Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 4-5

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

MAJLIS KAJIAN INTERAKTIF TAFSIR AL-QUR`AN
(M-KITA) SURAKARTA


وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (4)

Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) dengan penuh kelahapan lagi baik akibatnya.

Makna umum ayat 4:
Khithab ayat ini ditujukan untuk suami dan wali perempuan. Allah memerintahkan kepada mereka untuk memberikan mahar kepada wanita/istri sebagai pemberian suka rela. Perintah ini merupakan kewajiban. Dan kalau si istri berbaik hati, memberikan secara ikhlas dari mahar tersebut, baik sebagian atau malah seluruhnya, maka suami/wali boleh memakannya dengan penuh kelahapan dan berharap makanan tersebut akan membawa akibat baik.

Penjelasan dan hikmah:
1. Dalam ayat sebelumnya, diterangkan keharaman kedhaliman terhadap anak yatim yang dinikahi, dengan berbagai bentuk kedhaliman termasuk diantaranya adalah dengan tidak memberikan mahar yang lanyak untuknya.Maka, pada ayat ini Allah menegaskan perintah pemberian mahar untuk istri.

2. Perintah memberikan mahar tidak hanya tertuju bagi suami yang menikahi perempuan, tetapi juga untuk orang tua. Hal ini karena dalam tradisi Arab jahiliah, anak perempuan itu seperti diperdagangkan. Kalau mau menikahkan, orang tua minta mahar yang mahal agar bisa menguasai harta tersebut. Bahkan tradisi buruk semacam itu masih berlangsung samapai sekarang dibeberapa kalangan masyarakat. Karenanya Islam dengan tegas menghapus tradisi itu, dan mahar dijadikan hak mutlak istri (wanita). Menurut Imam Al-Qurthubi, kewajiban memeberikan mahar kepada isteri, merupakan sesuatu yang telah disepakati para ulama.

3. Kata نِحْلَةً :walaupun artinya adalah pemberian suka rela. Tapi disini dijadikan sesuatu kewajiban. Penggunaan kata tersebut, dimaksudkan bahwa ketika suami memberikan mahar kepada istri itu harus penuh keikhalasan. Didasari kecintaan dan kesenangan hati untuk memberikan dengan tanpa ada rasa keterpaksaan sedikitpun dari pihak manapun.

4.  Secara umum, kita diperintahkan untuk memberikan yang terbaik kepada orang lain. Sebagaimana dalam kalam Allah (Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.). Termasuk dalam hal ini adalah apa yang diberikan kepada istri berupa mahar. Meskipun ada hadits ”Sebaik-baik wanita adalah yang paling mudah maharnya” (HR. Ibnu Hibban). Hal Itu bukan berarti pihak laki-laki semena-mena dalam memberikan mahar. Karena hadis ini lebih tertuju kepada pihak perempuan atau walinya untuk tidak mempersulit dan meninggikan mahar yang diinginkan. Sehingga mempersulit terjadinya pernikahan yang mengakitbatkan berbagai kerusakan dimasyarakat. Seperti banyaknya perawan tua, berbagai pelecehan seksual dan kerusakan akhlak pemuda. Maka kewajiban bagi pemerintah atau individu yang mampu untuk memberikan solusi terhadap kendala sulitnya pernikahan.

5.  Mahar adalah hak mutlak istri, suami tidak boleh memintanya. Kalaupun meminjamnya haruslah dengan izin sang Istri. Karena pernikahan itu bukan berarti menghilangkan hak-hak Istri. Walaupun bagi suami istri berhak untuk membuat kelonggaran diantara mereka. Yang penting tidak terjadi kedholiman dalam kelarga. Karenanya, mahar yang diberikan secara hutang (tidak kontan) tetapsudah menjadi hak istri walaupun belum diterima, sehingga kapanpun istri memintanya, suami wajib memberikannya. Menurut Imam Zamakhsyari ”ayat ini untuk memperketat agar suami tidak semena-mena kepada istri, lalu meminta atau memaksa istri untuk memberikan maharnya.”

6.   Seorang istri apabila memberikan maharnya –seluruh atau sebagian- dengan ikhlas tidak ada paksaan dari pihak manapun, maka suami boleh menerimanya, untuk apa saja, meskipun dalam ayat ini memakai redaksi “makanlah”. Hal karena umumnya orang bekerja apa saja itu untuk  mengisi perut.

7.     هَنِيئًا مَرِيئًا, artinya yang kamu makan itu 100% halal. Allah menyatakan ini karena mungkin orang merasa tidak enak, kurang sreg untuk menggunakan mahar istrinya meskipun si istri memberikannya secara suka rela. Sebagian ahli tafsir menggunakan potongan ayat ini untuk menegaskan bahwa apa yang kita hasilkan dari kerja yang halal akan membawa minimal dua hal, yaitu kalau kita makan merasa tenang, dan membawa kesehatan dan kesejahteraan. Berbeda dengan harta yang haram, walaupun makanannya enak, belum tentu membawa mari`a (manfaat baik untuk tubuh kita), secara fisik maupun non fisik. Non fisik seperti dimudahkan badan untuk beribadah dan berkarya mulia.

8. Tersirat dalam ayat ini bahwa hukum aslinya mahar itu harus berupa materi, karena bisa diberikan dan dirasakan kemanfaatannya oleh istri. Walaupun para ulama berdasarkan riwayat beberapa hadits membolehkan mahar dengan berupa bacaan atau hafalan Al-Qur`an selama istri rela. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memudahkan kondisi seseorang yang kesulitan untuk menikah.

9. Bolehkah istri meminta kembali mahar yang telah diberikanya kepada suami? Ada perbedaan pendapat, namun kebanyakan ulama mengatakan bahwa hak dia untuk menarik kembali mahar yang telah diberikannya. Karena kalau dia betul-betul memberkan ikhlas karena Allah, pasti tidak akan meminta lagi. Artinya, kalau meminta kembali itu berarti dia tidak ikhlas. Kholifah Umar bin Khathab menulis untuk seluruh hakim, bahwa ketika wanita memberikan hartanya, baik dengan suka rela atau terpaksa, kemudian  menarik kembali maka dia berhak untuk mengambilnya lagi.


وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (5)

Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang bodah, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah untukmu sebagai penegak. Berikanlah rizki dan sandangilah mereka dari harta-harta tersebut dan berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik.

Makna umum ayat 5:
Kita dilarang menyerahkan harta, uang, atau barang yang berharga yang diamanatkan kepada kita kepada orang yang tidak mampu mengelolanya (menunaikan hak-hak harta tersebut), baik karena masih kecil seperti anak yatim atau orang yang memang bodoh tentang pengelolaan harta secara benar seperti orang gila atau sejenisnya. Dan menjadi kewajiban bagi kita untuk memberi nafkah kepada mereka, memberi pakaian, dan mencukupi kebutuhan mereka dari hasil pengelolaan harta tersebut, dan berbicara kepada mereka dengan perkataan yang bagus. Kita tidak boleh menyakiti mereka baik dengan kata-kata atau lebih dari itu, dengan perlakuan fisik.

Penjelasan dan hikmah:
1.    السُّفَهَاءَ bentuk jamak dari kata safih. Artinya orang yang bodoh. Banyak penafsirannya, di antaranya anak kecil, anak yang belum berakal, orang gila, dsb. Orang yang mubadzirkan hartanya juga bisa masuk dalam kategori safih.

2.    Disebutkan أَمْوَالَكُمُ, padahal sebenarnya itu  harta yang dititipkan pada kita. Ini tujuannya supaya yang mendapatkan amanah untuk mampu menjaga harta anak yatim itu seperti serasa miliknya sendiri sehingga tidak menggunakannya semaunya atau melakukan berbagai penyelewengan.

3.    الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا harta tersebut Allah jadikan untukmu sebagai penegak, pemegang amanah. Artinya, kamu diberi hak atau tugas untuk mengelola, menjaganya dengan baik agar tidak tersia-sia. Hal ini meninjukkan kepada kita, bahwa untuk menyerahkan harta itu harus kepada orang yang benar-benar bisa amanah dan mengelola terhadap harta tersebut dengan baik. Kalau mau investasi, harus tahu bahwa orang tsb bisa mengelola harta dengan baik, sehingga harta kita akan terus berkembang. Artinya orang yang mendaptkan amanah untuk menjaga harta anak yatim itu dianggap mampu mengelola dan mengembangkan harta tersebut, supaya bisa memberi rizki kepada mereka.

4.    Penggunaan kata فِيهَا “fiha”, bukan  “minha”, padahal secara maksud pengertian adalah penuhilah kebutuhan anak-anak yatim tadi dari harta yang dititipkan kepadamu. Menurut Imam Zamakhsyari,  lafal ini (فِيهَا) menunjukkan bahwa  wali anak yatim diharapkan tidak memberi nafkah kepada mereka dari pokok harta mereka, tetapi dari hasil pengembangan harta anak yatim.  Karena kalau diambil dari pokok harta, lama kelamaan harta mereka akan habis sebelum mereka dewasa. Beginilah Islam itu mengajrkan tentang masa depan. Pemikiran ini juga yang dilakuakn Nabi Yusuf. Dia menyuruh untuk menanan dan disimpan untuk periode 7 th.

5.       Ayat ini tidak hanya ditujukan kepada wali tetapi juga kepada siapapun yang mengasuh anak yatim, seperti yayasan panti asuhan anak yatim. Juga tidak hanya berlaku untuk anak yatim, tapi untuk anak sendiri juga begitu. Misalnya anak mempunyai penghasilan, maka orang tua tidak boleh mengambil hartanya karena itu adalah hak anak, walaupun ada sedikit perbedaan hukum, karena pada hakikatnya “anta wa maluka li abikakamu dan hartamu adalah milik ayahmu (HR. Ibnu Majah). Walaupun begitu tetap kita diperintahkan untuk tidak semena-mena terhadap harta anak sendiri.

6.   Biasanya, wali atau pengurus anak yatim sering diuji kesabaran dan keikhlasannya oleh Allah. Bisa saja melalui kenakalan mereka –mungkin karena kejiwaan mereka yang tidak seimbang karena ditinggal ayahnya- atau melalui perasaan capek mengurus harta mereka. Di ayat ini Allah memerintahkan kepada wali untuk menahan diri dan bersabar dalam menghadapi mereka dengan menjaga perkataan, tidak menyakiti atau menzhalimi mereka dalam bentuk apapun. bahkan kita sangat dianjurkan untuk mendoakan mereka. Anak yatim sangat dihargai dan dijaga haknya oleh Allah. maka kita sebagai hambaNya yang taat kepadaNya, hendaknya kita jaga hak anak yatim pula.

7. Pernyataan وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا(dan berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik), karena terkadang terjadi dari segi materi sudah dicukupi, tapi omongannya menyakitkan. Disamping itu, hal ini karena umumnya reaksi yang mudah diumbar dan sulit dikendalikan ketika orang yang marah adalah ucapan yang keluar dari mulut. Karena itu, penyebutan perkataan dalam ayat ini lebih dipertegas. Namun yang jelas, perintah berbuat baik tidak hanya terbatas pada ucapan, tetapi segala bentuk ucapan dan tindakan harus membuat nyaman bagi anak yatim.

8. Ayat ini merupakan pengajaran bagi kita untuk menjaga harta. Kalau punya rizki banyak, dapat  investasikan. Jangan hanya dibiarkan menumpuk. Karena kalau hanya disimpan saja tidak akan membawa manfaat pada orang lain. Makanya kalau menyimpan harta, harus dizakati agar membawa manfaat kepada orang lain. Dengan demikian Islam tidak hanya mengurusi masalah ibadah ritual seperti shalat saja –sebagaimana disalah pahami oleh musuh Islam dan sebagian umat Islam-, melaikan juga masalah investasi harta dan lainnya. Wallahu `alam bish shawab.


http://mkitasolo.blogspot.com/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 188-191

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 192-194