Jodoh Adalah Cerminan Diri : Penafsiran QS. An-Nur Ayat 26
Anjuran
dalam memilih pasangan hidup yang paling umum adalah mengacu pada tiga hal
sepaham, seimbang dan sederajat atau dalam Bahasa Arab disebut kafā’ah.
Diamati dari kehidupan sekitar, setiap individu menjalani kehidupannya dengan
minat yang berbeda-beda. Beragam minat tersebut kemudian membentuk cara
berpikir masing-masing orang dalam menentukan pilihan yang mereka sukai. Hal
ini juga berhubungan dengan proses memilih pasangan hidup.
Memilih
pasangan hidup merupakan hal yang sangat penting untuk memastikan
keberlangsungan dalam membangun sebuah keluarga. Secara umum, kaum Muslimin
memandang keluarga sebagai hubungan yang paling penting dalam kehidupan. Dalam
mengharapkan sebuah keluarga yang kedepannnya akan menjadi keluarga yang sejahtera, memerlukan hubungan yang harmonis antara kedua pihak, yaitu suami
dan istri.
Hubungan
antara suami dan istri yang dimaksud dalam menjalankan kehidupan rumah tangga
secara umum didasarkan pada prinsip “pergaulan suami istri yang baik”.[1] Ungkapan
tentang pergaulan yang baik antara suami dan istri jelas menjadi pondasi kuat
dalam kehidupan rumah tangga. Kehidupan rumah tangga yang sejahtera dapat tercipta melalui hubungan suami istri yang harmonis dan seimbang,
di mana keduanya mampu saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.
Perbedaan
latar belakang antara pasangan dapat memengaruhi hubungan suami istri.
Biasanya, hal yang sering dibandingkan dalam pernikahan meliputi kedudukan,
pendidikan, kekayaan, status sosial, dan agama. Dari berbagai aspek tersebut,
yang paling penting untuk diprioritaskan adalah kesamaan dalam hal agama.[2] Pentingnya
mengedepankan aspek keagamaan karena hubungan rumah tangga yang harmonis akan
terbentuk dari landasan agama yang sama, bukan yang berbeda. Berangkat dari
landasan agama tersebut maka, seluruh aspek akan terpenuhi dengan sendirinya.
Bermula
dari permasalahan diatas, tugas artikel ini ingin memaparkan mengenai konsep kafā’ah,
dan keluarga yang disebut “cinta
dan kasih sayang serta Rahmat dan saling memahami” yang
terkandung dalam surat An-Nur ayat 26 menggunakan metode tematik.
PEMBAHASAN
Q.S
an-Nūr Ayat 26
اَلْخَبِيْثٰتُ
لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ
لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ
مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ
ࣖ
Terjemah:
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang baik) itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.”
Munasabah
QS. An-Nūr Ayat 26
QS. An-Nūr ayat 25 menjelaskan bahwa Allah akan memberikan balasan yang adil
kepada orang-orang yang menuduh perempuan suci dengan tuduhan zina. Ayat ini
menjadi peringatan bagi siapa pun yang menebar fitnah tanpa bukti, karena
setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Selanjutnya, QS. An-Nūr ayat 26
hadir sebagai bentuk pembelaan Allah terhadap ‘Āisyah ra., istri Rasulullah
saw., yang difitnah dalam peristiwa al-ifk. Ayat ini menegaskan bahwa perempuan
baik hanya pantas bagi laki-laki yang baik, dan sebaliknya. Pernyataan ini
membantah tuduhan kaum munafik serta menunjukkan bahwa Allah menjaga kehormatan
Rasul dan keluarganya.
QS. An-Nūr ayat 27 kemudian berisi
pedoman etika sosial agar kaum mukmin menjaga adab pergaulan, seperti meminta
izin sebelum memasuki rumah orang lain. Hal ini menunjukkan pentingnya menjaga
kehormatan diri dan orang lain agar tidak menimbulkan prasangka buruk atau
fitnah di masyarakat.[3]
Peristiwa al-ifk yang menimpa
‘Āisyah ra. menjadi pelajaran penting bagi umat Islam tentang bahayanya
penyebaran fitnah dan pelanggaran adab sosial. Setelah Allah membebaskan
‘Āisyah ra. dari tuduhan melalui ayat 26, ayat berikutnya, QS. An-Nūr ayat 27,
turun untuk menanamkan etika sosial di tengah masyarakat. Dalam ayat itu, Allah
melarang seseorang memasuki rumah orang lain tanpa izin dan salam terlebih
dahulu.
Larangannya bukan sekadar aturan
sopan santun saja, namun juga sebagai bentuk pencegahan agar tidak timbul
prasangka, kecurigaan, atau fitnah seperti yang pernah terjadi dalam peristiwa
‘Āisyah al-ifk. Demikian, ayat 27 memiliki keterkaitan langsung dengan kisah
sebelumnya: Allah tidak hanya membela kesucian ‘Āisyah
ra., namun juga menuntun umat agar membangun tatanan sosial yang penuh kewaspadaan
juga menjunjung kehormatan sesama.
Rangkaian QS. An-Nūr pada ayat 25,
26, dan 27 yakni, Balasan bagi penuduh merujuk pada ancaman Allah kepada orang
yang menuduh tanpa bukti (ayat 25). Pembelaan kesucian tampak pada pembebasan
‘Āisyah ra. dari tuduhan melalui penegasan bahwa perempuan baik hanya bagi
laki-laki baik (ayat 26). Sedangkan etika sosial untuk mencegah fitnah terlihat
pada perintah menjaga adab dan izin memasuki rumah agar kehormatan terpelihara
(ayat 27).
Analisis
Kebahasaan
Ayat
26 sūrah an-Nūr memiliki pengulangan secara berturut-turut, dalam hal ini
Wahbah az-Zuhailī[4]
menyebutnya sebagai muqābalah yang terlingkup pada ilmu balāghah.
Keindahan dalam penyampaian bahasa pada al‑Qur’an yang dimaksudkan untuk
menghadirkan makna secara kontras, terstruktur, dan mendalam, inilah yang
dinamakan muqābalah[5].
Sebagai contoh penerapan muqābalah ayat 26 yakni:
|
No |
Konteks Kata |
Pasangan Kata |
Kontras Makna |
Efek Retoris |
|
1 |
ٱلْخَبِيثَـٰتُ (Perempuan-perempuan yang keji) |
لِلْخَبِيثِينَ (laki-laki yang keji) |
وَٱلطَّيِّبَـٰتُ (Perempuan yang baik) |
Menegaskan standar moral; Bahasa kontras membuat perbedaan lebih
tegas. |
|
2 |
ٱلْخَبِيثُونَ (laki-laki yang keji) |
لِلْخَبِيثَـٰتِ (Perempuan-perempuan yang keji) |
وَٱلطَّيِّبُونَ (laki-kaki yang baik) |
Pengulangan kata bertujuan untuk memantapkan kata.[6] Pembalikan konteks lafadz, yang mana hukum
berlaku universal. |
|
3 |
وَٱلطَّيِّبَـٰتُ (Perempuan yang baik) |
لِلطَّيِّبِينَ (laki-kaki yang baik) |
ٱلْخَبِيثَـٰتُ (Perempuan-perempuan yang keji) |
Menyajikan simetri keadilan: pasangan ditentukan oleh kesamaan
akhlak |
|
4 |
وَٱلطَّيِّبُونَ (laki-kaki yang baik) |
لِلطَّيِّبَـٰتِ (Perempuan yang baik) |
ٱلْخَبِيثُونَ (Perempuan yang baik) |
Selain kontras dengan al-Khabīṡūna, ritme teks junga
menghasilkan keindahan |
Keindahan retorika dalam al‑Qur’an
tidak hanya berkaitan dengan ilmu balāghah, melainkan juga erat
kaitannya dengan ritme teks yang terbentuk dari kontras. Ritme kata al-Khabīṡātu
senada dengan al-Ṭayyibātu menggunakan gaya I’rāb alif dan ta’,
struktur kontras tersebut memperkaya penyampaian makna secara lebih
terperinci dan mendalam.
Tabel I ́rāb
|
Frasa
Kunci |
Nahwu
Praktis |
|
ٱلْخَبِيثَـٰتُ |
kalimat
ini merupakan jama’ mu’annaṡ ṡālim teruntuk perempuan lebih dari 2,
sebagaimana penambahan alif dan ta’. I’rābnya rāfa’ dengan tanda ḍammah ( ُ) yang terlihat
jelas. |
|
ٱلْخَبِيثُونَ
|
Kalimat
jama’ mudzakkar ṡālim teruntuk laki-laki lebih dari 2, I’rābnya
rāfa’ menggunakan huruf wāwu sebagai tanda rāfa’. kalimat
ini ketika tingkah rāfa’ ditambahkan huruf wāwu dan nūn pada
akhir lafadznya, sedangkan selain rāfa’ dengan huruf yā ́ dan
nūn. |
|
وَٱلطَّيِّبَـٰتُ |
Jama’
mu’annaṡ ṡālim tertuju bagi seseorang Perempuan. طيِّبٌ bentuk kalimat asli
sebelum menjadi jama’ mu’annaṡ ṡālim. |
Ayat
26 menampilkan penyebutan kata secara berurutan, dibuka dengan Perempuan yang
keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang
keji, hingga sebaliknya Perempuan baik untuk laki-laki yang baik. Konteks Perempuan
digunakan lebih awal karena sabāb nuzulnya[7]
berkenaan dengan Aisyah ra. ketika dituduh, maka Allah membersihkan
tuduhan-tuduhan itu dengan menurunkan ayat ini. Walaupun khusus untuk Aisyah
ra. tetapi hukum bersifat umum.
مُبَرَّءُونَ
kata ini merupakan bentuk Khobar dari أُو۟لَـٰٓئِكَ,[8]
mereka dibersihkan Allah melalui ayat 26. Terdapat perbedaan pandangan di
kalangan ulama terkait subjek yang dimaksud dalam ayat ini, sebagian
berpendapat bahwa ayat tersebut secara khusus ditujukan kepada keluarga Nabi
Muhammad, baik laki-laki maupun perempuan. Sementara itu, pendapat lain
menyatakan bahwa ayat ini mencakup Nabi Muhammad sendiri, al-Ṣiddīqah
(para sahabat dekat), dan Ṣafwān.[9]
Terlepas dari perbedaan interpretasi tersebut, secara linguistik ayat ini
menunjukkan kedalaman dan ketinggian makna yang luar biasa.
Tujuan
QS. An-Nūr ayat 26
mengandung tujuan yang sangat penting dalam membangun tatanan keluarga dan masyarakat
Islam. Ayat ini menegaskan bahwa kesepadanan antara laki-laki dan perempuan
merupakan prinsip dasar dalam relasi pernikahan. Menurut Ibnu Katsir, firman
Allah yang berbunyi “al-khabīṡāt lil-khabīṡīn wa al-khabīṡūn lil-khabīṡāt”
dipahami sebagai ketetapan Allah bahwa perempuan yang buruk akan lebih cocok
untuk laki-laki yang buruk, dan sebaliknya perempuan yang baik untuk laki-laki
yang baik. Dalam konteks turunnya ayat, Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai
pembelaan Allah terhadap Aisyah ra. dari tuduhan keji, bahwa seorang wanita
suci seperti beliau tidak mungkin dipasangkan dengan Nabi Muhammad saw. kecuali
dalam kesucian.[10]
Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa kehormatan dan kemuliaan seseorang
sejalan dengan pasangannya.
Sedangkan menurut
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, ayat ini bukan sekadar menyatakan siapa
pantas untuk siapa, tetapi lebih menekankan pada kesesuaian nilai dan
keserasian hidup. Ia menegaskan bahwa kebahagiaan rumah tangga tidak cukup
hanya dengan cinta, melainkan juga membutuhkan kesepadanan dalam moral, agama,
dan pandangan hidup.[11] Oleh karena itu, ayat ini
berfungsi sebagai pedoman agar umat Islam tidak salah memilih pasangan, karena
perbedaan besar dalam hal nilai dan akhlak bisa menimbulkan konflik dan ketidakadilan.
Menurut Ade Jamarudin
dkk. dalam kajiannya tentang tafsir Ibnu Katsir dan Al-Misbah, tujuan utama
ayat ini adalah memberikan pedoman praktis bagi umat Islam dalam memilih
pasangan hidup, yakni menekankan pentingnya kesesuaian moral dan agama. Dengan
adanya kesepadanan, rumah tangga akan lebih mudah mencapai kondisi sakīnah,
mawaddah, wa rahmah sebagaimana dikehendaki dalam syariat.[12] Penafsiran ini juga
menunjukkan bahwa ayat tersebut berfungsi sebagai mekanisme pencegahan terhadap
ketidakadilan dalam rumah tangga, karena perbedaan yang ekstrem dalam hal moral
dan spiritual seringkali menimbulkan ketidakharmonisan.
Sementara itu,
penelitian Queen Adila dkk. menggunakan pendekatan mubādalah. Yakni mereka
menekankan bahwa ayat ini tidak hanya mengatur hubungan pernikahan secara
normatif, tetapi juga mengandung nilai kesetaraan dan keadilan. Prinsip
mubādalah (saling timbal balik) menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai
mitra sejajar, sehingga hubungan rumah tangga dibangun atas dasar saling
menghargai dan berbagi tanggung jawab.[13]
Dengan merujuk pada
kedua kajian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan surat An-Nūr ayat 26 setidaknya mencakup tiga
hal utama yaitu Pertama, menjaga kehormatan moral dan spiritual umat. Artinya, ayat
ini menekankan bahwa sebuah pernikahan ideal harus dibangun di atas dasar
akhlak yang baik dan komitmen agama yang kuat. Dengan begitu, keluarga bisa
terhindar dari hal-hal yang merusak dan tetap terjaga martabatnya. Kedua, ayat
ini mengajarkan pentingnya keadilan dalam rumah tangga lewat prinsip
kesepadanan Maksudnya, pasangan suami-istri sebaiknya memiliki kesesuaian dalam
nilai, visi hidup, dan komitmen, supaya hubungan berjalan seimbang. Ketiga,
ayat ini juga memberi panduan etis yang relevan kapan pun dan di mana pun.
Dalam konteks sekarang, pesan itu bisa dipahami sebagai ajakan untuk membangun
rumah tangga yang sehat dengan komunikasi yang baik, sikap saling menghargai,
kesetaraan gender, dan perlindungan terhadap martabat setiap anggota keluarga. Dalam
konteks sekarang, pesan itu bisa dipahami sebagai ajakan untuk membangun rumah
tangga yang sehat dengan komunikasi yang baik, sikap saling menghargai,
kesetaraan gender, dan perlindungan terhadap martabat setiap anggota keluarga.
Selain itu, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia tahun 2024 tercatat
sebesar 0,421, menunjukkan adanya peningkatan kesetaraan dibanding tahun
sebelumnya.[14]
Fakta ini memperkuat relevansi QS. An-Nūr ayat 26, bahwa keharmonisan,
komunikasi yang sehat, serta kesetaraan moral dan spiritual menjadi fondasi
keluarga yang adil dan penuh keberkahan. Jadi, QS. An-Nūr ayat 26 bukan hanya
aturan normatif, tapi juga pedoman praktis untuk membentuk keluarga yang adil,
harmonis, dan penuh keberkahan.
Analilis Ayat 26
Firman Allāh SWT, (اَلْخَبِيْثٰتُ
لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ
وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ)
Perempuan pezina yang hina, nakal, dan tidak bermoral hanya pantas bagi
laki-laki yang hina, nakal, dan tidak bermoral pula. Demikian juga laki-laki
pezina yang buruk, nakal, dan amoral hanya pantas untuk perempuan yang sama
sifatnya. Setiap orang akan dipasangkan dengan yang sepadan dengannya dalam
ucapan maupun perbuatan. Kesesuaian akhlāq dan kecocokan sifat merupakan bagian
dari keharmonisan dalam kehidupan. Hal ini sebagaimana ditegaskan Allāh SWT
dalam firman-Nya pada Sūrah an-Nūr ayat 3.[15] Firman Allāh selanjutnya
(اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ
مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ ࣖ) Laki-laki yang Ṣāliḥ dan
perempuan yang terhormat, seperti Ṣafwān bin Muʿaṭṭal raḍiyallāhu ‘anhā dan
‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā. sama sekali terbebas dan tidak terkait dengan
tuduhan dusta yang disebarkan oleh orang-orang suka membuat fitnah. Justru yang
pantas dengan kebohongan dan tuduhan palsu itu adalah laki-laki dan perempuan
yang hina, rusak akhlāqnya, serta tidak bermoral.[16]
Al-Nuḥās dalam Maʿānī
al-Qurʾān menyatakan bahwa penafsiran ini adalah penakwilan terbaik mengenai
ayat tersebut. Validitasnya ditegaskan dengan firman Allāh SWT, (اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ) “Mereka (yang dituduh) itu
bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu),” yakni
bahwa ‘Ā’isyah dan Ṣafwān terbebas dari tuduhan kaum munafik.[17]
Abdullāh bin ‘Abbās
menjelaskan bahwa ucapan-ucapan buruk hanya pantas dilekatkan kepada
orang-orang yang jahat. Begitu juga laki-laki yang buruk layaknya hanya
disandingkan dengan kata-kata keji. Sebaliknya, ucapan yang baik hanya sesuai
untuk orang-orang baik, dan laki-laki yang baik selayaknya disandingkan dengan
kata-kata baik. Ayat ini diturunkan berkaitan dengan ‘Ā’isyah raḍiyallāhu
‘anhā. dan Ahl al-Ifk. Maknanya, tuduhan keji yang dilontarkan kaum munāfiq
sebenarnya lebih pantas kembali kepada mereka sendiri, semetantara ‘Ā’isyah
terbebas dari tuduhan itu. Oleh sebab itu, Allāh menegaskan dalam firman-Nya; (اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ) “Mereka (yang dituduh) itu
bersih dari apa yang mereka tuduhkan.” Hal ini juga diriwayatkan dari
Mujāhid, ‘Aṭā’, Saʿīd bin Jubayr, al-Shaʿbī, al-Ḥasan al-Baṣrī, Ḥabīb bin Abī
Thābit, al-Ḍaḥḥāk, dan dipilih pula oleh Ibn Jarīr al-Ṭabarī.[18]
Sementara itu, ‘Abd
al-Raḥmān bin Zayd bin Aslam menafsirkan ayat ini dengan makna bahwa perempuan
jahat hanya cocok bagi laki-laki jahat, demikian pula laki-laki jahat hanya
pantas bagi perempuan jahat. Adapun perempuan baik hanya sesuai dengan
laki-laki baik, dan laki-laki baik hanya layak bersama perempuan baik. Dari
sini dapat dipahami bahwa Allāh tidak mungkin menjadikan ‘Ā’isyah sebagai istri
Rasulullah ﷺ kecuali karena ia adalah wanita yang baik, sebab Rasulullah adalah
manusia terbaik. Jika seandainya ‘Ā’isyah bukan wanita baik, tentu secara
syar’i maupun secara logis ia tidak pantas menjadi istri beliau. Oleh sebab
itu, Allāh menegaskan bahwa tuduhan kaum munāfiq tidak berlaku atas ‘Ā’isyah.
Selanjutnya Allāh berfirman (لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ
وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ) “Dan
bagi mereka rezeki yang mulia,” yaitu surga yang penuh kenikmatan, sebagai
janji bagi istri-istri Rasulullah Saw.[19]
Pada penafsiran diatas, terdapat dua arah makna yang bisa ditarik.
Pertama, tafsir yang memahami ayat ini sebagai penegasan mengenai pasangan
serasi. Pandangan ini menegaskan bahwa Rasulullah Saw sebagai manusia terbaik
tidak mungkin dipasangkan dengan perempuan yang tidak baik. Maka, keberadaan
Aisyah ra. sebagai istri beliau menunjukkan bahwa ia adalah perempuan yang suci
dan mulia. Kedua, tafsir yang menekankan pada kualitas ucapan. Ibn ‘Abbās,
misalnya, menjelaskan bahwa ucapan buruk hanya pantas keluar dari orang-orang
yang buruk, sedangkan ucapan baik hanya sesuai dengan orang-orang baik. Dengan
demikian, tuduhan zina yang diarahkan kepada Aisyah ra. tidak lain adalah
cermin dari keburukan moral para penuduhnya sendiri.
Kedua tafsir tersebut sama-sama memiliki pijakan yang kuat. Akan tetapi,
bila dikaitkan dengan asbāb al-nuzūl yang berkaitan langsung dengan peristiwa
fitnah terhadap Aisyah ra., maka penafsiran yang menekankan pada dimensi ucapan
lebih tepat sebagai makna utama. Adapun tafsir mengenai pasangan serasi tetap
relevan sebagai makna umum yang menunjukkan prinsip kesepadanan akhlak dalam
kehidupan rumah tangga.
Sebagian ulama
menyebutkan bahwa ayat ini menjadi sumber kebanggaan bagi Sayyidah ‘Ā’isyah.
Hal ini terlihat dari perbandingan dengan peristiwa lain, yaitu ketika Nabī
Yūsuf dituduh berbuat keji, Allāh membebaskannya melalui kesaksian seorang bayi
yang masih dalam buaian. Ketika Maryam dituduh berbuat tercela, Allāh
membebaskannya melalui ucapan putranya yaitu Nabī ʿĪsā. Adapun ketika ‘Ā’isyah
raḍiyallāhu ‘anhā. dituduh melakukan perbuatan hina, Allāh justru
membebaskannya langsung melalui wahyu al-Qurʾān. Hal ini menunjukkan bahwa
untuk ‘Ā’isyah, Allāh tidak meriḍāi pembebasannya hanya lewat seorang bayi
ataupun seorang Nabī, melainkan dengan firman-Nyā sendiri yang menegaskan
kebersihan dan kemuliaannya dari tuduhan zina maupun kebohongan.[20]
Diriwayatkan dari ʿAlī
bin Zayd bin Judʿān, dari neneknya, dari ‘Ā’isyah, ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā
mengatakan bahwa dirinya diberikan sembilan keistimewaan yang tidak dimiliki
wanita lain. Pertama, Malaikat Jibrīl ʿalayhi al-salām. pernah turun dengan
rupa ‘Ā’isyah saat berkunjung untuk menyampaikan perintah Allāh kepada
Rasulullah untuk menikahinya. Kedua, Rasulullah saw menikahinya dalam keadaan
perawan, dan beliau tidak pernah menikahi wanita perawan lain selain ‘Ā’isyah.
Ketiga, saat Rasulullah wafat, kepalanya berada dalam pelukannya. Keempat,
Rasulullah dimakamkan di rumahnya. Kelima, para malaikat mengelilingi rumahnya.
Keenam, ‘Ā’isyah adalah satu-satunya istri Rasulullah yang pernah mengalami
keadaan ketika wahyu turun sementara ia sedang bersama Rasulullah dalam satu
selimut, hal ini tidak terjadi pada istri atau keluarga Rasul lainnya. Ketujuh,
ia juga merupakan putri dari khalifāh sekaligus sahabat Nabī, yaitu Abū Bakr
al-Ṣiddīq raḍiyallāhu ʿanhu. Kedelapan, pembebasan dari tuduhan bohong tentang
zina bahkan ditetapkan langsung oleh Allāh. Kesembilan, ‘Ā’isyah diciptakan
sebagai wanita baik dan menikah dengan laki-laki baik, serta dijanjikan ampunan dan rezeki yang mulia,
yaitu surga sebagaimana firman Allāh; (لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ) “Bagi mereka ampunan dan rezeki
yang mulia”.[21]
Banyak orang awam meyakini bahwa orang yang baik akan
dipertemukan dengan pasangan yang baik, dan sebaliknya. Ada pula yang
berpendapat bahwa pasangan mencerminkan sifat dan karakter diri seseorang.
Sebagian mufassir menambahkan bahwa redaksi ayat tersebut bersifat umum,
sehingga menekankan juga aspek ilmiah mengenai kedekatan antara dua insan.
Kedekatan itu biasanya bermula dari kesamaan antara kedua belah pihak, dan para
pakar menyebutkan ada empat fase yang harus dilalui agar cinta mencapai
puncaknya. Oleh karena itu, ayat ini dapat menjadi motivasi untuk terus
memperbaiki diri, meningkatkan kualitas kepribadian, dan sekaligus dijadikan
landasan memahami tahapan dalam kehidupan rumah tangga.
Kesimpulan
Kajian QS. An-Nur ayat 26 menunjukkan bahwa ayat ini tidak hanya
berfungsi sebagai bantahan terhadap tuduhan yang ditujukan kepada Aisyah
radiyallahu 'anha, tetapi juga membangun paradigma baru tentang relasi rumah
tangga, kehormatan, dan kesetaraan gender dalam Islam. Ayat ini menggeser
konsep kafa'ah dari sekadar aturan normatif menjadi pedoman praktis yang
menekankan pentingnya keselarasan nilai, akhlak, dan visi hidup dalam membentuk
keluarga harmonis. Analisis kebahasaan melalui gaya muqabalah menegaskan
keterkaitan antara moralitas individu dan tatanan sosial, sementara pembelaan
al-Qur'an.
Terhadap Aisyah memperlihatkan dimensi pembebasan yang melindungi martabat perempuan dari stigma sosial. Lebih jauh, melalui prinsip mubadalah, ayat ini tetap relevan di era kontemporer sebagai landasan untuk mengokohkan kesalingan, kesetaraan, dan keharmonisan dalam keluarga maupun masyarakat. QS. An-Nur ayat 26 menegaskan bahwa kesetaraan dalam pernikahan bukan hanya syarat normatif, melainkan mekanisme sosial, etis, dan spiritual yang menjaga kehormatan, keadilan, dan keberlangsungan peradaban Islami. Dengan demikian, kontribusi utama dari kajian QS. An-Nur ayat 26 ini adalah menegaskan kembali pentingnya kesetaraan dalam pernikahan bukan sekadar sebagai syarat normatif, tetapi sebagai mekanisme sosial, etis, dan spiritual untuk menjaga kehormatan, kesetaraan, dan keberlangsungan masyarakat Islami.
[1] Ahmad
Sholehuddin Zuhri, “Ahmad Sholehuddin Zuhri_Keluarga Sakinah Fiqh Munakahat,” 2020,
1–108.
[2] Dadang Jaya,
“Bagaimana Relasi Suami Istri Tidak Sekufu Dalam Profesi: Dampak Terhadap
Keharmonisan Keluarga,” At-Tadbir 31
(2021): 3–4.
[3]Teungku Muhammad Hasbi
ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, kedua (Semarang: PT
Pustaka Rezeki Putra, 2000), 2808.
[4] Wahbah
Az-Zuhailī, Al-Tafsīr Al-Munīr Fī Al-
́Aqīdah Wa Al-Sharī ́ah Wa Al-Manhaj (Yogyakarta: Gema Insani, n.d.),
Jilid 9. h. 475.
[5] Nur Fadhila dan
Muhammad Zakaria, “MUQOBALAH DALAM ILMU BALAGHAH: KLASIFIKASI BERDASARKAN
SUSUNAN KATA DAN SIFATNYA DALAM AL-QUR’AN,” PENA:
Jurnal Pendidikan Dan Pengajaran 2 No 2 (2025), h. 32.
[6] M. Quraish
Shihab, “TAFSIR AL-MISHBAH Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an,” INTERNET
ARCHIVE, 2021, Jilid 9. h. 317.
[7] Abū Ja ́far
Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī , Jāmi ́ Al-Bayān ́an Ta ̀wil Āy Al-Qur
́ān (Kairo: Dār al-Ma ́ārif, 2001), Juz 17. h. 237.
[8] Az-Zuhailī,
Al-Tafsīr Al-Munīr Fī Al- ́Aqīdah Wa
Al-Sharī ́ah Wa Al-Manhaj, Jilid 9. h. 475.
[9] Shihāb
al-Dīn Mahmūd Al-Alūsī, Rūh Al-Ma ́āni Fī Tafsīr
Al-Qur ́ān Al- ́Aẓīm Wa Al-Sab ́al-Mathānī (Beirut: Dār Ihyā ́
al-Turāth al- ́Arabī., 2005), Jilid 18. h. 131.
[10] Ibn Kathir, Tafsīr
al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 3 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 280.
[11] 2. M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 8 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), 471–472.
[12] Ade Jamarudin, dkk., "Kafa'ah
dalam Surat An-Nur: 26 (Tafsīr Ibn Katīr dan Tafsīr Al-Mişbāh),"
Familia: Jurnal Hukum Keluarga, vol.1, no.2 (2020): 163-175.
[13] Queen
Adila, Muhammad Nurravi Alamsyah, dan Muhammad Khusaini, "Kontekstualisasi
Kafa'ah dalam Q.S. Al-Nūr Ayat 26 Perspektif Maqāşid Al-Syarīah cum
Mubādalah," Mahakim: Journal of Family Law and Islamic Law, vol.2,
no.1 (2022): 35-50.
[14] Badan Pusat Statistik, Indeks
Ketimpangan Gender 2024 (Jakarta: BPS, 2025)
[15] Wahbah Zuhaili, “Terjemah Tafsir
Al-Munir Jilid 9,” Gema Insani 9
(2018): 478.
[16] Zuhaili, 479.
[17] Abu ’Abdullah Muhammad ibn Ahmad
ibn Abu Bakr al-Ansari Al-Qurtubi, “Tafsir Al-Qurthubi Jilid 12,” News.Ge 12 (2015): 538.
[18] Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman bin Ishaq Al-Sheikh, “Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6 (Terjemahan),” Pustaka Imam Asy-Syafi’i 6 (1994): 32.
[19] Al-Sheikh, 32–33.
[20] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 9, Jakarta : Lentera Hati, vol. 4, 2016,
315.
[21] Al-Qurtubi, “Tafsir Al-Qurthubi
Jilid 12,” 539–40.
Penulis:
Andhika Misbakhul Munir
Abrar Saputra
Serly Eka Arnelita
Yasir Aulia
Ikhda Ni’ami
Jafar Iqomatuddin

Komentar
Posting Komentar