Tazkiyyah 6: Salaf dalam Menunaikan Shalat
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Salaf dalam Menunaikan Shalat
Oleh: DR. Moh Abdul Kholiq Hasan el-Qudsy
Ma`asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Para salaf menjadikan shalat
sebagai bentuk munajat tertinggi kepada Allah. Mereka bersungguh-sungguh dalam
mendirikannya. Persiapan selalu mereka lakukan sebaik mungkin. Di antara mereka
terlihat wajahnya pucat pasi ketika wudlu karena rasa takut kepada Allah. Mereka sadar shalat adalah menghadap Sang
Pencipta Alam Semesta. Dzat yang menciptakan manusia dan seluruh isi alam
semesta.
Mereka mendirikan shalat tidak
sekedar gerakan. Mereka memahami kalam Allah, dalam surah
al-`Araf, “Luruskan mukamu di setiap sholat dan sembahlah Allah dengan
mengikhlaskan keta'atanmu kepada-Nya (QS. al-A’raaf : 29), bahwa shalat
sholat itu memerlukan sikap lahir dan batin yang saling berkolerasi atau
berhubungan. Meluruskan muka adalah memantapkan seluruh gerakan anggota tubuh
dan menyesuaikannya dengan konsentrasi jiwa menghadap Allah Tuhan semesta alam.
Mereka memahami shalat sebagai bentuk “Kemiskinan,
kerendahan hati, ketundukan hati, keluhan jiwa dan penyesalan mendalam, seraya
meletakkan kedua tangan dan membisikkan – Ya Allah, Ya Allah, maka barang siapa
tidak melakukannya, shalatnya tidak sempurna” (HR. an-Nasai, Turmudzi dan
Ahmad).
Pembaca yang dirahmati Allah,
Para salaf menjadikan kekhusyu'an, kehadiran hati adalah
merupakan ruh dan saripati dari shalat itu sendiri. Berikut beberapa kisah para
ulama safat, sebagaimana disampaikan oleh Imam al-Ghazali rahimahullah dalam
kitabnya yang sangat poluler (Ihya` Ulumuddin, kitab asrar al-sholah):
1- Diriwayatkan, bahwa Ali bin Abi Tholib r.a, apabila tiba
saat bersalat, tubuhnya bergemetar dan wajahnya berubah. Ketika ditanyakan hal
itu, ia menjawab, “Telah tiba waktu melaksanakan amanah yang ditawarkan oleh
Allah kepada lelangit, bumi dan gunung-gunung; mereka semua menolaknya karena
takut tidak mampu memikulnya. Tetapi aku kini memikulnya.
2- Suatu ketika Kholaf bin Ayyub ditanya, “Mengapa tidak
anda usir lalat-lalat itu? Tidakkah mereka mengganggu shalatmu?” Ia menjawab,
“Aku tidak hendak membiasakan pada diriku sesuatu yang akan merusak shalatku”.
Ketika ditanya lagi, “Bagaimana Anda dapat bersabar atas hal itu?” Ia menjawab,
“Aku pernah mendengar bahwa orang-orang fasik menunjukkan ketabahan ketika
didera dengan cambuk-cambuk para raja, agar mereka disebut sebagai orang yang
tabah, dan mereka pun bangga dengan ucapan seperti itu. Sedangkan aku berdiri
dihadapan Rabbku. Patutkah aku bergerak hanya karena seekor lalat?”
3- Hatim al-`Asham ketika ditanya untuk melukiskan
shalatnya, ia berkata, “Bila datang waktu shalat aku berwudlu dengan sesempurna
mungkin, pergi ke tempat shalatku dan duduk disitu sampai tenang seluruh
anggota tubuhku. Setelah itu aku bangkit dan memulai shalatku. Kujadikan Ka`bah
di antara kedua mataku, shirat (jembatan ke surga) aku jadikan di bawah
telapak kakiku, surga di sisi kananku, neraka di sisi kiriku dan malakul maut
di belakangku. Kuperkirakan ini sebagai shalatku yang terakhir dan akupun
berdiri di antara harapan dan kecemasan. Aku bertakbir dengan hati yang mantap,
dan membaca ayat-ayat al-Qur`an dengan tartil, kemudian aku mulai ruku` dengan
hati merunduk dan bersujud dengan penuh khusyu`, duduk di atas bagian
tubuhku sebelah kiri, menjadikan
punggung kakiku sebagai alas, sambil menegakkan kaki kananku diatas ibu
jarinya. Kulakukan semunya itu dengan penuh keikhlasan dan setelah itu aku pun
tidak tahu apakah shalatku diterima atau tidak?”
Hadirin yang berbahagia,
Subhanallah, begitulah
sikap para ulama salaf. Mereka adalah orang yang paling takut kepada Allah SWT, sebagaimana Allah berkalam, “Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS.35:28). Walaupun kedudukan
mereka yang begitu tinggi, tidaklah hal tersebut menjadikan mereka merasa aman.
Mereka selalu dalam kondisi antara harapan dan kecemasan. Lalu bagaimana ketika
kita shalat? Hanya hati yang jujur bisa menjawab. Para ulama sepakat bahwa
hamba tidak mendapatkan pahala dari shalatnya kecuali apa yang dia pikirkan dan
yang dia hayati dari shalatnya itu. Semoga Allah selalu menolong kita. Amin
http://mkitasolo.blogspot.com/
Komentar
Posting Komentar