Besarnya Dosa Fitnah dan Tuduhan Zina : Penafsiran QS. An-Nur 23-25
اِنَّ
الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى
الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
ۙ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik, polos, dan beriman
(dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat dan mereka
akan mendapat azab yang besar.” (QS. An-Nur 23)
يَّوْمَ
تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ اَلْسِنَتُهُمْ وَاَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا
يَعْمَلُوْنَ
Artinya:
“Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka
terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. An-Nur 24)
يَوْمَىِٕذٍ
يُّوَفِّيْهِمُ اللّٰهُ دِيْنَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُوْنَ اَنَّ اللّٰهَ هُوَ
الْحَقُّ الْمُبِيْنُ
Artinya:
“Pada hari itu Allah menyempurnakan balasan yang sebenarnya bagi mereka dan
mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Benar lagi Maha Menjelaskan.” (QS. An-Nur 25)
Asbabun
Nuzul Surat An-Nur 23
Ath-Thabarani
meriwayatkan dari Khashif, yang berkata kepada Sa'id bin Jubair, "Mana
yang lebih berat, berzina atau menuduh seseorang berzina?" Sa'id menjawab,
"Zina." Saya berkata, "Sesungguhnya
Allah berfirman, 'Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
suci.'" Said berkata,
"Sesungguhnya ayat itu diturunkan secara khusus mengenai Aisyah." Dalam rantai hadis ini, terdapat Yahya
Al-Hammani, yang dianggap sebagai perawi yang lemah. Diriwayatkan juga dari
Adh-Dhahhak bin Muzahim. Dia berkata:
Ayat ini diturunkan secara khusus mengenai istri-istri Nabi, yaitu ayat,
"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang suci."
Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan dari jalur Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas, yang
berkata, "Ayat ini diturunkan secara khusus mengenai Aisyah." Ibnu
Jarir meriwayatkan dari Aisyah, yang berkata, "Aku dituduh dengan tuduhan
yang ditujukan kepadaku. Sementara itu,
saya tidak menyadarinya. Saya baru tahu
setelah semua itu terjadi. Ketika
Rasulullah bersamaku. Tiba-tiba dia
menerima wahyu. Kemudian dia duduk tegak dan menyeka wajahnya, berkata,
"Wahai Aisyah, bergembiralah."
Saya berkata, "Dengan memuji nama Tuhan, bukan dengan memuji
kamu." Kemudian dia membacakan ayat, "Sesungguhnya orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang suci yang tidak mengetahui..." sampai dia
mencapai ayat, "Mereka itu bersih dari apa yang mereka katakan."[1]
Munasabah
Surat An-Nur 23-25
Dalam
tafsir Al-Misbah karya Prof. Quraish Shihab dijelaskan, sebagaimana
menurut al-Biqa'i, bahwa ayat ini berbicara mengenai orang-orang yang menuduh
zina terhadap perempuan-perempuan terhormat, yaitu mereka yang selalu menjaga
kesucian dirinya, berhati polos, tidak terpikir apalagi berkehendak melakukan
keburukan karena jiwa kebersihan mereka, serta merupakan wanita-wanita mukminah
dengan keimanan yang sempurna. Mereka yang berani menuduh wanita dengan
sifat-sifat demikian akan mendapatkan laknat dari Allah, baik di dunia maupun
di akhirat, dan disediakan bagi mereka azab yang sangat berat. Pada Hari Kiamat
nanti, lidah mereka akan menjadi Saksi atas ucapan yang pernah terucap, begitu
pula tangan dan kaki mereka akan merekam mengenai segala perbuatan yang
terlebih dahulu dilakukan, termasuk tuduhan-tuduhan dusta yang pernah mereka
lontarkan. Pada saat itu, Allah akan memberikan balasan dengan penuh keadilan
sesuai dengan ketentuan-Nya, dan pada hari itu pula mereka akan menyadari
sepenuhnya bahwa Allah adalah Zat Yang Mahabenar, Yang Maha Esa, Maha
Mengetahui, serta Yang menjelaskan segala sesuatu secara nyata.[2]
Pada
ayat 23 Allah menegaskan bahwa siapa saja yang menuduh wanita berakhlak mulia,
menjaga kehormatan dirinya, jujur dalam memandang kehidupan, serta beriman
dengan tulus kepada-Nya, maka mereka akan memperoleh laknat dari Allah, baik di
dunia maupun di akhirat, disertai dengan tambahan azab yang pedih. Ayat ini
kembali menekankan betapa beratnya sanksi atas tuduhan semacam itu. Selanjutnya
pada ayat 24 dijelaskan bahwa lidah yang menebarkan fitnah, tangan yang
diperuntukkan untuk melihat kabar buruk, dan kaki yang melangkah untuk
menyebarkan berita palsu, seluruhnya kelak akan menjadi Saksi atas perbuatan
keji itu di hadapan Allah. Kemudian, dalam ayat 25 ditegaskan bahwa pada Hari Kiamat
nanti Allah akan memberikan balasan secara langsung atas semua amal perbuatan
manusia, dengan ganjaran yang adil dan setimpal. Pada saat itulah mereka
benar-benar menyadari bahwa Allah adalah Zat Yang Mahabenar sekaligus Yang
Nyata.[3]
Selain
itu, ayat-ayat sebelumnya, yaitu An-Nur 4–5, memiliki keterkaitan yang erat
dengan ayat 23–25 karena sama-sama menegaskan larangan menuduh wanita berzina
tanpa disertai bukti, serta konsekuensi berat bagi pelakunya. Dalam ayat
tersebut dijelaskan hukuman berupa delapan puluh kali cambukan bagi siapa pun
yang menuduh wanita berzina yang terhormat tanpa dapat menghadirkan empat orang
saksi sebagai penguat tuduhannya. Kesaksian dari orang yang menuduh juga tidak
akan pernah diterima selamanya, dan mereka digolongkan sebagai golongan
orang-orang fasik.
Allah
SWT melarang perbuatan keras qadzf, yakni menuduh seseorang berzina,
dengan menetapkan hukuman hadd di dunia berupa dera sebanyak delapan
puluh kali, serta ancaman siksa pedih di akhirat apabila pelakunya tidak melakukan
enkripsi. Para ulama menjelaskan bahwa tuduhan yang dimaksud dalam ayat ini
merujuk pada tuduhan zina dengan beberapa alasan. Pertama, karena ayat
sebelumnya berbicara mengenai masalah zina. Kedua, penggunaan istilah al-Muhshanaat
untuk menyebut kaum perempuan, yang bermakna wanita-wanita yang menjaga
kehormatan serta kesucian dirinya dari perbuatan zina. Ketiga, syarat untuk
membuktikan tuduhan ini adalah menghadirkan saksi empat orang, dan ketentuan
jumlah saksi sebanyak empat orang hanya berlaku dalam kasus zina. Keempat,
telah disepakati bahwa hukuman dera tidak dikenakan pada tuduhan selain zina,
seperti tuduhan mencuri, menenggak minuman keras, atau tuduhan kafir.
Berdasarkan keempat indikasi ini, dapat dipastikan bahwa tuduhan yang dimaksud
dalam ayat tersebut adalah tuduhan berzina.[4]
Analisa Kebahasaan
QS. An-Nur Ayat 23-25
Analisis Kebahasaan
ayat 23
اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ
الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ
وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ
Ayat ini mengandung ancaman keras bagi orang-orang yang
menuduh wanita mukminah yang terjaga kehormatannya dengan tuduhan zina. Secara
kebahasaan, ayat ini sarat dengan kekuatan retorika dan ketelitian dalam
pemilihan kata.
Pertama, ayat dibuka dengan إِنَّ yang berfungsi sebagai
huruf ta’kīd (penegas). Dalam ilmu balāghah, penggunaan إِنَّ di awal kalimat
menunjukkan adanya makna penguatan terhadap isi berita yang disampaikan.[5]
Penekanan ini memberi kesan bahwa ancaman yang disebutkan bukanlah hal ringan,
melainkan kepastian yang tidak dapat ditawar.
Kedua, kata kerja yang dipakai adalah يَرْمُونَ
(menuduh). Kata “ramā” secara bahasa berarti melempar sesuatu, dan dalam bentuk
majāz, kata ini digunakan untuk “melempar tuduhan.”[6]
Pemilihan kata ini mengandung efek emosional yang kuat, seolah-olah tuduhan
zina itu dilemparkan secara sembarangan tanpa bukti. Dengan demikian,
penggunaan kata ini menyindir keras perilaku orang yang gegabah melontarkan
fitnah.
Ketiga, objek tuduhan digambarkan dengan tiga sifat
berurutan: الْمُحْصَنَاتِ (wanita yang terjaga kehormatannya), الْغَافِلَاتِ
(yang tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka berbuat zina), dan الْمُؤْمِنَاتِ
(yang beriman).[7]
Rangkaian tiga sifat ini dalam bahasa Arab disebut ithnāb (pengayaan makna
dengan penambahan kata) yang berfungsi untuk memperkuat pesan. Urutannya pun
tidak sembarangan: dimulai dengan kehormatan diri, kemudian ketidaktahuan akan
keburukan, dan terakhir ditutup dengan keimanan. Susunan ini menimbulkan efek
retorik yang mendalam, yakni bahwa menuduh wanita dengan tiga sifat ini adalah
perbuatan yang sangat keji.
Keempat, ancaman hukuman disampaikan dalam bentuk pasif: لُعِنُوا
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ (mereka dilaknat di dunia dan akhirat). Pemakaian
bentuk pasif (majhūl) dalam bahasa Arab bertujuan untuk menekankan bahwa yang
melakukan pelaknat adalah pihak yang sangat agung, yakni Allah sendiri, tanpa
harus menyebut nama-Nya secara eksplisit. Dengan demikian, bentuk ini justru
memperkuat kesan dahsyatnya ancaman.
Kelima, kalimat ditutup dengan frasa وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
(dan bagi mereka azab yang besar). Dalam konstruksi bahasa Arab, mendahulukan
jar-majrūr “لَهُمْ” (bagi mereka) sebelum mubtada’ “عَذَابٌ عَظِيمٌ” berfungsi
sebagai taqdīm untuk memberikan penekanan.[8]
Hal ini mengandung arti bahwa azab tersebut sudah pasti khusus ditujukan kepada
mereka yang melakukan perbuatan tuduhan keji ini, tanpa ada kemungkinan
terlewatkan.
Secara retorika (balāghah), ayat ini menunjukkan
perpaduan antara ta’kīd, ithnāb, dan penggunaan bentuk pasif yang penuh makna.
Semua ini menyampaikan gambaran ancaman yang sangat berat bagi penuduh wanita
mukminah. Dengan kata lain, secara kebahasaan ayat ini tidak hanya menyampaikan
hukum, tetapi juga menciptakan suasana psikologis yang membuat pembaca merasa
ngeri dan takut untuk melakukan perbuatan tersebut.
Analisis Kebahasaan Qs. An-Nur ayat 24
يَّوْمَ
تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ اَلْسِنَتُهُمْ وَاَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا
يَعْمَلُوْنَ
Ayat ini menghadirkan gambaran menggetarkan tentang keadaan
manusia pada hari kiamat. Secara kebahasaan, terdapat beberapa poin penting
yang memperlihatkan keindahan dan kekuatan retorika Al-Qur’an.
Pertama, ayat dibuka dengan kata يَوْمَ (pada hari).
Dalam konteks bahasa Arab, penyebutan waktu di awal kalimat tanpa langsung
disertai jawaban (fi‘il atau khabar) termasuk bentuk taqdīm (pendahuluan).
Fungsi gaya bahasa ini adalah memberi penekanan (ta’kīd) dan mengarahkan
perhatian pembaca atau pendengar untuk fokus pada peristiwa besar yang
dimaksud, yaitu hari kiamat. Dengan kata lain, sebelum ayat ini menjelaskan
siapa yang menjadi saksi atau apa yang terjadi, Al-Qur’an sudah terlebih dahulu
menggiring pembaca untuk membayangkan “hari” yang sangat menentukan itu.
Kedua, kata kerja yang digunakan adalah تَشْهَدُ (menjadi
saksi). Secara linguistik, kata shahida bukan sekadar “menyaksikan,” tetapi
juga mengandung makna “memberikan kesaksian resmi” di hadapan hakim.[9]
Pemilihan kata ini sangat tepat, karena pada hari kiamat kelak, anggota tubuh
tidak hanya melihat perbuatan, tetapi juga berfungsi sebagai saksi yang
memberikan pernyataan hukum yang memberatkan pelakunya. Artinya, manusia tidak
akan mampu membantah, sebab yang berbicara adalah bagian tubuh mereka sendiri.
Dalam retorika Al-Qur’an, hal ini termasuk bentuk majāz ‘aqlī, yaitu
penyandaran perbuatan “bersaksi” kepada anggota tubuh, padahal makna aslinya
adalah Allah memberi kemampuan kepada anggota tubuh itu untuk berbicara.
Ketiga, penyebutan anggota tubuh dalam urutan أَلْسِنَتُهُمْ
(lidah mereka), أَيْدِيهِمْ (tangan mereka), وَأَرْجُلُهُمْ (kaki mereka)
memiliki makna yang mendalam. Urutan ini bukan kebetulan, melainkan sangat
logis dari segi bahasa maupun makna. Lidah disebut pertama karena dosa tuduhan
dan fitnah memang bermula dari ucapan. Kemudian tangan disebut, karena tangan
adalah alat pelaksana perbuatan. Terakhir disebut kaki, yang berfungsi membawa
pelaku menuju tempat atau sarana untuk berbuat dosa.[10]
Susunan ini menunjukkan alur kronologis terjadinya maksiat: bermula dari
perkataan, dilanjutkan dengan tindakan, lalu diperkuat dengan langkah yang
mengantarkan seseorang ke arah keburukan.
Keempat, ayat ditutup dengan ungkapan بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
(atas apa yang dahulu mereka kerjakan). Di sini digunakan bentuk kata kerja كَانُوا
يَعْمَلُونَ yang menunjukkan kebiasaan di masa lalu (‘ādah). Hal ini menegaskan
bahwa kesaksian anggota tubuh kelak bukan hanya berkaitan dengan satu perbuatan
insidental, tetapi mencakup semua amal perbuatan yang dilakukan secara berulang
dan menjadi kebiasaan hidup mereka. Bentuk ini juga memberikan kesan bahwa dosa
yang dilakukan terus-menerus tidak akan terhapus begitu saja, tetapi tetap akan
dituntut pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Dari aspek retorika (balāghah), ayat ini mengandung unsur
ījāz (kependekan yang padat). Dengan hanya menyebut “lidah, tangan, dan kaki,”
Al-Qur’an seolah mewakili seluruh anggota tubuh manusia. Hal ini termasuk gaya
bahasa zikr al-juz’ wa irādat al-kull (menyebut sebagian tetapi maksudnya
keseluruhan). Artinya, yang akan bersaksi bukan hanya tiga anggota tubuh itu
saja, tetapi seluruh jasad manusia sesuai kehendak Allah. Dengan gaya bahasa
yang ringkas, ayat ini menyampaikan makna yang sangat luas dan mendalam.
Akhirnya, ayat ini memberikan kesan kebahasaan yang
sangat kuat: manusia pada hari kiamat tidak memiliki kesempatan sedikit pun
untuk berbohong atau mengelak. Apa yang dahulu mereka sembunyikan, apa yang
mereka bantah dengan lidah, semua akan terbongkar karena justru lidah, tangan,
dan kaki mereka sendiri yang bersaksi. Secara kebahasaan, ini menunjukkan
kekuatan retorika Al-Qur’an dalam menggambarkan kepastian hukum Allah,
sekaligus melemahkan argumentasi manusia yang suka berdusta.
Analisis Kebahasaan ayat 25
يَوْمَىِٕذٍ يُّوَفِّيْهِمُ اللّٰهُ دِيْنَهُمُ الْحَقَّ
وَيَعْلَمُوْنَ اَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ
Dalam ayat ini, Allah SWT
menyatakan bahwa pada hari kiamat, Dia akan memberikan balasan kepada setiap
orang sesuai dengan perbuatan mereka. Balasan tersebut diberikan dengan adil
dan seimbang, tanpa ada kecurangan atau ketidakadilan sama sekali.
Pertama, kata "يُوَفِّيهِمُ" berarti
"memberi balasan kepada mereka" dan digunakan untuk menggambarkan
bahwa Allah SWT akan memberikan balasan yang sesuai dengan perbuatan setiap
orang. Kata ini adalah bentuk kata kerja (fi'il mudhari') yang menunjukkan
tindakan yang sedang berlangsung atau akan terjadi.
Kedua, kata "دِينَهُمُ" berarti
"pembalasan mereka" dan digunakan untuk menggambarkan bahwa Allah SWT
akan memberikan balasan yang sesuai dengan amal perbuatan seseorang. Kata ini
berfungsi sebagai objek (maf'ul bih) yang menerima tindakan dari kata kerja di
depannya.
Ketiga, kata "al-haqq" berarti
"kebenaran" dan digunakan untuk menggambarkan bahwa Allah SWT adalah
Tuhan yang Maha Benar. Kata ini berfungsi sebagai sifat atau kata sifat yang
menggambarkan Allah SWT. "Al-haqq" juga berarti keadilan.
Thabathaba’i memahami kata "al-haqq" dalam ayat ini dalam arti bahwa
Allah SWT itu Maha benar dan adil.
Keempat, kata al-mubīn memiliki arti 'yang jelas
keesaannya' dan digunakan untuk menggambarkan bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang
Maha Menjelaskan segala sesuatu sesuai hakikat yang sebenarnya. Kata
ini berfungsi sebagai sifat yang menegaskan kejelasan dan kesempurnaan dalam
penjelasan Allah SWT.[11]
Tujuan Ayat Surat An-Nur 23-25
Surah
An-Nur ayat 23–25 tekanan secara mendalam besarnya dosa fitnah dan tuduhan zina
tanpa disertai bukti, sekaligus menegaskan prinsip keadilan ilahi yang menjadi
dasar bagi tatanan sosial dan spiritual umat Islam. Pada ayat 23 dijelaskan bahwa
siapa saja yang menuduh wanita mukminah yang suci, menjaga kehormatan diri,
serta memiliki iman yang bersih dengan tuduhan zina tanpa bukti yang sah, maka
ia akan memperoleh laknat dari Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin, baik di
dunia maupun di akhirat.
Ayat ini
menunjukkan bahwa kehormatan manusia adalah hak yang harus dilindungi secara
mutlak, karena tuduhan zina yang palsu tidak hanya mencederai martabat
individu, tetapi juga menimbulkan kerusakan moral dan sosial yang luas. Tujuan
dari ayat ini adalah untuk memperingatkan manusia agar tidak sembarangan
melemparkan tuduhan, serta menegaskan bahwa menjaga kehormatan adalah salah
satu sendi utama syariat Islam. Dari sisi maqashid syariah, ayat ini secara
jelas menegaskan hifzh al-‘ird (perlindungan kehormatan), yang merupakan bagian
dari al-dharuriyyat al-khams. Kehormatan yang dijaga berarti menjaga harmoni
sosial, mencegah permusuhan, serta membentengi masyarakat dari fitnah yang
berpotensi menghancurkan keutuhan umat.[12]
Ayat 24 kemudian melanjutkan dengan
memberikan gambaran bahwa pada hari kiamat nanti, setiap anggota tubuh manusia,
mulai dari lidah, tangan, hingga kaki, akan bersaksi atas segala perbuatan yang
dilakukan di dunia. Pesan universal dari ayat ini adalah penegasan bahwa setiap
amal manusia tidak pernah hilang, tetapi selalu dicatat dan akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Ucapan yang digunakan untuk menyebarkan
fitnah, tangan yang dipakai untuk menguatkan berita palsu, dan kaki yang
digunakan untuk menebarkan isu, semuanya akan menjadi saksi yang tidak
terbantahkan. Tujuan ayat ini adalah menanamkan kesadaran bahwa kebebasan
berbicara dan berbuat di dunia selalu diiringi dengan tanggung jawab besar di
hadapan Allah, sehingga manusia tidak sewenang-wenang dalam menggunakan lisan
maupun tindakannya. Dari perspektif maqashid syariah, ayat ini menegaskan hifzh
al-nafs (perlindungan jiwa), karena menjamin rasa aman dari kejahatan fitnah,
serta hifzh al-din (perlindungan agama), karena mengingatkan umat tentang
pentingnya akuntabilitas di hadapan Allah. Dengan demikian, ayat ini
mengajarkan prinsip moral dan spiritual bahwa setiap perbuatan, sekecil apa
pun, akan mendapatkan konsekuensi, sehingga manusia dituntut untuk menjaga
perilaku dengan penuh tanggung jawab.[13]
Ayat 25 menutup rangkaian ini dengan penegasan
bahwa pada hari kiamat Allah akan memberikan balasan yang sepenuhnya adil
sesuai dengan perbuatan manusia. Pesan universal ayat ini adalah jaminan bahwa
tidak ada satu pun perbuatan manusia yang luput dari keadilan Allah, dan bahwa
pada saat itulah manusia akan menyadari sepenuhnya bahwa Allah adalah al-Haqq
al-Mubin, Zat yang Maha Benar dan Maha Menjelaskan segala sesuatu. Tujuan ayat
ini adalah meneguhkan keyakinan umat manusia bahwa sistem keadilan ilahi tidak
mengenal kekeliruan, sehingga setiap individu mendapatkan haknya secara
sempurna, baik berupa pahala maupun siksa. Dalam perspektif maqashid syariah,
ayat ini memiliki relevansi dengan hifzh al-din karena memperkuat keimanan umat
terhadap keadilan Allah, serta hifzh al-‘ird karena balasan yang adil
memulihkan hak orang-orang yang difitnah dan dicemarkan kehormatannya.
Ayat ini juga berkaitan dengan hifzh
al-nafs, sebab ia memberi ketenangan jiwa bahwa segala ketidakadilan duniawi
akan ditebus dengan keadilan sempurna di akhirat. Dengan demikian, Surah An-Nur
ayat 23–25 tidak hanya berbicara dalam konteks kasus al-Ifk yang menimpa Aisyah
r.a., tetapi juga mengandung makna universal yang berlaku sepanjang masa, yaitu
menjaga kehormatan manusia, menegakkan keadilan, serta memastikan bahwa setiap
ucapan dan perbuatan manusia memiliki konsekuensi moral maupun hukum yang tidak
bisa dihindari.[14]
Ayat
QS. An-Nur: 23-25 secara tegas melarang tuduhan zina palsu terhadap
wanita-wanita mukminah yang menjaga kehormatan dan kesucian diri mereka.
Penuduh yang menuduh wanita suci dan beriman tanpa dasar akan mendapatkan
laknat dan hukuman berat di dunia maupun di akhirat. Allah SWT menjelaskan
bahwa pada hari kiamat, lidah, tangan, dan kaki para penuduh akan menjadi saksi
atas perbuatan jahat mereka, dan Allah akan memberikan balasan yang adil sesuai
dengan perbuatan tersebut. Peristiwa tuduhan terhadap Siti Aisyah r.a. menjadi
latar belakang penting turunnya ayat ini, yang sekaligus menunjukkan betapa
seriusnya konsekuensi dari tindakan qadzf atau menuduh dengan tuduhan palsu.
Ayat ini menegaskan keadilan Allah yang melindungi kehormatan wanita mukminah
sekaligus memperingatkan pelaku fitnah akan azab yang sangat berat. Dengan
demikian, ayat ini menegaskan keadilan Ilahi dan perlindungan khusus bagi
kehormatan wanita mukminah dari fitnah dan pencemaran nama baik.
Analisis
Ayat
Surat An-Nur: 23-25
Setelah menguraikan cerita mengenai peristiwa tuduhan
terhadap Siti 'Aisyah serta hukuman dan pengajaran bagi para pelaku di dalamnya,
Allah SWT menegaskan posisi Aisyah r.a. yang suci dan tidak bersalah dengan
jelas, tegas, dan eksplisit. Allah SWT juga menetapkan suatu ketentuan, yakni
siapa saja yang menuduh seorang perempuan Mukminah yang suci dan terjaga dari
perbuatan tercela (qadzf), maka ia akan jauhkan dari rahmat-Nya serta
mendapatkan penetrasi yang berat. Peringatan ini ditujukan bagi orang-orang
yang berani menuduh perempuan muhshanah, yaitu wanita yang menjaga kehormatan
dirinya dan tidak pernah terlintas melakukan maksiat, khususnya kepada Ummul
Mukminin yang menyebabkan turunnya ayat ini, yaitu Aisyah binti Abu Bakar ra.[15]
Berdasarkan tafsir Al-Azhar, ayat 23 menegaskan kembali
bahwa siapa saja yang menuduh wanita terhormat yakni mereka yang senantiasa
menjaga martabatnya, berakhlak baik, jujur dalam memandang kehidupan, serta
beriman dengan tulus kepada Allah akan mendapat laknat dari-Nya di dunia dan di
akhirat, serta disertai dengan azab yang sangat menyakitkan.. Ayat ini merupakan pengulangan penekanan mengenai
betapa beratnya konsekuensi dari perbuatan menuduh secara dusta. Menurut tafsir
Al Muyasar, pada ayat 23 di jelaskan bahwa Siapa saja yang menuduh wanita
beriman yang suci, terjaga, serta tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk
melakukan zina, maka mereka akan terhalang dari rahmat Allah, baik di dunia
maupun di akhirat. Mereka pun akan menghadapi siksa yang sangat pedih di neraka
Jahanam. Ayat ini menjadi bukti yang tegas bahwa menuduh atau mencela
istri-istri Nabi ﷺ dengan tuduhan keji
termasuk perbuatan kufur.[16]
Pada
ayat 24 dijelaskan bahwa setiap anggota tubuh akan memberikan kesaksian atas
perbuatan buruk yang dilakukan. Lidah yang pernah menebarkan fitnah, tangan
yang digunakan untuk menyebarkan kabar buruk, dan kaki yang melangkah dalam menyampaikan
berita dusta, semuanya akan pecah di hadapan Allah. Tafsir Al-Muyassar
menegaskan bahwa salah satu bentuk azab di Hari Kiamat adalah ketika lidah
mereka melekat pada ucapan yang pernah diucapkan, sementara tangan dan kaki
berbicara mengenai perbuatan yang terlebih dahulu mereka lakukan.[17].
Berdasarkan
tafsir Al-Muyassar, ayat 25 menerangkan bahwa pada hari itu Allah akan
memberikan balasan kepada setiap manusia secara sempurna dan dengan penuh
keadilan sesuai dengan amal yang telah dilakukan. Dalam peristiwa agung
tersebut, mereka akan menyadari bahwa Allah adalah Zat yang Mahabenar dan
menjelaskan segala sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Segala janji-Nya benar,
ancaman-Nya benar, dan semua yang berasal dari-Nya adalah kebenaran mutlak.
Allah juga tidak akan pernah menzalimi siapa pun, meski hanya seberat semut
kecil.[18].
Pada
ayat 25 dijelaskan bahwa di Hari Akhir kelak Allah akan memberikan balasan
secara langsung atas segala amal yang telah dilakukan manusia. Setiap perbuatan
akan mendapatkan ganjaran yang adil dan sesuai dengan kebenarannya. Saat itulah
mereka benar-benar menyadari bahwa Allah adalah Zat Yang Mahabenar dan segala
janji-Nya merupakan kenyataan.[19].
Rangkaian
ayat ini berisi ancaman dari Allah Ta'ala bagi siapa saja yang menuduh wanita-wanita
mukminah yang baik, suci, dan tidak sekilas pun dalam dirinya untuk melakukan
maksiat. Jika wanita beriman pada umumnya saja dijaga kehormatannya oleh Allah,
maka tentu lebih lagi kedudukan istri Nabi Muhammad ﷺ.
Terlebih lagi, ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa yang menimpa Aisyah
binti Abu Bakar ash-Shiddiq ra.[20]
Para
ulama bersepakat bahwa siapa pun yang menghina atau menuduh Aisyah ra dengan
tuduhan keji setelah turunnya ayat ini, maka ia tergolong kafir karena telah
mengingkari kebenaran Al-Qur'an. Mengenai menuduh istri-istri Nabi yang lain
memiliki ketentuan hukum tersendiri bagi para pelakunya. Firman Allah, “maka
mereka akan mendapat laknat di dunia dan di akhirat”, sejalan dengan
ayat-Nya dalam surah Al-Ahzab ayat 57: “Sesungguhnya orang-orang yang
menyakiti Allah dan Rasul-Nya…”
Terdapat
pandangan yang menyatakan bahwa turunnya ayat ini secara khusus ditujukan
kepada Aisyah ra. Pendapat yang sahih ialah bahwa walaupun ayat ini diturunkan
berkenaan dengan Aisyah, namun ia memiliki hukum yang bersifat universal, yaitu
mengharamkan perbuatan menuduh berzina kepada wanita mukmin yang baik-baik,
lengah, dan ber-iman. Ayat ini tidak mengandung tanda yang mengkhususkan hukum
bagi Aisyah semata, dan Aisyahlah, bukan yang lain, yang menjadi sebab
diturunkannya ayat ini. Jadi hukum ayat ini berlaku bagi Aisyah dan wanita
lainnya[21].
Keumuman
hukum dari ayat tersebut ditegaskan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ
قَبْلَ: يَا رَسُولَ الله, وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: «الشَّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ
وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ, وَأَكْلُ
الرِّبَاء وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ, وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ, وَقَدْفُ
الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلات.
"Waspadalah
terhadap tujuh perkara yang membinasakan.” Para sahabat kemudian bertanya,
“Apakah itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah, melakukan
sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang
diperbolehkan, memakan riba, merampas harta anak yatim, lari dari medan
pertempuran, serta menuduh wanita mukminah yang menjaga kehormatannya dengan
tuduhan zina."
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2766) dan
Muslim (no. 89) dari Abu Hurairah r.a., dan termasuk hadis shahih.
قَذْفُ
الْمُحْصَنَةِ يَهْدِمُ عَمَلَ مِائَةِ سَنَةٍ
"
Menjatuhkan
tuduhan zina kepada wanita suci dapat menghapus amal ibadah yang telah
dilakukan selama seratus tahun."
Hadis ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam
al-Mu‘jam al-Kabīr (no. 10123) dari Hudzaifah r.a. Hadis ini dinilai dha‘if
(lemah) oleh sebagian ulama.
Allah
Ta'ala berfirman, “Pada hari ketika lisan, tangan, dan kaki mereka menjadi
saksi atas apa yang terlebih dahulu mereka buat.” Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah kaum
musyrikin. Ketika mereka mengetahui bahwa surga hanya dimasuki oleh orang-orang
yang menunaikan shalat, mereka berkata, “Mari kita mungkiri semua perbuatan
yang pernah kita lakukan.” Maka mereka pun mengingkarinya. Namun, Allah menutup
mulut mereka, sementara tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas amal yang
telah dikerjakan. Tidak ada satu pun perbuatan yang luput dari jarak jauh."
Allah
berfirman, “Dan pada hari itu Allah akan memberikan balasan kepada mereka
dengan perhitungan yang tepat sesuai dengan ketentuan-Nya.” Ibnu Abbas
mengartikan kata din sebagai makna perhitungan. Adapun firman Allah
Ta'ala, “Dan mereka akan mengetahui bahwa Allah adalah Zat Yang Mahabenar
lagi Maha Menjelaskan,” menunjukkan bahwa janji, ancaman, serta
perhitungan dari Allah bersifat adil dan sama sekali tidak berpihak.[22]
Menurut
tafsir Ibnu Katsir, QS. An-Nur ayat 23–25 menjelaskan bahwa siapa pun yang menuduh
wanita-wanita Mukminah yang telah menikah dengan tuduhan zina, padahal mereka
sama sekali tidak pernah terlintas untuk melakukan perbuatan keji tersebut,
maka Allah akan melaknatnya di dunia maupun di akhirat. Bagi para pendusta itu
telah disiapkan azab yang berat di akhirat, yaitu pada hari perhitungan ketika
lisan, tangan, dan kaki mereka sendiri menjadi Saksi atas perbuatan buruk yang
terlebih dahulu mereka lakukan. Pada hari itu, Allah akan memberikan balasan
yang setimpal, dan mereka pun menyadari bahwa janji ancaman serta Allah adalah
kebenaran yang pasti terjadi.[23]
Relevansi
Ayat
Surah
An-Nur ayat 23-25 menjelaskan tentang peringatan keras kepada orang-orang yang
dengan sengaja menuduh wanita-wanita baik-baik telah melakukan perbuatan zina.
Tuduhan ini tidak main-main dalam pandangan Islam, karena menyangkut harga
diri, kehormatan, dan martabat seseorang, khususnya perempuan yang tidak
tahu-menahu dan tidak terlibat dalam apa yang dituduhkan kepadanya. Dalam ayat
ini, Allah menyatakan bahwa orang-orang yang melakukan tuduhan palsu seperti
itu akan mendapat laknat, baik di dunia maupun di akhirat. Artinya, mereka
dijauhkan dari rahmat Allah dan akan menghadapi azab yang sangat berat.
Apa
yang disebut dalam ayat ini sesungguhnya sangat relevan dengan kondisi
kehidupan sekarang, terutama di zaman ketika informasi menyebar dengan sangat
cepat. Sekarang, hanya dengan satu unggahan di media sosial, seseorang bisa
mencemarkan nama baik orang lain, menuduh tanpa bukti, atau menyebarkan gosip
yang merusak reputasi. Tuduhan yang belum tentu benar, apalagi jika dilakukan
secara sengaja, bisa merusak kehidupan seseorang secara sosial, psikologis,
bahkan ekonomi.
Islam
sejak awal sudah menempatkan kehormatan seseorang, terutama perempuan, sebagai
sesuatu yang harus dijaga. Dalam kehidupan saat ini, banyak sekali kasus di
mana perempuan menjadi korban fitnah atau tuduhan asusila. Ayat ini menunjukkan
bahwa Islam tidak membenarkan tindakan seperti itu, bahkan memberikan ancaman
keras kepada pelakunya. Nilai-nilai dalam ayat ini sejalan dengan prinsip hak
asasi manusia yang menuntut perlindungan terhadap kehormatan dan martabat
setiap individu, termasuk perlindungan hukum dari pencemaran nama baik.
Selanjutnya,
ayat 24 menggambarkan hari pembalasan, ketika seluruh anggota tubuh manusia
lidah, tangan, dan kaki akan menjadi saksi atas apa yang pernah diperbuat. Ini
menggambarkan konsep tanggung jawab yang sangat dalam. Artinya, apa pun yang
dilakukan seseorang, baik itu diucapkan, ditulis, atau dilakukan secara
diam-diam, tidak akan luput dari catatan Tuhan. Ini sangat mengena dalam dunia
saat ini, di mana kadang orang merasa bebas mengatakan apa saja di dunia maya
tanpa mempertimbangkan dampaknya. Namun, Islam mengajarkan bahwa setiap
perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban, dan kebenaran sejati akan
terungkap, bahkan jika di dunia ini tidak ada yang mengetahuinya.
Ayat
25 menutup dengan penegasan bahwa Allah akan memberi balasan yang sepantasnya,
sesuai dengan apa yang telah dilakukan seseorang. Pada saat itu, manusia akan
benar-benar menyadari bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Benar dan Maha
Menjelaskan segala sesuatu. Ini menjadi pengingat bahwa kebenaran sejati akan
selalu menemukan jalannya, meskipun mungkin tertutup oleh kebohongan atau
manipulasi di dunia.
Pesan
dari ketiga ayat ini sangat kuat dalam mengajak manusia untuk menjaga lisan,
menghormati kehormatan orang lain, dan tidak sembarangan menuduh tanpa bukti.
Di saat dunia semakin bebas berbicara dan berkomentar, ayat ini menjadi
pengingat bahwa kebebasan itu harus diiringi dengan tanggung jawab moral dan
kesadaran akan akibat perbuatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Kesimpulan
Kajian terhadap
ayat 23 sampai 25 Surah An-Nur menunjukkan bahwa ayat-ayat ini bukan hanya
memberi ancaman moral terhadap orang yang menyebarkan fitnah zina, tetapi juga
membentuk kerangka etika sosial dan pengetahuan hukum Islam yang menekankan
prinsip keadilan dalam komunikasi (al-‘adalah al-ittishaliyyah). Ayat-ayat ini
memperluas makna hifzh al-‘ird (perlindungan kehormatan) yang sebelumnya hanya
menjadi norma pribadi menjadi dasar sosial yang mengatur hubungan antar orang
dalam masyarakat agar terhindar dari kekerasan verbal, informasi palsu, dan
fitnah yang merusak.
Dari
segi bahasa, kekuatan retorika dalam ayat-ayat ini menunjukkan cara Al-Qur’an
tidak hanya menyampaikan hukum, tetapi juga membangun kesadaran psikologis bagi
pembacanya melalui bentuk-bentuk seperti ta’kid, majaz, dan ithnab yang memupuk
rasa etis untuk berhati-hati dalam berbicara.Karena itu, penelitian ini menunjukkan
bahwa struktur bahasa Al-Qur’an berfungsi sebagai alat pendidikan moral
(tarbiyah lughawiyyah), bukan hanya sebagai alat komunikasi hukum. Selain itu, secara teologis dan sosial,
makalah ini menegaskan bahwa pesan Surah An-Nur ayat 23–25 bersifat
transhistoris: ia tidak hanya merespons peristiwa Haditsul Ifk yang terjadi
pada Aisyah r.a., tetapi juga mengantisipasi fenomena fitnah yang terjadi dalam
era digital saat ini.
Dengan
demikian, pemahaman terhadap ayat ini bisa menjadi dasar etika bagi umat Islam
dalam menghadapi budaya ujaran kebencian dan pencemaran nama baik di media
sosial. Ayat-ayat ini tidak hanya melarang fitnah, tetapi juga mengajarkan
prinsip pengetahuan bahwa kebenaran sosial harus didasarkan pada bukti,
tanggung jawab, dan kesadaran moral. Dengan demikian, penafsiran ayat ini tidak
hanya berhenti pada aspek hukum, tetapi berkembang menjadi gaya berkomunikasi
yang etis dan relevan untuk membentuk masyarakat yang adil, beradab, dan
bertanggung jawab baik secara spiritual maupun sosial.
[1] Jalaluddin
As Suyuthi, Asbabun Nuzul (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2014).
[2] Quraish
Shihab, Tafsir Al Misbah, 2021st ed.
(Tanggerang: Lentera Hati, 2001).
[3] Abdulmailk
Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al Azhar
Jilid 7, 1982nd ed. (Jakarta: Gema Insan, 2015).
[4] Wahbah
Zuhaili and Abdul Hayyie, “Terjemah Tafsir Al-Munir Jilid 9,” Gema Insani 9 (2018): 43–45.
[5] Mahmud
Al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani Fi Tafsir Qur’ani
Al-Lazim Wa Sab’u Al-Mathani, iran, n.d.
[6] al
din ibn Manzur Jamal, Lisan Al-Arab Bab
“Rama,” 2003.
[7] Al
Baghawi, Ma’alim Al Tanzil, 2006.
[8] Al-Qurthubi,
Al-Jami Li Ahkam Al-Qur’an, Mktabah
za (india, 2019).
[9] Al-Biqa’i,
Nazm Al-Durar, 2006.
[10] Al-Qurthubi,
Al-Jami Li Ahkam Al-Qur’an.
[11] Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan,Kesan Dan
Keserasian Al-Qur’an, 293AD.
[12] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-
Mishbah Jilid 9,” Buku 9 (2021): 624.
[13] Zuhaili
and Hayyie, “Terjemah Tafsir Al-Munir Jilid 9.”
[14] Amrullah, Tafsir
Al Azhar Jilid 7.
[15] Wahbah
Az Zuhaili, Tafsir Al-Munir, 1st ed.
(Depok: Gema Insani, 2013).
[16] “Tafsir
Al-Muyasar Surat An-Nuur 21-25,” Ibnu Umar, 2017.
[17] “Tafsir
Al-Muyasar Surat An-Nuur 21-25.”
[18] “Tafsir
Al-Muyasar Surat An-Nuur 21-25.”
[19] Hamka,
Tafsir Al Azhar, 7th ed. (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1992).
[20] Muhammad Nasib Rifa’i, Taisiru Al-Aliyyil Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir, 1st ed.
(Jakarta: Gema Insani, 2012).
[21] Muhammad Nasib Rifa’i.
[22] Muhammad Nasib Rifa’i.
[23] Al-
Imam al-Hafidz Abu al-Fida’ “Imaduddin Isma’il bin Umar Katsir bin Dhau” bin
Katsir al-Qurasy Al-Dimasyqi, Tafsir Ibnu
Katsir Jilid 6 (Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’ i, 2004).
Penulis :
Qoriyah Azizah Rahmawati
Nuvia Kurniasari
Fuad Muhammad Hasan
Muhafi Zhotullailah A
M. Roihan Al-Faiz
Akbar Ramadhan Harahap

Komentar
Posting Komentar