Tafsir Al-Fatihah (ayat 5) - TERLENGKAP

     Dr. KH. Moh. Abdul Kholiq Hasan Lc.MA.M.Ed 


5-     إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami sembah,

dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan

Setelah Allah swt. menegaskan dalam tiga ayat sebelumnya tetang keagungan dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya dan kekuasaan mutlaq yang dimiliki-Nya atas seluruh ciptaan-Nya, dalam ayat ini Allah mengajak kepada para hamba-Nya untuk hanya menyembah kepada Allah dan memohon kepada-Nya. Dengan kata lain, bahwa yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan itu adalah yang memiliki sifat sempurna, Ia mampu menciptakan, memelihara, mendidik, menyayangi dan memiliki serta menguasai seluruh ciptaan-Nya. Tanpa sedikitpun membutuhkan bantuan kepada siapapun. Dan itu tidak ada kecuali Tuhan Allah swt. Perintah untuk menyembah dan meminta kepadanya bersifat terus menerus dan dalam kondisi apapaun sampai manusia kembali kepada-Nya. Sebagaimana dapat dipahamai dari penggunaan Fiil Mudhari` (kata kerja yang menunjukan sebuah pekerjaan sedang berlangsung) yang terdapat dalam kata (نَعْبُدُ) dan (نَسْتَعِينُ). Sebagaiamana kedua fiil tersebut menggunkan kata ganti pertama jama` (kita), memberikan isyarat, pentingnya orang mukmin untuk selalu bersama dalam beramal sholeh. Karena dalam kebersamaan itulah berbagai keberkahan akan diperoleh.


(إِيَّاكَ نَعْبُدُ) Hanya Engkaulah yang kami sembah. Redaksi semacam ini dalam bahasa Arab, memiliki makna pengkhususan ibadah itu hanya kepada Allah. Karena ibadah tidak lain adalah ketunduaan, kehinaan dan penghambaan mutlaq kepada yang disembah. Kondisi semacam itu oleh ulama dkenal dengan istilah Maqom ubudiah”. Atau dalam istilah lain disebut dengan  Tauhid uluhiyyah”.[1] Yaitu sebuah kondisi dimana manusia sebagai hamba Allah SWT. harus patuh tunduk atas segala yang menjadi keputusan-Nya. Baik dalam posisi senang atau sedih, suka atau duka, longgar atau sempit. Ketundukan yang mutlaq tanpa batas atau protes. Maqom yang menempatkan Allah SWT sebagi satu-satunya sesembahan yang berhak untuk disembah.

Dalam pandangan Islam, hidup mati manusia adalah untuk pengabdian diri kepada Allah SWT. Sebagaimana Allah kalamkan "Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (al-An`am: 162). Dalam ayat lain, ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". (Adz-Dzariyat:56). Islam tidak hanya mengurusi ibadah ritual, melainkan juga ibadah sosial. Dan ternyata kalau kita teliti, ibadah sosial mendapatkan porsi yang paling banyak dalam prkateksnya. Hal ini terlihat ketika Rasulullah berbicara tentang aqidah, beliau menegaskan bahwa Iman itu tuju puluh lebih cabangnya, yang paling tinggi syahadat sedang yang paling rendah menyingkirkan duri dari jalanan (HR. Ibnu majah). Dengan demikian semua kehidupan manusia dan segala aktifitasnya dalam pandangan Islam dapat bernilai sebagai ibadah jika sesuai dengan syaratnya.

Semua aktifitas manusia baik berupa ibadah ritual maupun sosial atau lainnya akan bernilai disisi Allah jika memenuhi dua syarat. Pertama, Ihlas hanya karena Allah. Ihlas ini letaknya dalam hati dan teraktualisasi dalam bentuk niat karena Allah dalam melaksanakan ibadah. Ihklas ini bisa gagal jika diam-diam ternyata ada niatan terselinap dalam hati kita yang bukan karena Allah. Ada riya`. Ada pengharapan penghargaan selain dari Allah. Ingin dilihat, ingin dipuji, ingin disebut-sebut dll. Oleh karena itu riya` dan sejenisnya adalah salah satu bentuk dari kesyirikan yang sangat dibenci oleh Allah. Sudah barang tentu ibadah semacam itu akan tertolak dan akan menjerumuskan pemiliknya kedalam api neraka. Karena itu niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya amal jadi rusak karena niat yang rusak. Berkata Ibnul Mubarak: "Berapa banyak amalan yang sedikit bisa menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan yang besar bisa bernilai kecil karena niatnya".[2]

Syarat kedua, harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah  saw bagi amal ibadah makhdhoh (ritual) dan tidak bertentangan dengan syariat Islam jika amalan tersebut dalam kategori mubah. Ibadah makhadhoh seperti shalat misalnya, menjadi tidak diterima oleh Allah jika dalam melaksanakannya tidak sesui dengan ajaran Nabi saw, walaupun dalam menjalankannya dengan penuh ihlas. Karena semua ibadah makhdhoh termasuk shalat itu sifatnya tauqifi, artinya berdasarkan petunjuk Allah dan Rasul-nya. Dan hukum asal Ibadah hukumnya adalah haram sampai ada dalil yang membolehkan. Sedangkan yang berhubungan dengan maslahah urusan dunia asal hukumnya adalah mubah, sampai ada dalil yang mengharamkan. Rasulullah bersabda, “Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim).

 

Ibadah tersebut tertolak karena dianggap bid`ah. Bid'ah dalam terminologi bahasa adalah setiap hal baru yang tidak seperti sebelumnya. Adapun  dalam terminologi syari'at adalah setiap ibadah yang diada-adakan oleh manusia tapi tidak ada asalnya dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. (www.almanhaj.or.id). Jadi hakekat bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia dalam bentuk-bentuk ibadah, bisa dengan mengurangi atau menambah. Mengikuti tata-cara nabi dalam melaksanakan ibadah makhdhah, selian menjadi syarat diterimanya amal, menjadi bukti cinta kita kepada Allah dan Rasulnya. (Ali Imran:31), mendapatkan keselamatan, ketenangan hati dalam menjalankan ibadah dan mendapatkan Syafaat Rasulullah dan keridlo`an Allah.

 

Sedangkan ibadah selain ritual, seperti makan, minum, berjalan-jalan, selama itu aktifitas mubah dan tidak dilarang oleh syariat serta tidak menjadikan tertinggalnya ibadah wajib, maka dapat pahala disisi Allah dan dinilai sebgai amalan ibadah jika dilakukan dengan niatan ibadah dan mencari ridho Allah. Disinilah letak niat yang bisa merubah status sebuah ibadah mubah menjadi sunnah dan wajib bahkan haram. Semua tergantung niatnya. Jadi, Ibadah dalam kehidupan seorang muslim adalah kehidupan keseluruhannya, seluruh aktifitasnya, tinggal butuh niat dan tidak dilarang syara`.

 

Sebagaimana telah disebutkan diatas, sebuah aktifitas manusia dapat diterima dan dinilai sebagai amalan ibadah di sisi Allah jika dilakukan sesuai dengan aturan syariah dan dengan penuh keihlasan. Diantara tanda-tanda tersebut adalah: [3]

Pertama; Hanya Mencari ridho Allah, Bukan Kepentingan Duniawi. Menjalankan shalat hanya semata mencari ridho Allah. Bukan karena adanya kepentingan duniawi ia menjalankan shalat. Tetap istiqomah, baik dalam saat sulit ataupun mudah. Tidak hanya rajin shalat ketika dalam kondisi tercepit. Namun dalam kondisi apapun ia selalu mendirikan shalat. Shalat yang demikian inilah yang akan mampu menjadi solusi utama dalam menghadapi berbagai gejolak jiwa. Sebagaimana Allah firmankan, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.  Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya” (QS. Al-Ma`arij: 20-23).

Kedua; Sama antara ketika dipuji atau dicela. Ini terlihat dari pendirian shalat ketika sendirian dirumah atau berjamah bersama orang. Kualitasnya tetapa sama. Bacaan dan pakaiannya yang dipakai standarnya sama. Minimal tidak jauh beda. Sikap semacam ini beda dengan orang munafik. Dimana ketika mereka didepan orang shalatnya dibagus-baguskan, namun ketika sendirian mereka malas-malasan. Bahkan tidak jarang meninggalkan kewajiban shalat. Allah berkalam, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya (QS. Al-Maa`un: 4-6).

Ketiga; Tidak pernah merasa Sempurna. Seorang yang berbuat ikhlas selalu menuduh dirinya serba kurang.  Ia tidak pernah merasa sempurna dalam melaksankan ibadah. Inilah yang tercermin dari sikap para utusan Allah dan ulama salaf. Lihatlah, Nabi Ibrahim bersama putranya Ismail ketika selesai berhasil membangun ka`bah, mereka berdoa memohan Allah untuk diterima amalnya dan diampuni dosanya jika ada kekurangan dalam menjalankan amanah.

Dikisahkan oleh Imam Ghozali, bahwa Hatim al-`Asham ketika ditanya untuk melukiskan shalatnya, ia berkata, “Bila datang waktu shalat aku berwudlu dengan sesempurna mungkin, pergi ke tempat shalatku dan duduk disitu sampai tenang seluruh anggota tubuhku. Setelah itu aku bangkit dan memulai shalatku. Kujadikan Ka`bah diantara kedua mataku, shirat (jembatan ke surag) aku jadikan dibawah telapak kakiku, surga disisi kananku, neraka disisi kiriku dan malakul maut di belakngku. Kuperkirakan ini sebagai shalatku yang terakhir dan akupun berdiri diantara harapan dan kecemasan aku bertakbir dengan hati yang mantap, dan membaca ayat-ayat al-Qur`an dengan tartil, kemudian aku mulai ruku` dengan hati merunduk dan bersujud dengan penuh khusyu`, duduk diatas bagian tubuhku sebelah kiri, menjadikan punggung kakiku sebagai alas, sambil menegakkan kaki kananku diatas ibu jarinya. Kulakukan semunya itu dengan penuh keikhlasan dan setelah itu aku pun tidak tahu apakah shalatku diterima atau tidak?”[4].


(وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين) dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Dalam redaksi ini juga menunjukan pengkhususan permohonan hanya tertuju kepada Allah. Hal ini dikenal dengan “Maqom isti`anah” atau dalam istilah lain “Tauhid rububiyyah”.[5] Dimana manusia menggantungkan segala masalahnya, usahanya, ikhtiyarnya, permohonannya dan segala doanya hanya kepada Allah SWT semata. Kepada Allah-lah tempat meminta apa saja, kapan saja dan dimana saja. Allah adalah satu-satunya dzat yang menciptakan, mengatur dan memelihara seluruh alam semesta. Karenanya, Allah senang jika hambanya meminta kepada-Nya dan marah jika hambanya tidak meminta kepada-Nya. Hanya manusia bodoh dan sombong yang tidak mau memohon kepad-Nya

Diantara bentuk permohonan kita kepada Allah adalah dengan berdoa. Doa merupakan salah satu karunia terbesar yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Dia-lah yang mengajari hambanya bagaimana seorang hamba mengadu dan meminta kepada-Nya. Doa adalah ketundukan dan kefakiran seorang hamba untuk memohon kepada dzat Yang Maha Agung, agar dikabulkan segala kebaikan yang diinginkan dan dijauhkan serta diselamatkan dari berbagai hal yang tidak diinginkan. Dan inti doa adalah pengakuan hamba akan kebutuhan dan pertolongan-Nya.

Doa merupakan titik temu terdekat antara hamba dengan tuhannya. Doa adalah senjata, benteng, obat dan pintu segala kebaikan. Karena itu termasuk orang yang sombong adalah mereka yang menyia-nyiakan doa. Padahal doa merupakan pantulan keluasan rahmat Allah yang dicurahkan kepada para hamba-Nya. Maka sunguh ironis apabila kita termasuk orang yang menyai-nyiakan rahmat tersebut, hanya karena ketidak pahaman kita kepada eksistensi, kedudukan dan fungsi doa dalam kehidupan manusia.

Keutamaan doa dalam Islam sangatlah agung dan penting. Banyak ayat-ayat al-Qu`an dan Sunnah nabawiah yang menjelaskan tentang keutamaan dan keagungan doa. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1.   Doa Ibadah yang diperintahkan oleh Allah. Sebagaimana dalam kalam-Nya, “Berdo'alah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu, Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”.(Ghofir:60).

2.   Doa Ibadah yang Paling Mulia di sisi Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada sesuatu yang paling mulia di sisi Allah daripada doa". (HR. At-Timidzi dan Ahmad). 

3.   Doa Mampu Menolak Taqdir. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, Rasulullah saw. bersabda: Putusan atau qadha’ Allah tidak bisa ditolak kecuali dengan doa. Dan tidak ada sesuatu yang bisa menambah umur kecuali kebaikan atau al-birr.”(HR. Turmudzi dan Hakim).

4.   Orang yang paling lemah adalah Orang yang Meningalkan Doa. Rasulullah SAW bersabda, “ Orang yang lemah adalah orang yang meninggalkan berdoa dan orang yang paling bakhil adalah orang yang bakhil terhadap salam". (HR. al-Haitsami, dan at-Thabrani, dishahihkan Al-Albani).

5.    Doa adalah Obat yang Mujarab.  Menurut Sayyid Thanthawi, doa merupakan salah satu obat penawar. Karena doa adalah bentuk zikir kita kepada Allah. Dengan berdikir seseorang akan mendapatkan ketenangan dan kesehatan, baik jasmani maupun rahani.[6]

Berdasarkan penelitina Randolph Byrd, seorang kardiolog dan mantan profesor Universitas California, secara empirik doa memberikan pengaruh positif terhadap kesembuhan pasien. Dari sebanyak 393 pasien di Rumah Sakit Umum San Fransisco, pasien yang didoakan menunjukkan keadaan yang jauh lebih baik dari pada yang tidak didoakan. Mereka hanya membutuhkan 20% antibiotik daripada kelompok yang tidak didoakan yang kemungkinan terkena pulmonary edema ‘paru-paru basah’ 30% lebih kecil. (lihat: www.dakwatuna.com).

Demikianlah kedudukan dalam kehidupan manusia. Sehingga tidak ada satu makhlukpun yang merasa tidak butuh terhadap doa. Malaikat sebagai makhluk suci yang terbebas dari syawat, ternyata juga berdoa memohon Allah, walupun bukan untuk dirinya (QS: Ghofir:7-9). Begitupula Iblis, sebagai makhluk yang paling sombong dan terlaknat, juga tidak mampu membebaskan diri dari berdoa memohon Allah. (QS: Al-Hijr:36 dan Shad:79). Sungguh Allah maha kaya, sekalipun seluruh makluk alam semesta ini berkumpul berada dalam satu tempat untuk meminta kepada Allah, kemudian Allah mengabulkan seluruh permintaannya, maka tidaklah itu semua mengurangi apa yang dimiliki Allah kecuali seperti kurangnya air lautan samudra dari celupan jarum. (HR. Muslim, Hadist Qudsy).  Imam Syafi'I rahimahullah, berkata dalam syairnya: Apakah kamu melecehkan dan meremehkan do'a. Kamu tidak tahu rahasia yang terkandung dalam berdo'a, Panah di malam hari tidak bisa ditelusuri. Namun semua pasti mempunyai batas akhir.[7]

Doa kita agar tidak tertolak atau sia-sia, ada beberapa syarat dan adab berdoa yang perlu diperhatikan. Diantaranya adalah: Harus Ikhlas Ketika Berdoa. Berdoalah dengan penuh keihlasan kepada Allah. Ikhlas menjadi syarat utama agar doa didengar oleh Allah SWT. Abdullah bin Masud berkata bahwa, “Allah tidak mendengar doa seseorang yang berdoa karena sum'ah, riya' dan main-main tetapi Allah menerima orang yang berdoa dengan ikhlas dari lubuk hatinya". (HR. al-Bukhori). Berdoalah Sesuai Syariah. Karean doa adalah ibadah maka harus memperhatikan tata-cara berdoa yang sesuai syariah. Dalam hal ini banyak orang tertipu oleh syetan, dengan mengatakan bahwa banyak orang yang mempraktekkan tatacara klenek dalam berdoa, malah manjur terkabulkan apa yang ia harapakan. Tentu ini adalah tipuan setan. Harus Mengkomsumsi dari Yang Halal. Karena dengan mengkomsumsi yang tidak halal akan menghalangi terkabulnya doa. (HR. Muslim). Jangan “mendekte” Allah SWT. Artinya, men-dateline- agar segera dikabulkan pemintaanya. Rasulullah SAW. Dalam sabdanya, “Akan dikabulkan permintaan seseorang di antara kamu, selagi tidak tergesa-gesa, yaitu mengatakan : Saya telah berdoa tetapi belum dikabulkan".(HR. Bukhari Muslim). Jangan Berdoa Untuk Sesuatu yang Dosa. Rasulullah saw menjelaskan bahwa, “Apabila seorang muslim berdoa dan tidak memohon suatu yang berdosa atau pemutusan kerabat kecuali akan diakabulkan oleh Allah. (HR. Turmudzi). Konsentrasi dan Yakin Atas Terkabulnya doa. Rasulullah menganjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa dan memohon perkara-perkara yang besar dan mulia, karena Allah tidak ada sesuatu pun yang besar bagi-Nya dari apa yang telah dianugrahkan. (HR. Muslim ). Menegakkan Amar ma’ruf Nahi munkar. mengembalikan hak-hak orang yang didholimi dan bertaubat kepada Allah.

Disamping itu, termasuk beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berdoa: 1-Menghadap kearah Qiblat  (HR. Al-Bukhari), 2- memanjatkan do’a tiga kali (HR. Abu Daud). Dan diutamakan dalam keadaan suci (HR. Al-Bukhori). 3-Mengawali dan menutup doa dengan pujian dan sanjungan kepada Allah, lalu diikuti dengan bacaan shalawat dan diakhiri dengannya. (HR.Turmudzi). 4-Melirihkan suara ketika berdo’a, yaitu antara samar dan keras. (QS. Al-A’raaf: 55, 205 Maryam:3). 5- Mengangkat kedua tangan dalam do’a (HR. Al-Bukhari, Abu Daud). 6-Dan jika berdoa sendirian hendaklah berdoa memulai untuk dirinya baru untuk orang lain (HR. Turmudzi).  7- Merendahkan diri, khusyu’, berharap untuk dikabulkan dan adanya rasa takut untuk tidak dikabulkan (QS. Al-Anbiyaa’: 90). 8- Dan menangis (HR.Muslim). 9- Serta menutup doa dengan perkataan Amiin (HR. Abu Daud).

Demikianlah beberapa hal yang berhubungan dengan doa permohonan kita kepada Allah. Inti untuk terkabulnya doa adalah ketaatan kepada Allah. Sebagiamana Allah janjikan dalam kalam-Nya, “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (al-Baqarah: 186).


Dalam ayat ke lima ini, Allah menegaskan kepada hamba-hamba-Nya untuk tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Baik dalam maqom ubudiyah dan maqom isti`anah. Karena keduanya adalah hak Allah Tuhan semesta alam. Makhluk apapun tidak berhak mendapatkanya atau mengklaimnya. Oleh karena itu Islam mengharamkan praktek perdukunan dan paranormal, baik dalam bentuk klasik maupun modern. Karena mereka mengklaim atau merasa memiliki ubudiyah dan maqom isti`anah. Dan ini adalah bertentangan dengan makna  tauhid dan ihlash.

Disamping itu, perlu dipahami bahwa ketika kita melakukan sebuah ibadah, tentu ibadah tersebut tidak “hanya” untuk memuaskan rongga batin yang sangat sulit di ukur dan dibuat data statistis. Layaknya laporan keuangan yang mudah dimanipulasi dalam simbul angka yang penuh teka-teki. Ritual ibadah yang dimaksudkan Allah tidak hanya untuk diri dan Nya saja, tetapi ritual yang mampu membawa kepada perubahan diri dan sosial. Karena Tuhan tidak membutuhkan apapun dari diri kita. Allah maha kaya, dan seluruh makhluq di alam semesta semuanya fakir, butuh kepadanya (QS. 35:15). Artinya kita jangan sampai salah pengertian ketika melaksanakan ibadah itu berarti Allah butuh kepada kita. Tentu tidak. Ibadah itu dimaksudkan adalah untuk kita sendiri. Baik untuk kehidupan dunia dan akherat. Untuk akherat jelas kita semua mengaharapkan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan dunia ini. Yaitu surga yang penuh dengan kebaikan. Adapun untuk kehidupan didunia, maka hal itu perlu perlu kita sikapi kembali. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan hanya sekedar ritual simbulitas yang tidak membawa perubahan kebaikan dalam kehidupan pribadi maupun sosial.

Kita ambil contoh ibadah shalat, di dalam sholat kita diajarkan tentang nilai “muraqomatullah” (baca; pengawasan Allah) kepada hambanya. Selalu ingat atas pengawasan Tuhannya yang tidak pernah tidur (QS.20:14 ). Karena manusia itu lemah (QS.4:28) dan mudah tergoda serta tertipu dengan berbagai fatamorgana dunia (QS.3:14), maka diperlukan dalam pengaksesan “muraqomatullah” sesering mungkin, minimal lima kali dalam sehari. Individu yang mampu mengakses “muraqomatullah” dengan baik dan sempurna dalam shalatnya, kemudian mampu mentranformasikan dalam swamuraqobah dan sosialmuraqobah (baca:pengawasan sosial) dalam pekerjaannya, maka sudah bisa dipastikan ibadah itu akan menjelma menjadi ibadah anti korupsi. Bagaimana tidak, ketika seseorang ada niatan  untuk melakukan korupsi, ia akan selalu merasa diawasi, baik oleh dirinya, sosialnya dan Tuhan-Nya.


Dengan melaksanakan dan memahami ibadah secara benar, maka dengan izin Allah bebagai keinginan dan kebutuhan kita akan dipenuhi oleh Allah. Karena itu dalam ayat ini, maqom ubudiyyah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) didahulukan atas moqom isti`nah (وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ). Disamping karena ibadah adalah merupakan sebuah tujuan, sedangkan memohon pertolongan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka didahulukan yang lebih penting dari yang penting.[8]



[1] - lih: al-Mishbaah al-Muniir Fii Tadzhibi Tafsir Ibni Katsir, Jama`ah minal Ulama,  h. 24.

[2] - Jami` al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab, h. 13.

[3] - Lih: Sia-Siakah Shalat Anda, Abu Anas Karim Fadhlullah al-Maqdisy, hh. 119-120.

[4] - Ihya` Ulumuddin, Al-Ghzali, h. 1/151

[5] - al-Mishbaah al-Muniir Fii Tadzhibi Tafsir Ibni Katsir, Jama`ah minal Ulama, h. 24.

 

[6]- Jawami` al-Dua min al-Qur`an wa Al-Sunnah, Sayyid al-Thantawi, hh .18-20

[7] - Diwan Imam Syafii`, Maktabah Syamilah, hal: 3

 

[8] -lih: al-Mishbaah al-Muniir Fii Tadzhibi Tafsir Ibni Katsir, Jama`ah minal Ulama,  h. 24.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 31-32

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 20-21