Tafsir Al-Fatihah (ayat 4) - TERLENGKAP

    Dr. KH. Moh. Abdul Kholiq Hasan Lc.MA.M.Ed   

    1-     مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Yang menguasai di Hari Pembalasan

    Ayat ini kembali menegaskan kedudukan Allah, sebagai Tuahan yang Maha Sempurna. Jika dalam ayat-ayat sebelumnya, Allah adalah Tuhan yang berhak di puji, karena Dia adalah Tuhan semesta alam dan Maha Kasih Sayang, maka pada ayat ini Allah adalah Raja yang mengusai hari akherat. Di hari dimana para raja melepaskan mahkotanya dan Dia-lah pemilik dihari semua orang yang merasa memiliki sesuatu lepas dari tangannya. Dia tidak hanya sebagai penguasa di dunia, tetapi penguasa dunia dan akherat. Berbeda dengan makhluk-Nya yang mana mereka mengklaim dirinya sebagai raja, penguasa atau presiden, Semua kekuasaan itu sangat terbatas dengan terbatasnya kesempatan yang ada didunia ini. Tidak ada yang kekal di dunia ini, karenanya tidak ada yang berhak menyombongkan dirinya karena kekuasaan yang sedang dimilikinya. Karena Allah-lah pemilik dan penguasa muthlaq yang hakiki. Dia Maharaja yang menguasai, mengatur dan mengendalikan segala urusan makhluk-Nya dengan seksama tanpa membutuhkan bantuan sedikitpun dari siapapun.(Qs. Ays-Syuro:49, az-Zukhruf:85, al-Hadid:5).


    Kata  مَالِكِyang terdapat dalam surah al-Fatihah ini, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw dapat dibaca dengan memanjangkan “mim” (  مَالِكِ) yang berasal dari kata dasar milk (hak milik), dari itu ulama mengartikan kata  مَالِكِ dengan pemilik. Dan dapat juga dibaca dengan memendekkan “mim” (مَلِكِ) yang berasal dari kata dasar mulk yang berarti kerajaan. Kedua bacaan ini menegaskan bahwa Allah tidak hanya sekedar pemilik, tetapi Allah juga adalah pemilik dan raja. Karena tidak semua pemilik itu raja. Kepemilikan raja tentunya melebihi kepemilikan yang bukan raja. Begitu pula tidak semua raja atau pengusa memiliki kekuasaannya secara mutlaq. Seperti sekarang ini, seorang presiden adalah penguasa penuh di Negara kita, tetapi ia tidak otomatis menjadi pemilik Negara ini. Pemilik Negara ini adalah rakyat. Bisa jadi seorang presiden dengan kekuasaannya ini memiliki beberapa asset, bahkan apabila dia seorang penguasa yang dholim dia bisa memiliki apa yang dia kehendahi. Namun tetap kepemilikannya itu terbatas, minimal ia tidak akan mampu memiliki pemikiran dan kenyakinan seseorang. Berdeda dengan Allah yang memang menguasai dan memiliki secara mutlaq semua makhluq-Nya, semua dibawah kehendak-Nya dan Dia-lah yang merajai jagat raya ini dan  yang memilikinya, tidak ada yang dapat mencegahnya atau menghalang-halangi terhadap apa yang dikehendaki-Nya. Disamping itu, kekuasaan dan kepemilikan Allah tidak membutuhkan siapapun, berbeda makhluk-Nya, sekalipun ia menjadi penguasa dan memiliki, namun tentap ia membutuhkan kepada yang lain.[1]

 

    Kerajaan, kekuasaan dan kepemilikan Allah ini sangat begitu jelas dan menonjol besuk dihari kiamat, maka dikatakan (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ) karena ketika itu semua makhluq dapat melihat secara nyata dan jelas bagaimana keagungan kerajaan, kekuasaan dan kepemilikan Allah pada hari itu. Berbeda dengan ketika di dunia, dimana semua orang bisa mengklaim dirinya sebagai pengusa, namun kelak di akherat, semua orang yang didunianya berkuasa, ketika itu tidak sedikitpun terlihat sisa-sisa kekuasaannya. Semua tergantung kepada apa yang menjadi kehendaki Allah. Sebagaimana Allah swt kalamkan, “Kekuasaan di hari itu ada pada Allah, Dia memberi keputusan di antara mereka (al-Hajj:56). Dan kalam Allah.” (Yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berkalam): "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. Dan kalam-Nya.(Qs. Ghofir:16). Dan kalam-Nya Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf- shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. (an-Naba`:37).  

           


    Dalam ayat ini, disamping penegasan kekuasaan dan kepemilikan Allah yang mutlaq atas seluruh makhluknya, terutama sangat menonjol ketika kelak diakherat, ayat ini juga menegaskan tentang adanya hari akherat, hari penghitungan dan pembalasan (يَوْمِ الدِّينِ)  atas seluruh perbuatan manusia[2]. Pada saat  itu, Allah mengadakan perhitungan kepada setiap amal hamba-Nya untuk diberikan balasan yang setimpal dengannya. Pemberian balasan dan perhitungan amal adalah sesuai hikmah Allah, karena Allah subhanahu wata'aala telah menurunkan kitab-kitab suci-Nya, mengutus para utusan-Nya dan telah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya agar menerima dan mengamalkan apa yang diajarkan dan disampaikan oleh para utusan itu kepada mereka. Diantara hamba-hamba itu ada yang berbakti dan ada yang durhaka, ada yang beriman dan ada yang kafir, maka tentu tidak layak jika kedudukan mereka sama di akherat kelak. Allah berkalam: “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir); Mengapa kamu berbuat demikian. Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? ” (Qs. Al-Qolam: 35-36).

    Ada Tiga macam penghisaban atau persidangan terhadap amal manusia. Berdasarkan hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah, menerangkan bahwa kelak diakherat akan ada tiga persidangan: Pertama; Dua persidangan berupa Al-Munaaqosyah (debat) dan ma`dzir (alasan-alasan). Hisab Al Munaaqosyah (debat) yakni ketika Allah mendebat setiap hamba terhadap amalan-amalannya lalu dia melihat dirinya akan binasa dengan amalannya tersebut. Dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah bersabda :” Tidak ada seorangpun yang dihisab pada hari kiamat melainkan dia akan binasa”. Maka saya katakan (‘Aisyah): “wahai Rasulullah bukankah Allah telah berkalam (yang artinya): “Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah”. Maka Rasulullah menjawab: “yang demikian itu adalah Al-‘Ardh akan tetapi tidaklah seseorang yang didebat (ditampakkan) hisabnya pada hari kiamat melainkan diadzab. (HR. Bukhori Muslim). Kedua; Sedangkang hisab Maa`dzir (alasan-alasan), artinya Allah meminta pertanggung jawaban alasan-alasan apa yang menjadikan dasar seorang hamba melakuakan suatu amalalan. Dan ketiga; Pembagian kitab catatan amal. Sebagaian manusia menerimanya dari arah kanan, merekalah calon penghuni surga. Adapun orang yang menerima kitab dari arah kiri, mereka adalah para pemesan kamar di neraka.

    Pada prinsipnya bagi Allah SWT tidaklah ada sesuatu yang terselip atau terjadi diluar pengetahuan Nya. Sebagaimana Allah jelaskan dalam kalam-Nya: “Dan orang-orang yang kafir berkata: "Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami". Katakanlah: "Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. tidak ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata" (QS. 34:3). Semua itu untuk menyadarkan manusia akan tangung jawab terhadap semua apa yang dilakukan selam hidupnya didunia. Agar manusia tidak terlena dengan bisikan setan atas sifat Allah Yang Maha Kasih sayang. Allah sedikitpun tidak akan pernah mendhalimi.

    Dengan kepercayaan kita terhadap adanya penghisapan amal kelak diakherat, kita orang mukmin dituntut untuk selalu hati-hati dan memperhitungkan semua dampak dari apa yang kita lakukan. Umar bin Khottob berkata: “Hisablah diri kalian, sebelum diri kalian di hisab, dan timbanglah (amal-amal) kalian, sebelum kalian ditimbang. Sesungguhnya akan memperingan timbangan kelak, jika kalian telah menimbang sekarang. Dan berhiaslah kalian (bersiap dengan amal baik) dihari penampaan agung (hisab seluruh amal perbuatan) “Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah). (QS:69.18)” (HR. Abud Dunya).


    Ketika seseorang menyadari adanya kehidupan selain kehidupan dunia ini, ia tentu akan menyiapkan sebaik mungkin untuk bekal kehidupan kelak. Karena itu orang yang cerdas bukanlah orang yang memperoleh pangkat doktor atau profesor. Atau orang yang telah mempu menciptakan suatu teori supersulit atau insinyur yang mempu menciptakan mega proyek yang tak tertandingi. Tapi, orang sukses adalah mereka yang mampu menghitung-hitung amalnya untuk persiapan kehidupan setelah mati. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar: “Kami bersepuluh datang kepada Nabi SAW, ketika seorang Anshar berdiri dan bertanya: ‘Wahai Nabi Allah, siapakah manusia yang paling cerdas dan paling mulia?’ Maka Rasulullah menjawab: ‘Mereka yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak mempersiapkan kematian. Merekalah orang yang paling cerdas. Mereka akan pergi dengan mendapatkan kehormatan dunia dan kemuliaan akhirat.” (HR. Ibnu Majah). Dalam riwayat lain Rasulullah SAW. bersabda, ”orang yang cerdas adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya serta biasa beramal untuk bekal kehidupan setelah mati. Sebaliknya, orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya, sementara dia berangan-angan kepada Allah”. (HR. Ibnu Majah).

    Orang yang cerdas adalah orang yang tahu bagaimana mempersiapkan mati. Mengingat mati atau mempersiapkan kematian yang dimaksud bukan hanya terkait dengan kain kafan, harta warisan, surat wasiat, atau lahan pekuburan. Manusia cerdas tentu lebih giat mempersiapkan bekal untuk menghadapi kehidupan setelah mati. Mereka tahu bagaimana merubah yang fana ini menjadi sesuatu yang kekal. Misalnya, bagaimana caranya harta yang fana ini bisa berubah menjadi kekal? Maka caranya adalah dengan mengeluarkan sebagian atau semuanya dari harta itu untuk tabungan akhiratnya. Sebagai investasi dihari, dimana orang tidak lagi mampu mengiventasikan hartanya. Orang cerdas selalu memikirkan tentang kematian. Karena kematian adalah sesuatu hal yang misterius yang hanya Allah saja yang tahu. Tinggal bagaimana diri kita dalam mempersiapkan diri ini untuk menghadapi kematian yang akan mendatangi kita.Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Qs. Ali Imran :102)

    Ia juga memikirkan saat dirinya dibangkitkan kembali di yaumul hisab atau hari perhitungan dan pembalasan amal perbuatan selama di dunia. Sebagaimana dikabarkan Rasulullah SAW: “Tidak ada seorangpun di antara kalian kecuali akan diajak bicara oleh Allah tanpa penerjemah. Kemudian ia menengok ke kanan, maka ia tidak melihat kecuali apa yang pernah dilakukannya (di dunia). Ia pun menengok ke kiri, maka ia tidak melihat kecuali apa yang pernah dilakukannya (di dunia). Lalu ia melihat ke depan, maka ia tidak melihat kecuali neraka ada di depan wajahnya. Karena itu jagalah diri kalian dari neraka meski dengan sebutir kurma.” (HR. Bukhori Muslim)

    Orang-orang yang sadar dan tahu hakekat antara dunia dan akherat, akan merasa ringan ketika meninggalkan dunia dan tidak ada rasa takut untuk mati. Karena dengan perantaraan kematian manusia akan mendapatkan hakekat kehidupan, kekekalan, kenikmatan dan bertemu dengan penciptanya. Hal ini bukan berarti orang mukmin tidak takut mati, tetapi yang dimaksudkan adalah sebagaimana di ungkapkan para shahabat kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah semua kita tidak suka dengan kematian ! Rasulullah menjawab, " Bukan itu maksudnya, tetapi ketika orang mukmin diperlihatkan kepadanya tetang sesuatu yang akan datang untuknya, ia senang untuk bertemu kepada Allah dan Allah pun senang bertemu dengannya. (HR. Bukhori). Adapun orang-orang yang telah terperdaya dengan tipuan dunia, akan selalu takut untuk mati. Karena tidak ada bekal yang akan mereka bawa untuk ke akhirat. Ketika kematian mendatangi mereka, dan diperlihatkan apa yang akan mereka peroleh nantinya " Mereka tidak suka untuk bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak suka bertemu dengnnya " (HR. Bukhori). 


    Mengimani adanya hari penghitungan dan pembalasan amal kelak di akherat, tidaklah membuat kehidupan orang menjadi pesimistis dan termarjinalkan dari kehidupan sosial. Maka tidak benar, jika orang mukmin menjadi seorang pemalas, pesimis dan menarik diri dari kehidupan dunia. Ia hanya bergulat dengan urusan akherat. Berbagai kegiatan sosial dan kemasyarakatan selalu ia hindari. Dengan dalih, bahwa kegiatan tersebut akan membuat ia lupa dengan akherat atau terjerumus kedalam tipu daya dunia yang menyesatkan. Pandangan semacam itu tentu tidak dibenarkan oleh Islam. Orang yang benar-benar percaya terhadap kehidupan alam akherat, tentu tidak akan menyia-nyaiakan kehidupannya didunia. Ia akan selalu berkarya dan memberikan kemanfaatan sebanyak mungkin. Ia akan selalu berusaha menjadi sholeh baik secara pribadi maupun social. 

    Islam adalah agama yang menjadikan dunia sebagai jembatan untuk menuju akherat. Agar kita sampai dengan selamat, tentu kita harus memperbaiki jembatan tersebut dan memperkokohnya agar mampu mengantarkan kita ke seberang keselamatan. Hanya dengan pemahaman yang benar terhadap kematian dan hari akherat, kebahagiaan dunia akherat dapat dicapai. Salah satu doa yang diajarkan dan sebaik-baik doa bagi seorang muslim adalah " Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" (QS.al-Baqarah :201). Semua itu tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan amal sholeh yang membawa kemaslahatan bagi kehidupan dunia dan akherat.

    Bagi para pembaca dan pengamat sejarah Islam, tentu tidak akan merasa asing dengan berbagai prestasi dan keberhasilan yang di peroleh para pelaku awal sejarah Islam. Mereka adalah para pembangun peradaban kuburan dan akherat. Dengan pemahaman yang benar terhadap konsep keimanan akherat, mereka mampu menciptakan kematian yang indah dan keindahan surga di dunia. Keindahan kematian bukan mereka ciptakan dengan mati diatas kasur atau di tengah-tengah keluarga. Karena mereka memahami bahwa kehidupan adalah amanah Allah yang diberikan hambanya, maka mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mampu menginvestasikan kehidupannya demi kemajuan islam dan umatnya. Mereka tidak gentar untuk mempertaruhkan kehidupannya demi sebuah kenyakinan. Tidak heran banyak orang takut menguji dirinya atau berjihad di jalan Allah. Tetapi bagi orang yang menyakini indahnya kematian tentu hal demikian itu tidak menggentarkan jiwanya. Karena mereka menyakini bahwa kelak di akherat akan mendapatkan balasan atas segala perbuatan yang telah dilakukan. 

    Diantara buah keimanan yang benar terhadap akherat akan menjadikan seseorang teguh dalam memegang amanah dan tidak tergoyahkan dengan iming-iming yang menggiurkan. Perhatikan sebuah kisah yang sangat popular ini. Abdullah bin Dinar berkisah “Suatu ketika Aku pergi ke Makkah bersama Umar bin Khoththob r.a kami berhenti di suatu tempat dan disitu kami mendapati seorang pengembala yang turun dari bukit. Umar berkata,”Hai pengembala, Juallah kambingmu kepadaku seekor saja!”. Ia menjawab, “Aku adalah seorang hamba sahanya, kambing-kambing ini milik tuanku”. Umar berkata dengan maksud mengujinya. “Katakan kepada tuanmu, bahwa kambing itu dimakan serigala!” Ia menanggapinya, “Bagaimana dengan Allah? Mendenagar jawaban pengembala ini Umar menangis berurai air mata. Segera Umar mengajak pengembala ini menghadap tuannya, lalu dibelinya dia dari tuannya untuk di merdekakan. Umar berkata, “Kalimat inilah (Bagimana dengan Allah?) yang menyebabkan engkau merdeka di dunia ini. Dan aku berharap agar kalimat itu memerdekakanmu pula kelak di hari kiamat.  

    Dalam kisah lain dizaman kholifah Umar bin Khoththob, diriwayatkan ada seorang ibu penjual susu yang bermaksud untuk mencampur susu dan air. Padahal Umar telah melarang mencampur susu dengan air. Melihat gelagat tersebut, anak perempuannya memperingatkan kepadannya tentang larangan amirul mukminin Umar bin Khoththob. Sang ibu berkata, “bukankan Amirul Mukminin jauh dari kita? Ia tidak akan melihat kita!. Lalu sang anak menjawab, “Meski Amirul Mukminin jauh dan tidak melihat kita, namun Rabb Amirul Mukminin tetap melihat kita”. Mendengar jawaban putrinya, sang ibu sadar bahwa ia telah berbuat kesalahan dengan mencampur susu dengan air.[3]

    Demikianlah diantara dampak positif dari keimanan yang benar. Dari keimanan yang kuat akan muncul peradaban-peradaban imani yang membawa berbagai kemashlahatan kehidupan dunia dan akherat. Rifa`i Thohawi, seorang pemikir Islam mengatakan, bahwa berbagai beradaban (Islam) muncul di muka bumi ini  bermula dari peradaban kubur atau akherat.[4]. Karena itu pantas jika Allah menyebutkan ayat ke 4 ini setelah menyebut-Nya sebagai Tuhan alam semesta dengan penuh kasih sayang-Nya, agar manusia mampu termotivasi unutk membangun dunia ini dengan penuh peradaban yang bersumber kepada keimanan yang benar kepada hari akhir


[1] -Lih: al-Kasysyaf, Az-Zamakhsyari, h. 1/6, An-Nukat wal-`Uyun, al-Mawadi, h.1/5,  Tafsir Ibnu Katsir, h. 1/113, Ensiklopedia al-Qur`an, hh. 2/ 573-574, Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah, Nasruddin Baidan, h. 61-62.

[2] - Lih: Addur al-Mantsur, As-Suyuthi, h. 1/7, Fathul Qodir, Asy-Syaukani, h. 1/9, at-Tahrir wat Tanwir, Ibnu Asyur, h. 1/174.

[3] - Merasakan Kehadiran Tuhan, Yusuf Qordhawi, h. 242

[4] - Kumpulan Kultum Terlengkap Sepanjang Tahun, Hasan el-Qudsy, h.2/203

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 31-32

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 20-21