Tafsir Al-Fatihah (ayat 5) - TERLENGKAP
Dr. KH. Moh. Abdul Kholiq Hasan Lc.MA.M.Ed
5-
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya
Engkaulah yang kami sembah,
dan
hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan
Setelah
Allah swt. menegaskan dalam tiga ayat sebelumnya tetang keagungan dan
kesempurnaan sifat-sifat-Nya dan kekuasaan mutlaq yang dimiliki-Nya atas
seluruh ciptaan-Nya, dalam ayat ini Allah mengajak kepada para hamba-Nya untuk
hanya menyembah kepada Allah dan memohon kepada-Nya. Dengan kata lain, bahwa
yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan itu adalah yang memiliki sifat
sempurna, Ia mampu menciptakan, memelihara, mendidik, menyayangi dan memiliki
serta menguasai seluruh ciptaan-Nya. Tanpa sedikitpun membutuhkan bantuan
kepada siapapun. Dan itu tidak ada kecuali Tuhan Allah swt. Perintah untuk
menyembah dan meminta kepadanya bersifat terus menerus dan dalam kondisi
apapaun sampai manusia kembali kepada-Nya. Sebagaimana dapat dipahamai dari
penggunaan Fiil Mudhari` (kata kerja yang menunjukan sebuah pekerjaan sedang
berlangsung) yang terdapat dalam kata (نَعْبُدُ) dan (نَسْتَعِينُ). Sebagaiamana kedua fiil tersebut
menggunkan kata ganti pertama jama` (kita), memberikan isyarat, pentingnya
orang mukmin untuk selalu bersama dalam beramal sholeh. Karena dalam
kebersamaan itulah berbagai keberkahan akan diperoleh.
(إِيَّاكَ نَعْبُدُ) Hanya Engkaulah yang
kami sembah. Redaksi semacam ini dalam bahasa Arab, memiliki makna
pengkhususan ibadah itu hanya kepada Allah. Karena ibadah tidak lain adalah
ketunduaan, kehinaan dan penghambaan mutlaq kepada yang disembah. Kondisi semacam
itu oleh ulama dkenal dengan istilah “Maqom ubudiah”. Atau dalam
istilah lain disebut dengan “Tauhid
uluhiyyah”.[1]
Yaitu sebuah kondisi dimana manusia sebagai hamba Allah SWT. harus patuh tunduk
atas segala yang menjadi keputusan-Nya. Baik dalam posisi senang atau sedih,
suka atau duka, longgar atau sempit. Ketundukan yang mutlaq tanpa batas atau
protes. Maqom yang menempatkan Allah SWT sebagi satu-satunya sesembahan
yang berhak untuk disembah.
Dalam
pandangan Islam, hidup mati manusia adalah untuk pengabdian diri kepada Allah
SWT. Sebagaimana Allah kalamkan "Katakanlah:
sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam” (al-An`am: 162). Dalam ayat lain, ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku". (Adz-Dzariyat:56). Islam tidak hanya mengurusi
ibadah ritual, melainkan juga ibadah sosial. Dan ternyata kalau kita teliti,
ibadah sosial mendapatkan porsi yang paling banyak dalam prkateksnya. Hal ini
terlihat ketika Rasulullah berbicara tentang aqidah, beliau menegaskan bahwa
Iman itu tuju puluh lebih cabangnya, yang paling tinggi syahadat sedang yang
paling rendah menyingkirkan duri dari jalanan (HR. Ibnu majah). Dengan demikian semua kehidupan manusia dan
segala aktifitasnya dalam pandangan Islam dapat bernilai sebagai ibadah jika
sesuai dengan syaratnya.
Semua aktifitas manusia baik berupa ibadah ritual maupun sosial
atau lainnya akan bernilai disisi Allah jika memenuhi dua syarat. Pertama,
Ihlas hanya karena Allah. Ihlas ini letaknya dalam hati dan teraktualisasi
dalam bentuk niat karena Allah dalam melaksanakan ibadah. Ihklas ini bisa gagal
jika diam-diam ternyata ada niatan terselinap dalam hati kita yang bukan karena
Allah. Ada riya`. Ada pengharapan penghargaan selain dari Allah. Ingin dilihat,
ingin dipuji, ingin disebut-sebut dll. Oleh karena itu riya` dan sejenisnya
adalah salah satu bentuk dari kesyirikan yang sangat dibenci oleh Allah. Sudah
barang tentu ibadah semacam itu akan tertolak dan akan menjerumuskan pemiliknya
kedalam api neraka. Karena itu niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal
menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya amal jadi rusak karena niat
yang rusak. Berkata Ibnul Mubarak:
"Berapa banyak amalan yang sedikit bisa menjadi besar karena niat dan
berapa banyak amalan yang besar bisa bernilai kecil karena niatnya".[2]
Syarat kedua, harus sesuai dengan tuntunan
Rasulullah saw bagi amal ibadah makhdhoh
(ritual) dan tidak bertentangan dengan syariat Islam jika amalan tersebut
dalam kategori mubah. Ibadah makhadhoh seperti shalat misalnya, menjadi tidak
diterima oleh Allah jika dalam melaksanakannya tidak sesui dengan ajaran Nabi
saw, walaupun dalam menjalankannya dengan penuh ihlas. Karena semua ibadah makhdhoh
termasuk shalat itu sifatnya tauqifi, artinya berdasarkan petunjuk Allah
dan Rasul-nya. Dan hukum asal Ibadah hukumnya adalah haram sampai ada dalil yang membolehkan. Sedangkan yang
berhubungan dengan maslahah urusan dunia asal hukumnya adalah mubah, sampai ada dalil yang mengharamkan. Rasulullah bersabda, “Dan
barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami
maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim).
Ibadah tersebut tertolak karena dianggap bid`ah. Bid'ah dalam
terminologi bahasa adalah setiap hal baru yang tidak seperti sebelumnya.
Adapun dalam terminologi syari'at adalah
setiap ibadah yang diada-adakan oleh manusia tapi tidak ada asalnya dalam
Al-Qur'an maupun As-Sunnah. (www.almanhaj.or.id). Jadi hakekat bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat
oleh manusia dalam bentuk-bentuk ibadah, bisa dengan mengurangi atau menambah. Mengikuti
tata-cara nabi dalam melaksanakan ibadah makhdhah, selian menjadi syarat
diterimanya amal, menjadi bukti cinta kita kepada Allah dan Rasulnya. (Ali Imran:31), mendapatkan keselamatan, ketenangan hati dalam
menjalankan ibadah dan mendapatkan Syafaat Rasulullah dan keridlo`an Allah.
Sedangkan ibadah selain ritual, seperti
makan, minum, berjalan-jalan, selama itu aktifitas mubah dan tidak dilarang
oleh syariat serta tidak menjadikan tertinggalnya ibadah wajib, maka dapat
pahala disisi Allah dan dinilai sebgai amalan ibadah jika dilakukan dengan
niatan ibadah dan mencari ridho Allah. Disinilah letak niat yang bisa merubah
status sebuah ibadah mubah menjadi sunnah dan wajib bahkan haram. Semua
tergantung niatnya. Jadi, Ibadah dalam kehidupan seorang muslim adalah
kehidupan keseluruhannya, seluruh aktifitasnya, tinggal butuh niat dan tidak
dilarang syara`.
Sebagaimana telah disebutkan
diatas, sebuah aktifitas manusia dapat diterima dan dinilai sebagai amalan
ibadah di sisi Allah jika dilakukan sesuai dengan aturan syariah dan dengan
penuh keihlasan. Diantara tanda-tanda tersebut adalah: [3]
Pertama; Hanya Mencari ridho Allah, Bukan Kepentingan Duniawi. Menjalankan shalat hanya semata mencari ridho Allah. Bukan karena
adanya kepentingan duniawi ia menjalankan shalat. Tetap istiqomah, baik dalam
saat sulit ataupun mudah. Tidak hanya rajin shalat ketika dalam kondisi
tercepit. Namun dalam kondisi apapun ia selalu mendirikan shalat. Shalat yang
demikian inilah yang akan mampu menjadi solusi utama dalam menghadapi berbagai
gejolak jiwa. Sebagaimana Allah firmankan, “Sesungguhnya manusia diciptakan
bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila
ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, Dan apabila ia mendapat kebaikan ia
amat kikir, Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,Yang mereka itu tetap
mengerjakan shalatnya” (QS. Al-Ma`arij: 20-23).
Kedua; Sama antara ketika dipuji atau dicela. Ini terlihat dari pendirian shalat ketika sendirian dirumah atau
berjamah bersama orang. Kualitasnya tetapa sama. Bacaan dan pakaiannya yang
dipakai standarnya sama. Minimal tidak jauh beda. Sikap semacam ini beda dengan
orang munafik. Dimana ketika mereka didepan orang shalatnya dibagus-baguskan,
namun ketika sendirian mereka malas-malasan. Bahkan tidak jarang meninggalkan
kewajiban shalat. Allah berkalam, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat
riya (QS. Al-Maa`un: 4-6).
Ketiga; Tidak pernah merasa Sempurna. Seorang
yang berbuat ikhlas selalu menuduh dirinya serba kurang. Ia tidak pernah merasa sempurna dalam
melaksankan ibadah. Inilah yang tercermin dari sikap para utusan Allah dan
ulama salaf. Lihatlah, Nabi Ibrahim bersama putranya Ismail ketika selesai
berhasil membangun ka`bah, mereka berdoa memohan Allah untuk diterima amalnya
dan diampuni dosanya jika ada kekurangan dalam menjalankan amanah.
Dikisahkan oleh Imam Ghozali, bahwa Hatim al-`Asham ketika ditanya untuk melukiskan shalatnya,
ia berkata, “Bila datang waktu shalat aku berwudlu dengan sesempurna mungkin,
pergi ke tempat shalatku dan duduk disitu sampai tenang seluruh anggota
tubuhku. Setelah itu aku bangkit dan memulai shalatku. Kujadikan Ka`bah
diantara kedua mataku, shirat (jembatan ke surag) aku jadikan dibawah
telapak kakiku, surga disisi kananku, neraka disisi kiriku dan malakul maut di
belakngku. Kuperkirakan ini sebagai shalatku yang terakhir dan akupun berdiri
diantara harapan dan kecemasan aku bertakbir dengan hati yang mantap, dan
membaca ayat-ayat al-Qur`an dengan tartil, kemudian aku mulai ruku` dengan hati
merunduk dan bersujud dengan penuh khusyu`, duduk diatas bagian tubuhku sebelah
kiri, menjadikan punggung kakiku sebagai alas, sambil menegakkan kaki kananku
diatas ibu jarinya. Kulakukan semunya itu dengan penuh keikhlasan dan setelah
itu aku pun tidak tahu apakah shalatku diterima atau tidak?”[4].
(وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين)
dan hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan. Dalam redaksi ini juga
menunjukan pengkhususan permohonan hanya tertuju kepada Allah. Hal ini dikenal
dengan “Maqom isti`anah”
atau dalam istilah lain “Tauhid rububiyyah”.[5]
Dimana manusia menggantungkan segala masalahnya, usahanya, ikhtiyarnya,
permohonannya dan segala doanya hanya kepada Allah SWT semata. Kepada Allah-lah
tempat meminta apa saja, kapan saja dan dimana saja. Allah adalah satu-satunya
dzat yang menciptakan, mengatur dan memelihara seluruh alam semesta. Karenanya,
Allah senang jika hambanya meminta kepada-Nya dan marah jika hambanya tidak
meminta kepada-Nya. Hanya manusia bodoh dan sombong yang tidak mau memohon
kepad-Nya
Diantara
bentuk permohonan kita kepada Allah adalah dengan berdoa. Doa merupakan salah satu karunia terbesar yang diberikan oleh
Allah kepada hamba-Nya. Dia-lah yang mengajari hambanya bagaimana seorang hamba
mengadu dan meminta kepada-Nya. Doa adalah ketundukan dan kefakiran seorang hamba untuk
memohon kepada dzat Yang Maha Agung, agar dikabulkan segala kebaikan yang
diinginkan dan dijauhkan serta diselamatkan dari berbagai hal yang tidak
diinginkan. Dan inti doa adalah pengakuan hamba akan
kebutuhan dan pertolongan-Nya.
Doa merupakan titik temu terdekat antara hamba dengan tuhannya. Doa adalah senjata,
benteng, obat dan pintu segala kebaikan. Karena itu termasuk orang yang sombong
adalah mereka yang menyia-nyiakan doa. Padahal doa merupakan pantulan keluasan
rahmat Allah yang dicurahkan kepada para hamba-Nya. Maka sunguh ironis apabila
kita termasuk orang yang menyai-nyiakan rahmat tersebut, hanya karena ketidak
pahaman kita kepada eksistensi, kedudukan dan fungsi doa dalam kehidupan
manusia.
Keutamaan doa dalam Islam sangatlah agung dan
penting. Banyak
ayat-ayat al-Qu`an dan Sunnah nabawiah yang menjelaskan tentang
keutamaan dan keagungan doa. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Doa Ibadah yang
diperintahkan oleh Allah. Sebagaimana dalam kalam-Nya, “Berdo'alah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu, Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku
akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”.(Ghofir:60).
2.
Doa Ibadah yang Paling
Mulia di sisi Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada sesuatu yang paling mulia
di sisi Allah daripada doa". (HR. At-Timidzi dan Ahmad).
3.
Doa Mampu Menolak
Taqdir. Dalam
sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, Rasulullah saw. bersabda: Putusan
atau qadha’ Allah tidak bisa ditolak kecuali dengan doa. Dan tidak ada sesuatu
yang bisa menambah umur kecuali kebaikan atau al-birr.”(HR. Turmudzi dan
Hakim).
4. Orang
yang paling lemah adalah Orang yang Meningalkan Doa. Rasulullah SAW
bersabda, “ Orang yang lemah adalah orang yang meninggalkan berdoa dan orang
yang paling bakhil adalah orang yang bakhil terhadap salam". (HR.
al-Haitsami, dan at-Thabrani, dishahihkan Al-Albani).
5. Doa
adalah Obat yang Mujarab. Menurut Sayyid
Thanthawi, doa merupakan salah satu obat penawar. Karena doa adalah bentuk
zikir kita kepada Allah. Dengan berdikir seseorang akan mendapatkan ketenangan
dan kesehatan, baik jasmani maupun rahani.[6]
Berdasarkan penelitina Randolph Byrd, seorang
kardiolog dan mantan profesor Universitas California, secara empirik doa
memberikan pengaruh positif terhadap kesembuhan pasien. Dari sebanyak 393 pasien
di Rumah Sakit Umum San Fransisco, pasien yang didoakan menunjukkan keadaan
yang jauh lebih baik dari pada yang tidak didoakan. Mereka hanya membutuhkan
20% antibiotik daripada kelompok yang tidak didoakan yang kemungkinan terkena
pulmonary edema ‘paru-paru basah’ 30% lebih kecil. (lihat: www.dakwatuna.com).
Demikianlah kedudukan dalam kehidupan manusia. Sehingga tidak ada
satu makhlukpun yang merasa tidak butuh terhadap doa. Malaikat sebagai makhluk
suci yang terbebas dari syawat, ternyata juga berdoa memohon Allah, walupun
bukan untuk dirinya (QS: Ghofir:7-9). Begitupula Iblis,
sebagai makhluk yang paling sombong dan terlaknat, juga tidak mampu membebaskan
diri dari berdoa memohon Allah. (QS: Al-Hijr:36
dan Shad:79).
Sungguh Allah maha kaya, sekalipun seluruh makluk alam semesta ini berkumpul
berada dalam satu tempat untuk meminta kepada Allah, kemudian Allah mengabulkan
seluruh permintaannya, maka tidaklah itu semua mengurangi apa yang dimiliki
Allah kecuali seperti kurangnya air lautan samudra dari celupan jarum. (HR.
Muslim, Hadist Qudsy). Imam Syafi'I rahimahullah,
berkata dalam syairnya: Apakah kamu melecehkan dan meremehkan do'a. Kamu tidak
tahu rahasia yang terkandung dalam berdo'a, Panah di malam hari tidak bisa
ditelusuri. Namun semua pasti mempunyai batas akhir.[7]
Doa kita agar tidak tertolak atau sia-sia, ada beberapa syarat dan
adab berdoa yang perlu diperhatikan. Diantaranya adalah: Harus Ikhlas Ketika
Berdoa. Berdoalah
dengan penuh keihlasan kepada Allah. Ikhlas menjadi syarat utama agar doa
didengar oleh Allah SWT. Abdullah bin Masud berkata bahwa, “Allah tidak
mendengar doa seseorang yang berdoa karena sum'ah, riya' dan main-main tetapi
Allah menerima orang yang berdoa dengan ikhlas dari lubuk hatinya".
(HR. al-Bukhori). Berdoalah Sesuai Syariah. Karean doa adalah ibadah
maka harus memperhatikan tata-cara berdoa yang sesuai syariah. Dalam hal ini
banyak orang tertipu oleh syetan, dengan mengatakan bahwa banyak orang yang
mempraktekkan tatacara klenek dalam berdoa, malah manjur terkabulkan apa yang
ia harapakan. Tentu ini adalah tipuan setan. Harus Mengkomsumsi dari Yang
Halal. Karena dengan mengkomsumsi yang tidak halal akan menghalangi
terkabulnya doa. (HR. Muslim). Jangan “mendekte” Allah SWT. Artinya,
men-dateline- agar segera dikabulkan pemintaanya. Rasulullah SAW. Dalam
sabdanya, “Akan dikabulkan permintaan seseorang di antara kamu, selagi tidak
tergesa-gesa, yaitu mengatakan : Saya telah berdoa tetapi belum dikabulkan".(HR.
Bukhari Muslim). Jangan Berdoa Untuk Sesuatu yang Dosa. Rasulullah saw
menjelaskan bahwa, “Apabila seorang muslim berdoa dan tidak memohon suatu
yang berdosa atau pemutusan kerabat kecuali akan diakabulkan oleh Allah.
(HR. Turmudzi). Konsentrasi dan Yakin Atas
Terkabulnya doa. Rasulullah menganjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa dan
memohon perkara-perkara yang besar dan mulia, karena Allah tidak ada sesuatu
pun yang besar bagi-Nya dari apa yang telah dianugrahkan. (HR. Muslim ). Menegakkan
Amar ma’ruf Nahi munkar. mengembalikan hak-hak orang yang didholimi dan
bertaubat kepada Allah.
Disamping itu, termasuk beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
berdoa: 1-Menghadap kearah Qiblat (HR.
Al-Bukhari), 2- memanjatkan do’a tiga kali (HR. Abu Daud). Dan diutamakan dalam
keadaan suci (HR. Al-Bukhori). 3-Mengawali dan menutup doa dengan pujian dan
sanjungan kepada Allah, lalu diikuti dengan bacaan shalawat dan diakhiri
dengannya. (HR.Turmudzi). 4-Melirihkan suara ketika berdo’a, yaitu antara samar
dan keras. (QS. Al-A’raaf: 55, 205 Maryam:3). 5- Mengangkat kedua tangan dalam
do’a (HR. Al-Bukhari, Abu Daud). 6-Dan jika berdoa sendirian hendaklah berdoa
memulai untuk dirinya baru untuk orang lain (HR. Turmudzi). 7- Merendahkan diri, khusyu’, berharap untuk
dikabulkan dan adanya rasa takut untuk tidak dikabulkan (QS. Al-Anbiyaa’: 90).
8- Dan menangis (HR.Muslim). 9- Serta menutup doa dengan perkataan Amiin (HR.
Abu Daud).
Demikianlah beberapa hal yang berhubungan dengan
doa permohonan kita kepada Allah. Inti untuk terkabulnya doa adalah ketaatan
kepada Allah. Sebagiamana Allah janjikan dalam kalam-Nya, “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (al-Baqarah: 186).
Dalam
ayat ke lima ini, Allah menegaskan kepada hamba-hamba-Nya untuk tidak
menyekutukan-Nya dengan apapun. Baik dalam maqom ubudiyah dan maqom
isti`anah. Karena keduanya adalah hak Allah Tuhan semesta alam. Makhluk
apapun tidak berhak mendapatkanya atau mengklaimnya. Oleh karena itu Islam
mengharamkan praktek perdukunan dan paranormal, baik dalam bentuk klasik maupun
modern. Karena mereka mengklaim atau merasa memiliki ubudiyah dan maqom
isti`anah. Dan ini adalah bertentangan dengan makna tauhid dan ihlash.
Disamping
itu, perlu dipahami bahwa ketika kita melakukan sebuah ibadah, tentu ibadah
tersebut tidak “hanya” untuk memuaskan rongga batin yang sangat sulit di ukur
dan dibuat data statistis. Layaknya laporan keuangan yang mudah dimanipulasi
dalam simbul angka yang penuh teka-teki. Ritual ibadah yang dimaksudkan Allah
tidak hanya untuk diri dan Nya saja, tetapi ritual yang mampu membawa kepada
perubahan diri dan sosial. Karena Tuhan tidak membutuhkan apapun dari diri
kita. Allah maha kaya, dan seluruh makhluq di alam semesta semuanya fakir,
butuh kepadanya (QS. 35:15). Artinya kita jangan sampai salah pengertian ketika
melaksanakan ibadah itu berarti Allah butuh kepada kita. Tentu tidak. Ibadah
itu dimaksudkan adalah untuk kita sendiri. Baik untuk kehidupan dunia dan
akherat. Untuk akherat jelas kita semua mengaharapkan kehidupan yang lebih baik
dari kehidupan dunia ini. Yaitu surga yang penuh dengan kebaikan. Adapun untuk
kehidupan didunia, maka hal itu perlu perlu kita sikapi kembali. Jangan sampai
ibadah yang kita lakukan hanya sekedar ritual simbulitas yang tidak membawa
perubahan kebaikan dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Kita
ambil contoh ibadah shalat, di dalam sholat kita diajarkan tentang nilai “muraqomatullah”
(baca; pengawasan Allah) kepada hambanya. Selalu ingat atas pengawasan Tuhannya
yang tidak pernah tidur (QS.20:14 ). Karena manusia itu lemah (QS.4:28) dan
mudah tergoda serta tertipu dengan berbagai fatamorgana dunia (QS.3:14), maka
diperlukan dalam pengaksesan “muraqomatullah” sesering mungkin, minimal
lima kali dalam sehari. Individu yang mampu mengakses “muraqomatullah”
dengan baik dan sempurna dalam shalatnya, kemudian mampu mentranformasikan
dalam swamuraqobah dan sosialmuraqobah (baca:pengawasan sosial)
dalam pekerjaannya, maka sudah bisa dipastikan ibadah itu akan menjelma menjadi
ibadah anti korupsi. Bagaimana tidak, ketika seseorang ada niatan untuk melakukan korupsi, ia akan selalu
merasa diawasi, baik oleh dirinya, sosialnya dan Tuhan-Nya.
Dengan
melaksanakan dan memahami ibadah secara benar, maka dengan izin Allah bebagai
keinginan dan kebutuhan kita akan dipenuhi oleh Allah. Karena itu dalam ayat
ini, maqom ubudiyyah (إِيَّاكَ
نَعْبُدُ) didahulukan atas moqom isti`nah (وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ).
Disamping karena ibadah adalah merupakan sebuah tujuan, sedangkan memohon
pertolongan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka didahulukan yang
lebih penting dari yang penting.[8]
[1] - lih: al-Mishbaah al-Muniir
Fii Tadzhibi Tafsir Ibni Katsir, Jama`ah minal Ulama, h. 24.
[2] - Jami` al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab, h. 13.
[3] - Lih: Sia-Siakah
Shalat Anda, Abu Anas Karim Fadhlullah
al-Maqdisy, hh. 119-120.
[4] - Ihya`
Ulumuddin, Al-Ghzali, h. 1/151
[5] - al-Mishbaah al-Muniir Fii
Tadzhibi Tafsir Ibni Katsir, Jama`ah minal Ulama, h. 24.
[6]- Jawami` al-Dua min al-Qur`an wa Al-Sunnah,
Sayyid al-Thantawi, hh .18-20
[7] - Diwan Imam Syafii`,
Maktabah Syamilah, hal: 3
[8] -lih: al-Mishbaah al-Muniir Fii
Tadzhibi Tafsir Ibni Katsir, Jama`ah minal Ulama, h. 24.
Komentar
Posting Komentar