Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Takwil Karya Imam al-Baidhawi

sumber abebooks.com

Al-Qur’an adalah petunjuk hidup bagi kaum Muslim yang senantiasa menjadi sumber inspirasi dan petunjuk dalam menjalani kehidupan. Untuk memahami makna dan pesan yang terkandung didalamnya, maka diperlukan tafsir atau penafsiran yang komprehensif dan akurat. Adapun tafsir adalah sebuah penafsiran yang dilakukan oleh seseorang terhadap Al Qur’an menggunakan berbagai bentuk, corak dan metode yang bertujuan untuk menguraikan makna yang terkandung di dalam Al Qur’an.[1]

Diantara karya tafsir yang dikaji oleh kalangan umat Islam adalah kitab Tafsir yang bernama Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil atau dikenal dengan tafsir al Baidhawi. Kitab ini ditulis oleh imam Al Baidhawi sehingga kitab ini biasa dikenal sebagai Tafsir Al-Baidhawi Sebagian ulama menganggap karya tafsir ini sebagai ringkasan dari karya tafsir yang sudah ada sebelumnya, seperti kitab tafsir dari Zamakhsyari yaitu al-Kasysyaf dan karya dari al-Razi yaitu Mafatihul Ghaib. Tafsir Al Baidhawi menyampaikan penafsirannya dengan bahasa yang singkat dan padat.[2] Dengan demikian, Tafsir ini diperuntukkan sebagai referensi untuk pengajaran di tingkat perguruan tinggi. Di dalam makalah ini akan menjelaskan tentang biografi imam Al Baidhawi, serta karakteristik, metode, dan juga corak atau laun yang ia gunakan dalam melakukan penafsiran Al Qur’an, beserta contoh penafsirannya

Biografi Al-Baidhawi

Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali al Baidhawi asy Syirazi. Beliau dilahirkan di al baidha’ yang berada di daerah Iran. Al-Baidhawi bermazhab Syafi’i dan beraqidah Asy’ari.[3]  Beliau adalah seorang yang ahli dalam banyak bidang seperti fikih, mantiq, ilmu kalam, tafsir, berdebat dan juga berdiskusi, sehingga mendapatkan sebuah gelar yaitu nazzar atau mutabahhir fi maida fursan al kalam. Al Baidhawi pernah menjabat sebagai Qadhi di Syiraz, Iran. Dan mendapat gelar Nashiruddin (penolong agama) sesuai dengan jabatan dan keahliannya serta posisinya yang unggul di tengah masyarakat saat itu.

Imam al-Baidhawi hidup Ketika keadaan politik sedang tidak stabil. Pada masa itu, Sultan Abu Bakar yang menjabat sebagai penguasa tidak memiliki cukup kekuatan dalam membentuk suatu masyarakat dengan tatanan yang baik. Lemahnya kedudukan hukum, pejabat, dan penguasa yang memiliki perilaku hedon mendorong Al-Baidhawi mundur dari kedudukannya sebagai hakim Agung. Campur tangan dari para penguasa terhadap lembaga peradilan menjadi kegelisahan tersendiri baginya. Ia khawatir akan diperintah untuk berfatwa tentang sesuatu yang bertentangan dengan syariat islam.

Alasan lain yang mendorong Al Baidhawi mengundurkan diri karena ia mendapat nasehat dari gurunya, yaitu syaikh Muhammad bin Muhammad al-Khatai untuk tidak ikut campur dengan lembaga hukum. Setelah ia mundur dari jabatannya, Al-Baidhawi melakukan perjalanan ke Tabriz dan berguru kepada ulama setempat. Beliau ikut serta dalam sebuah majlis ilmu milik ulama besar setempat. Disitu kehebatan beliau diakui oleh banyak para pembesar, bahkan mereka memberikan banyak pujian kepada beliau.

Kota Syiraz merupakan tempat ia menetap dan di sanalah beliau mulai menulis karya tafsirnya hingga wafat.[4] Tidak diketahui secara pasti kapan meninggalnya beliau, para ulama berbeda pendapat, 691 H adalah tahun wafat beliau menurut Asnawi dan as-Subki, sedangkan menurut Ibnu Katsir, beliau wafat pada tahun 685 H. Diantara karya-karya beliau yaitu Al-Manhaj fi ‘ilmil Ushul, Syarh Mukhtasar Ibnul Hajib fil Ushul, Al-Idhah fi Ushuliddin dan Al-Ghayah al Qashwa fil fiqh.[5]

Sejarah dan Latar Belakang Penulisan

Imam al-Baidhawi menulis kitab tafsir yang berjudul Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, yang biasa dikenal dengan Tafsir Al-Baidhawi. Kitab tafsir ini merupakan satu dari sekian banyak kitab tafsir yang popular dengan edisi cetakan pertama yang diterbitkan di Bombay, India pada tahun 1271 H. Edisi cetakan selanjutnya diterbitkan oleh penerbit Darul Kutub al-‘ilmiyah, Beirut pada tahun 1408 H/1988 M. Kemudian dicetak kembali pada tahun 1410 H oleh penerbit Mu’assah al-A’lami. Kitab ini tidak begitu tebal akan tetapi memiliki manfaat yang besar, bagus uslub-nya, dan indah dalam pengungkapannya. Pada jilid pertama kitab tafsirnya, terdapat pengantar singkat yang menjelaskan pandangan Imam al-Baidhawi mengenai Al Qur’an beserta alasan dibalik penulisan tafsir beliau.[6]

Pada bagian pendahuluan, Imam Al-Baidhawi menulis: “Sudah lama saya memiliki niat untuk menyusun sebuah buku yang memuat atsar para sahabat, tabi’in, dan para salaf salih. Buku ini juga mencakup kajian mendalam yang dirangkum dari para ulama muta’akhkhirin. Serta pembahasan mengenai qira’at yang diambil dari imam qira’at yang terkenal.”

Beliau juga memberikan komentar di bagian akhir jilid empat, setelah menafsirkan surah al-Nisa’:

“Para ahli tafsir telah sepakat bahwa kitab ini mengandung banyak manfaat, berbeda dari kitab tafsir lainnya, karena mencakup ringkasan pendapat dari para ulama dan para tokoh. Kitab ini mengungkapkan keajaiban struktur ayat dengan pembahasan yang ringkas namun memperjelas pemahaman, serta penjelasan yang bebas dari kesesatan. Saya memohon kepada Allah semoga kitab ini akan dapat bermanfaat untuk siapa saja yang mempelajarinya. Semoga usaha ilmiah ini menjadi tabungan amal salih bagi penulis”.

Karya tafsir al-Baidhawi dikenal dengan penjelasannya yang singkat dan padat, menyampaikan pemikiran yang mendalam dari sisi nahwu dan i’rab, fiqh dan ushul fiqh, qira’at, dan isyarat-isyarat yang terkandung pada ayat, Ia juga membedakan antara tafsir dan takwil berdasarkan kaidah bahasa dan syariat (hukum islam). Didalam muqoddimahnya juga dijelaskan secara ringkas.[7]

Metode dan Corak Penafsiran

Sebagaimana karya tafsir pada umumnya, Tafsir al Baidhawi ditulis dengan metode tahlili yaitu penafsiran Al Qur’an berdasarkan urutan surat yang terdapat di mushaf, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas. Mashadir tafsir yang digunakan al Baidhawi berupa ayat Al Qur’an itu sendiri, hadis-hadits Nabi, riwayat dari para sahabat nabi dan tabi’in, dan juga pendapat para ulama generasi sebelum beliau.

Imam al-Baidhawi memperkuat analisis dalam penafsiran nya dengan penjelasan tata bahasa dan qiraat. Ia juga sangat meminimalisir penggunaan riwayat israiliyyat. Maka apabila Al-Baidhawi mencantumkan kisah tersebut, Ia menyebutkannya dengan memakai redaksi shigah majhul berupa kata ‘diriwayatkan’ atau ‘dikatakan’. Kedua redaksi tersebut Menurut adz-Dzahabi mengindikasikan bahwa al-Baidhawi mengisyaratkan tentang lemahnya kualitas kisah-kisah israiliyyat yang Ia cantumkan.[8]

Adapun sistematika yang digunakan Imam Al Baidhawi dalam menafsirkan al-Qur’an, sebagai berikut:

1.   Memulai penafsiranya dengan menjelaskan makkiyah dan madaniyah serta jumlah ayat pada surah tersebut.

2.    Menafsirkan makna ayat per ayat dari sisi kebahasaannya, baik dengan hadis maupun qiraat. Pendekatan bahasa banyak kita dapati dari penafsiran-penafsiran beliau. Pada bagian ini, ia menjelaskan kosa kata yang masih kurang jelas, menjelaskan munasabah kata, dan terkadang menjelaskan kedudukan suatu kata dalam struktur kalimat. Al Baidhawi melakukan ini guna mengurai makna.

3.      Hampir di setiap akhir surat dalam karya tafsirnya, ia menukilkan berbagai hadis yang membahas tentang keutamaan surah tersebut.

Salah satu bagian yang penting dalam karya tafsir ini ialah beliau banyak menafsirkan Al Qur’an dengan munasabah ayat. Imam al-Baidhawi menafsirkan ayat menggunakan munasabah yaitu menghubungkan suatu kata pada ayat yang ditafsirkan menggunakan ayat lain yang berada di surat yang sama, atau memaknai ayat yang sedang ditafsirkan dengan cara merujuk pada ayat atau surat lain yang ada di dalam al-Qur'an. Dalam penafsirannya, tidak hanya menggunakan tujuh qir’at (qira'ah sab'ah), yaitu bacaan Al Qur’an yang dinisbatkan kepada imam yang berjumlah tujuh yaitu : ‘Ashim, Abu ‘Amir, Ibnu Katsir, Hamzah, Nafi’, al-Kisa’i, dan Ibnu Amir. Al Baidhawi juga menukil bacaan yang diriwayatkan dari ahli qira’at yang lain, seperti Abu Bakar, Ya’qub al-Hadlrami dan lain-lain di mana riwayat-riwayat ini merupakan riwayat syadzah.[9]

Tafsir al Baidhawi merupakan satu dari sekian banyak karya tafsir yang memadukan dua metode penafsiran yaitu bil Ma’tsur (riwayat) dan bir Ra’yi (ijtihad). Ia tidak hanya memasukkan hadits dan atsar dalam upaya menafsirkan al-Qur’an, ia juga berijtihad dalam menjelaskan lebih lanjut hasil dari analisanya. Model penafsiran yang dipadukan ini dinilai bisa mempermudah dalam memahami petunjuk yang terkandung di dalam Al Qur’an, karena yang menafsirkan tidak hanya mengutip pendapat yang sudah ada, tetapi juga memperkuatnya dengan hasil ijtihad dan analisanya sendiri.[10]

Contoh Penafsiran Imam Al-Baidhawi

Contoh penafsiran dalam QS. al-Baqarah ayat 30:[14]

Contoh penafsiran al-Baidhawi dapat ditemukan dalam QS.al An’am ayat 161-163 yaitu:[15]

قُلْ اِنَّنِيْ هَدٰ ىنِيْ رَبِّيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ دِيْنًاقِيَمًامِّلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَاكَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ﴿١٦١﴾ قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ ﴿١٦٢﴾ لَاشَرِيْكَ لَهُ وَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَاْاَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ ﴿١٦٣﴾

Artinya: Katakanlah (Muhamad) "Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik." (161) Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam, (162) tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama berserah diri (muslim)." (163).

    Dalam ayat قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ dimaksudkan untuk semua ibadahku, pendekatanku, hujjahku, وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ dimaksudkan yang saya punyai selama hidup dan mati karenanya, itu iman dan kebaktian hidup. Idhafah pada kata  وَمَمَاتِيْ yaitu aturan atau wasiat, mati dan hidup. Menyukunkan huruf ‘ya’ Imam Nafi’ jadi membaca dengan mahyay menghubungkan pada waqaf لِلّٰهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ . Dalam lafadz لَاشَرِيْكَ لَهُ , berarti memberikannya serta tidak menyekutukan-Nya. وَبِذٰلِكَ yaitu ikhlas dan pernyataan. اُمِرْتُ وَاَنَاْاَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ sebab setiap Nabi menunjukkan kepasrahan sebelum umatnya memeluk Islam.



[1] Ahmad Yusuf, “Epistemologi Penafsiran Surat Al-Fātiḥah Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Jawāhir Al-Qur’ān,” n.d.

[2] Nina Karlina, “Metode Dan Corak Tafsir Al-Baidhawi (Studi Analisis Terhadap Tafsir Anwār al-Tanzil Wa Asrār al-Ta’wil),” 2011.

[3] Hakim A Husnul et al., Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Jakarta: eLSiQ Tabarakarrahman, 2019). H. 128

[4] Hadi Yasin, “Sisi Balaghah Dalam Tafsir Al-Baidhawy,” Tahdzib Al-Akhlaq: Jurnal Pendidikan Islam, 2020, 41–61.

[5] Husnul et al., Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir. H. 129

[6] R Edi Komarudin et al., “Tafsir Imam Al-Baidhawi Dalam Persfektif Hermeneutik,” 2016.

[7] Husnul et al., Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir. H. 130-131

[8] Dr. Muhammad al-Sayyid Husain al-Dhahabi, Al-Tafsir Wa al-Mufassirun (Darul Hadits, 2012).

[9] Ade Jamarudin, “Tafsir Al-Baidlawi: Kitab Induk Di Berbagai Kitab Tafsir,” Jurnal Ushuluddin XVII (January 2011): h. 66–79.

[10] al-Dhahabi, Al-Tafsir Wa al-Mufassirun. H. 70

              [11] Fathurrosyid, “Melacak Orisinalitas Tafsir Karya Al-Baidlawi Dalam Tafsir Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil Jurnal Instika Guluk - Guluk Sumenep,” Mafhum: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 1 (2016): 59–62, https://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/mafhum/article/view/223/146.

                [12] Khoirul Umami Elmia Zarchen Haq, “Telaah Kitab Tafsir Bercorak Lughawi Di Abad Pertengahan,” Al Muhafidz: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 2, no. 1 (2022): 58–59, https://doi.org/10.57163/almuhafidz.v2i1.28.

                [13] Ulva Lukmanul Hakim Vera Siska, “Mengenal Tafsir Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil Karya Imam Al-Baidhawi,” Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 2014, 1–15.

                [14] Andi Miswar, “Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Pada Abad Ke Vii H,” Rihlah: Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan 5, no. 1 (2017): 115–16, https://doi.org/10.24252/rihlah.v5i1.3187.

             [15] Andi Miswar, “Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Pada Abad Ke Vii H,” Rihlah: Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan 5, no. 1 (2017): 115–16, https://doi.org/10.24252/rihlah.v5i1.3187.


Penulis:
1. Nisa Indah Puspitasari
2. Dzilaludien Anwar 
3. Nadia Khusna
4. dkk.

Pembimbing:

Prof. Dr. Moh. Abdul Kholiq Hasan, Lc., M.A, M.Ed.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 31-32

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 20-21