Agar Haji dan Umrah menjadi Mabrur
Dr. KH. Moh. Abdul Kholiq Hasan Lc.MA.M.Ed
Istilah mabrur biasa digunakan untuk
mensifati haji. Adapun untuk umrah orang arab biasa menggunakan sebutan maqbul.
Antara mabrur dan maqbul secara subtansi adalah sama. Mabrur diambil
dari kata barrun yang berarti baik. Mabrur artinya diterima baik. Dengan
demikian haji mabrur artinya haji yang diterima baik oleh Allah. Begitupula
maqbul berarti diterima oleh Allah swt. Memperoleh haji mabrur
atau umrah maqbul tentu menjadi cita-cita semua orang yang menunaikan ibadah
haji atau umrah. Numun yang menjadi pertanyaan adalah apakah semua orang yang
menunaikan ibadah haji atau umrah mencapai derajat mabrur dan maqbul?.
Sebagiamana telah di singgung
diatas, banyak sekali orang yang telah menjalankan ibadah haji. Bahkan tidak
sedikit diantara mereka yang telah berulang kali berhaji. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah
para Hujjaj (orang yang sudah haji ) ini telah mampu menjadi haji yang mabrur?
memang untuk menjawab ini tidaklah mudah. Karena kata mabrur ini sangatlah
absrtak, sehingga setiap orang memungkinkan mempunyai penilaian tersendiri.
Namun yang jelas haji mabrur itu mempunyai tanda-tanda dan standarnya. Diantaranya
sebagaimana dikatakan oleh ulama bahwa
salah satu tanda seseorang mencapai gelar haji "mabrur" adalah mereka
yang berhasil mendedikasikan sebagai agen af change bagi masyarakat
sekitarnya, minimal untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain, sepulang haji jauh
ia lebih baik dari pada sebelum haji.
Sungguh sangat
ironis, apabila kita dapati para pemimpin kita, baik yang duduk dilegeslatif,
yudikatif maupun eksekutif, yang mungkin mereka telah melakukan "perjalanan
haji" lebih dari satu kali, bahkan ada yang tiap tahunnya haji. Namun
kenyataan masyarakat awam melihat haji mereka belum – kalau tidak dikatakan
sama sekali – memberikan efek positif terhadap kuwalitas prilaku mereka.
Terbukti pulang haji mereka tetap korupsi, memanipulasi, memperkaya diri,
menjual hukum, bahkan menjual agama dan kepentingan negara. Para "Hujaj"
ini bahkan kalau titel hajinya tidak disebut atau lupa disebut dalam suatu
acara, mereka bisa marah berang tidak kepalang. Ini mungkin haji yang lebih
tepat disebut haji "mabur" (terbang, hangus tanpa memberi
manfaat ), bukan mabrur.
Karena ternyata
tidak semua orang yang haji itu atas panggilan Allah SWT, tetapi ada juga orang
haji itu atas rayuan dan panggilan iblis la`natullahi alaih. Sehingga kalaupun ia haji tidak semata-mata
karena ingin mencari ridho Allah SWT. Namun bisa saja karena prestis,
kepentingan politik, ataupun sekedar ikut-ikutan tren. Tentu haji yang
dilakuakan semacam ini tidak akan memberikan nilai sedikitpun disisi Allah.
Lihatlah para tokoh politik kita, semuanya sudah berlebel al-haaj atau al-hajjah.
Bahkan digembar-gemborkan dalam iklan-iklan propaganda mereka. Namun – maaf –
perilakunya tidak jauh dari Hajjaj, seorang tokoh pemimpin yang lalim.
Karena itu, menjadi
salah satu syarat mutlaq tercapainya haji mabrur adalah harta yang digunakan
untuk haji adalah betul – betul dari hasil yang halal, bukan hasil korupsi,
menjual hukum, memanipulasi data, atau hasil transaksi riba. Seandainya
diantara kita melakukan haji dari harta "abu-abu" yang tidak jelas
ujung pangkalnya, maka yakinlah bahwa ibadah anda hanya sia-sia saja. Kalaupun
toh anda berhasil mendapat panggilan pak atau bu haji itu hanya didunia saja,
nanti diakherat anda akan dipanggil dengan panggilan manakala didunia, anda
pasti akan malu bahkan marah atau menuntut kepangadilan yang bisa anda beli.
Dalam sebuah sabda nabi dikatakan "wahai para manusia sesungguhnya Allah
maha suci dan tidak akan menerima kecuali yang suci, dan sesungguhnya Allah
menyuruh orang mukmin seperti apa yang diperintahkan kepada para utusannya, Rasulullah
kemudian berkata: Allah berkalam: "Hai rasul-rasul, makanlah dari
makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 23:51), Hai orang-orang yang
beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada Allah kamu menyembah.
(QS. 2:172) ( HR Muslim, No: 1682).
Berdasarkan
hadits inilah, ulama sepakat bahwa hajinya orang yang berasal dari harta yang
tidak halal, secara figh ibadahnya sah, tetapi tidak diterima Allah. Kalau kita
beramal tidak diterima Allah, lalu apa yang kita harapkan dihari kelak. Padahal
kita semua akan kembali kepada Allah, semua akan ada penghisapan (penghitungan)
terhadap semua apa yang telah kita kerjakan. Tentu kita akan menemui kerugian
yang nyata. Allah SWT berkalam: Katakanlah: "Apakah akan Kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya".
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. 18:
103-104).
Orang yang
ingin mendapatkan haji mabrur, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk
mengumpulakan harta yang betul-betul halal dan bersih dari berbagai syubhat.
Walaupun ia harus menabung rupiah demi rupiah dalam jangka yang mungkin cukup
lama. Bahkan pernah ada cerita seorang ibu petani desa, ia harus menabung
berpuluh-puluh tahun. Ia baru bisa berangkat haji ketika umur sudah menjelang
senja, yaitu ketika sudah berumur 60 -an tahun. Namun yang pasti, orang seperti
ini akan merasakan kepuasan yang amat sangat ketika kakinya berhasil
menginjakkan dihalaman masjidil haram dan kedua mata menatap keagungan Ka`bah musyarrafah
yang begitu dahsyat. Sedikitpun tidak ada rasa ragu ataupun gundah, perasaanya
selalu dipenuhi dengan ketengan dan kegembiraan atas karunia yang diterimanya.
Walau fasilitas dan penginapan tidak semewah dan selengkap haji plus. Semua isi
hati, perasaan dan kerinduaan ditumpahkan dihadapan rumah Allah. Ia berhap
hanya ridho Allah, semua waktunya dihabiskan untuk beribadah, iapun tidak
terlalu memikirkan oleh-oleh apa yang harus ia bawa nanti kelak pulang. Ia
tidak terlalu risau ketika tahu ada sebagian teman-temannya yang baru datangpun
sudah langsung memborong barang oleh-olehan. Mungkin itu potret kehidupan
mereka ketika masih diIndonesia yang suka hobi shoping. Sehingga ketika mereka
pergi ibadahpun seperti pergi melancong, yang dipikirkan hanya memborong sovenir, mengumpulkan barang-barang yang
dianggap antik untuk dibanggakan dan diceritakan kepada para tamu dan koliganya
nanti ketika pulang.
Orang yang
ingin hajinya mabrur, ia selalu menjahui rafats (perkataan atau perbuatan yang
kotor atau cabul), berbuat fasik (berbuat dosa) dan berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji. Selalu berbekal dengan ketaqwaan, karena bekal yang
paling baik dan berguna bagi para calon haji adalah taqwa. (QS. 2:197). Ia pun
sadar bahwa perjalan haji ini adalah merupakan jihad yang memerlukan
pengurbaban yang totalitas (HR: al-Bukhori, No 1448). Bukan besenang-senang
ataupun melancong untuk menghabiskan uang anggaran. Sehingga setiap saat ketika
ia bertalbiyah (mengucapkan labbaikallahumma labbaik : ya Allah aku
penuhi panggilan-Mu), maka jawaban dari langit mengatakan "labbaika wa
sa`daika" : selamat datang dan bahagialah anda. Adapun ketika jamaah
haji " mabur " ketika bertalbiyah, maka yang dilangit menjawab "
la labbaik wala sa`daik " tidak selamat datang dan tidak pula bahagia
anda.( HR: Ath-Thobroni fil Ausaad No: 5228). Ini karena Allah maha tahu
tentang apa yang ada dalam hati mereka. Mereka haji karena riya`, ingin dipuji,
ingin dipanggil degan titel haji dan lain sebagainya. Intinya mereka beribadah
tidak ikhlas karena Allah semata. Jumlah mereka ini tidak sedikit, bahkan
mungkin secara kwantitas lebih banyak dibanding orang yang haji betul-betul
khusyuk tunduk karena Allah SWT.
DARI elQI TV :
Komentar
Posting Komentar