Tafsir Surat Ali ‘imron (3) Ayat 171 – 174


Tafsir Surat Ali ‘imron (3)
Ayat 171 – 174

 
0leh:
Al Ustadz Dr. Moh. Abdul Kholiq Hasan El Qudsy, M.A., M.Ed.


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Allah berkalam:
يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ (171) الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ (172)
Artinya:
Mereka (para syuhada) bergembira ria dengan kenikmatan dan karunia dari Allah. Dan Allah itu tidak pernah menyia-nyiakan pahala orang yang beriman.(171) (orang-orang beriman itu adalah) orang-orang yang masih tetap mentaati Allah dan Rasulullah setelah tertimpa luka yang pedih. Bagi orang yang berbuat baik dan bertakwa ada pahala yang besar (172)

Makna umum dari ayat 171 dan 172
Ayat 171
Di ayat sebelumnya, dikatakan bahwa para syuhada yang meninggal dalam peperangan ingin memberikan kabar gembira kepada saudara seperjuangannya yang belum menyusul mereka bahwa tak ada yang perlu ditakutkan dan disedihkan setelah menjadi syahid. Maka di dalam ayat ini, Allah juga mengabarkan kepada kita bahwa mereka sendiri pun sangat berbahagia dengan kenikmatan dan karunia yang telah Allah limpahkan kepada mereka. Kenikmatan dan karunia Allah kepada mereka sangat banyak dan tak terbatas. Allah itu sama sekali tidak akan berbuat zhalim, dengan menyia-nyiakan pahala amalan hamba-hamba-Nya yang beriman. Tetapi Allah akan memberikan balasan yang berlipat-lipat.


Ayat 172
Siapakah orang-orang beriman itu? Mereka adalah orang-orang yang mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam segala kondisi dan di mana pun mereka berada. Duka lara atau suka cita yang menimpa mereka, mereka tetap setia mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka selalu mendahulukan perintah Allah dan Rasul-Nya dari pada keinginan pribadi, walapun dalam kondisi yang sangat sulit. Mereka yang berkepribadian semacam itu adalah orang-orang yang berbuat baik dengan menjalankan apa yang penjadi perintah Allah dan rasul-Nya dan meraka adalah termasuk orang bertakwa kepada Allah. Orang-orang seperti ini-lah yang akan diberi pahala yang besar oleh Allah.

Penjelasan dan Hikmah dari Ayat 171 dan 172
Ayat 171
1.       Perhatikan ayat 170 kembali. Di ayat tersebut, Allah memberitahukan kepada kita, bahwa syuhada ingin memberi kabar gembira dan merasakan kenikmatan bersama-sama dengan saudara mereka. Kemudian di ayat 171, disebutkan bahwa mereka sangat gembira dengan apa yang mereka dapatkan. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa akhlak para syuhada itu sungguh sangat mulia. Kemuliaan akhlak mereka saat mereka masih hidup terbawa sampai ketika mereka sudah meninggal. Salah satu akhlak tersebut adalah itsar (mendahulukan saudaranya dari pada dirinya sendiri). Mereka memikirkan saudara mereka bagaimana supaya saudara mereka mendapatkan seperti apa yang mereka dapatkan. Barulah di ayat 171 ini mereka menyebutkan tentang kegembiraan mereka sendiri.
2.       Itsar atau sikap mementingkan orang lain hanya terbatas dalam hal mu’amalah (interaksi sosial) saja. Adapun dalam ibadah, itsar adalah sesuatu yang makruh. Sebagaimana dalam kaidah ushul fikih disebutkan (Ghamzu ‘Uyunil Bashar, jz. 2, hlm. 259):
الْإِيثَارُ فِي الْقُرَبِ مَكْرُوهٌ ، وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ
Al-Itsar dalam hal ubudiyyah itu hukumnya makruh, sedangkan untuk selainnya hukumnya disukai. Atau kaidah yang berbunyi “al-itsar fil ibadati makruh wa fi ghairiha mustahab”.
Misal contoh itsar yang diperbolehkan adalah ketika dalam kendaaraan umum ada orang yang lebih tua atau wanita hamil yang tidak dapat tempat duduk, maka kita berikan tempat duduk kita kepada orang tersebut, padahal kita juga sangat membutuhkannya. Adapun contoh itsar yang tidak diperbolehkan adalah mempersilakan seseorang untuk menempati shaf pertama sedang dia memilih shaf yang kedua. Padahal shaf yang pertama lebih utama dari shaf yang kedua.
3.       Itsar merupakan salah satu akhlak tertinggi orang mukmin. Sebagaimana dicontohkan oleh para shahabat Nabi “Dan mereka (Anshor)  mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung” (al-Hasyr:9). Jadi semakin jiwa seseorang itu bersih, maka semakin mudah pula dia mementingkan saudaranya yang beriman untuk mendapatkan kenikmatan. Seperti halnya para syuhada, meskipun mereka sudah mendapatkan kenikmatan, tetapi mereka tidak melupakan saudara mereka.
4.       وَفَضْلٍبِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ  artinya dengan kenikmatan dan karunia dari Allah. Ni’mah adalah segala bentuk pemberian yang ada manfaatnya. Sedangkan fadhl adalah tambahan atas keni`matan yang telah diterima. Kata ni`mah dan fadhl dalam ayat ini berbentuk bentuk nakiroh (umum). Hal ini menunjukkan bahwa kenikmatan dan karunia Allah yang diberikan kepada para syuhada` itu tiada batasnya dan banyak sekali tiada taranya.
5.       وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ ayat ini menegaskan banwa orang yang mampu menahan hawa nafsunya, selalu mengedepankan kepentingan Allah dan Rasul-nya, maka ketahuilah bahwasanya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala amal perbuatannya. Tetapi Allah akan memberikan balasan dengan berbagai keni`matan dan karunia-Nya yang lebih besar dari apa yang seharusnya ia terima.
6.       Oleh karena itu orang beriman itu selalu percaya pada Allah. Selalu yakin bahwa segala sesuatu itu ada balasannya disisi Allah. Maka ia akan selalu merasa nyaman degan cara pengendalian hawa nafsunya sendiri. Dalam sebuah ungkapan salaf dikatakan “ Ra`su kulli khair alkhoufu wal haya`.  Pondasi utama untuk menjadi orang baik ada dua yaitu; takut pada Allah dan malu dilihat Allah. Orang yang tak punya malu itu sama seperti hewan.
Ayat 172
1.       Ayat ini turun sebagai pujian kepada orang-orang beriman yang masih tetap mau mentaati Allah dan Rasul-Nya (dalam hal ini mereka mentaati ajakan Rasul untuk pergi ke Hamra`ul Asad) meskipun mereka dalam keadaan menderita lahir dan batin. Menderita lahir karena banyak luka di tubuh mereka. Menderita batin karena kekalahan, kesedihan yang disebabkan oleh terbunuhnya banyak muslimin seperti paman Rasulullah Hamzah.
2.       Sebab turun ayat ini, sebagaimana diterangkan al-Thabari dan lainnya, bahwa saat Abu Sufyan dan teman-temannya memenangkan Perang Uhud dan kembali ke Mekkah tanpa menghabisi orang-orang beriman. Sesampainya mereka di daerah “Rauha`”, mereka menyesal mengapa membiarkan Rasulullah dan para sahabat begitu saja, tanpa menawan mereka atau menghabiskan mereka sampai pada akar-akarnya. Setelah itu, orang-orang kafir ingin kembali ke medan perang untuk melaksanakan niat tersebut. Kabar bahwa orang kafir ingin menghabisi orang beriman sampai kepada Rasulullah. Maka Rasulullah bersama para sahabat berangkat untuk memberikan rasa takut dan menunjukkan kepada lawan bahwa mukminin itu kuat. Ketika itu Rasulullah berkata, “Aku ingin menghadapi orang-orang kafir. Tidak ada yang boleh ikut aku kecuali orang-orang yang ikut perang bersama Rasulullah waktu itu (perang Uhud)”. Akhirnya Rasul dan para sahabat menuju ke sebuah tempat yang bernama Hamra`ul asad. Tempat itu terletak di 3 mil dari Madinah. Di tempat itu, orang-orang kafir malah ketakutan dan mengurungkan diri dari peperangan, lalu mereka pulang. (Tafsir al-Thabari: 7/399).
3.       Orang yang berkata bahwa dirinya beriman, dia harus membuktikan keimanannya itu. Banyak pengorbanan yang harus dilakukan untuk membuktikannya. Iman tak cukup hanya di mulut saja. Atau di ahti saja. Dia harus di ikrarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dibuktikan lewat amalan.
4.       Ketaatan orang mukmin kepada Allah itu sempurna dan penuh keyakinan, bukan ‘ala harfin (keraguan). Apapun yang terjadi mereka tetap istiqamah meletakkan Allah dalam hatinya. Bila dia diuji, dia akan menganggap ujian itu tak ada apa-apanya dibanding ujian yang menimpa Rasul dan para sahabat, sehingga mereka bisa bersabar atas apapun yang menimpa mereka.
5.       Salah satu karakter orang beriman adalah gampang menerima nasehat. Gampang taat dan tunduk bila diingatkan dengan ayat Allah. Begitu ayat Allah turun, dia langsung mengamalkan. Karakter semacam inilah yang di contohkan oleh para sahabat. Walupun mereka masih dalam kondisi lemah, bahkan masih dalam kondisi berkabung, mereka tetap setia menjalankan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah. Padahal perintah ini mungkin tidak lebih ringan dari apa yang telah mereka rasakan dalam perang Uhud.
6.       لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ  huruf min dalam kata  مِنْهُمْ  di sini bukan min lit tab’idh atau min yang menunjukkan sebagian. Tetapi min di sini adalah min lil bayan. Yang berarti tetap dari kalangan orang beriman semuanya. Maka makna dari potongan ayat ini adalah bagi semua orang yang berbuat baik dan bertakwa ada pahala yang besar. Adapun salah satu faidah dari menggunaan مِنْهُمْ -wallahu `alam- adalah untuk menunjukan kecilnya jumlah orang yang mempunyai karakter seperti para sahabat. Tidak semua orang yang mengaku beriman, mampu membuktikan keimanannya tersebut dengan amal baik dan ketaqwaan, terutama dalam kondisi susah. Seperti yang dialami para sahabat ketika itu.
7.       Masih ada satu hal yang diingatkan oleh Allah, yaitu: takwa. Hampir seluruh ibadah dan perintah Allah itu ujung-ujung yang ingin dicapai adalah ketakwaan. Karena takwa adalah jima’u kullu khair yaitu yang mengumpulkan segala kebaikan. Misalnya malu karena Allah adalah takwa. Belajar ilmu karena Allah adalah takwa.
8.       Apabila seseorang telah mampu mencapai dan mengistiqamahkan ketaqwaan, maka berbagai keistimewaan Allah akan berikan kepadanya. Baik didunia dan akherat. Di dunia diantaranya, Allah akan memberikan solusi terhadap problem dan diluaskan rizkinya (Ath-Thalaq: 2-3), kemudahan dalam urusan hidupnya (Ath-Thalaq:4), dicurahkan berbagai keberkahan dari langit (al-`Araf:96), disayang Allah, malaikat dan alam semuanya (Ali Imran:76), dijaga dari kajahatan musuh (Ali Imran:120). Adapun diakherat diantaranya, taqwa menjadi syarat terkabulnya amal (al-Maidah:27), pelebur dosa dan pelipat pahala (Ath-Thalaq:5), tidak hanya menjadi pewaris surga, mereka para muttaqin menjadi penghuni VIP di surga (Maryam:85 dan Az-Zumar:73)
9.       أَجْرٌعَظِيمٌ  pahala yang besar. Sebagaimana ni’mah dan fadhl yang nakiroh yang berarti tanpa ada batas, maka ajrun ‘azhim ini juga begitu. Umum yang berarti banyak dan tanpa batas. Dengan kata lain, Allah akan melipatgandakan pahala dan tidak akan mengurangi pahala amalan kita. Baik di dunia maupun di akhirat. Kecuali kerena perbuatan kita sendiri, misalkan dengan riya`, ujub dan ingin mendapatkan pujian dari orang lain. Semua ini tentu akan menyia-nyiakan amal kebaikan kita.

Allah berkalam:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (173) فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ (174)
Artinya:
173– (Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul-Nya) ketika ada orang-orang yang mengatakan kepada mereka, “Orang-orang (yang menjadi lawanmu) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, maka dari itu takutlah kepada mereka.” Ternyata, (ucapan itu) malah menambah keimanan mereka. Dan mereka mengatakan, “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami. Dan Dialah sebaik-baik pelindung.”
174– Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia dari Allah, mereka tidak ditimpa keburukan apapun. Dan mereka telah mengikuti keridhaan Allah. Sedang Allah itu mempunyai karunia yang agung.

Makna Umum dari ayat 173-174
Ayat 173
Pada ayat ini dan sebelumnya, Allah memberikan pujian kepada orang mukmin karena mereka mampu bertahan dan istiqamah dalam mentaati Rasulullah. Bagaimana pun keadaan mereka, mereka tetap berada dalam satu kondisi yaitu sam’an wa tha’atan (mendengar dan mentaati) kepada Rasulullah saw. Pada ayat ini ditegaskan bahwa orang-orang beriman ditakut-takuti dengan jumlah pasukan musuh yang banyak dan bersenjata lengkap. Tetapi mereka tidak peduli itu. Mereka tetap taat kepada Rasul. Beliau memerintah keluar, mereka juga akan tetap keluar, apapun resikonya. Saat mereka ditakut-takuti itu, mereka bukannya malah jadi pengecut. Tapi mereka tambah beriman kepada Allah dan semakin yakin bahwa Allah lah yang mengatur segalanya. Allah lah yang akan menolong mereka. bentuk kepasrahan mereka salah satunya adalah dengan mereka mengatakan: حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ  yaitu cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami. Dan Dialah sebaik-baik pelindung.
Ayat 174
Ayat ini menerangkan tentang hikmah kepasrahan mereka kepada Allah. Mereka dapat kembali ke Madinah dalam keadaan selamat, mendapatkan kenikmatan dan karunia yang tiada taranya. Tanpa luka-luka sedikit pun karena musuh sudah menyerah sebelum perang terjadi. Bahkan mereka bisa sekalian berdagang dan mendapatkan untung. Dengan demikian, Allah menegaskan bahwa mereka yang ikut bersama Rasulullah saw untuk perang melawan Abu Sufyan dan bala tentaranya adalah orang-orang yang benar-benar mengikuti apa yang diperintahkan oleh Rasulullah. Mereka benar-benar setia dan selalu mentaati beliau. Orang-orang seperti ini tak akan pernah rugi. Mereka mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan oleh orang-orang yang tidak ikut bersama Rasul untuk memerangi Abu Sufyan. Terlebih lagi, ternyata mereka tidak jadi perang, tidak ada yang luka, pulang dalam keadaan selamat dan dapat keuntungan dari perdagangan di pasar tahunan Badr Shughra. Ini adalah kenikmatan yang tiada taranya. Apalagi pujian Allah kepada mereka itu akan terus dikenang dan dibaca sampai hari kiamat.


Penjelasan dan Hikmah dari ayat 173 dan 174
Ayat 173
1.       Sebab turun ayat ini sebagaimana dijelaskan para ahli tafsir, ringkasnya adalah bahwa Abu Sufyan ingin kembali memerangi umat Islam. Dia merasa tidak puas karena tidak sempat menghabisi muslimin di perang Uhud. Maka dari itu, dia berkata kepada Nabi Muhammad saw.: kita perang lagi suatu saat nanti di badr ash-shughra. Lalu, lewat umar, Rasulullah menjawab: Baik, insyaAllah. Tatkala sudah tiba waktunya perang, yaitu pada bulan Sya’ban tahun ke 4 (berjarak satu tahun dari perang Uhud, karena perang Uhud terjadi pada bulan Syawwal tahun ke 3), Abu Sufyan berangkat bersama kaumnya dan sudah sampai di marrizh zhahran (nama tempat). Saat itulah Allah memberikan rasa takut di hati Abu Sufyan. Maka dari itu, dia ingin pulang saja. Di tengah jalan ketemu Nu’aim bin Mas’ud yang datang ke Makkah untuk berumroh. Abu Sufyan berkata: “Aku sudah berjanji dengan Muhammad untuk perang. Ternyata sekarang ini paceklik. Aku ingin pulang saja. Tapi, kalau Muhammad berangkat dan aku tidak, maka hal itu akan menambah Muhammad jadi besar kepala. Maka dari itu, kamu pergilah ke Madinah. Kendori semangat mereka supaya mereka tidak jadi pergi ke Badr Ash-Shughra. Sebagai imbalannya, aku akan memberimu 10 unta. Nu’aim sepakat lalu dia pergi ke madinah. Saat muslimun siap-siap, dia berkata: “Dulu di perang uhud udah banyak dari kalian yang terbunuh, kalau kalian keluar lagi dan perang lagi, nggak akan ada yang kembali. Mati semua kalian nanti.” Perkataan Nu’aim ini mempengaruhi sebagian mukminin. Rasul tahu tentang itu lalu bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ini di tangan-Nya, sungguh aku akan keluar menghadapi mereka meskipun aku sendirian”. Lalu Nabi saw. keluar bersama sekitar 70 orang. Ibnu mas’ud ada di sana. Mereka pergi dan akhirnya sampai ke Badr Ash-Shughra. Tetapi Rasul dan para sahabat tidak bertemu dengan seorang pun dari kalangan musyrikin. Di Badr Ash-Shughra pada saat itu lagi ada pasar musiman. Lalu mukminin menggunakan waktu itu untuk jual beli. Mereka untung meski sedirham dua dirham. Setelah itu mereka pulang ke Madinah dalam keadaan selamat. Abu Sufyan juga lantas pulang ke Mekkah.
2.       Ulama berbeda pendapat dalam menentukan siapa النَّاسُ (manusia) yang pertama di ayat ini. Ada yang mengatakan: 1-Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i yang mengendor-ngendori semangat orang beriman tetapi tidak berhasil. Mengapa memakai lafal an-nas padahal yang dimaksud adalah satu orang saja yaitu Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i? Karena dia menjadi wakil dari sekian banyak orang-orang kafir yang dipimpin oleh Abu Sufyan. 2-Rombongan Nu’aim dari kalangan Bani Abdil Qais. Siapapun dia, jelas orang tersebut mempunyai kridibilitas yang tinggi untuk melancarkan perang opini terhadap orang Islam.
3.       Yang dimaksud dengan النَّاسُ (manusia) yang kedua di ayat ini adalah Abu Sufyan dan bala tentaranya.
4.       Salah satu ciri orang beriman adalah tidak merasa takut sedikit pun terhadap orang-orang kafir. Meskipun keadaan mereka sangat didesak dan ditakut-takuti oleh orang kafir, mereka tetap iman kepada Allah dan Rasulullah saw. Semakin mereka ditekan, mereka akan semakin yakin bahwa Allah bersama mereka dan akan selalu meolong mereka. mereka hanya tinggal menunggu waktu saja.
5.       Orang itu kalau benar-benar beriman kepada Allah, bila dia diuji oleh-Nya, dia akan semakin beriman kepada-Nya. Tak akan putus asa. Tak akan berkecil hati. Akan terus semangat dan berpikir positif. Selalu husnudzon pada Allah karena tahu bahwa Allah itu ada pada persangkaan hamba-Nya. Bila dia bekerja, dia selalu berusaha untuk mengikhlaskan niat, profesional (kerjanya bagus dan dapat diandalkan), punya disiplin yang tinggi, optimis dan tidak mudah berhenti sehebat apapun ujian yang menderanya.
6.       Dalam ayat ini, Allah memperjelas tentang bagaimana bentuk kepasrahan orang-orang beriman. Mereka berdoa: حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ {Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami. Dan Dialah sebaik-baik pelindung}. Mereka benar-benar sadar bahwa Allah lah satu-satunya yang bisa menolong. Sehingga tak ada alasan untuk tidak pasrah pada-Nya.
7.       Kalimat حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ  menunjukkan bahwa Allah ingin membangun prinsip orang mukmin yaitu mereka harus menyakini bahwa Allah itu di atas segalanya. Maka di ayat lain disebutkan; ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihil mashir. Maka dari itu, kita harus senantiasa mengikatkan diri kepada Allah. Kalau sudah mengikatkan diri kepada Allah, maka tak akan mungkin kita minder. Pasti akan semangat dalam bekerja dan beramal shalih.
8.       Siapa saja bisa terkena stres. Yang membedakan antara orang beriman dan orang tidak beriman adalah bagaimana dia menghadapai stresor atau penyebab suatu stres. Orang beriman akan terhuyung sesaat saja lalu kembali stabil lagi dan tidak berterus-terusan dalam penderitaan. Dia selalu tahu dan yakin bahwa bila masalah dan halangan itu datang dari Allah, maka yang bisa mengeluarkannya dari masalah dan halangan juga hanya Allah.
9.       Berdasarkan ayat ini, ahlus sunnah wal jamaah berpendapat bahwa Iman itu bertambah dan berkurang. Bertambah atau berkuarngnya terlihat dari baik turunnya kualitas dan kuantitas ibadah seseorang kepada Allah. Tetapi tashdiq (pembenaran/kepercayaan) kepada Allah tidak boleh berkurang. Sebab jika berkurang maka akan jadi syak (ragu). Dan ragu dalam keimanan adalah kafir. Artinya ragu terhadap sesuatu yang seharusnya wajib di percayai. Seperti iman kepada Allah, Malaikat dan hari akhir.
10.    Iman itu terdiri dari tiga unsur. Yaitu: diyakini dalam hati, diucapkan melalui lisan dan dibuktikan melalui amalan. Bila salah satu dari unsur ini hilang, maka imannya tidak sempurna. 3 unsur ini adalah tidak boleh dipisah-pisahkan. Beriman pada ini tapi kafir pada yang lain. Iman dan syirik tidak bisa dijadikan satu. Oleh karena itu, dalam hadits disebutkan bahwa laa yazniz zaani hiina yaznii wa huwa mu`min (pezina tidak akan berzina bila saat itu dia beriman kepada Allah). Jadi, saat dia berzina, secara otomatis, dia telah menyingkirkan iman dia kepada Allah.
11.    Orang yang mengaku beriman, hendaknya bersiap-siap untuk mendapatkan cobaan dari Allah. sebab Allah itu menggunakan cobaan untuk mengukur iman kita. Untuk mengetes apakah kita benar-benar beriman kepada-Nya atau hanya sekadar berkata di mulut saja. Di dunia tidak mungkin kita akan lepas dari cobaan. Kita lepas dari cobaan bila ruh juga telah lepas dari diri kita. Sebab itu dunia ini tempat untuk menanam. Tempat untuk beramal. Tak ada kata istirahat atau bersantai-santai. Istirahat kita adalah bila kita sudah sampai di kubur. Sedangkan akhirat adalah tempat kita menuai hasil. Memanen pahala. Semakin banyak beramal di dunia, maka akan semakin banyak yang akan dipanen di akhirat. Begitu juga sebaliknya.
12.    قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ (mereka telah mengumpulkan untuk kalian). Di sini tidak disebutkan mengumpulkan apa. Tujuan orang kafir adalah supaya orang-orang mukmin mencapai batas maksimal khayalan mereka tentang jumlah musuh dan persenjataannya yang lengkap. Bila orang-orang mukmin sudah membayangkan akan banyak sekali musuh yang datang, maka mereka menyangka itu akan menyurutkan semangat orang mukmin.
13.    Dalam riwayat Shahih Bukhori, dijelaskan bahwa Rasulullah membaca doa ini (حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيل) ketika mendengar perkataan Nuaim. Dan salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ketika ditimpa sesuatu yang dianggap berat adalah: حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ {Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami Dan Dialah sebaik-baik pelindung} (HR. Ibnu Mardawiyah, hadits sagant lemah). Doa ini apabila dibaca dengan benar-benar dan dengan penghayatan, maka efek dari doa tersebut akan amatlah baik bagi diri kita. Doa tidak akan dikabulkan dan tidak akan memberi efek apa-apa bila tidak ada penghayatan di sana.

Ayat 174
1.    فَانْقَلَبُوا orang-orang mukmin kembali ke Madinah dalam keadaan senang. Mereka tidak jadi perang karena musuh tak datang. Tapi bukan berarti mereka kembali dalam keadaan tangan hampa atau tangan kosong. Bahkan mereka mendapatkan kenikmatan dari Allah berupa kemenangan, untung dalam perdagangan, pujian dari Allah dan masih banyak lagi.
2.     مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ  sejatinya, kemuliaan dan ketinggian derajat itu hanya dari Allah saja. Jangan sampai salah paham. Kemuliaan yang dimiliki oleh mukminin dan kafirin itu berbeda. Kalaupun di dunia ini kelihatannya enak tapi keadaan itu akan terus berlanjut. Sering kita ini tertipu oleh realita yang ada. Sering merasa Allah tidak adil memberi rizki pada kita. Kita merasa telah rajin ibadah tapi tidak lebih kaya dari orang kafir. Kita perlu tahu, bahwa dalam Islam itu ada sebuah konsep yang bernama istidraj. Artinya adalah luluan. Mereka dibiarkan semakin menikmati dunia ini. Merasa dengan kenikmatan yang mereka dapatkan karena mereka telah menjalankan kebenaran. Maka, bila telah tahu semua ini, pantaskah kita su`uzhan pada Allah yang mungkin belum memberi kita kekayaan sebanyak orang kafir? Pantaskah kita minder dan merasa mereka lebih mendapatkan kenikmatan? Bila iman masih ada dalam hati, tentu jawabannya adalah tidak.
3.     وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ mereka telah mengikuti keridhaan Allah. Wujudnya adalah dengan mengikuti perintah Rasul. Oleh karena itu, ayat ini ditutup dengan وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ . Ini adalah bentuk penghargaan Allah terhadap orang mukmin yang setia kepada Rasul. Hal ini juga mengakibatkan kekecewaan orang yang tidak ikut perang uhud. Karena tentu mereka tak dapat keutamaan yang diberikan kepada yang ikut perang.
4.     Bila kita benar-benar memahami, maka kita seharusnya sadar bahwa kebahagiaan bagi kita adalah keridhaan Allah saja. Segala sesuatu, senikmat dan sebanyak apapun, bila Allah tidak ridha, itu bukan kebahagiaan. Tetapi sedikit apapun yang kita punya, asal allah ridha, itulah kebahagiaan yang hakiki. Sebab keridhaan Allah-lah yang akan mengantar kita pada jannah yang kenikmatannya abadi. Dan kemurkaan Allah-lah yang akan mengantar kita pada neraka yang kepedihannya abadi.
5.     Bila hati sudah buta, dia akan merasa kurang terus dengan kenikmatan yang telah Allah beri. Semakin tahu ada yang lebih dari apa yang dia miliki, dia semakin berambisi untuk mendapatkannya. Itu karena hatinya sudah buta. Mereka tidak memperdulikan lagi kebarokahan harta benda. Padahal kebarokahan itulah yang paling pentingkarena kebarokahan itu mempengaruhi bertambahnya kebaikan. Sekarangkebarokahan sulit dicari. Manusia lebih mengejar kuantitas (jumlah yang banyak) dan tidak peduli lagi dengan kualitas.

الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 188-191

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 192-194