Tafsir Al-Fatihah (ayat 6) - TERLENGKAP
1-
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah
kami jalan yang lurus”
Ayat
ini merupakan salah satu bentuk dari maqom isti`anah yang terdapat dalam
ayat sebelumnya. Dimana dalam ayat ini kita memohon kapada Allah agar selalu
diberikan petunjuk untuk istiqomah dijalan yang diridhoi-Nya. Jalan itu tidak
lain adalah al-Islam. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa
Rasulullah saw menggaris sebuah garis diatas tanah dan berkata ini adalah jalan
Allah yang lurus. Setelah itu Rasulullah membuat garis ke kanan dan ke kiri,
lalu beliau bersabda, “Jalan-jalan ini (garis ke kanan dan kekiri), tidak ada
atas jalan tersebut kecuali setan yang mengajak ke jalan tersebut. Lalu
Rasulullah membaca ayat al-Qu`an “Katakanlah: "Inilah
jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik." (Qs. Yusuf:
108). (HR. Ahmad).
Islam
adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhoi oleh Allah (Qs. Ali
Imran:19). Karena itu barang siapa menjadikan jalan hidup selain Islam, maka
sungguh ia telah sesat dan dalam kerugian yang abadi. Allah berkalam, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. (Qs. Ali Imran: 85). Dan kalam-Nya, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus,
maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain, selain
Islam), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang
demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Qs. Al-An`Am:153).
Permohonan
untuk selalu diberikan petunjuk kepada jalan yang benar dan diridhoi Allah
merupakan permohonan yang amat agung dan peting bagi keselamatan seorang hamba.
Karena disamping adanya berbagai godaan yang dapat menggelincirkan manusia
kedalam lembah kesesatan, manusia juga sangatlah lemah. Tanpa petunjuk Allah,
sehebat dan secerdas apapun manusia tidak akan mendapatkan kebenaran hakiki.
Karena kebenaran haikiki itu pada dasarnya adalah yang datang dari Tuhan. Allah
berkalam, “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu
jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.(Qs.
Al-Baqarah:147).
Sejarah
manusia telah mencatat,bahwa begitu banyak orang yang tersesat, karena
mengandalkan kepercayaannya kepada kekuatan akal semata. Deretan para filusuf
dan ilmuan mulai dari Socrates (470 SM - 399 SM), Plato 427 SM - 347 SM),
Aristoteles (384 SM – 322 SM), Immanuel
Kant (1724-1804 M) sampai Albert Einstein (1879- 1955 M) seorang ilmuwan fisika
teoretis yang dipandang luas sebagai ilmuwan terbesar dalam abad ke-20,[1] semua mereka
tidak mampu menemukan kebenaran hakiki. Kebenaran yang mereka kemukakan adalah
kebenaran semu yang dihasilkan dari ruang lingkup yang terbatas sesuai dengan
keterbatasan intrumen yang digunakan untuk memperoleh suatu kebenaran.
Akibatnya mereka tetap mengingkari keberadaan Tuhan dan kebenaran-kebenaran
yang datang dari Tuhan. Mereka hanya percaya terhadap apa yang bisa dicerna
oleh akal mereka. Padahal kemampuan akal sangatlah terbatas, ia tidak akan
mencapai hal-hal yang diluar kemampuanya. Karena itu menjadikan akal sebagai
satu-satu sumber untuk mendapatkan kebenaran, adalah merupakan kesesatan.
Maka,
sungguh naif jika ada manusia yang begitu penuh dengan keterbatasan, berani
mempertuhankan akalnya sehingga menolak apa yang datang dari wahyu Allah.
Sebagaiaman dilakukan oleh kelompok Liberal dan kelompok yang serupa, dimana
mereka menolak apa yang telah ditentukan syariah Islam, karena dianggap tidak
lagi sesuai dengan akal dan kemaslahatan manusia modern. Maka mereka melolak
kewajiban berjilbab, menolak hukum rajam dan menolak penerapan hukum syariah.
Padahal akal dan wayu dalam pandangan Islam tidaklah perlu dipertentanagan.
Karena akal sebagaimana pemberian Allah, begitu juga wahyu juga merupakan
karunia Allah kepada manusia yang penuh kekurangan dan kelamahan. Dan tidak
mungkin terjadi pertentangan antara yang datang dari akal yang benar dengan yang
datang dari kebenaran wahyu Allah. Oleh sebab itu seorang mukmin menyakini bahwa semua apa
yang diperintahkan atau dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, pastilah membawa
maslahat dan manfaat bagi manusia. Baik maslahat
atau manfaat tersebut dapat kita ditemukan atau belum. Baik akal manusia bisa
menalarnya atau tidak. Hal ini karena keterbatas akal dan ilmu manusia. Berbeda
dengan ilmu Allah yang maha luas yang meliputi segala sesuatu. Hanya
kesombongan-lah yang menjadikan manusia tidak mau menerima kebenaran. Rasulullah bersabda: “Sombong yaitu
menolak kebenaran." Maka pantas, "Tidak masuk Surga orang yang
di dalam hatinya terdapat seberat atom rasa sombong." (HR. Muslim).
Permohonan
untuk selalu mendapatkan hidayah dari Allah, baik berupa hidayah irsyadi
(ditunjukan kepada jalan yang benar) atau hidayah taufiqi (petunjuk yang
sifatnya pertolongan Allah kepada hamba-Nya untuk mau menerima dan melaksanakan
petunjuk tersebut), sangatlah kita butuhkan dalam setiap saat dan dalam kondisi
apapun. Ketika dalam kondisi bahagia dan banyak nikmat, semoga Allah
menunjukkan kepada kita agar mampu mengetahui bagaiamana cara bersyukur dengan
benar dan melaksanakannya. Begitupula sebaliknya, ketika dalam kondisi sedang
dicoba dan banyak masalah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita untuk
mampu bersabar dan menerima cobaan tersebut secara benar serta diberikan
petunjuk untuk solusi yang tepat sesuai dengan tuntunan syariah. Untuk itu seorang mukmin tidak akan mampu
melepaskan dirinya dari memohon petunjuk dari Allah dalam segala masalahnya.
Karena pada dasarnya hanya Allah-lah semata-mata yang Maha Mengetahui atas
segala sesuatu yang ada dunia dan akherat.
Menurut
Ibnul Qoyyim, dalam الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ ini memiliki enam dimensi yang harus dipenuhi oleh seorang
hamba yaitu mengetahui kebenarannya, ingin dan berkehendak untuk mencapainya,
siap mengamalkannya, konsisten dijalannya, mendakwahkan jalan ini kepada yang
lain dan sabar atas segala ujian dalam jalan ini. Apabila enam peringkat ini
dapat terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa hamba tersebut sukses dalam
mendapatkan petunjuk jalan yang lurus. Jika enam peringkat tersebut berkurang,
maka ia berkurang pula hidayahnya.[2]
Menjaga keistiqomahana dalam hidayah Allah sangatlah penting dan
tidak mudah. Apalagi dimasa seperti sekarang ini, dimana kebanyakan manusia
mudah tergiur dan tergoda dengan berbagai gemerlap dunia yang penuh kebohongan.
Mereka dengan mudah menjual belikan petunjuk dengan kesesatan, kebenaran dengan
kebathilan, kejujuran dengan kebohongan, keadilan dengan kedhaliman, amanah
dengan khianah, cahaya dengan kegelapan. Karena itu bagi mereka yang mampu
istiqomah, komitmen dijalan-Nya, memiliki
keteguhan hati dalam menjalankan keimanan dan amal sholeh baik secara lahiriah
maupun batiniyah dengan terfokus hanya mencari keridhaan Allah.Allah menjanjikan berbagai keutamaan dan kemuliaan didunia
dan akherat.
Dalam QS. Fushshilat:30-32, disebutkan 5 keutamaan
bagi mereka yang istiqomah.
Kelima hal tersebut adalah: Pertama, (تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ) Turunnya malaikat secara bergelombang
tiada henti kepada orang tersebut ketika ajal menjemputnya. Kedua,
(أَلَّا تَخَافُوا
وَلَا تَحْزَنُوا) Para malaikat
tersebut tidak hanya sekedar menemani, namun mereka ternyata membawa kabar
gembira agar tidak perlu takut dan sedih.
Ibnu Katsir mengatakan, Jangan sedih terhadap sesuatu yang telah kamu
tingalkan dari permasalahan dunia, berupa anak, keluarga, harta, karena sesungguhnya
Allah telah menanggungnya. Ketiga, (وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
) Jaminan mendapatkan surge. Keempat, (نَحْنُ
أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ) Pertolongan
Allah di dunia dan akherat. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa para malaikat yang
selama hidupnya menjaga dan mengajak kepada kebaikan, ketika manusi meninggal
para malaikat itu pun setia menemaninya sampai ke akherat.[3] Dan Kelima, (نُزُلًا
مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ) Sebagai
hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Abu Hayyan, ketika mengomentari ayat ini
menjelaskan bahwa, Ayat ini memberikan jaminan dan kenyamanan sempurna terhadap
orang yang mampu istiqomah, karena setelah mereka mendapatkan rasa aman dengan
di terimanya amal dan diampuninya dosa, di khabarkan kepada mereka sebagai
penghuni surga yang penuh kenikmatan. [4]
Selanjutnya adalah bagaimana cara mempertahankan
istiqomah, karena sungguh tidak mudah untuk melestarikan keistikamahan
sepanjang hidup yang penuh dengan cobaan dan godaan. Minimal
ada 5 hal yang bisa membantu kita dalam istikamah:
[5] Pertama:
ikhlas dan memahami hakekat kedua kalimat syahadat. Allah berkalam dalam surat
al-Kahfi:110, فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا . “Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya”. Seorang ulama salaf, Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: “Jadilah engkau
penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong
untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”.
Kedua, Sedang-sedang
dan tidak berlebihan. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya
setiap amal terdapat masa giat, dan disana ada masa jeda. Maka siapa yang
jedanya kepada bid’ah sesungguhnya dia sesat, dan siapa yang jedanya Kepada sunnah maka dia terbimbing.” (HR. shohih, Ibnu Huzaimah).
Ketiga,
Berkumpul dengan komunitas yang shaleh. Karena perumpamaan antara persabatan
dengan orang baik dan orang jahat adalah seperti pertemanan antara dengan orang
penjual minyak dan pandai besi (HR. Muslim). Dalam ilmu sosiologi ada istilah
“Manusia adalah anak lingkungan dimana ia hidup. Ibnul Qayyim mengisahkan,
“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana
atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami
merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah
untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan
nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan
berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.
Keempat,
Membaca
kisah-kisah teladan. Karena dengan membaca kisah mereka kita bisa belajar
banyak dari kehidupan mereka. Mereka adalah orang yang sudah teruji dan mampu
menghadapi berbagai ujian sampai mereka mampu istiqomah. Seorang ulama salaf,
Basyr bin Al Harits Al Hafi mengatakan,“Betapa banyak manusia yang telah mati
(yaitu orang-orang yang sholih) membuat hati menjadi hidup karena mengingat
mereka. Namun sebaliknya, ada manusia yang masih hidup (yaitu orang-orang
fasik) membuat hati ini mati karena melihat mereka. Imam
Abu Hanifah berkata, “Kisah ulama dan kebersamaan mereka, lebih aku senangi
dari pada membahas masalah figh, karena kisah mereka adalah adab dan prilaku
ulama.
Kelima,
Berdoa memohon Allah untuk selalu diberi pertolongan mampu intikamah sampai
akhir hayat. Karena sebagaimana Rasulullah bersabda, bahwa “Semua amal
perbutan itu diperitungkan pada titik akhirnya” (HR Bukhori). Dan kita
tidak tahu apa yang terjadi besok. Semua terserah pada kehendak Allah. Dan doa
adalah salah satu hal yang mampu dengan izin Allah merupah ketentuan Allah.
Karena
itu banyak dalam ayat-ayat al-Qur`an, sunnah maupun para salafus sholeh yang
mengajarkan berbagai doa agar diberi perunjuk untuk istiqomah
dijalan-Nya. Diantaranya kalam Allah dalam surah Ali Imran: 8:
رَبَّنَا
لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ
رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ (8)
Ya
Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah
Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari
sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).".
Dan
dalam surah Ali Imran : 147.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا
عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (147)
Ya
Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang
berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”
Dan
dalam kalam-Nya surah al-Baqarah:250.
رَبَّنَا
أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ
الْكَافِرِينَ (250)
Ya
Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami
dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.
Adapun
Sunnah, sebagaimana diriwayatakan oleh Imam Ahmad dan Turmudzi, bahwa Rasulullah
saw sering membaca doa: يَا
مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “Wahai dzat yang
membolak-balikan hati, tetapkan hatiku dalan agama-Mu.
Termasuk
doa yang diajarkan oleh Rasulullah untuk selalu dalam cahaya petunjuk Allah:
اَللَّهُمَّ
اجْعَلْ فِى قَلْبِيْ نُوْرًا وَفِيْ
لِسَانِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ سَمْعِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِى بَصَرِيْ
نُوْرًا، وَاجْعَلْ مِنْ تَحْتِيْ نُوْرًا. وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِيْ نُوْرًا.
وَعَنْ يَمِيْنِيْ نُوْرًا. وَعَنْ يَسَارِيْ نُوْرًا, وَاجْعَلْ أَمَامِيْ
نُوْرًا, وَاجْعَلْ خَلْفِيْ نُوْرًا. وَاجْعَلْ فِيْ نَفْسِيْ نُوْرًا وَاَعْظِمْ
لِيْ نُوْرًا.
“Ya Allah
jadikanlah hatiku bercahaya terang, dan dalam lisanku cahaya terang, dan
jadikanlah dalam pendengaranku cahaya, dan jadikanlah dalam penglihatanku
cahaya, jadikanlah dari arah bawahku cahaya, dari arah atasku cahaya, dan dari
sebelah kananku cahaya, dari arah kiriku cahaya, dan jadikanlah cahaya itu dari
arah depanku, jadikanlah cahaya di bagian belakangku, jadikanlah pula cahaya
itu dalam jiwaku, dan tajamkanlah cahaya itu untukku.” (HR. Muslim, Ibnu Abi Syaibah).
Dan
diantara doa seorang tokoh Tabiin, Hasan al-Bashri, untuk selalu diberikan
keistiqomahan, اَللّهُمَّ
أَنْتَ رَبُّنَا، فَارْزُقْنَا الْاسْتِقَامَة
Ya
Allah, Engkau Rabb kami, berikanlah kami istiqomah. [6]
Semoga kita semua selalu diberikan pentunjuk oleh Allah kepada jalan yang benar
dalam seluruh kehidupan kita dan selalu istiqomah dalam menghadapi berbagai
macam cobaan, sebagaimana orang-orang yang disebutkan dalam ayat berikut ini.
[1] - http://id.wikipedia.org/wiki
[2] - Meraih Puncak Kenikmatan Shalat, Kholid Abu Syadi, h. 61
[3] -
Tafsir Ibnu Katsir, h. 7/177
[4] - Al-Bahru al-Muhith, h. 9/465
[5] - Lih: Kumpulan
Kultum Terlengkap Sepanjang Tahun, Hasan el-Qudsy, h. 1/343-344
[6] - Lih, Jamiul Ulum wal-Hikam,
Ibnu Rajab, h. 6/33, Tafsir Ibnu Katsir, h. 7/176.
Komentar
Posting Komentar