat bermanfaat.
Biografi Ibn Katsir
Nama lengkapnya adalah Ismail bin Umar bin Katsir Al-Quraishi Al-Bushrawi Al-Damaski. Ibn Katsir lahir pada tahun 700/701H/1302 M di Mijdal, Bushra, sebelah utara kota Damaskus.Beliau adalah seorang ulama yang masyhur di wilayah tempat tinggalnya. Pada awalnya, beliau menganut fikih mazhab Hanafi, meskipun akhirnya, beliau menganut Syafi'i setelah menjadi khatib di Bushra, di mana banyak ulama Syafii yang berkunjung dan berdakwah di Bushra. Nama Ibn Katsir sangat terkenal terutama dalam kajian Al-Quran dan Tafsir. Beliau adalah seorang yang ahli dalam bidang tafsir, dan disiplin keilmuan lainnya seperti ilmu hadis, ilmu sejarah, fiqh, dan Bahasa. [1] Nama ayahnya adalah Umar dan ia adalah seorang faqih, penulis, penyair dan menjadi khotib dari wilayah Mijdal.
Ayahnya
meninggal ketika Ibn Katsir berumur empat tahun, sekitar tahun 704-705 M.
Sepeninggal ayahnya, Ibn Katsir belajar ilmu pengetahuan dan belajar kepada
saudaranya yaitu Syekh Abdul Wahab. Kemudian Beliau pergi ke Damaskus dan belajar kepada para ulama di sana. Ibn
Katsir hidup di masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Pada masa ini, pusat-pusat
pembelajaran Islam seperti masjid, sekolah, dan maktab mendapat perhatian besar
dari pemerintah pusat sehingga dapat mencapai perkembangan yang baik. Hal ini
dilakukan agar ilmu pengetahuan dapat berkembang. Ibn Katsir juga pergi ke
Mesir, di mana kebijaksanaannya diakui oleh para sarjana pada masanya hingga kemudian hari. Bahkan Ibnu Hajar al-Askalani menyatakan bahwa Ibnu Katsir
bersungguh-sungguh dalam mempelajari hadis dengan menganalisis sumber dan
perawinya.[2] Beliau berguru kepada para ulama terkemuka
Hijaz dan Syria untuk belajar hadits, seperti Jamal ad-Din al-Mizzi dan Ibn mendapat ijazah dari guru-gurunya.[3]
Karir
intelektual Ibn Katsir mulai naik karena mampu meraih posisi-posisi
penting sesuai dengan keahliannya. Pada bidang hadis, di
tahun 748 M/1355 M, Ibn Katsir menggantikan posisi gurunya yaitu Muhammad bin
Muhammad al-Zahabi di lembaga pendidikan Turba Umm Salih. Sepeninggal Hakim
Taqiyuddin al-Sabki, Ibn Katsir diangkat menjadi kepala Dar al-Hadith
al-Asharif, yaitu sebuah lembaga yang berfokus pada bidang Hadis. Pada tahun
768 M, Ibnu Katsir mendapatkan amanah dari Gubernur mankali Bugha yaitu menjadi
guru besar di Masjid Bani Umayyah Damaskus. Ibn Katsir wafat tahun 774 M di
usia 74 tahun dan dimakamkan di samping
makam Ibnu Taimiyah di Damaskus.[4]
Ibn Katsir merupakan salah satu ulama yang
memiliki potensi dalam berbagai bidang keilmuan. Oleh karena itu, tidak heran
jika ia meninggalkan banyak karya di berbagai bidang. Dalam bidang sejarah, Ibn
Katsir menulis al-Bidayah wa an-Nihayah yang menjadi kitab yang sering
dijadikan referensi oleh para sejarawan.
Ada dua topik utama di dalamnya yaitu pada pembahasan pertama adalah tentang
kisah kuno dari masa penciptaan hingga zaman Nabi Muhammad SAW. lalu, pada
pembahasan kedua, terdapat kisah awal mula Islam dari masa Nabi Muhammad SAW.
di Mekah hingga pertengahan abad ke-8. Karya-karya Ibn Katsir dalam bidang
sejarah lainnya antara lain Qasas al-Anbiya (Kisah Nabi), al-Furasi fi Shirah
al-Rasul (Kisah Sejarah Rasulullah), dan Tabaqat al-Shafiyyah (klasifikasi
kelompok yang bermadzhab Syafi'i) dan Manaqib al-Imam al-Syafi'i (kurikulum
tentang kehidupan imam Syafi'i).
Kitab
Ibn Katsir dalam bidang hadis adalah Kitab Jami al-Masanid wa al-Sunan, yang di
dalamnya ia mencantumkan nama-nama sahabatnya yang meriwayatkan hadis yang
terdapat dalam Musnad karya Ahmad bin Hanbal yang terdiri dari delapan jilid.
Ibn Katsir kemudian menyusunnya
sesuai huruf abjad. Kemudian, Kemudian
al-Kutub al-Sittah, at-Takmilah fi Ma’rifat al-Siqat wa al-Dua’afa al-Mujahal
(kitab yang terdiri dari lima jilid sebagai kitab penyempurna untuk mengetahui
para perawi yang tsiqah, dho’if, dan majhul), Al-Mukhtasar (rangkuman
Muqaddimah li Ulum al-Hadits karya Ibnu Salah), dan Adillah at-Tanbih li Ulum
al-Hadis. Tafsir al-Qur'anul al-Azim, atau lebih dikenal dengan Tafsir Ibn
Katsir yang merupakan satu-satunya karyanya dalam bidang tafsir yang terdiri
dari empat jilid yang dicetak oleh Maktabah as-Saffah dan Maktabah Misr/Dar
Misr li at-Tiba’ah Mesir kemudian di percetakan Maktabah Darul Hadis Mesir
terdiri dari delapan jilid.[5]
Latar Belakang Penulisan Kitab
Dalam
bidang kajian al-Qur’an dan tafsir, kegigihan Ibnu Katsir sudah terlihat
sejak awal studinya. Ibnu Kasir
menyatakan dalam kitabnya bahwa ia telah menyelesaikan hafalan Al-Quran pada
tahun 711 M dan dilanjut memperdalam ilmu qira’at. Namun dalam bidang tafsir,
Ibnu Katsir tidak secara langsung menyatakan alasannya untuk menulis tafsir,
namun dalam kitabnya disebutkan bahwa Ibnu Katsir sering menghadiri kelas
kuliah Ibnu Taimiyah. Tidak hanya belajar kepada Ibnu taimiyah saja tetapi juga
kepada ulamaulama yang lainnya. Kemudian dari hasil perkuliahan inilah, ibnu
Katsir bisa mendapatkan banyak bekal ilmu.[6]
Terkait dengan latar belakang
penulisan kitab tafsir Ibnu Katsir ini tidak ditemukan keterangan yang menyebutkannya baik dari Ibnu
Katsir sendiri atau dari para ulama yang lain. Tafsir Al-Qur’an Al-Azim adalah
karyanya dalam bidang tafsir, terkait
penamaan ini tidak ada keterangan menyebutkan alasan dinamai demikian dan yang
memberikan nama tersebut bukan dari Ibn katsir sendiri. Namun, menurut Muhammad
Husain al-Zahabi dan Muhammad Ali al-Sabuni nama tersebut sesuai dengan karya
tafsir Ibn Katsir.[7]
Bentuk, Metode, dan Corak Penafsiran
Pada penyusunan karya tafsirnya, Ibnu
Katsir menggunakan sistematika penyusunan tartib mushafi yaitu menafsirkan
Al-Qur’an sesuai dengan urutan mushaf baik dari urutan ayatnya maupun urutan
suratnya. Manhaj atau metode yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah
manhaj tahlili yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan analitis.[8]
Metode analitis dalam kitab tafsir ibnu
Katsir ini yaitu menjelaskan dari segi kosa katanya, kandungan i’jaz, balaghah,
fikih, dan munasabahnya. Ibn Katsir menggunakan hadis sebagai sumber
penafsirannya. Sebagai ahli qira’at, Ibnu Katsir memberikan keluasan
penafsirannya dengan mencantumkan riwayat-riwayat qira’at seperti qira’ah
sab’ah dan jumhur ulama. Ibnu Katsir juga sangat memperhatikan adanya konteks
turunnya ayat yang menjadi latar belakang turunnya ayat yang disebut dengan
asbabun nuzul. Dengan adanya asbabun nuzul maka dapat memperoleh pemahaman yang
sesuai dan dapat memahami konteks sosial budaya yang sedang terjadi pada saat
yang menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an. Selain itu, Ibnu Katsir dalam
penafsirannya sangat berpegang teguh pada kaidah tafsir yang berbunyi العبرة بعموم اللفظ ال بخصوص السبب .[9]
Adapun corak tafsir atau disebut juga
laun at-tafsir yaitu nuansa tertentu yang paling mendominasi dari sebuah karya
tafsir dan menjadi bentuk ekspresi seorang mufassir dalam tafsirnya. Corak
tafsir ini dapat muncul karena disebabkan oleh latar belakang keilmuan dari
para penafsir. Misalnya ketika seorang penafsir memiliki latat belakang
keilmuan fikih maka penafsirannya akan cenderung pada pembahasan fikih.
Mufassir yang memiliki latar belakang keilmuan sastra bahasa maka penafsirannya
akan cenderung pada aspek kebahasaan. Mufassir yang memiliki latar belakang
keilmuan filsafat maka penafsirannya akan cenderung falsafi, dan corak tafsir
lainnya yaitu i’tiqadi, adabi ijtima’i, ‘ilmi, dan sufistik.[10]
Corak penafsiran Ibn Katsir dapat
dikategorikan sebagai penafsiran yang bercorak umum karena didalamnya
mengandung banyak corak dan dari semua corak itu tidak ada yang dominan dengan
proporsinya yang sama.[11]
Berikut
adalah langkah-langkah penafsiran Ibnu Katsir:
1. Memaparkan
ayat yang akan ditafsirkan kemudian menjelaskannya dengan bahasa yang sederhana
dan ringkas. Ayat tersebut dijelaskan dengan ayat yang lainnya agar ditemukan
makna yang lebih komperhensif.
2. Mencantumkan
riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan memberikan keterangan
status dari riwayat tersebut apakah shahih atau tidak.
3. Memberikan
penjelasan yang diambil dari pendapat para ulama tafsir lalu ditambahkan dengan
pendapat Ibn Katsir sendiri..[12]
Karakteristik Penafsiran
Muhammad Rasyid Rida menyatakan bahwa tafsir Ibn Katsir adalah karya tafsir yang sangat populer dan banyak dibaca oleh para ulama tafsir. Sebagaimana yang dikatakan oleh Manna al-Qaththan:
Tafsir
Al-Qur'an al-Azim karya Ibn Katsir termasuk dalam kategori tafsir bil ma'tsur
yang sangat populer. Posisinya di urutan kedua setelah tafsir Ibnu Jarir
at-Tabari. Ibn Katsir menafsirkan Al-Quran dengan hadits dan atsar yang lengkap
dengan sanadnya, dan menjelaskan pula tentang jarh wa ta’dil (sifat atau
keadaan seorang perawi yang riwayat haditsnya ditolak atau dilemahkan).
Karakteristik Penafsiran Ibn Katsir dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Ibn Katsir menjadikan hadis sebagai sumber utama bagi penafsirannya yang dilengkapi dengan sanadnya, serta mencantumkan pendapat para ulama.
2. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Ibn Katsir juga mencantumkan cerita-cerita Israiliyat yang diberikan keterangan apakah shahih atau tidak. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Katsir selektif dalam menghadapi cerita-cerita Israiliyat sebagai bentuk kehati-hatiannya.
3. Terkait dengan ayat-ayat hukum atau fiqh, Ibnu katsir menyertakan pendapat para ulama yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang sedang dikaji.[13]
Contoh Penafsiran
1. Kisah
Israiliyat dalam Penafsiran Ibn Katsir
QS. (2) Al-Baqarah:67-74, Tafsir Ibnu
Katsir memuat beberapa
cerita dari Israiliyat,
salah satunya dalam ayat ini yaitu mengenai perintah Allah kepada Nabi Musa
agar bani Israil menyembelih seekor sapi.
Diriwayatkan dari Ubaidah bahwa pada masa kaum Bani Israil
terdapat seorang laki-laki yang sangat kaya raya namun tidak mempunyai
keturunan dan ahli waris. Karena ahli warisnya haruslah anak dari kakak laki-lakinya. Agar cepat
mendapatkan warisannya, ia membunuh pamannya dan meninggalkan jenazahnya di
teras rumah salah satu anggota keluarganya sendiri. Keesokan paginya, si
pembunuh memfitnah pemilik rumah,
menuduhnya membunuh pamannya. Akibat perbuatannya, hampir terjadi peperangan di antara mereka.
Namun, seseorang menyadari kontroversi
ini dan menyarankan agar mereka bertanya
kepada Nabi Musa. Maka Nabi Musa memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi.
Adapun riwayat Abu Aliyah, kejadiannya
sama dengan kejadian Ubaidah, hanya saja si pembunuh membuang mayatnya di
perempatan jalan, kemudian berpura-pura bersedih mengadukan hal itu kepada Nabi
Musa. Kisah As-Sa'di juga menyatakan bahwa ada seorang kaya yang memiliki seorang putri. Lalu keponakannya
yang malang itu melamar putrinya, tetapi putrinya tidak menginginkannya.
Akhirnya, keponakannya itu membunuh pamannya
agar dia bisa menikahi putrinya dan bisa mendapatkan warisan mereka.
Setelah
menjelaskan hadis-hadis Israiliyat tersebut, Ibnu Katsir menerangkan bahwa
hadis-hadis yang berasal dari Ubaydah, Abu Aliyah, dan As-Sa’di merupakan hadis-hadis
Israiliyat yang dapat digolongkan sebagai hadis-hadis yang boleh digunakan
dalam penafsiran namun tidak boleh dibenarkan atau diingkari. Oleh karena itu,
kisah Israiliyat ini tidak dapat dijadikan rujukan utama dalam menjelaskan
kisah tersebut.[14]
2.
Penafsiran
Ibn Katsir terkait permasalahan muamalah
QS. (2)
Al-Baqarah:282, ayat ini berbicara tentang aturan hutang piutang dalam Islam. Menurut Ibnu Katsir, ayat ini
menjelaskan bahwa kegiatan muamalah hendaknya dicatat agar perjanjiannya
benar-benar valid dan sesuai. Ayat ini merupakan petunjuk Allah kepada
hamba-hamba-Nya. Jika seseorang pandai menulis, hendaknya ia tidak boleh menolak untuk membantu menulis demi
kepentingan orang lain. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, Rasulullah
bersabda: “sesungguhnya jika kau melakukan kebaikan dengan niat membantu maka
itu termasuk sedekah” (HR. Al-Bukhari dan Ahmad). Dalam hadis lain, Nabi
bersabda: “Siapapun yang menyembunyikan ilmu maka dia akan dijauhkan dari api
neraka dengan seutas tali di hari kiamat” (HR. Ibnu Majah). Penulis harus
menulis dengan jujur dan tidak boleh melebihkan atau mengurangi dengan cara
apa pun. Selanjutnya, hadirkan saksi laki-laki. Jika tidak memungkinkan dapat
menghadirkan dua orang wanita sebagai saksi. Sebagai penulis dan saksi tidak
boleh memperumit masalah. Misalnya penulis menulis sesuatu yang bertentangan
dengan konteks peristiwa dan saksinya haruslah saksi yang sesuai dengan apa
yang dilihatnya.[15]
Kemudian Allah swt. menutup ayat ini dengan وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ
وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ bertakwalah
kepada Allah niscaya Allah akan menambahkan ilmu bagimu dan sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui Segala Sesuatu”. Ibnu Katsir memberikan pengertian bahwa
hendaklah kalian takut kepada Allah dan selalu merasa dalam pengawasan-Nya, laksanakanlah perintah-Nya
dan jauhkanlah dirimu
dari segala larangan-Nya.[16]
3.
Penafsiran
Ibn Katsir terkait permasalahan fiqh
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ
اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ
مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat
yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia
perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (At-taḥrīm
[66]:6)
Sufyan
As-Sauri meriwayatkan dari Mansur dari Ali bin Abi Thalib makna قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ adalah “didiklah
mereka & ajarilah mereka”. Ali ibnu Abu Talhah pula meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwa maksud dari ayat tersebut adalah “menaati dan
mematuhi semua perintah dan larangan Allah & hindarilah perbuatan-perbuatan dosa walaupun
tidak sepenuhnya bisa setidaknya sudah berusaha, dan perintahkanlah pada
keluargamu untuk berdzikir, pasti Allah akan menyelamatkan engkau dari neraka”.
Mujahid menyampaikan sehubungan dengan makna tersebut selain itu juga “bila
engkau melihat diantara mereka melakukan suatu perbuatan maksiat maka engkau harus
menghentikannya”.
Adapun hadist yang memiliki makna
yang sama dengan yang
diriwayatkan Ahmad dari Abu Daud dari Abdul Malik bin Rabi' bin Sabrah, Rasulullah Saw
bersabda:
مُرُوا الصَّبِيَّ إذا
بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ، فإذا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا
“Perintahkanlah
kepada anak untuk mengerjakan salat bila usianya mencapai tujuh tahun; dan
apabila usianya mencapai sepuluh tahun, maka pukullah dia karena
meninggalkannya.”
Hadits tersebut termasuk dalam kualitas Hasan oleh Abu Daud
dan Turmzi. Para ulama fiqih berpendapat bahwa perintah tersebut juga berlaku
bagi anak-anak dalam hal berpuasa, bahwa anak-anak dilatih dalam beribadah, dan
ketika dewasa mereka mengamalkan ibadah, taat, menjauhi maksiat, dan meninggalkan keburukan.[17]
KESIMPULAN
[1] Wira Elmuhriani and others, ‘Keteladanan Ibu Dalam
Al-Qur’an; Analisis Terhadap Penafsiran Ibn Katsir’, Hikmah, 19.2 (2022), pp. 108–29, doi:10.53802/hikmah.v19i2.158. hal. 111
[2] M.Ag Dr. H. Hasan Bisri, Model Penafsiran Hukum, 2020. hal. 16-19
[3] Jul Hendri, ‘Ibn Katsir : Telaáh Tafsir Al-Quránnul
Azim Karya Ibn Katsir’, Nuansa, 14.2
(2021), pp. 242–51, doi:10.29300/njsik.v14i2.6598. hal. 243
[4] Maliki Maliki, ‘Tafsir Ibn Katsir: Metode Dan Bentuk
Penafsirannya’, El-’Umdah, 1.1
(2018), pp. 74–86, doi:10.20414/el-umdah.v1i1.410. hal. 76-77
[5] Ibid. hal. 244-245
[6] Ibid. hal. 21-22
[7] Ibid. hal. 245
[8] Ibid. hal. 246
[9] Nabila Fajriyanti Muhyin and Muhammad Ridlwan Nasir,
‘Metode Penafsiran Ibnu Katsir Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim’, Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 8.1 (2023),
pp. 145–62, doi:10.30868/at.v8i0. hal. 156
[10] Prasetyawati. E., ‘Penafsiran Ayat-Ayat Keluarga
Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah Dalam Tafsir Al Misbah Dan Ibnu Katsir’, Nizham, 5.2 (2017), pp. 139–66. hal. 145-146
[11]
Moh Abdul and others, Ayat-Ayat Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Nasakh: Kajian Terhadap
Penafsiran Ibn Kathîr Dan Rashîd Rid{ Â <https://jurnalfuf.uinsa.ac.id/index.php/mutawatir/article/view/857>. hal. 293
[12] Ibid. hal. 246-247
[13] Nurdin, ‘Analisis Penerapan Metode Bi Al-Ma’sur Dalam
Tafsir Ibnu Katsir Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Hukum’, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah Dan Hukum, 47.1 (2013), pp.
83–112. hal. 86-88
[14] Tammulis and Aisyah Arsyad, ‘Kisah Israiliyat Dalam
Tafsir Ibn Katsir (Analisis Penelusuran Surat Al-Baqarah)’, Al-Afkar: Journal For Islamic Studies,
4.2 (2021), pp. 450–58 <https://www.al-afkar.com/index.php/Afkar_Journal/article/view/228>. hal. 455-456
[15] Ahmad Musadad, ‘Konsep Hutang-Piutang Dalam Al-Qur’an’,
Dinar : Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Islam,
6.1 (2020), pp. 54–78, doi:10.21107/dinar.v6i1.6600. hal. 189
[16]
Abdul Ghafar,
dkk, Tafsir Ibnu Katsir, (Bogor, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004), Hal.
563
[17] Ibid. hal. 149-150
Komentar
Posting Komentar