Tafsir Al-Fatihah (ayat 3) - TERLENGKAP

   Dr. KH. Moh. Abdul Kholiq Hasan Lc.MA.M.Ed      


3-الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”

Kata (الرَّحْمَنِ) dan (الرَّحِيمِ) merupakan nama-nama Allah yang agung. Di dalam al-Qur`an kata ar-Rahmaan diulang sebanyak 57 kali, sedang kata ar-Rahiim diulang sebanyak 95 kali. Menurut pakar bahasa Ibnu Faris (w.395 H). Semua kata yang terdiri dari ra`-ha`-mim mengnadung makna kelemah lembutan, kasih sayang dan kehalusan. Hubungan silaturrahim adalah hubungan kasih sayang. Dan rahim adalah kandungan yang melahirkan kasih sayang. Hubungan kerabat dinamai rahim, karena kasih sayang yang terjalin antar anggotanya. [1]


Sebagian pendapat mengatakan bahwa kata ar-Rahmaan tidak memiliki asal kata. Ini terbuki bahwa kata tersebut tidak dikenal oleh orang-orang musyrik Qurasy. Mereka mempertanyakan siapa itu ar-Rahmaan (Qs. Al-Furqon: 60). Begitu pula ketika Rasulullah saw memerintah menulis Basmalah, delegasi kafir Qurasy menolak dengan mengatakan, “Kami tidak mengenal بسم الله الرحمن الرحيم  tetapi tulislah باسمك اللهم  (dengan nama-Mu Ya Allah). Namun menurut kebanyakan ulama, kedua kata tersebut memiliki asal kata dasar yang sama yaitu (رحمة) . Dengan alasan bahwa wazan (timbangan) kata tersebut dikenal oleh bahasa Arab. Rahmaan setimbang dengan fa`lan (فعلان) sedangkan Rahiim setimbang dengan (فعيل). Timbangan (فعلان) biasanya menunjukkan kepada kesempurnaan atau kesementaraan sedangkan (فعيل) menunjukkan kesinambungan dan kemantapan. Sebab itulah kata Rahmaan tidak memiliki jama` (prular) karena kesempurnaannya dan tidak ada yang pantas dinamai oleh Rahmaan kecuali Allah. Berbeda dengan kata Rahiim yang memiliki kata jama` (رحماء) dan juga menjadi sifat Allah dan makhluknya. Seperti dalam kalam Allah, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang (رَحِيمٌ) terhadap orang-orang mukmin. (Qs. At-Taubah:128).

Sifat kasih sayang yang dimiliki antara Allah dengan makhluk-Nya sungguh berbeda. Kasih sayang makhluk muncul akibat rasa pedih yang dialami oleh jiwanya sehingga terdorong untuk berbuat sayang kepada lainnya. Hal ini berbeda dengan sifat kasih sayang Allah yang memang lahir dari sifat-Nya yang Maha Kasih Sayang. Sebagai contoh, dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ra berkata Rasulullah bercerita, “Pada suatu ketika ada seekor anjing mengelilingi sebuah sumur, anjing itu hampir mati kehausan. Tiba-tiba dia terlihat oleh seorang wanita pelacur bangsa Yahudi. Maka dibukanya sepatu botnya kemudian dicedoknya air dengan sepatunya lalu diberinya minum anjing yang hampir mati itu. Maka Allah mengampuni dosa-dosa wanita itu.” (HR. Muslim).

Dalam hadits diatas, terlihat bahwa perasaan kasihan terhadap anjing, tidak luput dari rasa pedih yang dialami oleh jiwa Pelacur. Sehingga rasa tersebut mendorongnya untuk mencurahkan rahmat (kebaikan, dengan memberi minum) kepada yang dirahmati (Anjing). Rahmat semacam ini adalah rahmat yang tidak sempurna, karena ketika ia mencurahkan rahmatnya, ia juga berusaha untuk menghilangkan kepedihannya. Artinya, ia memberikan sesuatu karena ada kepentingan yang ingin ia dapatkan. Tentu hal itu mengurangi kesempuranaan makna rahmat yang seharusnya tidak disertai dengan kepentingan diri dan tidak pula untuk menghilangkan rasa pedih, tetapi semata-mata demi kepentingan yang dirahmati. Dan rahmat seperti itu tidak lain kecuali rahmat Allah.[2]


Sebagaimana telah dibahas diatas, kebanyakan para ulama menyatakan bahwa antara kata rahman dan rahim memiliki kata dasar yang sama yaitu rahmah. Pertanyaaannya adalah apa perbedaan kedua sifat ar-rahman dan ar-rahiim yang dimiliki Allah tersebut. Karena berdasarkan kaidah bahasa yang berbunyi “Tambahan suatu bentuk kata, menunjukkan tambahan terhadap makna”, maka antara kedua kata tersebut memiliki perbedaan makna. Dari perbagai pendapat yang telah membahas perbedaan antara kedua sifat tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa[3]:

1-      Ar-Rahman menunjukkan sifat rahmat pada zat Allah. Sifat ini menunjukkan bahwa Allah adalah Maha Pengasih terhadap seluruh makhluk-Nya, rahmat yang penuh dan sempurna tetapi sifatnya sementara. Artinya Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada semua makhluk secara menyeluruh semua manusia, mukmin atau kafir, serta seluruh makhluk di alam raya, namun hanya sementara ketika didunia saja.

2-      Sedangakan Ar-Rahim menunjukkan bahwa sifat rahmat-Nya terkait dengan makhluk yang dirahmati-Nya (sifat pekerjaan Allah). sifat Ar-Rahim ini menunjukkan kemantapan dan kesinambungan rahmat-Nya sampai di akhirat kelak, dan hanya hanya akan diberikan kepada kaum mukminin.

Terlepas dari perbedaan yang ada, kedua sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim ini menunjukkan keluasan rahmat Allah bagi seluruh alam semesta. Sebagaimana Allah kalamkan, Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu” (QS. Al A’raaf  7:156). Dan sabda Rasulullah saw bahwa:’Allah swt menjadikan rahmat (kebaikan) itu seratus bagian, disimpan disisiNya sembilan puluh sembilan dan diturunkanNya ke bumi ini satu bagian; yang satu bagian inilah yang dibagi pada seluruh makhluk, (yang tercermin antara lain) pada seekor binatang yang mengangkat kakinya dari anaknya, terdorong oleh rahmatnya, kuatir jangan sampai menyakitinya (menginjak anaknya). (HR. Muslim).

Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda : “Tatkala menciptakan makhluk, Allah ta’ala telah menulis dalam buku yang tersimpan di Arasy, “Sesungguhnya rahmat-Ku lebih besar daripada murka-Ku”. (HR. Muslim).

Sehingga ketika Allah menyatakan dalam ayat sebelumnya sebagai “Rabbul `Alamin”, itu artinya, Allah tidak sekedar menciptakan dan memelihara alam semesta, namun juga mencurahkan kasih sayang-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Tanpa membedakan kafir atau mukmin, hewan atau manusia, semua makhluk-Nya dapat merasakan kasih sayang Allah didunia ini. Dan kasih sayang Allah ini akan terus dicurahkan sampai ke ahkerat bagi mereka yang mau mengimani dan mentaati-Nya.

Di antara bentuk rahmah atau kasih sayang yang terdapat dalam nama ar-Rahman, adalah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk membimbing manusia demi kebahagiaan hidup mereka. Perhatian Allah untuk itu jelas lebih besar daripada sekedar perhatian Allah untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanam-tanaman dan biji-bijian di atas muka bumi ini. Tetesan air hujan akan membuahkan kehidupan tubuh jasmani bagi manusia. Adapun wahyu yang dibawa oleh para rasul dan terkandung di dalam kitab-kitab merupakan sebab hidupnya hati mereka. [4]

Oleh karena itu, orang yang ingin mendapatkan rahmat Allah yang sempurna di dunia dan di akherat maka dia harus tunduk kepada syari’at Rasul yang diutus kepadanya. Sehingga pada jaman sekarang ini -setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- siapa saja yang ingin masuk surga dia harus tunduk kepada ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah ada seorang pun di antara umat ini yang mendengar kenabianku, entah dia beragama Yahudi atau Nasrani, kemudian dia meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada ajaranku, melainkan dia pasti termasuk golongan penduduk neraka.” (HR. Muslim). Maka tidak ada pertentangan sama sekali antara sifat kasih sayang Allah dengan dimasukkannya orang kafir ke dalam neraka. (lih: http://abumushlih.com/ar-rahman-)


Mungkin diantara pembaca ada yang mempertanyakan, apa perbedaan الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ yang ada dalam Basmallah dengan yang ada dalam al-Fatihah. Apakah hanya sekedar pengulangan sebagaai penguatan makna yang terdapat dalam basmalah atau ada kandungan makna lainnya? Pendapat yang kuat menolak konsep pengulangan terdapat dalam al-Qur`an tanpa ada makna lain. Oleh karena itu menurut Syaikh Sya`rawi dalam tafsirnya membedakan kandungan makna الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ yang ada dalam Basmallah dengan yang ada dalam al-Fatihah. Menurutnya, kedua sifat tersebut dalam Basmalah mengajak kepada kita agar tidak malu memohon pertolongan kepada Allah, sekalipun kita sedang banyak dosa. Allah menginkan dari kita untuk selalu meminta pertolongan kepadanya. Ketika kita merasa banyak dosa maka mintalah perlindungan kepada Allah dengan rahmatnya dari keadilannya. Karena keadilan-Nya tidak akan membiarkan kesalahan yang besar atau kecil. Dan kalau bukan rahmat Allah mendahui atas keadilan-Nya, maka tentu tidak akan ada kenikmatan yang tersisa bagi manusia, karena banyaknya dosa-dosa yang telah dilakukan oleh manusia. Bismillah melahirkan optimisme bagi siapapun yang ingin kemabali kepada Allah dan meminta pertolongan kepada-Nya. Semua diberikan kesempatan untuk meminta pertolongan kepada Allah. dan semua ini merupakan keluasan rahmat Allah, yang memberikan kesempatan kepada orang yang berbuat kemaksiatan, untuk tidak segeri disiksa, tetapi diberikan kesempatan bertaubat kembali kepada-Nya. Allah berkalam, “Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya. (an-Nahl: 61).

 

Sedangkangkan dalam al-Fatihah, -masih menurut syaikh sya`rawi- kedua sifat tersebut berbarengan dengan penyebutan sifar Allah sebagai Rabbul `alin, yang mana memberikan arti bahwa Allah-lah yang  menciptakan kita dari ketikadaan dan Ia pula  yang memberikan berbagai kenikmatan kepada kita. Dengan Allah sebagai Robbul `alamin, kasih sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya tidak jauh dari ketika Allah sebagai Ar-Rahman –Ar-Rahim. Karenanya Allah memberikan nik`mat kepada seluruh hambanya dengan sesuatu yang mana mereka sebenarnya tidak berhak, tetapi mereka mendapatkannya dengan rahmat Allah, maka Allah memberikan kehidupan, rizki, kesehatan, cahaya matahari, hawa untuk bernafas kepada orang mukmin dan kafir. Dengan demikian Ar-rahman –ar-Rahim yang terdapat dalam al-Fatihah adalah kasih-sayang Allah yang tekandung dalam sifat kerububiyahan Allah kepada seluruh hamba-Nya. Maka Allah selalu memberikan kesempatan kepada seluruh hamba-hamba-NYa untuk kembali dan bertaubat kepada-Nya. Dan semua ini mengharuskan kita untuk selalu memujinya dan bersyukur atas nikmat Allah yang diberikan kita.[5]

 


Diantara pelajaran yang dapat diambil dari ayat ke 3 surah al-Fatihah ini adalah bahwa Allah memiliki sifat Ar-raman dan ar-Rahiim. Dengan keluasan kasih sayang-Nya, Allah memberikan berbagai kenikmatan tanpa pilih kasih. Dengan adanya sifat ini, manusia diajarkan untuk selalu berbuat baik kepada siapapun. Memberikan bantuan kepada yang membutuhkan tanpa membeda-bedakan. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan, dari Ibnu Umar sesungguhnya ada orang yang datang kepada Nabi lantas berkata: wahai Rasulullah siapa manusia yang paling dicintai Allah? Amalan apa yang paling disukai Allah? Rasulullah bersabda : kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam hati seorang muslim, atau engkau singkap (hilangkan) kesusahannya, atau engkau lunasi hutangnya, atau usir laparnya, sungguh saya berjalan bersama saudara dalam menunaikan keperluannya lebih aku sukai dari pada i'tikaf di masjid ini masjid madinah satu bulan. (HR. Baihaqi  dalam Syu'abul Iman). 

Dengan Ar-raman dan ar-Rahiim, manusia selalu diberikan harapan, optimisme untuk menjadi lebih baik. Harapan ini harus kita tumbuhkan dalam setiap kehidupan kita. Harapan merupakan ciri khas dalam kehidupan manusia. Hidup tampa harapan adalah kematian dan kegagalan sebenarnya. Harapan merupakan energi yang sunguh luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada makhluk-Nya. Dengan harapan Rasullah saw mampu membangun peradaban yang tidak bisa ditandingi. Sebuah peradaban yang mampu memanusiakan manusia. Dengan harapan Raja Qutus Bebers dari Mesir dapat mengalahkan tentara Tatar yang telah hampir menguasai seluruh wilayah muslimin. Dengan harapan, Sholahuddin Al-Ayyubi mampu mempersatukan umat untuk mengusir penjajah sholibiyyin yang sudah puluhan tahun bercokol dikota Palestina.[6] Maka “jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. 12:87(. Sebagai orang mukmin, tidak boleh menyerah pada kondisi yang ada, kita harus bangkit. Kita harus mulai dari yang kecil, mulai dari kita pribadi, kelurga kemudian masyarakt. Allah peringatkan hal itu dalam kalamnya.: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman (Ali Imran: 139). Kenapa dilarang merasa lemah, atau sedih? Karena  " Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (Ali Imran: 140).


Dengan harapan yang ada dalam Ar-raman dan ar-Rahiim, orang yang salah dan bergelimpangan dengan berbagai dosa kemaksiatan, Allah akan tetap selalu memberikan pintu pertaubantan. Karean itu  Allah berkalam, Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (az-Zumar: 53). Allah tidak akan menutup pintu taubatnya kecuali dalam dua kondisi. Pertama, ketika ruh sudah sampai kepada kerongkongan atau dalam kondisi sakarotul maut. Sebagaimana Allah jelaskan dalam surah (an-Nisa`: 18.) Dan sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya Allah akan menerima taubat seorang hamba selama ruhnya belum sampai tenggorokan" (Mustadrok al-Hakim: 4/ 286). Al-Hasan  al- Bishri mengatakan: "Sesunguhnya taubat akan selalu ditawarkan pada semua manusia, selama ajal belum menjemputnya. [7] Kedua, Ketika matahari terbit dari Barat, alias kiamat telah datang. (HR: an-Nasai).

Namun bukan berarti dengan Ar-rahman dan ar-Rahiim, manusia terbuai dengan tipu daya setan dengan meremehkan berbagai dosa yang dilakukan. Karena selain Allah memiliki sifat Ar-rahman dan ar-Rahiim, Allah juga memiliki sifat al-Muntaqim yang artinya Allah yang Maha Membalas akan segala perbuatan baik dan buruk yang dilakukan hamba-Nya. Orang yang suka meremehkan dosa-dosa kecil, bukannya mendapatkan ampunan dari Allah, melainkan dosa kecil itu menjadi sebuah dosa besar.   وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ   ..,dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (QS. An-Nuur:15).

Rasulullah SAW bersabda: Berhati-hati kalian terhadap dosa kecil, sebab jika ia berkumpul dalam dri seseorang akan dapat membinasakannya. (HR. Ahamad dan Thabrani). Ibnu Abbas mengatakan: Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus-menerus, dan tidak ada dosa besar jika diiringi dengan istighfar. Artinya mau bertaubat dan memohon ampun kepada Allah. Sa’in bin Jubair, sebagai orang-orang yang terkenal bagus ibadahnya. Ketika ditanya, “Siapa manusia yang paling bagus ibadahnya?” Said bin Jubair menjawab, “Orang yang merasa terluka karena dosa dan jika ia ingat dosanya maka ia memandang kecil amal perbuatannya.”. Semoga kita diberi kemampuan Allah, sehingga dapat memaksimalkan rahmat Allah secara benar. Amin



[1] - Lih: Maqooyisul Lughoh, Ibnu Faris, h. 2/498, Ensiklopedia al-Qur`an, Sahabuddin (et al), h. 3/814.

[2] - Ensiklopedia al-Qur`an, Sahabuddin (et al), h. 3/814

[3] - Lih: Jamiul Bayan fii Ta`wilil Qur`an, Ibnu Jarir ath-Thobari, h. 1/127-128, At-Tafsir al-Qoyyim, Ibnul Qoyyim, 1/29, at-Tafsir al-wasith, Sayyid Thanthawi, hh. 1/1-2.

[4] - At-Tafsir al-Qayyim, Ibnul Qoyyim, h. 1/ 8.

[5] - Tafsir asy-Sya`rawi, Mutawalli Sya`rawi, h. 1/9.

[6] - Kumpulan Kultum Terlengkap Sepanjang Tahun, Hasan el-Qudsy,  h:1/135

[7] - Lathoifil Ma`arif, Ibnu Rajab, h. 461.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 31-32

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 20-21