Tips Menghindari Godaan Setan : Penafsiran Surat An-Nur Ayat 21 dan 22
Q.S
AN-NŪR [24]: 21-22
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ وَمَنْ يَّتَّبِعْ خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ فَاِنَّهٗ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ مَا زَكٰى مِنْكُمْ مِّنْ اَحَدٍ اَبَدًاۙ وَّلٰكِنَّ اللّٰهَ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan! Siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh (manusia mengerjakan perbuatan) yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. Akan tetapi, Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
وَلَا يَاۡتَلِ اُولُوا الۡـفَضۡلِ مِنۡكُمۡ وَالسَّعَةِ اَنۡ يُّؤۡتُوۡۤا اُولِى الۡقُرۡبٰى وَالۡمَسٰكِيۡنَ وَالۡمُهٰجِرِيۡنَ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ ۖ وَلۡيَـعۡفُوۡا وَلۡيَـصۡفَحُوۡا ؕ اَلَا تُحِبُّوۡنَ اَنۡ يَّغۡفِرَ اللّٰهُ لَـكُمۡ ؕ وَاللّٰهُ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ ٢٢
"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka kalau Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang".
Munāsabah surat An-Nūr [24]: 21-22
Ayat 21 surah An-Nūr menegaskan bahwa orang beriman tidak sepatutnya mengikuti langkah-langkah setan ataupun terpengaruh oleh bisikan, bujukan, dan hasutannya. Hal ini termasuk mendengarkan berita bohong, menerima tuduhan palsu, menyebarkannya dari satu orang ke orang lain, hingga menyiarkannya di tengah kaum beriman. Siapa pun yang menuruti ajakan setan untuk melakukan perbuatan keji dan munkar, pada akhirnya akan merugi dan celaka, sebab setan tidak pernah berhenti mendorong manusia untuk berbuat keburukan.[1]
Berbahagialah ketika Allah masih memberi kita peringatan serta membimbing ke jalan yang benar melalui limpahan rahmat dan ampunan-Nya. Sebab, tanpa rahmat dan karunia-Nya, manusia pasti akan mudah terjerumus mengikuti langkah setan. Andaikata bukan karena kasih sayang Allah yang dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya, niscaya tak seorang pun mampu terbebas dari perbuatan keji dan munkar. Hanya mereka yang dikehendaki Allah sajalah yang disucikan dari perbuatan buruk itu—yakni orang-orang yang senantiasa berusaha dan memohon pertolongan kepada-Nya. Dan sungguh, Allah selalu mendengar setiap permohonan, karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.[2]
Ayat 22 menerangkan bahwa orang-orang yang dikaruniai keutamaan dalam hal agama, akhlak, kebaikan, maupun kelapangan rezeki, tidak sepatutnya bersumpah untuk tidak memberikan bantuan kepada kerabat mereka yang miskin, terutama kepada para muhajirin. Salah satu contohnya adalah Misthah r.a., seorang yang miskin, turut berhijrah dari Makkah ke Madinah, dan termasuk sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar. Ayat ini juga menjadi dalil tentang kemuliaan akhlak Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., yang tetap menjalin silaturahmi dan menolong kerabatnya meskipun pernah disakiti. Karena itu, hendaknya seorang mukmin memaafkan kesalahan orang lain, tidak membalas dengan hukuman, dan tetap berbuat baik kepadanya.[3]
Keterkaitan antara kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa jika bukan karena karunia dan rahmat Allah, niscaya manusia akan binasa dan tertimpa azab. Namun, Allah yang Maha Penyantun dan Maha Penyayang berkenan menerima tobat hamba-hamba-Nya dari segala bisikan setan, hasutan, serta perbuatan keji dan munkar. Dengan kasih sayang-Nya, Allah membimbing manusia menuju jalan kebaikan, menunjukkan arah yang paling lurus, serta memperingatkan mereka agar tidak terus-menerus terjebak dalam jalan penyimpangan dan penyelewengan.
Menurut Imam al-Ghazali, istilah al-‘afw (pemaafan) memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan maghfirah (ampunan) Allah. Kata al-‘afw mengandung makna menghapus secara tuntas, mencabut hingga ke akar, bahkan melenyapkan sepenuhnya. Sedangkan maghfirah berasal dari kata yang berarti menutup, sehingga maknanya lebih kepada menutupi kesalahan tanpa benar-benar menghilangkannya. Artinya, dosa yang ditutupi masih tetap ada, hanya saja tidak tampak. Sementara dalam al-‘afw, dosa tersebut benar-benar dihapuskan hingga lenyap, atau paling tidak hanya menyisakan bekasnya saja. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang memerintahkan umat untuk bersikap pemaaf, seperti dalam QS. Al-A‘raf (7): 199 yang menyeru agar manusia menjadi pemaaf, mengajak kepada kebaikan, dan berpaling dari orang-orang yang bodoh.[4]
Ayat 22 dijadikan sebagai landasan hukum dalam menjalin hubungan antarindividu. Ayat ini menegaskan bahwa Islam melarang seseorang bersumpah untuk melakukan hal-hal yang buruk, serta melarang memutus tali silaturahmi, khususnya dengan kerabat dan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Selain itu, ayat ini juga mengajarkan pentingnya berbuat baik dengan niat yang tulus, mampu mengendalikan amarah dengan hati yang lapang, serta senantiasa memberikan maaf atas kesalahan orang lain. Sikap saling memaafkan ini menjadi wujud nyata dari keimanan dan bentuk ketaatan seorang hamba kepada Allah.[5]
Ayat 21 menjelaskan tentang kasih sayang dan kebaikan Allah dalam memberikan ampunan kepada hamba-Nya. Allah Maha Mendengar setiap ucapan dan doa, terutama dari mereka yang terjatuh dalam kemaksiatan lalu berusaha menyucikan diri dari dosa. Seandainya Allah tidak menganugerahkan rezeki berupa kesempatan untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya, serta tidak membersihkan jiwa manusia dari dosa syirik, keburukan, dan akhlak tercela sesuai kadar masing-masing, maka tak seorang pun akan mencapai kesucian dan kebaikan.
Analisa Kebahasaan
Q.S an-Nūr
: 21
لَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ
الشَّيْطٰنِۗ
Potongan ayat tersebut berarti “janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan...”
Menurut kitab tafsir al-Biqā’i larangan ini datang setelah seruan iman (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا), artinya orang-orang beriman pun tetap bisa tergelincir jika mengikuti “jejak” setan sedikit saja, jangan sampai kita berjalan di jalan hidup atau kebiasaan yang dibisikkan oleh setan. Langkah-langkah setan itu bisa berupa cara berpikir, cara bertindak, dan gaya hidup yang menjerumuskan kita.[6]
Tafsir al-munir menjelaskan bahwa لَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ Jalur-jalur godaan, bujuk rayu dan bisikan-bisikan setan dengan menyebarluaskan berita bohong dan desas-desus tentang perbuatan keji. Kata خُطُوٰتِ berarti strategi bertahap setan, maksudnya adalah setan menggoda manusia sedikit demi sedikit. Awalnya hanya hal kecil, tapi kalau dibiarkan, langkah kecil itu akan berlanjut ke langkah berikutnya, sampai akhirnya bisa menjerumuskan manusia ke dalam dosa besar dan bahkan neraka.[7]
فَاِنَّهٗ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ
Potongan ayat tersebut berarti “maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh (manusia mengerjakan perbuatan) yang keji dan mungkar”
Menurut kitab tafsir al-Biqā’i “Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka setan itu pasti akan menyuruhnya kepada perbuatan keji (fahsyā’) dan perbuatan mungkar.” Fahsyā’ maksudnya dosa-dosa besar yang menjijikkan, seperti zina dan hal-hal cabul. Sedangkan mungkar adalah segala hal yang tidak diridai dan tidak dibenarkan oleh syariat.[8] Jadi, kalau sudah ikut setan, ujung-ujungnya pasti ke arah dosa besar dan pelanggaran agama.
Kitab Tafsir al-Munir menjelaskan يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاۤءِ menyuruh perbuatan yang sangat buruk dan keji. والمنكر Dan perbuatan mungkar, yaitu apa yang diingkari, dikecam, dan ditolak oleh jiwa-jiwa yang lurus serta diingkari, dikecam dan ditolak oleh syara'. Kalimat ini menjelaskan illat atau alasan larangan mengikuti langkah-langkah setan.[9]
يَأْمُرُ akar katanya أ م ر artinya memerintah / menyuruh. يَأْمُرُ fi‘il mudhāri‘ (kata kerja sedang/akan) “ia memerintahkan”. Berarti fi‘il mudhāri‘
marfu‘ karena tidak ada amil jazm (seperti la nahiyah, man syarth) atau amil
nasb (seperti lan, an). Tanda rafa’ dhammah pada akhirnya (يَأْمُرُ). Fa‘il (subjeknya) dhamir mustatir (kata
ganti tersembunyi (هو) yang kembali pada الشَّيْطٰنِ (setan). Kata يَأْمُرُ adalah khabar dari “اِنَّ” pada kata sebelumnya (فَإِنَّهُ). بِالْفَحْشَاۤءِ, بِ disini sebagai huruf jar yang
menunjukkan keterkaitan, berarti kepada/dengan. الْفَحْشَاۤءِ sebagai isim majrur karena masuk huruf jar, dari akar kata ف
ح ش bermakna
sesuatu yang sangat buruk/tercela. Termasuk ke dalam isim nakirah yang kemudian
dima’rifahkan dengan ال . بِالْفَحْشَاۤءِ disini sebagai jar wa majrur, kedudukannya muta’alliq (terikat) dengan
fi’il يَأْمُرُ . Jadi ia (setan) memerintahkan kepada perbuatan keji dan
selalu mengarahkan manusia kepada dosa yang tercela. وَالْمُنْكَر, و disini sebagai huruf athaf (kata sambung).
الْمُنْكَر termasuk isim
ma’rifah dengan ال . akar katanya ن
ك ر yang bermakna
tidak kenal/ ditolak. الْمُنْكَر kedudukannya isim majrur dengan kasrah
karena di athaf kan pada بِالْفَحْشَاۤءِ Yakni segala bentuk maksiat lain, yang
bertentangan dengan syariat dan akal sehat.
فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهٗ مَا زَكٰى مِنْكُمْ مِّنْ اَحَدٍ اَبَدًاۙ
Potongan ayat tersebut berarti “Karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu” maksudnya disini menurut
kitab tafsir al-Biqā’i kalau hanya mengandalkan kemampuan kita sendiri,
mustahil kita bisa menjaga diri dari dosa. Yang
bisa membuat hati kita suci dan menjaga kita dari godaan hanyalah Allah Swt.
فَضْلُ اللّٰهِ, فَضْلُ akar katanya ف-ض-ل berarti kelebihan, karunia atau sesuatu yang lebih. I‘rab nya sebagai
(mubtada’ marfū’/ subjek kalimat). Tanda rafa’-nya, dammah pada huruf terakhir
(فَضْلُ) menjadi mubtada (subjek) utama pada kalimat “
فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ”. اللّٰهِ sebagai mudhaf ilaih majrur,
bertanda jar kasrah diakhir kata, disandarkan pada فَضْلُ yang berarti “karunia itu milik Allah”. عَلَيْكُمْ, عَلَى sebagai (huruf jar) dalam konteks
ini bermakna “atas” atau “menimpa kalian”. Karena sebagai huruf jar, kata
setelahnya otomatis majrur. كُمْ sebagai dhomir (ضمير
متصل) kata ganti
orang kedua jamak (kalian). Kedudukannya sebagai (isim majrur) karena menjadi
objek dari huruf jar على. Letaknya sekaligus menjadi mudhaf ilaih karena
langsung melekat pada huruf jar.
رَحْمَتُهٗ sebagai mubtada’ atau bisa juga
di-‘athaf-kan kepada fadlu dalam kalimat sebelumnya: fadlullāh). Akar katanya ر-ح-م berarti kelembutan, kasih sayang, melindungi, memberi kebaikan. Bentuknya isim muannats. Harakat akhirnya dammah karena
sebagai mubtada’/ma‘tūf marfū. هُ sebagai
damir (kata ganti) yakni mudhof ilaih, kembali kpd Allah. وَرَحْمَتُهٗ berarti rahmatnya yang di athafkan pada fadlullah.
مِّنْ اَحَدٍ, مِّنْ di sini disebut za’idah li at-tawkid (huruf min tambahan untuk menguatkan
makna penafian). Kata أَحَدٍ jadi fa‘il (subjek) dari زَكٰى, tapi karena ada min za’idah maka lafaznya
majrūr, meski kedudukannya sebagai subjek, maknanya: “tidak seorang pun”. اَبَدًاۙ berarti (keterangan waktu), manshub dengan fathah. Artinya
“selama-lamanya / sekali-kali”.
وَّلٰكِنَّ
اللّٰهَ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Potongan ayat tersebut berarti “Akan tetapi, Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Maksudnya, Allah dengan karunia-Nya
membersihkan jiwa hamba yang dikehendaki-Nya, karena Allah tahu siapa yang
sungguh-sungguh ingin menjauhi dosa, dan Allah mendengar doa serta permintaan
hamba-hamba-Nya.
يُزَكِّيْ sebagai fi‘il mudhāri‘, marfū‘ dengan ḍammah. Dari akar زكى (suci).
Bentuknya mazīd (bentuk II: زكّى - يزكّي), artinya menyucikan, membersihkan. مَنْ
يَّشَاۤءُۗ, مَنْ sebagai isim maushūl (kata sambung), jadi
maf‘ūl bih dari “يُزَكِّيْ”. يَشَاءُ sebagai fi‘il muḍāri‘, artinya
“Dia kehendaki”. Menjadi ṣilah al-mawṣūl.
Menjauhi
sebab-sebab dosa hukumnya wajib, bukan hanya menjauhi dosa itu sendiri. Kehati-hatian
dan pengendalian diri adalah bagian dari ketaatan. Setiap Muslim bertanggung
jawab menjaga diri dan lingkungannya dari pengaruh yang dapat menjerumuskan
secara bertahap. Dengan demikian, secara fikih, ayat ini tidak hanya melarang
perbuatan maksiat secara langsung, tetapi juga melarang segala bentuk perbuatan
kecil, kebiasaan, atau sikap yang menjadi jalan menuju maksiat karena dari
situlah setan memulai tipu dayanya.
Q.S an-Nūr [24]: 22
وَلَا يَاۡتَلِ اُولُوا الۡـفَضۡلِ مِنۡكُمۡ وَالسَّعَةِ اَنۡ يُّؤۡتُوۡۤا اُولِى الۡقُرۡبٰى وَالۡمَسٰكِيۡنَ وَالۡمُهٰجِرِيۡنَ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ ۖ وَلۡيَـعۡفُوۡا وَلۡيَـصۡفَحُوۡا ؕ اَلَا تُحِبُّوۡنَ اَنۡ يَّغۡفِرَ اللّٰهُ لَـكُمۡ ؕ وَاللّٰهُ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ ٢٢
"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka kalau Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang".
Maksudnya dari ayat tersebut menurut al-Biqā’i adalah orang kaya jangan sampai berhenti membantu hanya karena sudah terlanjur bersumpah. Harta dan kedudukan yang mereka punya adalah pemberian Allah, jadi jangan ditahan untuk kebaikan. Kalau menahan bantuan, itu bisa bikin hati kotor: jadi kikir, sombong, dan meremehkan orang lain. Justru kalau tetap memberi, Allah tambahkan pahala dan keberkahan pada harta mereka. Pada potongan ayat اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ “Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian?” Maksudnya, jika kalian memaafkan dan terus berbuat baik, maka Allah pun akan memberikan ampunan yang lebih besar.
Dalam Kitab Tafsir al-Misbah Kata (يَأْتَلِ) terambil dari kata (آل) dan (إئتلى) yakni bersumpah. Kata ini pada umumnya digunakan untuk sumpah yang pengucapnya bermaksud menyatakan tekadnya untuk tidak melakukakan sesuatu. Dalam konteks ayat ini adalah sumpah Sayyidinâ Abu Bakar ra. untuk tidak lagi membantu Misthah yang selama ini dibantunya. Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa ketika Rasul saw. membaca ayat ini di hadapan Sayyidinâ Abu Bakr firman Allah اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ “apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu?” Abu bakar menjawab “Saya ingin diampuni Allah”, dan ketika itu juga beliau membatalkan sumpahnya dan melanjutkan bantuannya kepada Misthah sebagaimana sediakala.[10]
Kata يَغْفِرُ berasal dari akar kata عفو., yang memiliki beberapa makna seperti meninggalkan, menutupi, menghapus, atau memberikan kelebihan. Dari makna tersebut, عَفْو dipahami sebagai tindakan memaafkan yakni tidak menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah, menutupi kesalahan, bahkan menghapusnya hingga benar-benar lenyap tanpa bekas. Oleh karena itu, istilah ini juga sering digunakan untuk menggambarkan bentuk perlindungan Allah dari keburukan atau limpahan karunia yang dapat diberikan kepada orang lain. Menurut Imam al-Ghazali,‘afw atau pemaafan Allah memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan maghfirah-Nya. Hal ini karena al-‘afw bermakna menghapus dan melenyapkan secara tuntas, sedangkan maghfirah berasal dari kata yang berarti menutup. Sesuatu yang ditutupi sejatinya masih ada, hanya tersembunyi dari pandangan, sementara yang dihapus melalui ‘afw benar-benar hilang, dan jika pun tersisa, hanyalah bekasnya saja.
Kata وَلْيَصْفَحُوا berasal dari akar kata الصَّفْح. Menurut pakar bahasa Al-Qur’an, ar-Raghib al-Ashfahani, dalam karyanya Al-Mufradāt istilah ash-shafh memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan al-'afw. Dari akar kata ash-shafh juga muncul kata shafhah, yang berarti “lembaran yang terbuka atau terhampar.” Makna ini memberi gambaran bahwa seseorang yang melakukan ash-shafh seakan-akan membuka lembaran baru yang bersih dan suci, lembaran yang belum pernah ternoda oleh kesalahan apa pun, dan karena itu tidak ada lagi yang perlu dihapus darinya.
Kata الْفَضْلِ sebagai mudhāf ilayh (kata kedua dari idhāfah), majrūr karena sebagai mudhāf; tanda majrūr berupa kasrah pada akhir lafaz artinya keutamaan/kelebihan. السَّعَةِ di-‘athaf-kan, majrūr dengan kasrah, artinya keluasan (harta/kebaikan). اَنْ يُّؤْتُوْٓا sebagai masdar mu’awwal, berfungsi sebagai maf‘ūl bih dari يَأْتَلِ .اُولِى الْقُرْبٰى, أُولِي: maf‘ūl bih, manṣūb dengan tanda-nya berupa yā’ karena ia termasuk jama‘ mudzakkar sālīm dan nunnya dihilangkan untuk idhāfah. الْقُرْبٰى sebagai mudhāf ilayh; majrūr dengan tanda berupa kasrah yang diqaddar karena adanya kesulitan pengucapan. اُولِى الْقُرْبٰى bermakna kerabat dekat, objek pemberian. الْمَسَاكِين yakni orang miskin, di-‘athaf-kan.
الْمُهٰجِرِيْنَ manṣūb dengan yā’ karena jama‘ mudzakkar sālīm. الْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ yakni kaum muhajirin yang berhijrah karena Allah, juga di-‘athaf-kan. وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُووَلْيَعْفُوا: wāw ‘aṭf, lam amr (huruf perintah/jazm) membangun atas sukun, ya‘fū adalah fi‘il mudhāri‘ majzum, tanda jazm berupa hilangnya nun karena termasuk fi‘il khamsah; dan wāw al-jamā‘ah dhamīr muttasil marfū‘ fā‘il. Berarti hendakhlah mereka memaafkan. وَلْيَصْفَحُوا: sama seperti waly‘fū—‘aṭf, lam amr, fi‘il mudhāri‘ majzum, fā‘il dhamīr wāw jamā‘ah, berarti hendaklah mereka berlapang dada. Makna dari عفو menghapus kesalahan,tidak menghukum, makna dari صفح berpaling dari kesalahan, tidak menyimpan dendam. أَلَا = istifhām (pertanyaan) untuk menggugah hati. تُحِبُّونَ = fi‘il mudhāri‘, “apakah kalian tidak suka…?” اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ sebagai masdar mu’awwal sebagai objek, artinya “bahwa Allah mengampuni kalian.”
Meminta maaf adalah wajib bagi yang melakukan kesalahan kepada orang lain, sedangkan memaafkan itu sangat dianjurkan bagi yang disakiti. Namun, kedua tindakan ini harus dilakukan dengan ketulusan, tanpa paksaan, agar bernilai ibadah dan menjaga keharmonisan hubungan antar manusia. Karena permintaan maaf seharusnya muncul dari ketulusan hati dan kesadaran penuh atas kesalahan yang telah dilakukan.
Tujuan Surah An-Nūr Ayat 21-22
Mencegah kerusakan moral dengan melarang mengikuti خطوات الشيطان (langkah-langkah setan) yang selalu mengajak pada fahsya’ (keji) dan munkar, larangan ini berfungsi sebagai tameng akhlak bagi orang yang beriman.
Menegaskan bahwa penyucian diri (tazkiyah) merupakan karunia dan rahmat Allah, tanpa itu tidak akan benar-benar bersih dari dosa. Tujuannya, menumbuhkan tawadhu’ atau sikap rendah hati dan ketergantungan pada rahmat-Nya.[11]
Mengarahkan “orang-orang berkelapangan” untuk tetap berbuat ihsan: terus menafkahi kerabat, fakir miskin, dan para Muhajirin; jangan bersumpah untuk berhenti memberi hanya karena tersinggung. Tujuannya, menjaga solidaritas dan silaturahmi.
Menjadikan pemaafan sebagai jalan meraih ampunan Allah. Frasa “Apakah kalian tidak suka Allah mengampuni kalian?” maksudnya apabila ingin mendapatkan ampunan dari Allah maka hubungan horizontal (manusia dengan manusia) harus diperbaiki yaitu dengan memaafkan.[12]
Pada akhirnya, kombinasi kedua ayat ini membentuk pesan utuh: Jauhilah dosa dan godaan setan, namun jika saudaramu jatuh dalam kesalahan, rangkullah dengan maaf dan kasih sayang. Allah yang Maha Penyayang telah menunjukkan betapa besar ampunan-Nya, maka kita pun harus meneladani sifat itu. Dengan memaafkan dan tetap berbuat ihsan kepada yang bersalah, kita sebenarnya sedang menyucikan diri dan masyarakat dari keburukan, serta berharap memperoleh pengampunan Allah di dunia dan akhirat. Inilah hikmah agung dari turunnya Surah An-Nur ayat 21–22: membangun masyarakat bertakwa yang bersih dari perbuatan keji, dan sekaligus masyarakat penyayang yang penuh dengan semangat saling memaafkan demi meraih ridha Allah swt. Jadi, inti tujuan dari surah An-Nur ayat 21-22 adalah untuk membangun masyarakat yang bersih dari dosa sekaligus lapang hati dalam memaafkaan dan memberi. [13]
Analisis Surah An-Nūr [24]: 21–22
Surah An-Nūr
ayat 21
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّيۡطٰنِ ؕ وَمَنۡ يَّتَّبِعۡ خُطُوٰتِ الشَّيۡطٰنِ فَاِنَّهٗ يَاۡمُرُ بِالۡـفَحۡشَآءِ وَالۡمُنۡكَرِ ؕ وَلَوۡلَا فَضۡلُ اللّٰهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهٗ مَا زَكٰى مِنۡكُمۡ مِّنۡ اَحَدٍ اَبَدًا وَّلٰـكِنَّ اللّٰهَ يُزَكِّىۡ مَنۡ يَّشَآءُ ؕ وَاللّٰهُ سَمِيۡعٌ عَلِيۡمٌ
Artinya: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
setan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu
hanya menyuruh berbuat keji dan mungkar. Dan sekiranya bukan karena karunia
Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu
bersih (dari dosa) selama-lamanya. Tetapi Allah membersihkan (mensucikan) siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”)
Asbāb al-nuzūl : Para ulama mengaitkan konteks turunnya ayat 21
ini dengan peristiwa Hadits al-Ifk (berita bohong terhadap ‘Aisyah رضي الله عنها).
(H.R. Bukhari. No.3136)[14]
Setelah
tersebarnya fitnah keji tersebut di Madinah, Allah menurunkan serangkaian ayat
untuk menegur dan mendidik kaum Muslimin. Ayat 21 datang sebagai peringatan
agar orang beriman tidak terpedaya mengikuti jejak langkah setan, yakni jangan
sampai mengulangi perbuatan menyebarkan desas-desus keji dan kemungkaran seperti
yang telah terjadi. Dengan demikian, ayat ini merupakan kelanjutan nasihat
Allah pasca kasus fitnah terhadap ‘Aisyah, agar para sahabat tidak larut dalam
godaan setan untuk menuduh tanpa bukti atau melakukan tindakan tercela lainnya.
[15]
Imam
Ibn Katsir menjelaskan bahwa larangan “jangan ikuti langkah setan” disampaikan
Allah dengan ungkapan yang sangat fasih, ringkas, dan tegas. Setan digambarkan
sebagai musuh nyata, dan “langkah-langkahnya” mencakup setiap ajakan kepada
dosa. Ibn Katsir juga menegaskan bahwa kalimat “Sekiranya bukan karena
karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian, niscaya tak seorang pun dari kalian
menjadi suci” mengandung makna bahwa manusia tidak mampu menyucikan diri
tanpa pertolongan Allah. Ini menegaskan konsep tazkiyatun nafs, bahwa
hanya dengan karunia dan rahmat-Nya jiwa dapat terjaga dari dosa. [16]
Quraish
Shihab dalam Tafsir al-Misbah menggarisbawahi pandangan serupa: tanpa
rahmat Allah, tidak seorang pun mampu mensucikan jiwanya. Allah-lah yang
memberi taufik dan menyucikan siapa pun yang Dia kehendaki. Artinya, setiap
kemampuan manusia untuk bertaubat dan terlepas dari dosa adalah semata karunia
Allah. Hal ini mengajarkan kerendahan hati: jangan pernah merasa diri sudah
suci, karena “Allah Maha Menyucikan siapa yang Dia kehendaki.”[17] Al-Razi
menambahkan bahwa frasa وَاللهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ (Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui) di akhir ayat
menegaskan bahwa Allah mendengar ucapan hamba-hamba-Nya dan mengetahui siapa
yang tulus ingin bertaubat serta siapa yang masih mengikuti langkah-langkah
setan. Maka, orang beriman hendaknya selalu waspada terhadap godaan setan dan
bersyukur atas karunia serta rahmat Allah yang menjaga mereka dari terjerumus
ke dalam dosa.
Surah An-Nūr
ayat 22:
وَلَا يَاۡتَلِ اُولُوا الۡـفَضۡلِ مِنۡكُمۡ وَالسَّعَةِ اَنۡ يُّؤۡتُوۡۤا اُولِى الۡقُرۡبٰى وَالۡمَسٰكِيۡنَ وَالۡمُهٰجِرِيۡنَ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ ۖ وَلۡيَـعۡفُوۡا وَلۡيَـصۡفَحُوۡا ؕ اَلَا تُحِبُّوۡنَ اَنۡ يَّغۡفِرَ اللّٰهُ لَـكُمۡ ؕ وَاللّٰهُ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ
Artinya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai
kelebihan rezeki dan kelapangan di antara kamu bersumpah (untuk tidak memberi)
kepada kaum kerabat, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di
jalan Allah. Hendaklah
mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah
mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Asbāb al-nuzūl : Ayat 22 turun
berkenaan dengan Abu Bakr ash-Shiddīq رضي الله عنه dan kerabatnya, Mistah
bin Utsathah, seorang Muhajir miskin yang ikut perang Badar. Abu Bakr biasa
menafkahinya karena hubungan keluarga dan kedermawanannya. Namun, saat
peristiwa Hadits al-Ifk, fitnah terhadap ‘Aisyah, putri Abu Bakr dan
Mistah ikut terpengaruh menyebarkan gosip. Tersinggung oleh hal itu, Abu Bakr
bersumpah, “Demi Allah, aku tidak akan lagi memberi bantuan kepadanya.”
Allah
pun menurunkan firman-Nya menegur beliau: “Janganlah orang-orang yang
berkelebihan bersumpah untuk tidak memberi kepada kaum kerabat…” hingga “Apakah
kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?” (QS. An-Nūr [24]: 22). Mendengar
ayat ini, Abu Bakr menangis dan berkata, “Tentu, demi Allah, aku ingin Allah
mengampuniku,” lalu mencabut sumpahnya dan kembali menafkahi Mistah seperti
semula. Sikap itu menunjukkan ketulusan imannya dan menegaskan gelarnya sebagai
ash-Shiddīq.[18]
Menurut
al-Qurṭubī, ayat ini menjadi perumpamaan moral: “Sebagaimana kalian
mencintai ampunan Allah, maka maafkanlah orang yang berbuat salah kepada kalian.”
Nabi saw juga bersabda, “Barang siapa tidak menyayangi orang lain, maka ia
tidak akan disayangi Allah.” Penutup ayat ini, Al-Ghafūr Ar-Raḥīm,
menegaskan bahwa Allah sendiri Maha Pengampun dan Maha Penyayang dan manusia
seharusnya meneladani sifat itu dalam hubungan sosialnya.[19]
Ibn
Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kelembutan Allah yang melembutkan
hati Abu Bakr agar menyambung kembali silaturahim. Kalimat “Tidakkah kamu
ingin Allah mengampunimu?” mengandung makna bahwa ampunan Allah sejalan
dengan tindakan hamba yang mau memaafkan. Setelah itu, Abu Bakr berkata, “Saya
ingin Allah mengampuniku,” dan bersumpah tidak akan memutus kebaikan kepada
Mistah lagi. Ibn Katsir menjelaskan
bahwa ayat ini menunjukkan kelembutan Allah yang melembutkan hati Abu Bakr agar
menyambung kembali silaturahim. Kalimat “Tidakkah kamu ingin Allah
mengampunimu?” mengandung makna bahwa ampunan Allah sejalan dengan tindakan
hamba yang mau memaafkan. Setelah itu, Abu Bakr berkata, “Saya ingin Allah
mengampuniku,” dan bersumpah tidak akan memutus kebaikan kepada Mistah lagi. [20]
Meskipun sebab khusus ayat ini adalah peristiwa Abu Bakr dan Mistah, al-Qurṭubī
menegaskan bahwa pesannya berlaku umum: setiap mukmin yang lapang rezekinya
tidak boleh menahan kebaikan karena marah kepada saudaranya. Imam Al-Qurtubi
menambahkan bahwa meski sebab khusus turunnya ayat ini adalah kasus Abu Bakr
dan Mistah, perintahnya berlaku umum bagi umat hingga hari kiamat. Setiap orang beriman yang dilapangkan rezeki dan kemuliaan tidak
boleh tersulut amarah lantas bersumpah menghentikan kebaikan selamanya terhadap
saudaranya yang pernah khilaf. Sebaliknya, ia diajak meneladani kelembutan
Allah yang tetap mengasihi hamba-hamba-Nya meski mereka berbuat dosa.[21]
Para
ulama menilai ayat ini sebagai salah satu ayat yang paling memberi harapan bagi
pendosa. Ia mengajarkan bahwa Allah selalu membuka pintu ampunan bagi yang
bertaubat dan saling memaafkan. Dari sisi hukum, sumpah untuk menahan kebaikan
dihukumi makruh, bahkan bisa berdosa jika kebaikan itu diperintahkan
agama. Karena itu, siapa pun yang terlanjur bersumpah demikian dianjurkan
membayar kaffārah dan tetap melakukan kebaikan, sebagaimana dicontohkan
Abu Bakr.
Menariknya, frasa "Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu?" menunjukkan motivasi spiritual: seorang mukmin memaafkan bukan semata-mata karena hubungan kekerabatan atau pertemanan, tetapi karena ia berharap ampunan Allah atas dosa-dosanya sendiri. Dengan demikian, pemaafan dalam ayat ini berakar pada kesadaran akan kasih sayang Allah yang tak terbatas. Dalam kajian psikologi Islam, sikap memaafkan memang sering berkaitan dengan pengalaman spiritual dan keinginan untuk mendapatkan ampunan Allah.[22]
Kesimpulan
Kesimpulannya, Q.S. An-Nūr ayat 21–22 menegaskan larangan bagi orang beriman untuk mengikuti langkah-langkah setan. Setan menjerumuskan manusia secara perlahan, dari hal-hal kecil hingga akhirnya pada dosa besar, sehingga manusia tidak akan mampu menjaga kesuciannya tanpa pertolongan, karunia, dan rahmat Allah. Oleh karena itu, ayat ini mengajarkan pentingnya kerendahan hati dan kesadaran bahwa hanya Allah yang dapat menyucikan jiwa manusia.
Selanjutnya, Allah memerintahkan orang-orang yang memiliki kelapangan harta dan kedudukan agar tidak berhenti memberi hanya karena tersinggung atau bersumpah. Perintah ini turun berkenaan dengan Abu Bakar ra. yang sempat bertekad berhenti membantu Mistah karena keterlibatannya dalam fitnah terhadap Aisyah. Namun, setelah turun ayat ini, beliau segera mencabut sumpahnya dan kembali membantu seperti semula. Hal ini menunjukkan bahwa sikap pemaaf dan tetap berbuat baik adalah bagian dari ajaran Islam yang mulia. Makna memaafkan dalam ayat ini mencakup al-‘afw (memaafkan dengan menghapus kesalahan) dan ąs-şafh (melupakan kesalahan dan membuka lembaran baru). Dengan memaafkan orang lain, seorang mukmin sejatinya berharap Allah juga mengampuni dosanya.
Secara keseluruhan, ayat 21–22 memberikan pesan penting untuk menjauhi bisikan setan, tidak berhenti berbuat kebaikan, dan membangun masyarakat yang saling memaafkan serta penuh kasih sayang. Pemaafan dan kasih sayang bukan hanya menjaga keharmonisan sosial, tetapi juga menjadi jalan untuk meraih ampunan dan ridha Allah.
[1] Wahbah Az- Zuhaili, “Terjemah
Tafsir Al-Munir Jilid 9,” Gema Insani
9 (2018): 43–45.
[2] M. Quraish Shihab, "Tafsir Al-Misbah" (Jakarta: Lentera Hati, 2008) : 308-309.
[3] Wahbah
Az-Zuhaili, “Terjemah Tafsir Al-Munīr,” Gema
Insani (2018).
[4] Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta:
Lentera Hati, 2008) : 310-312.
[5] Mayyadah,
“Analisis Sosial Hukum Islam Dalam Qs An-Nur Ayat 22,” Al-Risalah Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum 1, no. 1 (2021): 39.
[6] Al-Biqā’i, Nadzmu
Al-Durār Fī Tanāsub Al-Ayāt Wa Al-Suwar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2006).
[7] Wahbah Az- Zuhaili, Terjemah
Tafsir Al-Munir Jilid 9 (Jakarta: Gema Insani, 2018) : 466.
[8] Al-Biqā’i, Nadzmu
Al-Durār Fī Tanāsub Al-Ayāt Wa Al-Suwar.
[9] Wahbah Az-uhaili, Terjemah Tafsir
Al-Munir Jilid 9 (Jakarta :Gema Insani, 2018) : 456.
[10] Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 9 (Jakarta: Lentera Hati, 2008) : 310.
[11] Ahmad
Najamuddin Shiddiq, “Rahmat Allah Yang Tak Terbatas: Menelusuri Ayat-Ayat
Tentang Kasih Sayang-Nya,” Jurnal
Cendekia Ilmiah 4, no. 2 (2025): 1824.
[12] Imam
As-Suyuthi, Asbabun Nuzul (Jakarta:
pustaka Al-Kautsar, 2014).
[13] Najamuddin Shiddiq Yayayasan Khazanah Kebajikan Jakarta,
“Rahmat Allah Yang Tak Terbatas: Menelusuri Ayat-Ayat Tentang Kasih
Sayang-Nya.” : 1821-1825.
[14] Muhammad
Ibnu Ismail Al-Bukhari, Terjemah Hadis
Shahih Bukhari (Jakarta: Widjaya, 1986).
[15] Imam As-Suyuthi, Asbabun
Nuzul/Lmam As-Suyuthi; Penerjemah; Andi Muhamad Syahrii Dan Yasir Maqasid,
(Jakarta: pustaka Al-Kautsar, 2014).
[16] H. Salim
Bahreisy and H. Said Bahreisy, Terjemah
Singkat Tafsir Ibnu Katsir 7 (surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 2005) hal. 477.
[17] Muhammad
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol. 9
(Lentera Hati, n.d.).
[18] As-Suyuthi,
Asbabun Nuzul/Lmam As-Suyuthi;
Penerjemah; Andi Muhamad Syahrii Dan Yasir Maqasid,.
[19] Syamsuddin
Al-Qurtubi, Terjemah Tafsir Al-Qurthubi
(Pustaka Azzam, n.d.).
[20] Bahreisy,
Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir 7.
hal. 479.
[21] Al-Qurtubi,
Terjemah Tafsir Al-Qurthubi.
[22] Baharuddin
AR, “Toleransi Beragama Dalam Perspektif Islam,” Serambi Tarbawi 9, no. 1 (2021): 45–62.

Komentar
Posting Komentar