Adab Dalam Bertamu: Penafsiran QS. An-Nur 27-28
Salah satu pedoman utama tentang adab bertamu terdapat dalam Surah An-Nur ayat 27–28, di mana Allah SWT memberikan tuntunan yang sangat rinci mengenai bagaimana seorang Muslim seharusnya meminta izin ketika hendak memasuki rumah orang lain. Ayat ini bukan hanya sekadar aturan sosial, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai moral, kesopanan, dan penghormatan terhadap privasi.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتّٰى تَسْتَأْنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَهْلِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah memasuki rumah
yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
Demikian itu lebih baik bagimu agar kamu mengambil pelajaran.
فَاِنْ لَّمْ تَجِدُوْا فِيْهَآ اَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوْهَا حَتّٰى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَاِنْ قِيْلَ لَكُمُ ارْجِعُوْا فَارْجِعُوْا هُوَ اَزْكٰى لَكُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْم
Artinya : Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, janganlah masuk sebelum mendapat izin. Jika dikatakan kepadamu, “Kembalilah,” (hendaklah) kamu kembali. Itu lebih suci bagimu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Munasabah QS. An-Nūr ayat 27-28
Ayat 27
dan 28 dari surah an-Nūr memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam membangun
adab sosial seorang muslim. Pada ayat 27 Allah memerintahkan agar seorang
mukmin tidak memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin dan memberi salam.
Hal ini, menurut Al-Qurṭubī, merupakan syariat untuk menjaga kehormatan pemilik
rumah dan melindungi privasi mereka. Adab ini mencegah seseorang melihat
sesuatu yang bukan haknya, atau mengganggu kenyamanan penghuni rumah. Kemudian,
ayat 28 turun sebagai penyempurna, yaitu ketika seseorang telah meminta izin
namun tidak diberi izin, maka ia diperintahkan untuk kembali dengan sikap
lapang dada tanpa merasa tersinggung atau memaksa. Menurut Al-Qurṭubī, inilah
puncak dari kesempurnaan akhlak, sebab agama tidak hanya melarang masuk tanpa
izin, tetapi juga mengajarkan bagaimana bersikap jika izin tidak diberikan. Ia
menekankan bahwa penghuni rumah memiliki hak penuh untuk menerima atau menolak
tamu tanpa harus merasa berdosa, karena Allah telah menegaskan “jika dikatakan
kepadamu: kembalilah, maka hendaklah kamu kembali, itu lebih suci bagi kalian.”
Dengan demikian, munāsabah antara dua ayat ini adalah bahwa ayat 28 menjadi
pelengkap dan penguat bagi ayat 27, sehingga syariat adab bertamu dalam Islam
tidak berhenti pada aturan meminta izin, melainkan mencakup pula etika dalam
menghadapi penolakan. Al-Qurṭubī menafsirkan bahwa kedua ayat ini sekaligus
mendidik umat Islam untuk menjaga hak individu, membangun rasa saling
menghormati, serta mewujudkan kehidupan sosial yang penuh etika dan kesucian.[1]
Menurut Al-Biqa‘I
dalam Tafsir
Al-Miṣbāḥ
menghubungkan ayat ini dengan ayat-ayat yang lalu dari sisi bahwa apa yang
dilakukan penyebar isu itu pada hakikatnya adalah prasangka buruk yang
ditanamkan oleh iblis dalam hati mereka terhadap orang-orang beriman. Nah, di
sini Allah swt. memerintahkan untuk menutup salah satu pintu masuknya setan,
dengan jalan memerintahkan kaum muslimin untuk menghindari tempat dan
sebab-sebab yang dapat menimbulkan kecurigaan dan prasangka buruk. Karena itu,
di sini diperintahkan untuk meminta izin sebelum masuk ke rumah.[2]
Dalam
Tafsir Al-Qurṭubī dijelaskan bahwa ayat ini berhubungan dengan ayat sebelumnya
dan hadist-hadist yang telah dikemukakan. Perkiraan maknanya adalah, hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam. Jika kalian diizinkan masuk, maka
masuklah. Tapi jika tidak, maka kembalilah, sebagaimana yang dilakukan
Rasulullah Saw terhadap Sa’d dan Abu musa terhada Umar. Jika kalian tidak
menemui seorang pun di dalamnya yang dapat memberikan izin kepada kalian, maka
janganlah kalian memasukinya hingga kalian mendapatkan izin.[3]
Sebab turunnya ayat ini (an-Nūr ayat 27-28) adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Thabari dan lainnya dari ‘Adi bin Sabit, bahwa seorang wanita Anshar berkata, “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku di dalam rumahku dalam keadaan tidak suka diriku dilihat oleh seorang pun, baik oleh orangtua maupun anak. Namun ayahku datang dan menemuiku. Sesungguhnya selalu ada saja seseorang dari keluargaku yang menemuiku saat aku dalam kondisi tersebut. Apa yang harus aku lakukan, maka turunlah ayat ini.[4]
Analisa Kebahasaan
Secara umum, aspek kebahasaan pada surah an-Nūr ayat 27-28 sangat jelas dan lugas, menggunakan gaya bahasa perintah
dan larangan untuk menyampaikan pesan moral dan etika.
|
|
Lafadz |
|
Penggunaan kata seruan
(nida’) yang berfungsi
sebagai panggilan langsung dan kuat, menekankan bahwa perintah ini ditujukan
kepada seluruh umat islam. yang berfungsi sebagai panggilan langsung dan kuat,
menekankan bahwa perintah ini ditujukan kepada seluruh umat Islam.
|
يٰۤـاَيُّهَا
الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡ |
|
|
Lafadz |
|
Kata larangan (nahi), secara tegas
melarang perbuatan, penggunaan kata
ini menciptakan batasan yang jelas dan tidak ambigu. yang secara tegas melarang perbuatan, menciptakan
batasan yang jelas dan tidak ambigu. |
لَا تَدۡخُلُوۡا |
|
|
Lafadz |
|
Bentuk nakirah
dalam konteks kalimat larangan sehingga kata ini memberikan |
بُيُوۡتًا |
|
pengertian umum
mencakup rumah yang menjadi tempat tinggal pribadi dan rumah yang tidak
menjadi tempat tinggal pribadi. tetapi, ayat berikutnya (ayat 29) menghendaki ayat di atas dipahami dalam
konteks rumah yang menjadi tempat tinggal pribadi saja. Oleh karena itu,
maknanya menjadi, wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk ke
rumah tempat tinggal pribadi orang lain sebelum permisi minta izin[5] بيوتا adalah bentuk jama
dari (بيت), yang
artinya adalah
rumah/tempat tinggal. adalah bentuk nakirah (umum) dalam konteks
kalimat larangan, yang memberi pengertian umum mencakup semua rumah. Ayat 29
mengarahkan pemahaman konteksnya menjadi rumah yang menjadi tempat tinggal
pribadi. |
|
|
|
Lafadz |
|
Kata (الاتئناس)
artinya adalah (الاستعلام) mencari tahu dan berusaha mengungkap
dari kata (اشيء انس). yang artinya adalah melihat sesuatu
dalam keadaan jelas dan terbuka. Barangsiapa yang ingin masuk ke rumah orang
lain, ia harus mencari tahu dari penghuni rumah apa yang mereka inginkan
apakah mengizinkan ataukah tidak. Oleh karena itu, kata ini
maksudnya adalah sama dengan al-lsti'dzaan [permisi minta izin)[6] al-Isti’lam (mencari
tahu) dan al-Isti’dzaan (permisi minta izin). Seseorang yang ingin
masuk rumah harus mencari tahu apakah penghuni mengizinkan atau tidak. |
حَتّٰى
تَسۡتَاۡنِسُوۡا وَتُسَلِّمُوۡا عَلٰٓى اَهۡلِهَا |
|
|
Lafadz |
|
Dalam ayat ini adalah bentuk
isim tafdhiil (lebih baik) |
خَيۡرٌ |
|
|
Lafadz |
|
Memiliki makna at-Ta'liil (menjelaskan 'illat, alasan, dan tujuan).
Sedangkan, hukum yang dijelaskan 'illat-nya dengan kat tersebut
dipahami dari konteks kalimat
sebelumnya. Yakni, Allah SWT
membimbing kalian kepada
adab dan etika tersebut serta menjelaskannya kepada
kalian kalian kepada adab dan etika tersebut serta
menjelaskannya kepada kalian supaya selalu diingat oleh kalian. Lalu kalian
mengamalkan apa-apa yang menjadi tuntutan adab dan etika tersebut |
لَعَلَّكُمۡ |
|
|
Lafadz |
|
7 Kalam Allah SWT,( فَاِنۡ لَّمۡ تَجِدُوۡا فِيۡهَاۤ) Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya.
Kata ganti yang terdapat pada lafadz تَجِدُوۡا فِيۡهَاۤ) (kembali kepada lafazd [7](بيوتا) . |
فَاِنۡ لَّمۡ تَجِدُوۡا فِيۡهَا |
|
|
Lafadz |
|
merupakan ancaman yang dituju kan bagi pihak- pihak yang
mematai-matai rumah orang lain dan menyelinap masuk secara diam-diam dengan
niat tidak baik 3. 4. dan untuk
melihat hal-hal yang tidak boleh dilihat. |
وَاللّٰهُ بِمَا
تَعۡمَلُوۡنَ عَلِيۡمٌ |
Analisis bagaimana
pilihan kata mencerminkan pesan moral dan bagaimana susunan ayat memperkuat
larangan:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَدۡخُلُوۡا بُيُوۡتًا غَيۡرَ
بُيُوۡتِكُمۡ حَتّٰى تَسۡتَاۡنِسُوۡا وَتُسَلِّمُوۡا عَلٰٓى اَهۡلِهَا
Struktur ini menempatkan adab (meminta izin dan salam)
sebagai prasyarat mutlak sebelum melakukan tindakan (masuk rumah), menegaskan
prioritas etika sosial dan privasi.
ذٰ لِكُمۡ خَيۡرٌ لَّـكُمۡ
Menegaskan bahwa adab
tersebut bukan hanya kewajiban, tetapi juga kebaikan
فَاِنۡ لَّمۡ تَجِدُوۡا فِيۡهَاۤ اَحَدًا فَلَا تَدۡخُلُوۡهَا حَتّٰى يُؤۡذَنَ لَـكُمۡ
Larangan masuk tetap
berlaku bahkan jika rumah kosong, sampai izin diberikan. Ini menegaskan bahwa
izin adalah hak mutlak penghuni, bukan sekadar memastikan kehadiran mereka.
وَاِنۡ قِيۡلَ لَـكُمُ ارۡجِعُوۡا فَارۡجِعُوۡا
Perintah untuk kembali setelah adanya
penolakan disampaikan dengan sangat
lugas dan tidak ada negosiasi. Ini adalah puncak penekanan pada hak privasi dan
etika menerima penolakan.
هُوَ اَزۡكٰى لَـكُمۡ
Kata (lebih
suci/bersih) menunjukkan bahwa ketaatan pada adab ini bukan hanya tentang etika
sosial, tetapi juga menjaga kesucian diri dari potensi dosa akibat melanggar
privasi atau memata-matai.
وَاللّٰهُ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ عَلِيۡمٌ
Pernyataan penutup ini berfungsi sebagai ancaman bagi mereka yang berniat tidak baik atau memata-matai. Ia mengingatkan bahwa ketaatan pada adab ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh karena Allah Maha Mengetahui niat dan perbuatan tersembunyi
Tujuan QS. An- Nūr Ayat 27-28
Berdasarkan analisis kebahasaan terhadap
penafsiran pada surah an-Nūr ayat 27-28 terkait adab bertamu, terdapat sejumlah
pedoman penting yang harus diperhatikan oleh setiap Muslim dalam menjaga etika
sosial dan kehormatan sesama. Salah satu adab utama yang ditekankan adalah
larangan keras untuk mengintip ke dalam rumah orang lain tanpa izin, karena
tindakan tersebut merupakan
bentuk pelanggaran terhadap
privasi dan kehormatan pemilik rumah.[8]
Selain itu, Islam melarang seseorang untuk memasuki rumah yang bukan miliknya
sebelum mencapai batas isti’nas, yaitu meminta izin. Dalam hal ini, Al-Qurṭubī menegaskan bahwa isti’nas dilakukan sebelum mengucapkan salam,
sehingga meminta izin menjadi langkah awal yang harus dilakukan sebelum
mengucap salam kepada penghuni rumah. Ketika meminta izin masuk, seseorang
dianjurkan untuk melakukannya maksimal sebanyak tiga kali dengan mengucapkan
salam " السَّلاَم عَليْكٌمْ”. Jika
setelah tiga kali upaya tidak mendapatkan jawaban atau tidak diberi izin untuk
masuk, maka tamu tersebut harus segera beranjak pergi dan tidak memaksakan diri
untuk masuk.
Dalam praktik meminta izin, tamu boleh
berdiri di tempat manapun yang ia kehendaki selama masih sopan dan tidak
mengganggu kenyamanan penghuni rumah. Ia juga boleh mengetuk pintu, tetapi
dengan ketukan yang pelan dan sopan, cukup agar terdengar oleh tuan rumah tanpa
mengganggu atau menimbulkan kesan tidak sopan. Ketika tuan rumah bertanya
“siapa?”, orang yang meminta izin tidak sepantasnya menjawab dengan kata “saya”
atau “aku”, melainkan harus menyebutkan namanya dengan jelas. Hal ini bertujuan
agar tuan rumah mengetahui siapa yang datang dan dapat memberikan respons yang
sesuai.[9]
Al-Qurṭubī juga menyebutkan bahwa setiap masyarakat atau kaum memiliki kebiasaan
tersendiri dalam tata cara meminta izin, namun prinsip dasarnya tetap sama,
tidak diperkenankan memasuki rumah tanpa izin dan salam. Bahkan, keberadaan
utusan yang diutus oleh seseorang kepada pemilik rumah dianggap sebagai bentuk
izin resmi, selama maksud dan identitasnya jelas.[10]
Pandangan antara tamu dan penghuni
rumah sudah saling bertemu misalnya, ketika tuan rumah membuka pintu dan
langsung melihat tamunya maka tamu tersebut wajib mengucapkan salam. Namun,
pertemuan pandangan tersebut tidak boleh dianggap sebagai izin masuk, karena
izin tetap harus diberikan secara eksplisit oleh tuan rumah. Semua adab dan
ketentuan ini berlaku khusus untuk rumah orang lain. Adapun dalam konteks rumah pribadi, jika di dalamnya
terdapat keluarga, maka tidak wajib bagi seseorang
untuk meminta izin untuk
masuk. Meskipun demikian, sangat
dianjurkan untuk tetap mengucapkan salam ketika
memasuki rumah sendiri, sebagai bentuk penghormatan dan kebiasaan baik. Bahkan,
ketika seseorang masuk ke dalam rumahnya yang kosong, di mana tidak ada satu
pun penghuni di dalamnya, maka ia dianjurkan untuk mengucapkan salam kepada
dirinya sendiri dan para hamba
Allah yang saleh dengan
doa:" السَّلاَمُ عَلَيْنَا وعَلَى
عِبَادِ الّلهِ الصّآلِحِين “
Dalam
situasi apapun, seseorang
tidak diperkenankan memasuki rumah yang bukan miliknya tanpa terlebih
dahulu meminta izin dan mengucapkan salam, baik rumah tersebut dalam keadaan
terbuka maupun tertutup. Izin masuk dapat diberikan oleh orang dewasa maupun
anak-anak yang telah memahami etika bertamu. Selain itu, Al-Qurṭubī mengingatkan adanya larangan keras terhadap praktik memata-matai rumah
orang lain atau mencoba memasuki rumah tersebut saat penghuninya sedang lengah,
apalagi jika maksud kedatangannya adalah untuk melakukan kemaksiatan atau
melihat hal-hal yang tidak dihalalkan baginya. Namun demikian, terdapat
pengecualian tertentu, yaitu dalam kasus rumah-rumah yang memang tidak dihuni oleh seseorang seperti rumah kosong atau tempat umum maka tidak
diperlukan izin khusus untuk memasukinya selama tetap menjaga adab dan niat
yang baik.
Dengan memahami dan menerapkan adab
bertamu sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nūr ayat 27–28, umat Islam
diajarkan untuk menghormati privasi dan hak orang lain. Seseorang tidak boleh
masuk ke rumah orang lain tanpa izin dan harus memberi salam terlebih dahulu.
Jika tidak diizinkan, sebaiknya pergi dengan lapang dada. Ajaran ini
menumbuhkan sikap sopan, menjaga kehormatan, dan mempererat hubungan sosial
yang harmonis dalam masyarakat.
Analisis QS. An-Nūr Ayat 27-28
Surah an-Nūr ayat 27–28 memberikan pedoman etika bertamu yang menjadi
dasar bagi pembentukan tata kehidupan sosial masyarakat Islam. Ayat ini
menegaskan larangan bagi orang beriman untuk memasuki rumah yang bukan miliknya
sebelum meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Ketentuan
tersebut bukan sekadar persoalan kesopanan, tetapi menyangkut perlindungan
privasi serta penjagaan kehormatan keluarga. Dalam konteks historis, masyarakat
Arab pra-Islam memiliki kebiasaan memasuki rumah orang lain tanpa izin,
sehingga wahyu ini hadir sebagai koreksi terhadap tradisi Jahiliyah sekaligus
penetapan norma sosial baru yang lebih beradab.
Secara kebahasaan, ayat ini menggunakan kata tasta’nisū yang
berasal dari akar kata ’anasa, bermakna “merasakan keakraban atau
kenyamanan.” Pemilihan kata ini mengandung makna halus: bahwa meminta izin
tidak sekadar tindakan administratif, melainkan upaya menciptakan suasana yang
menenangkan bagi penghuni rumah. Susunan ayat yang menempatkan perintah izin
sebelum salam juga menunjukkan penekanan bahwa etika sosial dalam Islam dimulai
dari penghormatan terhadap hak pribadi orang lain. Dengan demikian, aspek linguistik
ayat ini memperkuat pesan moralnya yakni membangun hubungan sosial yang
beradab, saling menghormati, dan menenteramkan.
Penjelasan para mufasir memperkaya pemahaman terhadap kandungan ayat ini.
M. Quraish Shihab melalui Tafsir Al-Miṣbāḥ menekankan makna praktis dari
adab bertamu. Menurutnya, ayat ini mengajarkan pentingnya menjaga perasaan
orang lain serta menghargai ruang privat. Salam yang disyariatkan tidak hanya
berfungsi sebagai tanda izin masuk, tetapi juga membawa doa keselamatan dan menjadi
simbol kedamaian yang wajib dihadirkan seorang Muslim dalam interaksi
sosialnya. Perintah untuk kembali jika tidak diizinkan masuk menunjukkan bahwa
Islam menjunjung tinggi etika pergaulan yang sehat, bahkan dalam lingkup yang
paling kecil, yakni hubungan antar tetangga.[11]
Sementara itu, Ibn Katsir dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm
menafsirkan ayat ini melalui pendekatan bil ma’tsūr dengan mengutip
sejumlah riwayat sahabat dan tabi‘in. Ia menukil hadis Nabi yang menganjurkan
seseorang meminta izin hingga tiga kali sebelum kembali apabila tidak
diizinkan. Menurut Ibn Katsir, aturan ini merupakan bentuk ketaatan syariat
sekaligus upaya membangun suasana saling menghormati dan menjaga kehormatan
keluarga.[12] Dengan demikian, aspek hukum
dan adab berpadu menjadi dasar bagi stabilitas sosial.
Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Tafsīr al-Munīr menyoroti aspek
linguistik ayat, khususnya pemilihan kata tasta’nisū, yang menurutnya
mencerminkan keseimbangan antara etika sosial dan kenyamanan psikologis.
Meminta izin bukan dimaksudkan untuk membatasi hubungan sosial, tetapi justru
untuk menumbuhkan rasa aman bagi penghuni rumah. Ayat ini, menurut Wahbah,
membentuk fondasi moral yang menyatukan nilai akhlak, sosial, dan spiritual.[13] Analisis kebahasaannya
memperlihatkan bagaimana uslub Al-Qur’an menanamkan nilai etika melalui diksi
yang lembut namun bermakna dalam.
Dalam Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Al-Qurṭubī menekankan dimensi hukum dari ayat
ini. Ia menjelaskan bahwa larangan memasuki rumah tanpa izin merupakan
ketentuan syariat yang bersifat wajib, berdasarkan riwayat Nabi dan pendapat
para ulama fikih. Al-Qurṭubī juga membahas konsekuensi
hukum bagi pelanggaran terhadap aturan ini, serta menegaskan bahwa salam
merupakan bagian tak terpisahkan dari proses izin.[14] Penafsirannya menunjukkan
bagaimana dimensi fiqh al-āyāt bekerja dalam menautkan teks dengan prinsip
hukum Islam yang hidup.
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menafsirkan ayat ini secara
kontekstual dan humanis. Ia menegaskan bahwa rumah adalah tempat bersemayamnya
rahasia pribadi dan kehidupan keluarga yang tidak pantas diketahui orang luar.
Seorang tamu yang masuk tanpa izin dapat saja menyaksikan hal-hal yang
seharusnya menjadi privasi keluarga. Hamka memberi contoh realistis seperti
seseorang di rumah mungkin sedang berpakaian seadanya atau keluarga sederhana
yang berusaha tampak layak di luar. Karena itu, aturan izin dan salam menjadi
mekanisme menjaga martabat serta menutup aib keluarga. Ia juga menekankan
pentingnya sikap legawa jika tuan rumah menolak menerima tamu, sebab penolakan
bukanlah penghinaan, melainkan bentuk penghormatan terhadap privasi.[15]
Sayyid Qutb dalam Fī Ẓilāl al-Qur’ān melihat ayat ini dari
perspektif sosial sistemik. Ia menafsirkan perintah izin sebagai bagian dari
pembangunan masyarakat Islam yang beradab, di mana keamanan psikologis setiap
individu dijamin oleh syariat. Salam bagi Qutb bukan sekadar ungkapan formal,
tetapi pengakuan terhadap eksistensi dan martabat tuan rumah. Hak untuk menolak
tamu dipandang sebagai bentuk kebebasan yang dilindungi syariat. Baginya,
perintah untuk kembali jika tidak diizinkan merupakan pelajaran moral mendalam
agar seorang Muslim tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.[16]
Dari
berbagai pandangan tersebut, tampak bahwa seluruh mufasir sepakat mengenai
prinsip utama ayat ini, yakni penghormatan terhadap privasi, kehormatan, dan
kenyamanan dalam hubungan sosial. Perbedaan corak tafsir hanya terletak pada
titik tekan masing-masing: Quraish Shihab menyoroti aspek sosial-akhlaki
kontemporer; Ibn Katsir menguatkan sisi riwayat dan hukum; Wahbah al-Zuhaili
menampilkan analisis linguistik dan moral: Al-Qurṭubī menegaskan dimensi hukum syariat;
Hamka memusatkan perhatian pada konteks sosial budaya; sementara Sayyid Qutb
mengaitkannya dengan sistem sosial Islam. Seluruhnya saling melengkapi dan
menunjukkan keluasan makna ayat.
Keterkaitan
antara aspek kebahasaan, munasabah, dan tafsir memperlihatkan keutuhan pesan
Al-Qur’an. Struktur linguistik ayat yang lembut (tasta’nisū) mendukung
maksud syariat yang menekankan etika sosial, sedangkan konteks sejarah dan
tafsir para mufasir menegaskan tujuan syariat untuk membentuk masyarakat yang
menjaga privasi serta kehormatan.
Relevansi ayat ini dalam kehidupan modern sangat nyata. Di era digital, privasi sering terabaikan, baik di ruang fisik maupun maya. Prinsip izin, adab, dan penghormatan terhadap ruang pribadi tetap relevan ketika seseorang hendak “memasuki” ruang privat orang lain melalui media sosial atau komunikasi daring. Nilai-nilai Al-Qur’an dalam QS. An-Nūr ayat 27–28 menjadi fondasi moral bagi masyarakat yang beradab, saling menghormati, dan penuh kedamaian.[17]
KESIMPULAN
Surah an-Nūr ayat 27–28 menunjukkan bahwa ayat ini memiliki keterkaitan erat dengan tema besar surat, yaitu menjaga kehormatan, kesucian, dan keteraturan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Secara munasabah, ayat ini datang setelah pembahasan tentang larangan zina dan perintah menundukkan pandangan, sehingga menjadi pelengkap dalam menjaga kehormatan dengan cara mengatur tata cara masuk rumah orang lain. Dari segi kebahasaan, penggunaan kata isti’nas mengandung makna mendalam tentang pentingnya menghadirkan rasa nyaman bagi penghuni rumah dengan meminta izin terlebih dahulu, bahkan sebelum mengucapkan salam. Tujuan ayat ini adalah mendidik umat Islam agar berperilaku sopan, menjaga hak dan privasi orang lain, tidak memaksa masuk jika tidak diizinkan, serta menumbuhkan rasa malu dan etika yang luhur. Analisis terhadap ayat ini menegaskan bahwa adab bertamu bukan hanya norma sosial, tetapi bagian dari ajaran agama yang berfungsi menjaga kehormatan, menghindari fitnah, mencegah pelanggaran, dan mempererat ukhuwah Islamiyah. Dengan mengamalkan pesan ayat ini, masyarakat akan terbiasa bersikap santun, menghormati privasi sesama, serta menciptakan kehidupan sosial yang aman, harmonis, dan penuh keberkahan.
[1] Syaikh Imam Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurthubi (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2015).
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah (Jakarta Selatan: Lentera Hati, 2016).
[3] Al-Qurtubi, Tafsir
Al-Qurthubi.
[4] Ibid.
[5] Wahbah Zuhaili dan Abdul Hayyie, “Terjemah Tafsir
Al-Munir Jilid 9,” Gema Insani 9
(2018): 43–45.
[6] Zuhaili dan Hayyie.
[7] Studi Analisis, Penafsiran Al-qurtubi Pada, and Ahmad
Zabidi, “Adab Bertamu Dalam QS. An-Nur ayat 27-29 Dalam Tafsir Ja mi ’ Li Ahkam
Al- Qur'an” 9, no. 2 (2023): 69–84. s
[8] Lailatul Mufidah, “Etika Bertamu Dalam Perspektif
Al-Qur’an (Tela’ah QS. An-Nur Ayat 27-28),” Jurnal
Kajian Tafsir Hadis Dan Pemikiran Islam, 2021, 44–45.
[9] Nurhidayat, “Adab Bertamu Dan Menjaga Privasi Menurut
QS. An-Nur Ayat 27-28,” JURNAL At-Tibyan
Jurnal Ilmu Alquran Dan Tafsir, 2020, 56.
[10] Arifuddin Isma’il, “Etika Sosial Dalam Al-Qur’an,” Jurnal Ilmu Usuluddin, 2020, 97–99.
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Miṣbāḥ: Kesan, Pesan, Dan
Keserasian Al-Qur’an Jilid 8 (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
[12] Ismā‘īl Ibn ‘Umar Ibn Katsir, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm (Jilid 6). (Riyadh: Dār Ṭayyibah., 1999).
[13] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Tafsīr
Al-Munīr Fī Al-‘Aqīdah Wa Al-Sharī‘ah Wa Al-Manhaj (Jilid 18). (Damaskus:
Dār al-Fikr., 1991).
[14] Abū ‘Abd Allāh Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘ Li Aḥkām Al-Qur’Ān (Jilid 12) (Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah.,
1964).
[15] Hamka, Tafsir
Al-Azhar Jilid 18 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983).
[16] Sayyid Qutub, Fi
Zilal Al-Qur’an Jilid 5 (Kairo: Dar al-Shuruq, 2003).
[17] Nopriadi, “Menjaga Privasi Digital: Studi Tentang Kesadaran Mahasiswa Dalam Perlindungan Data Pribadi Di Media Sosial,” Jurnal Ilmu Komputer Dan Ilmu Pengetahuan Alam, 2024, 87–97.
Penulis:
1. Muhammad Hafidz Ridho |
2. Muhammad Faiz Alauddin |
3. Muhammad Arif Karunia |
4. Muhamad Fadli |
5. Muhammad Rafy Akmaludin |
6. Ulfa Abidatul Fitri |

Komentar
Posting Komentar