Tafsir Al-Fatihah (ayat 6) - TERLENGKAP

Dr. KH. Moh. Abdul Kholiq Hasan Lc.MA.M.Ed


1-     اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus”

Ayat ini merupakan salah satu bentuk dari maqom isti`anah yang terdapat dalam ayat sebelumnya. Dimana dalam ayat ini kita memohon kapada Allah agar selalu diberikan petunjuk untuk istiqomah dijalan yang diridhoi-Nya. Jalan itu tidak lain adalah al-Islam. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw menggaris sebuah garis diatas tanah dan berkata ini adalah jalan Allah yang lurus. Setelah itu Rasulullah membuat garis ke kanan dan ke kiri, lalu beliau bersabda, “Jalan-jalan ini (garis ke kanan dan kekiri), tidak ada atas jalan tersebut kecuali setan yang mengajak ke jalan tersebut. Lalu Rasulullah membaca ayat al-Qu`an “Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (Qs. Yusuf:  108). (HR. Ahmad).


Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhoi oleh Allah (Qs. Ali Imran:19). Karena itu barang siapa menjadikan jalan hidup selain Islam, maka sungguh ia telah sesat dan dalam kerugian yang abadi. Allah berkalam, Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.  (Qs. Ali Imran: 85). Dan kalam-Nya, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain, selain Islam), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Qs. Al-An`Am:153).

Permohonan untuk selalu diberikan petunjuk kepada jalan yang benar dan diridhoi Allah merupakan permohonan yang amat agung dan peting bagi keselamatan seorang hamba. Karena disamping adanya berbagai godaan yang dapat menggelincirkan manusia kedalam lembah kesesatan, manusia juga sangatlah lemah. Tanpa petunjuk Allah, sehebat dan secerdas apapun manusia tidak akan mendapatkan kebenaran hakiki. Karena kebenaran haikiki itu pada dasarnya adalah yang datang dari Tuhan. Allah berkalam, “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.(Qs. Al-Baqarah:147).

Sejarah manusia telah mencatat,bahwa begitu banyak orang yang tersesat, karena mengandalkan kepercayaannya kepada kekuatan akal semata. Deretan para filusuf dan ilmuan mulai dari Socrates (470 SM - 399 SM), Plato 427 SM - 347 SM), Aristoteles  (384 SM – 322 SM), Immanuel Kant (1724-1804 M) sampai Albert Einstein (1879- 1955 M) seorang ilmuwan fisika teoretis yang dipandang luas sebagai ilmuwan terbesar dalam abad ke-20,[1] semua mereka tidak mampu menemukan kebenaran hakiki. Kebenaran yang mereka kemukakan adalah kebenaran semu yang dihasilkan dari ruang lingkup yang terbatas sesuai dengan keterbatasan intrumen yang digunakan untuk memperoleh suatu kebenaran. Akibatnya mereka tetap mengingkari keberadaan Tuhan dan kebenaran-kebenaran yang datang dari Tuhan. Mereka hanya percaya terhadap apa yang bisa dicerna oleh akal mereka. Padahal kemampuan akal sangatlah terbatas, ia tidak akan mencapai hal-hal yang diluar kemampuanya. Karena itu menjadikan akal sebagai satu-satu sumber untuk mendapatkan kebenaran, adalah merupakan kesesatan.

Maka, sungguh naif jika ada manusia yang begitu penuh dengan keterbatasan, berani mempertuhankan akalnya sehingga menolak apa yang datang dari wahyu Allah. Sebagaiaman dilakukan oleh kelompok Liberal dan kelompok yang serupa, dimana mereka menolak apa yang telah ditentukan syariah Islam, karena dianggap tidak lagi sesuai dengan akal dan kemaslahatan manusia modern. Maka mereka melolak kewajiban berjilbab, menolak hukum rajam dan menolak penerapan hukum syariah. Padahal akal dan wayu dalam pandangan Islam tidaklah perlu dipertentanagan. Karena akal sebagaimana pemberian Allah, begitu juga wahyu juga merupakan karunia Allah kepada manusia yang penuh kekurangan dan kelamahan. Dan tidak mungkin terjadi pertentangan antara yang datang dari akal yang benar dengan yang datang dari kebenaran wahyu Allah. Oleh sebab itu seorang mukmin menyakini bahwa semua apa yang diperintahkan atau dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, pastilah membawa maslahat dan manfaat bagi manusia. Baik maslahat atau manfaat tersebut dapat kita ditemukan atau belum. Baik akal manusia bisa menalarnya atau tidak. Hal ini karena keterbatas akal dan ilmu manusia. Berbeda dengan ilmu Allah yang maha luas yang meliputi segala sesuatu. Hanya kesombongan-lah yang menjadikan manusia tidak mau menerima kebenaran.  Rasulullah bersabda: “Sombong yaitu menolak kebenaran." Maka pantas, "Tidak masuk Surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat atom rasa sombong." (HR. Muslim).


Permohonan untuk selalu mendapatkan hidayah dari Allah, baik berupa hidayah irsyadi (ditunjukan kepada jalan yang benar) atau hidayah taufiqi (petunjuk yang sifatnya pertolongan Allah kepada hamba-Nya untuk mau menerima dan melaksanakan petunjuk tersebut), sangatlah kita butuhkan dalam setiap saat dan dalam kondisi apapun. Ketika dalam kondisi bahagia dan banyak nikmat, semoga Allah menunjukkan kepada kita agar mampu mengetahui bagaiamana cara bersyukur dengan benar dan melaksanakannya. Begitupula sebaliknya, ketika dalam kondisi sedang dicoba dan banyak masalah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita untuk mampu bersabar dan menerima cobaan tersebut secara benar serta diberikan petunjuk untuk solusi yang tepat sesuai dengan tuntunan syariah.  Untuk itu seorang mukmin tidak akan mampu melepaskan dirinya dari memohon petunjuk dari Allah dalam segala masalahnya. Karena pada dasarnya hanya Allah-lah semata-mata yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang ada dunia dan akherat. 

Menurut Ibnul Qoyyim, dalam الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ini memiliki enam dimensi yang harus dipenuhi oleh seorang hamba yaitu mengetahui kebenarannya, ingin dan berkehendak untuk mencapainya, siap mengamalkannya, konsisten dijalannya, mendakwahkan jalan ini kepada yang lain dan sabar atas segala ujian dalam jalan ini. Apabila enam peringkat ini dapat terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa hamba tersebut sukses dalam mendapatkan petunjuk jalan yang lurus. Jika enam peringkat tersebut berkurang, maka ia berkurang pula hidayahnya.[2]


Menjaga keistiqomahana dalam hidayah Allah sangatlah penting dan tidak mudah. Apalagi dimasa seperti sekarang ini, dimana kebanyakan manusia mudah tergiur dan tergoda dengan berbagai gemerlap dunia yang penuh kebohongan. Mereka dengan mudah menjual belikan petunjuk dengan kesesatan, kebenaran dengan kebathilan, kejujuran dengan kebohongan, keadilan dengan kedhaliman, amanah dengan khianah, cahaya dengan kegelapan. Karena itu bagi mereka yang mampu istiqomah, komitmen dijalan-Nya, memiliki keteguhan hati dalam menjalankan keimanan dan amal sholeh baik secara lahiriah maupun batiniyah dengan terfokus hanya mencari keridhaan Allah.Allah menjanjikan berbagai keutamaan dan kemuliaan didunia dan akherat.

Dalam QS. Fushshilat:30-32, disebutkan 5 keutamaan bagi mereka yang istiqomah. Kelima hal tersebut adalah: Pertama, (تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ) Turunnya malaikat secara bergelombang tiada henti kepada orang tersebut ketika ajal menjemputnya. Kedua, (أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا) Para malaikat tersebut tidak hanya sekedar menemani, namun mereka ternyata membawa kabar gembira agar tidak perlu takut dan sedih.  Ibnu Katsir mengatakan, Jangan sedih terhadap sesuatu yang telah kamu tingalkan dari permasalahan dunia, berupa anak, keluarga, harta, karena sesungguhnya Allah telah menanggungnya. Ketiga, (وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ ) Jaminan mendapatkan surge. Keempat, (نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ) Pertolongan Allah di dunia dan akherat. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa para malaikat yang selama hidupnya menjaga dan mengajak kepada kebaikan, ketika manusi meninggal para malaikat itu pun setia menemaninya sampai ke akherat.[3] Dan Kelima, (نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ) Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Abu Hayyan, ketika mengomentari ayat ini menjelaskan bahwa, Ayat ini memberikan jaminan dan kenyamanan sempurna terhadap orang yang mampu istiqomah, karena setelah mereka mendapatkan rasa aman dengan di terimanya amal dan diampuninya dosa, di khabarkan kepada mereka sebagai penghuni surga yang penuh kenikmatan. [4]

Selanjutnya adalah bagaimana cara mempertahankan istiqomah, karena sungguh tidak mudah untuk melestarikan keistikamahan sepanjang hidup yang penuh dengan cobaan dan godaan. Minimal ada 5 hal yang bisa membantu kita dalam istikamah: [5] Pertama: ikhlas dan memahami hakekat kedua kalimat syahadat. Allah berkalam dalam surat al-Kahfi:110, فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا  . “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. Seorang ulama salaf, Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”.

Kedua, Sedang-sedang dan tidak berlebihan. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setiap amal terdapat masa giat, dan disana ada masa jeda. Maka siapa yang jedanya kepada bid’ah sesungguhnya dia sesat, dan siapa yang jedanya Kepada sunnah maka dia terbimbing.” (HR. shohih, Ibnu Huzaimah).

Ketiga, Berkumpul dengan komunitas yang shaleh. Karena perumpamaan antara persabatan dengan orang baik dan orang jahat adalah seperti pertemanan antara dengan orang penjual minyak dan pandai besi (HR. Muslim). Dalam ilmu sosiologi ada istilah “Manusia adalah anak lingkungan dimana ia hidup. Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.

Keempat, Membaca kisah-kisah teladan. Karena dengan membaca kisah mereka kita bisa belajar banyak dari kehidupan mereka. Mereka adalah orang yang sudah teruji dan mampu menghadapi berbagai ujian sampai mereka mampu istiqomah. Seorang ulama salaf, Basyr bin Al Harits Al Hafi mengatakan,“Betapa banyak manusia yang telah mati (yaitu orang-orang yang sholih) membuat hati menjadi hidup karena mengingat mereka. Namun sebaliknya, ada manusia yang masih hidup (yaitu orang-orang fasik) membuat hati ini mati karena melihat mereka. Imam Abu Hanifah berkata, “Kisah ulama dan kebersamaan mereka, lebih aku senangi dari pada membahas masalah figh, karena kisah mereka adalah adab dan prilaku ulama. 

Kelima, Berdoa memohon Allah untuk selalu diberi pertolongan mampu intikamah sampai akhir hayat. Karena sebagaimana Rasulullah bersabda, bahwa “Semua amal perbutan itu diperitungkan pada titik akhirnya” (HR Bukhori). Dan kita tidak tahu apa yang terjadi besok. Semua terserah pada kehendak Allah. Dan doa adalah salah satu hal yang mampu dengan izin Allah merupah ketentuan Allah.

Karena itu banyak dalam ayat-ayat al-Qur`an, sunnah maupun para salafus sholeh yang mengajarkan berbagai doa agar diberi perunjuk untuk istiqomah dijalan-Nya. Diantaranya kalam Allah dalam surah Ali Imran: 8:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ (8)

Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).".

Dan dalam surah Ali Imran : 147.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (147)

Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”

Dan dalam kalam-Nya surah al-Baqarah:250.

رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (250)

Ya Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.

Adapun Sunnah, sebagaimana diriwayatakan oleh Imam Ahmad dan Turmudzi, bahwa Rasulullah saw sering membaca doa: يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ  Wahai dzat yang membolak-balikan hati, tetapkan hatiku dalan agama-Mu.

Termasuk doa yang diajarkan oleh Rasulullah untuk selalu dalam cahaya petunjuk Allah:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ فِى قَلْبِيْ نُوْرًا  وَفِيْ لِسَانِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ سَمْعِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِى بَصَرِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ مِنْ تَحْتِيْ نُوْرًا. وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِيْ نُوْرًا. وَعَنْ يَمِيْنِيْ نُوْرًا. وَعَنْ يَسَارِيْ نُوْرًا, وَاجْعَلْ أَمَامِيْ نُوْرًا, وَاجْعَلْ خَلْفِيْ نُوْرًا. وَاجْعَلْ فِيْ نَفْسِيْ نُوْرًا  وَاَعْظِمْ لِيْ نُوْرًا.

Ya Allah jadikanlah hatiku bercahaya terang, dan dalam lisanku cahaya terang, dan jadikanlah dalam pendengaranku cahaya, dan jadikanlah dalam penglihatanku cahaya, jadikanlah dari arah bawahku cahaya, dari arah atasku cahaya, dan dari sebelah kananku cahaya, dari arah kiriku cahaya, dan jadikanlah cahaya itu dari arah depanku, jadikanlah cahaya di bagian belakangku, jadikanlah pula cahaya itu dalam jiwaku, dan tajamkanlah cahaya itu untukku.” (HR. Muslim, Ibnu Abi Syaibah).

 

Dan diantara doa seorang tokoh Tabiin, Hasan al-Bashri, untuk selalu diberikan keistiqomahan,  اَللّهُمَّ أَنْتَ رَبُّنَا، فَارْزُقْنَا الْاسْتِقَامَة Ya Allah, Engkau Rabb kami, berikanlah kami istiqomah. [6] Semoga kita semua selalu diberikan pentunjuk oleh Allah kepada jalan yang benar dalam seluruh kehidupan kita dan selalu istiqomah dalam menghadapi berbagai macam cobaan, sebagaimana orang-orang yang disebutkan dalam ayat berikut ini.

 



[1] - http://id.wikipedia.org/wiki

[2] - Meraih Puncak Kenikmatan Shalat, Kholid Abu Syadi, h. 61

 

[3] -  Tafsir Ibnu Katsir, h. 7/177

[4] - Al-Bahru al-Muhith, h. 9/465

[5] - Lih: Kumpulan Kultum Terlengkap Sepanjang Tahun, Hasan el-Qudsy, h. 1/343-344

[6] - Lih, Jamiul Ulum wal-Hikam, Ibnu Rajab, h. 6/33, Tafsir Ibnu Katsir, h. 7/176.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 31-32

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 20-21