Mafatih al-Ghaib Karya Fakruddin ar-Razi
Para Mufassir telah
melakukan berbagai upaya untuk menyelami makna yang terkandung dalam al-Qur'an
sehingga bermunculan karya-karya tafsir yang terkenal dan monumental. Diantara
banyaknya kitab tafsir, kitab Mafatih al-Ghaib yang dikarang oleh Fakhruddin Ar-Razi
memiliki pengaruh yang besar bagi dunia Islam. Tafsir ini kerap disebut dengan
tafsir al-Kabir karena pembahasannya yang rinci, mendalam, dan komprehensif.
Karya tafsir ini bukan hanya membahas makna literal ayat-ayat Al-Qur’an saja,
tetapi juga menyajikan pola analisis menyeluruh dari berbagai aspek seperti
bahasa, kalam, filsafat, fiqh, dan ilmu lainnya. Dengan
pendekatan tersebut, tafsir ini termasuk salah satu karya tafsir yang paling
lengkap dan mendalam.
Maka dari itu, penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk menggali secara mendalam dan menganalisis sejarah dari awal mula penulisan tafsir Mafatih al-Ghaib dengan meneliti kisah perjalanan hidup Fakhruddin Ar-Razi hingga mengidentifikasi sumber, corak, dan metodologi penafsiran yang digunakan beliau dalam melahirkan karya tafsirnya.
A. Biografi Fakhruddin Ar-Razi
Ar-Razi mempunyai nama lengkap Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar
bin al-Husain Ar-Razi. Sedangkan Fakhruddin, Ar-Razi, dan Syaikul Islam
merupakan laqab atau gelar sehingga nama beliau sering dipanggil dengan sebutan
Fakhruddin Ar-Razi. Beliau dilahirkan di Kota Ray, Iran yang merupakan ibu kota
dari Syahrestani Ray di Provinsi Tehran. Ia lahir pada 25 Ramadhan 544 H dan
wafat di Kota Herat, Afghanistan pada 606 H.[1] Ar-Razi
terkenal sebagai seorang ulama yang menyalurkan ide-ide karya Imam Asy’ari
dan ulama yang memegang pada mazhab Syafi’i.[2] Salah satu sumbangsih
ide yang dilakukannya yaitu dengan menulis karya tafsir terkenal yaitu Tafsir
Mafatih al-Ghaib atau Tafsir al-Kabir.
Ar-Razi berlatar
pendidikan yang mumpuni. Ayahnya yaitu Diya’ al-Din Abu al-Qasim Umar Ar-Razi
merupakan guru pertamanya, ia berpegang teguh pada mazhab Asy’ari dalam
bidang kalam, juga seorang yang berpegang teguh pada mazhab Syafi’i dalam
bidang fiqih. Ayahnya adalah salah satu murid dari Abu Muhammad al-Baghawy,
yaitu tokoh ulama dan pemikir bidang sastra, fiqh, ushul fiqh, hadits, teologi,
dan tasawuf yang banyak dikagumi oleh masyarakat Kota Ray.[3]
Pada tahun 559 H,
ayah Ar-Razi wafat dan kemudian melanjutkan pendidikannya dengan belajar kepada
ulama-ulama besar, seperti Mahya as-Sunnah Muhammad al-Baghawi dan Majid
al-Zaili. Mereka memberi pengetahuan kepadanya berupa hikmah dan kalam. Ar-Razi
juga terampil dalam berbagai bidang keilmuan, seperti ilmu kedokteran karya
Imam al-Ghazali, ilmu ushul fiqih, dan kitab al-Mu’tamad karya Abil Husain
al-Bishri. Di samping itu, beliau juga mampu memahami
kitab Kamal al-Sammani.[4] Dalam aktivitas
keilmuannya, beliau selalu tekun, teguh, dan giat dalam mendapatkan
pengetahuan. Di setiap kesempatannya, ia selalu bertukar ide dan berdialog
kepada orang-orang alim yang berbeda aliran dengannya, seperti Mu’tazilah dan
Karamiyah.
B. Latar Belakang dan
Sejarah Penulisan Tafsir Ar-Razi
Ar-Razi dikenal
sebagai seorang ulama tafsir yang banyak menghasilkan karya tulis, salah satu
karya besar nya dalam bidang tafsir yaitu kitab tafsir
Mafatih al-Ghaib atau sebutan lainnya Tafsir al-Kabir. Disamping adanya
kontroversi terhadap hasil penafsirannya, proses penulisannya menjadi bukti atas kegigihannya. Dimulai pada bulan
Rajab sampai bulan Ramadhan tahun 601 H sebanyak 827 halaman dengan asumsi
bahwa setiap harinya, beliau menulis sebanyak 11
halaman.[5] Semasa hidupnya,
Ar-Razi kerap kali bersinggungan dengan kalangan masyarakat bermazhab Karamiyah
dan Mu’tazilah. Dikutip dalam sebuah jurnal oleh Djuned dan Makmunzir pada
tahun 2021 yang berjudul “Penakwilan Ayat-Ayat Sifat menurut Imam
Fakhruddin Ar-Razi” dijelaskan bahwa paham-paham tersebut berdampak di
lingkungan masyarakat, terutama setelah tersebarnya pemahaman Mu'tazilah dalam
kitab al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari. Hal itu memberikan motivasi dan tekad
yang kuat kepadanya untuk
melakukan counter attack.[6] Beliau
terdorong untuk menjunjung akidah dan mazhab yang diyakininya dengan cara
mengkritik pemahaman para tokoh yang dianggap tidak sesuai dengannya, seperti
al-Jubbai, al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar, Abu Hasyim, dan Abu Muslim.
Selain itu, di dalam
tafsir Ar-Razi juga dijelaskan
bahwa Surah al-Fatihah bisa dianalisis sampai dengan
puluhan ribu persoalan. Hal tersebut menunjukkan bahwa beliau memiliki motivasi tinggi dalam melahirkan sebuah kitab tafsir yang
mengakomodasi persoalan pada masa tersebut. Secara keseluruhan, beliau belum
menyelesaikan penulisan kitab tafsirnya yang akhirnya dilanjutkan oleh penerus
yang memahami cara penafsirannya. Dalam persoalan ini, terdapat perdebatan mengenai batas penafsiran yang dilakukannya. Pendapat awal mengatakan bahwa beliau
merampungkan tafsirnya sampai dengan surah al-Anbiya. Pendapat lainnya mengatakan bahwa beliau merampungkannya
sampai dengan surah al-Waqiah dengan dasar
bahwa intensnya mengutip surah al-Waqiah dalam
tafsirnya, pendapat ini dianggap lemah. Pendapat lain juga mengatakan bahwa Ar-Razi menafsirkan
al-Qur'an sampai dengan surah al-Bayyinah.
Berdasarkan uraian beberapa
pendapat yang telah diuraikan, adz-Dzahabi
menjelaskan bahwa kitab tafsir Mafatih al-Ghaib dapat diterima dua argumen. Pertama, Ar-Razi menyelesaikan penulisan tafsirnya
sampai surah al-Anbiya. Kedua, Ar-Razi menyelesaikan penulisan tafsirnya sampai dengan surah al-Bayyinah. Maka dari itu, beberapa masyarakat lebih dominan memilih dan
lebih populer mengetahui bahwa pendapat awal yang merupakan titik dimana Ar-Razi
menyelesaikan penafsirannya.[7]
C. Bentuk, Metode, dan Corak Penafsiran Tafsir Ar-Razi
Kitab tafsir Mafatih
al-Ghaib karya Fakhruddin Ar-Razi menerapkan bentuk tafsir bil ra’yi.[8] Hal itu dapat diketahui melalui gaya penafsirannya dimana beliau memberikan argumen-argumen rasional yang
dimilikinya serta mencantumkan berbagai macam pendapat para mufasir lainnya
untuk memperkuat argumennya.[9] Kemudian dalam
penulisan kitab tafsirnya, Ar-Razi menggunakan metode tahlili yaitu
menganalisis ayat Al-Qur’an dengan menguraikan kata secara komprehensif dan
menyeluruh dalam berbagai aspek yang meliputi aspek bahasa, fiqh,
kalam, filsafat, dan pengetahuan lainnya.[10]
Berhubungan dengan
itu, tafsir Mafatih al-Ghaib mengandung berbagai corak yang
beragam. Adapun corak yang paling menonjol dalam
tafsirnya adalah tafsir ‘ilmi. Hal itu dikarenakan dalam tafsir
tersebut banyak menguraikan makna ayat dengan berbagai macam disiplin keilmuan
yang berkembang pada masa itu. Selain itu, tafsir Mafatih al-Ghaib ini juga
mengandung corak tafsir falsafi di mana Ar-Razi merupakan
filsuf terkenal sehingga hasil pemikirannya sangat kental dengan filsafat dan
beliau tuangkan penjelasannya dalam karya tafsirnya tersebut.
Selain itu, terdapat corak teologis dan fiqh yang
terkandung dalam tafsir Ar-Razi. Hal tersebut diketahui bahwa semenjak kecil,
beliau telah diperkenalkan dengan dasar-dasar ilmu kalam dari golongan Asy’ariyah yang
bermazhab Sunni dan dibimbing oleh guru-guru yang bermazhab Sunni. Maka tidak
diragukan, ketika beliau menulis tafsir Mafatih
al-Ghaib, beliau menyajikan pola-pola penafsiran yang tertuang dalam karyanya
tersebut dengan kupasan yang bercorak teologis. Disamping itu, Ar-Razi juga
mempunyai prestasi dari bidang fiqh dengan bimbingan langsung
dari ayah dan guru-gurunya yang termasuk dalam golongan mazhab Syafi’i.
Kehebatan Ar-Razi terbukti dalam mengkaji dan menghafal karya-karya yang
berkaitan dengan bidang metodologi fiqh.[11] Maka dari itu,
dengan keilmuan di bidang fiqh yang beliau miliki juga turut
mempengaruhi dan memberikan corak dalam tafsir yang beliau susun.
D. Kelebihan dan
Kekurangan Tafsir Ar-Razi
Tentu dalam setiap
karya mempunyai kelebihan dan Kekurangan. Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Ar-Razi
memiliki kelebihan dan kekurangan didalamnya. Diantara kelebihannya sebagai
berikut:
1. Makna ayat dijelaskan
secara mendalam dan detail, seperti ketika Ar-Razi menafsirkan surah
Al-Fatihah, beliau menjelaskannya dengan hasil yaitu sekitar 250 halaman yang
hanya memberikan penjelaskan terkait tafsir lafaz ta’awudz, basmalah,
dan ayat dalam surah Al-Fatihah.[12]
2. Menghadirkan
penjelasan dari berbagai macam disiplin
keilmuwan, seperti kebahasaan, fiqh, kalam, filsafat,
dan sebagainya.
3. Sangat memperhatikan
aspek munasabah ayat dan mengaitkannya dengan ilmu yang berkembang pada masa
itu sehingga ditemukan adanya nilai-nilai hikmah dalam keserasian antar ayat
Al- Qur’an.
Selain memiliki
kelebihan, tafsir ini juga mengandung beberapa kekurangan didalamnya, diantaranya:
1. Mendapatkan banyak kritikan
dari para ulama tafsir karena hasil penafsirannya dianggap banyak keluar dari
esensi dari melakukan penafsiran.
2. Karakteristik
tafsirnya yang terlalu mengedepankan rasionalitas dianggap mengurangi esensi
tafsir. Manna’ al-Qaththan berpendapat bahwa penafsiran Ar-Razi dapat dikatakan
sudah keluar dari pemaknaan ayat Al-Qur’an.[13]
3. Kurang cocok untuk
pemula dikarenakan adanya kompleksitas ilmiah yang terdiri dari banyak disiplin
keilmuan yang sulit dipahami tanpa adanya dasar-dasar ilmu yang cukup.
E. Karakteristik Tafsir Ar-Razi
Dalam penulisan
tafsir Mafatih al-Ghaib, ditemukan ada beberapa ciri atau karakteristik
penafsiran yang ditindak oleh Ar-Razi. Diantara karakteristik tersebut yaitu:
1. Ar-Razi memprioritaskan penyebutan
munasabah ayat sehingga beliau dapat menjelaskan adanya hikmah yang ada dalam
tiap ayat yang ditafsirkan.[14]
2. Penafsiran
Ar-Razi seringkali menyimpang kepada pembahasan yang sifatnya adalah ilmu pengetahuan lain
seperti ilmu matematika, biologi, filsafat, dan lainnya.
3. Ar-Razi
selalu mengaplikasikan tafsiran makna ayat Al-Qur’an dengan melalui pendekatan
bahasa.[15]
4. Ar-Razi banyak
menjelaskan ayat al-Qur’an dengan melihat dari berbagai macam aspek kebahasaan
seperti alasan kata tanzil yang dibaca nashab (fathah)
ataupun rafa’ (dhammah).
5. Apabila Ar-Razi
menjumpai ayat hukum, beliau sering menyebutkan mazhabnya. Akan
tetapi, tafsiran beliau lebih bertumpu kepada mazhab Syafi’i dalam bab ibadah
dan muamalah.
6. Ar-Razi
selalu menjelaskan makna perkata dan menjabarkannya dengan penjelasan yang
mendalam.
7. Ar-Razi
seringkali menjelaskan masalah dalam suatu ayat dengan menyebut nahwu-nya, ushul, sabab
nuzul, perbedaan qira’at, dan lain sebagainya.
F. Contoh Penafsiran Tafsir Ar-Razi
1.
Al-Baqarah ayat 2 (Aspek Kebahasaan)
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ فِيْهِ هُدًى
لِّلْمُتَّقِيْنَۙ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa,”
Ar-Razi menafsirkan lafadz (لَا رَيْبَ) dengan suatu bentuk keraguan. Namun, derajat
keraguan itu melebihi keraguan itu sendiri sehingga seakan-akan kalimat itu berarti “buruk sangka”. Agar maknanya lebih
jelas, Ar-Razi menyebutkan hadist Nabi Saw sebagai pengertian atau penjelasan
yang menguatkan lafadz (لَا رَيْبَ)
yaitu dengan hadits yang berbunyi (دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ) yang artinya “tinggalkanlah
hal yang menjadikanmu buruk sangka, beralihlah kepada hal yang tidak
menjadikanmu buruk sangka”. Disini kata raib dapat dimaknai
sebagai buruk sangka. Tidak hanya sampai kata raib saja,
tetapi Ar-Razi juga mengadakan perpaduan makna dengan surah At-Thuur ayat 30,
أَمۡ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَّتَرَبَّصُ بِهِۦ رَيۡبَ
ٱلۡمَنُونِ
“Bahkan mereka
mengatakan “dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan
menimpanya.”
Lafadz raib pada
surah At-Thuur ayat 30 dimaknai sebagai musibah. Musibah yang dimaksud yaitu
kejadian yang ditunggu akan datangnya celaka yang menimpanya. Lalu Ar-Razi
memberikan pendapat terhadap lafadz raib setelah menganalisa
dari perbandingan dan asal muasal keterangan tersebut. Lalu dilanjutkan dengan
memberi penjelasan bahwa makna dari (لَا رَيْبَ) yaitu menghilangkan keraguan dalam diri yang disebabkan oleh
keadaan yang tidak baik dan menegaskan bahwa tidak ada keraguan yang ada dalam
Al-Qur’an al-Karim, dimulai dari lafadz ayat dan isi dari penjelasan ayat yang
asli berasal dari Allah Swt.
2. Al-Maidah ayat 38 (Aspek Asbabun
Nuzul)
Tidak hanya menganalisisnya dalam aspek kebahasaan, Ar-Razi juga
menggunakan asbabun nuzul sebagai hal yang dasar agar dapat menjelaskan dan
memahamkan suatu penafsiran dari masing-masing ayat. Menurut Ar-Razi, asbabun
nuzul menjadi hal terpenting saat memahami ayat
Al-Qur’an. Namun, tidak semua dijadikan pedoman, karena tidak semua ayat
memiliki asbabun nuzul dan lafadz ayat tersebut berlaku umum. Contohnya surah
Al-Maidah ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا
اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ
عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Laki-laki maupun
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas
perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Asbabun nuzul dari
ayat diatas yaitu mengarah pada kejadian seseorang yang pernah mencuri pada
waktu itu, lalu ayat ini hanya ditujukan untuk orang tersebut dan waktu
kejadian tertentu saja. Disamping itu, Ar-Razi mengungkap semua dan banyak dari
itu disandarkan pada penafsiran sahabat dan tabi’in. Ar-Razi banyak menyebut
asbabun nuzul saat menjelaskan persoalan urusan sahabat dan kafir Quraisy.
Beliau ingin jika memaknai ayat Al-Qur’an harus mengkaitkannya dengan asbabun
nuzul.
3. An-Nisa ayat 69-70
Penafsiran Ar-Razi yang ada kaitannya dengan kepemimpinan
Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu. Allah Swt berfirman:
وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ
وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ
النَّبِيّنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًاذٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ
اللّٰهِ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ عَلِيْمًا
“Siapa yang menaati Allah dan
Rasul (Nabi Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (akan dikumpulkan)
bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para
pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya. Itulah karunia dari Allah. Cukuplah Allah
Yang Maha Mengetahui.”
Dalam ayat diatas, Ar-Razi
menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan salah satu kewajiban untuk melakukan
sesuatu ketaatan, karena lafadz ini menunjukkan atas sifat pengertian yang
menjadi ketetapan dan terciptanya perintah untuk menaati Allah Swt dan
Rasul-Nya. Lalu Ar-Razi juga menyebutkan turunnya ayat tersebut terkait dengan
adanya salah seorang Anshar yang bertemu dengan Rasul Saw dan berkata, “Saat
kami pulang bersama keluarga, lalu kami rindu kepadamu wahai Rasul dan kami
berkata jika kami rindu bagaimana kami melihatmu.” Maka turunlah ayat ini.[16]
KESIMPULAN
Tafsir Mafatih al-Ghaib atau sering disebut tafsir
al-Kabir merupakan salah satu karya tafsir yang dikarang oleh seorang mufasir
yang bernama Fakhruddin Ar-Razi. Tafsir ini muncul sebagai bentuk kritikan
sekaligus pembelaan mazhab dan aqidah yang dianut oleh Ar-Razi terhadap
orang-orang dari kalangan Mu’tazilah dan Karamiyah yang dianggap pemahamannya
menyeleweng dari syariat. Ar-Razi menggunakan metode tahlili dalam
karya tafsirnya tersebut dan termasuk dalam tafsir bil ra’yi karena
sumber tafsirannya banyak menggunakan argumen-argumen rasional yang beliau
miliki serta menambahkan berbagai macam pendapat para mufasir lainnya untuk
memperkuat argumen beliau tersebut.
Selain itu, tafsir Mafatih al-Ghaib juga mengandung
berbagai macam corak penafsiran seperti corak tafsir ‘ilmi yang
dimana tafsiran Ar-Razi ini mencakup berbagai macam disiplin ilmu yang
berkembang pada saat itu, kemudian corak tafsir fiqh yang
cenderung bermazhab Syafi’i, serta corak falsafi dan teologi
yang cenderung pada kelompok Asy’ariyah.
[1] Khairunnas
Jamal, Sukiyat dan Derhana Bulan D., “Dalam Pemikiran Hasbi Ash-Shiddeqy, Fakhr
alDin Ar-Razi, Toshihiko Izutsu, dan M, Quraish Shihab,” Yogyakarta: Kalimedia,
2021, h. 96.
[2] Alam Tarlam,
“Studi Analisis Metodologi Tafsir Mafatih Al-Ghayb Karya Fakruddin Ar-Razi”, Alkainah:
Journal of Islamic Studies, 2.1 (2023), pp. 46–68, https://doi:10.69698/jis.v2i1.112
[3] Ibid.
[4] Khairunnas
Jamal, Sukiyat dan Derhana Bulan D., “Dalam Pemikiran Hasbi Ash-Shiddeqy, Fakhr
alDin Ar-Razi, Toshihiko Izutsu, dan M, Quraish Shihab”, Yogyakarta: KALIMEDIA,
2021, h. 97.
[5] Ibid.
[6] Ulil Azmi,
“Basha’Ir Studi Kitab Tafsir Mafatih Al-Ghaib Karya Ar-Razi,” Jurnal
Studi Alquran Dan Tafsir, 2.2 (2022), pp. 119–27. https://doi.org/10.47498/bashair.v2i2.1415
[7] Wakhida Nurul
Muntaza and Abdullah Hanapi, “Studi Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya
Fakhruddin Ar-Razi 1149 – 1209 M,” Minaret Journal of Religious Studies 1,
no. 1 (2023): 38-54.
[8] Alam Tarlam,
‘Studi Analisis Metodologi Tafsir Mafatih Al-Ghayb Karya Fakruddin Ar-Razi’, Alkainah:
Journal of Islamic Studies, 2.1 (2023), pp. 46–68,
https://doi:10.69698/jis.v2i1.112
[9] Ulil Azmi,
‘Basha’Ir Studi Kitab Tafsir Mafatih Al-Ghaib Karya Ar-Razi’, Jurnal
Studi Alquran Dan Tafsir, 2.2 (2022), pp. 119–27.
https://doi.org/10.47498/bashair.v2i2.1415
[10] Firdaus
Firdaus, ‘Studi Kritis Tafsir Mafatih Al-Ghaib’, Jurnal Al-Mubarak:
Jurnal Kajian AlQur’an Dan Tafsir, 3.1 (2020), pp. 52–61,
https://doi:10.47435/al-mubarak.v3i1.214
[11] Muhammad
Mansur, “Tafsir Mafatih Al-Gaib (Historisitas dan Metodologi),” Yogyakarta:
Lintang Books, 2019, h. 92-104.
[12] Wakhida Nurul
Muntaza and Abdullah Hanapi, “Studi Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya
Fakhruddin Ar-Razi 1149 – 1209 M,” MINARET Journal of Religious Studies 1,
no. 1 (2023): 38-54
[13] Ulil Azmi,
“Basha’Ir Studi Kitab Tafsir Mafatih Al-Ghaib Karya Ar-Razi,” Jurnal
Studi Alquran Dan Tafsir, 2.2 (2022), pp. 119–27. https://doi.org/10.47498/bashair.v2i2.1415
[14] Tarto, Tarto.
“Epistemologi Ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib”, El-Mu’Jam. Jurnal
Kajian Al Qur’an Dan Al-Hadis 3, 1 (2023): 8.
https://doi.org/10.33507/el-mujam.v3i1.1160
[15] Anas Shafwan
Khalid, “Metodologi Tafsir Fakhr al-Din Ar-Razi: Telaah Tafsir QS. Al-Fatihah
dalam Mafatih al-Ghayb.” Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 3,
no. 1 (2018): 102-103. https://doi.org/10.30868/at.v3i01.257
[16] Alam Tarlam, ‘Studi Analisis Metodologi Tafsir Mafatih Al-Ghayb Karya Fakruddin Ar-Razi’, Alkainah: Journal of Islamic Studies, 2.1 (2023), pp. 46–68, https://doi:10.69698/jis.v2i1.112
Komentar
Posting Komentar