Mafatih al-Ghaib Karya Fakruddin ar-Razi


Para Mufassir telah melakukan berbagai upaya untuk menyelami makna yang terkandung dalam al-Qur'an sehingga bermunculan karya-karya tafsir yang terkenal dan monumental. Diantara banyaknya kitab tafsir, kitab Mafatih al-Ghaib yang dikarang oleh Fakhruddin Ar-Razi memiliki pengaruh yang besar bagi dunia Islam. Tafsir ini kerap disebut dengan tafsir al-Kabir karena pembahasannya yang rinci, mendalam, dan komprehensif. Karya tafsir ini bukan hanya membahas makna literal ayat-ayat Al-Qur’an saja, tetapi juga menyajikan pola analisis menyeluruh dari berbagai aspek seperti bahasa, kalam, filsafat, fiqh, dan ilmu lainnya. Dengan pendekatan tersebut, tafsir ini termasuk salah satu karya tafsir yang paling lengkap dan mendalam.

Maka dari itu, penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk menggali secara mendalam dan menganalisis sejarah dari awal mula penulisan tafsir Mafatih al-Ghaib dengan meneliti kisah perjalanan hidup Fakhruddin Ar-Razi hingga mengidentifikasi sumber, corak, dan metodologi penafsiran yang digunakan beliau dalam melahirkan karya tafsirnya.

A.    Biografi Fakhruddin Ar-Razi

Ar-Razi mempunyai nama lengkap Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Husain Ar-Razi. Sedangkan Fakhruddin, Ar-Razi, dan Syaikul Islam merupakan laqab atau gelar sehingga nama beliau sering dipanggil dengan sebutan Fakhruddin Ar-Razi. Beliau dilahirkan di Kota Ray, Iran yang merupakan ibu kota dari Syahrestani Ray di Provinsi Tehran. Ia lahir pada 25 Ramadhan 544 H dan wafat di Kota Herat, Afghanistan pada 606 H.[1] Ar-Razi terkenal sebagai seorang ulama yang menyalurkan ide-ide karya Imam Asy’ari dan ulama yang memegang pada mazhab Syafi’i.[2] Salah satu sumbangsih ide yang dilakukannya yaitu dengan menulis karya tafsir terkenal yaitu Tafsir Mafatih al-Ghaib atau Tafsir al-Kabir.

Ar-Razi berlatar pendidikan yang mumpuni. Ayahnya yaitu Diya’ al-Din Abu al-Qasim Umar Ar-Razi merupakan guru pertamanya, ia berpegang teguh pada mazhab Asy’ari dalam bidang kalam, juga seorang yang berpegang teguh pada mazhab Syafi’i dalam bidang fiqih. Ayahnya adalah salah satu murid dari Abu Muhammad al-Baghawy, yaitu tokoh ulama dan pemikir bidang sastra, fiqh, ushul fiqh, hadits, teologi, dan tasawuf yang banyak dikagumi oleh masyarakat Kota Ray.[3]

Pada tahun 559 H, ayah Ar-Razi wafat dan kemudian melanjutkan pendidikannya dengan belajar kepada ulama-ulama besar, seperti Mahya as-Sunnah Muhammad al-Baghawi dan Majid al-Zaili. Mereka memberi pengetahuan kepadanya berupa hikmah dan kalam. Ar-Razi juga terampil dalam berbagai bidang keilmuan, seperti ilmu kedokteran karya Imam al-Ghazali, ilmu ushul fiqih, dan kitab al-Mu’tamad karya Abil Husain al-Bishri. Di samping itu, beliau juga mampu memahami kitab Kamal al-Sammani.[4] Dalam aktivitas keilmuannya, beliau selalu tekun, teguh, dan giat dalam mendapatkan pengetahuan. Di setiap kesempatannya, ia selalu bertukar ide dan berdialog kepada orang-orang alim yang berbeda aliran dengannya, seperti Mu’tazilah dan Karamiyah.

B.     Latar Belakang dan Sejarah Penulisan Tafsir Ar-Razi

Ar-Razi dikenal sebagai seorang ulama tafsir yang banyak menghasilkan karya tulis, salah satu karya besar nya dalam bidang tafsir yaitu kitab tafsir Mafatih al-Ghaib atau sebutan lainnya Tafsir al-Kabir. Disamping adanya kontroversi terhadap hasil penafsirannya, proses penulisannya menjadi bukti atas kegigihannya. Dimulai pada bulan Rajab sampai bulan Ramadhan tahun 601 H sebanyak 827 halaman dengan asumsi bahwa setiap harinya, beliau menulis sebanyak 11 halaman.[5] Semasa hidupnya, Ar-Razi kerap kali bersinggungan dengan kalangan masyarakat bermazhab Karamiyah dan Mu’tazilah. Dikutip dalam sebuah jurnal oleh Djuned dan Makmunzir pada tahun 2021 yang berjudul “Penakwilan Ayat-Ayat Sifat menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi” dijelaskan bahwa paham-paham tersebut berdampak di lingkungan masyarakat, terutama setelah tersebarnya pemahaman Mu'tazilah dalam kitab al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari. Hal itu memberikan motivasi dan tekad yang kuat kepadanya untuk melakukan counter attack.[6] Beliau terdorong untuk menjunjung akidah dan mazhab yang diyakininya dengan cara mengkritik pemahaman para tokoh yang dianggap tidak sesuai dengannya, seperti al-Jubbai, al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar, Abu Hasyim, dan Abu Muslim.

Selain itu, di dalam tafsir Ar-Razi juga dijelaskan bahwa Surah al-Fatihah bisa dianalisis sampai dengan puluhan ribu persoalan. Hal tersebut menunjukkan bahwa beliau memiliki motivasi tinggi dalam melahirkan sebuah kitab tafsir yang mengakomodasi persoalan pada masa tersebut. Secara keseluruhan, beliau belum menyelesaikan penulisan kitab tafsirnya yang akhirnya dilanjutkan oleh penerus yang memahami cara penafsirannya. Dalam persoalan ini, terdapat perdebatan mengenai batas penafsiran yang dilakukannya. Pendapat awal mengatakan bahwa beliau merampungkan tafsirnya sampai dengan surah al-Anbiya. Pendapat lainnya mengatakan bahwa beliau merampungkannya sampai dengan surah al-Waqiah dengan dasar bahwa intensnya mengutip surah al-Waqiah dalam tafsirnya, pendapat ini dianggap lemah. Pendapat lain juga mengatakan bahwa Ar-Razi menafsirkan al-Qur'an sampai dengan surah al-Bayyinah.

Berdasarkan uraian beberapa pendapat yang telah diuraikan, adz-Dzahabi menjelaskan bahwa kitab tafsir Mafatih al-Ghaib dapat diterima dua argumen. Pertama, Ar-Razi menyelesaikan penulisan tafsirnya sampai surah al-Anbiya. Kedua, Ar-Razi menyelesaikan penulisan tafsirnya sampai dengan surah al-Bayyinah. Maka dari itu, beberapa masyarakat lebih dominan memilih dan lebih populer mengetahui bahwa pendapat awal yang merupakan titik dimana Ar-Razi menyelesaikan penafsirannya.[7]

C.    Bentuk, Metode, dan Corak Penafsiran Tafsir Ar-Razi

Kitab tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin Ar-Razi menerapkan bentuk tafsir bil ra’yi.[8] Hal itu dapat diketahui melalui gaya penafsirannya dimana beliau memberikan argumen-argumen rasional yang dimilikinya serta mencantumkan berbagai macam pendapat para mufasir lainnya untuk memperkuat argumennya.[9] Kemudian dalam penulisan kitab tafsirnya, Ar-Razi menggunakan metode tahlili yaitu menganalisis ayat Al-Qur’an dengan menguraikan kata secara komprehensif dan menyeluruh dalam berbagai aspek yang meliputi aspek bahasa, fiqh, kalam, filsafat, dan pengetahuan lainnya.[10]

Berhubungan dengan itu, tafsir Mafatih al-Ghaib mengandung berbagai corak yang beragam. Adapun corak yang paling menonjol dalam tafsirnya adalah tafsir ‘ilmi. Hal itu dikarenakan dalam tafsir tersebut banyak menguraikan makna ayat dengan berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada masa itu. Selain itu, tafsir Mafatih al-Ghaib ini juga mengandung corak tafsir falsafi di mana Ar-Razi merupakan filsuf terkenal sehingga hasil pemikirannya sangat kental dengan filsafat dan beliau tuangkan penjelasannya dalam karya tafsirnya tersebut.

Selain itu, terdapat corak teologis dan fiqh yang terkandung dalam tafsir Ar-Razi. Hal tersebut diketahui bahwa semenjak kecil, beliau telah diperkenalkan dengan dasar-dasar ilmu kalam dari golongan Asy’ariyah yang bermazhab Sunni dan dibimbing oleh guru-guru yang bermazhab Sunni. Maka tidak diragukan, ketika beliau menulis tafsir Mafatih al-Ghaib, beliau menyajikan pola-pola penafsiran yang tertuang dalam karyanya tersebut dengan kupasan yang bercorak teologis. Disamping itu, Ar-Razi juga mempunyai prestasi dari bidang fiqh dengan bimbingan langsung dari ayah dan guru-gurunya yang termasuk dalam golongan mazhab Syafi’i. Kehebatan Ar-Razi terbukti dalam mengkaji dan menghafal karya-karya yang berkaitan dengan bidang metodologi fiqh.[11] Maka dari itu, dengan keilmuan di bidang fiqh yang beliau miliki juga turut mempengaruhi dan memberikan corak dalam tafsir yang beliau susun.

D.    Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ar-Razi

Tentu dalam setiap karya mempunyai kelebihan dan Kekurangan. Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Ar-Razi memiliki kelebihan dan kekurangan didalamnya. Diantara kelebihannya sebagai berikut:

1.  Makna ayat dijelaskan secara mendalam dan detail, seperti ketika Ar-Razi menafsirkan surah Al-Fatihah, beliau menjelaskannya dengan hasil yaitu sekitar 250 halaman yang hanya memberikan penjelaskan terkait tafsir lafaz ta’awudzbasmalah, dan ayat dalam surah Al-Fatihah.[12]

2.   Menghadirkan penjelasan dari berbagai macam disiplin keilmuwan, seperti kebahasaanfiqh, kalam, filsafat, dan sebagainya.

3.  Sangat memperhatikan aspek munasabah ayat dan mengaitkannya dengan ilmu yang berkembang pada masa itu sehingga ditemukan adanya nilai-nilai hikmah dalam keserasian antar ayat Al- Qur’an.

Selain memiliki kelebihan, tafsir ini juga mengandung beberapa kekurangan didalamnya, diantaranya:

1.  Mendapatkan banyak kritikan dari para ulama tafsir karena hasil penafsirannya dianggap banyak keluar dari esensi dari melakukan penafsiran.

2.  Karakteristik tafsirnya yang terlalu mengedepankan rasionalitas dianggap mengurangi esensi tafsir. Manna’ al-Qaththan berpendapat bahwa penafsiran Ar-Razi dapat dikatakan sudah keluar dari pemaknaan ayat Al-Qur’an.[13]

3.  Kurang cocok untuk pemula dikarenakan adanya kompleksitas ilmiah yang terdiri dari banyak disiplin keilmuan yang sulit dipahami tanpa adanya dasar-dasar ilmu yang cukup.

E.     Karakteristik Tafsir Ar-Razi

Dalam penulisan tafsir Mafatih al-Ghaib, ditemukan ada beberapa ciri atau karakteristik penafsiran yang ditindak oleh Ar-Razi. Diantara karakteristik tersebut yaitu:

1.     Ar-Razi memprioritaskan penyebutan munasabah ayat sehingga beliau dapat menjelaskan adanya hikmah yang ada dalam tiap ayat yang ditafsirkan.[14]

2.     Penafsiran Ar-Razi seringkali menyimpang kepada pembahasan yang sifatnya adalah ilmu pengetahuan lain seperti ilmu matematika, biologi, filsafat, dan lainnya.

3.     Ar-Razi selalu mengaplikasikan tafsiran makna ayat Al-Qur’an dengan melalui pendekatan bahasa.[15]

4.     Ar-Razi banyak menjelaskan ayat al-Qur’an dengan melihat dari berbagai macam aspek kebahasaan seperti alasan kata tanzil yang dibaca nashab (fathah) ataupun rafa’ (dhammah).

5.     Apabila Ar-Razi menjumpai ayat hukum, beliau sering menyebutkan mazhabnyaAkan tetapi, tafsiran beliau lebih bertumpu kepada mazhab Syafi’i dalam bab ibadah dan muamalah.

6.     Ar-Razi selalu menjelaskan makna perkata dan menjabarkannya dengan penjelasan yang mendalam.

7.     Ar-Razi seringkali menjelaskan masalah dalam suatu ayat dengan menyebut nahwu-nya, ushulsabab nuzul, perbedaan qira’at, dan lain sebagainya.

F.     Contoh Penafsiran Tafsir Ar-Razi

1.     Al-Baqarah ayat 2 (Aspek Kebahasaan)

ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,”

Ar-Razi menafsirkan lafadz (لَا رَيْبَ) dengan suatu bentuk keraguan. Namun, derajat keraguan itu melebihi keraguan itu sendiri sehingga seakan-akan kalimat itu berarti “buruk sangka”. Agar maknanya lebih jelas, Ar-Razi menyebutkan hadist Nabi Saw sebagai pengertian atau penjelasan yang menguatkan lafadz (لَا رَيْبَ) yaitu dengan hadits yang berbunyi (دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ) yang artinya “tinggalkanlah hal yang menjadikanmu buruk sangka, beralihlah kepada hal yang tidak menjadikanmu buruk sangka”. Disini kata raib dapat dimaknai sebagai buruk sangka. Tidak hanya sampai kata raib saja, tetapi Ar-Razi juga mengadakan perpaduan makna dengan surah At-Thuur ayat 30,

أَمۡ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَّتَرَبَّصُ بِهِۦ رَيۡبَ ٱلۡمَنُونِ

“Bahkan mereka mengatakan “dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya.”

Lafadz raib pada surah At-Thuur ayat 30 dimaknai sebagai musibah. Musibah yang dimaksud yaitu kejadian yang ditunggu akan datangnya celaka yang menimpanya. Lalu Ar-Razi memberikan pendapat terhadap lafadz raib setelah menganalisa dari perbandingan dan asal muasal keterangan tersebut. Lalu dilanjutkan dengan memberi penjelasan bahwa makna dari (لَا رَيْبَ) yaitu menghilangkan keraguan dalam diri yang disebabkan oleh keadaan yang tidak baik dan menegaskan bahwa tidak ada keraguan yang ada dalam Al-Qur’an al-Karim, dimulai dari lafadz ayat dan isi dari penjelasan ayat yang asli berasal dari Allah Swt.

 

2.     Al-Maidah ayat 38 (Aspek Asbabun Nuzul)

Tidak hanya menganalisisnya dalam aspek kebahasaan, Ar-Razi juga menggunakan asbabun nuzul sebagai hal yang dasar agar dapat menjelaskan dan memahamkan suatu penafsiran dari masing-masing ayat. Menurut Ar-Razi, asbabun nuzul menjadi hal terpenting saat memahami ayat Al-Qur’an. Namun, tidak semua dijadikan pedoman, karena tidak semua ayat memiliki asbabun nuzul dan lafadz ayat tersebut berlaku umum. Contohnya surah Al-Maidah ayat 38:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

“Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Asbabun nuzul dari ayat diatas yaitu mengarah pada kejadian seseorang yang pernah mencuri pada waktu itu, lalu ayat ini hanya ditujukan untuk orang tersebut dan waktu kejadian tertentu saja. Disamping itu, Ar-Razi mengungkap semua dan banyak dari itu disandarkan pada penafsiran sahabat dan tabi’in. Ar-Razi banyak menyebut asbabun nuzul saat menjelaskan persoalan urusan sahabat dan kafir Quraisy. Beliau ingin jika memaknai ayat Al-Qur’an harus mengkaitkannya dengan asbabun nuzul.

3.     An-Nisa ayat 69-70

Penafsiran Ar-Razi yang ada kaitannya dengan kepemimpinan Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu. Allah Swt berfirman:

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًاذٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللّٰهِ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ عَلِيْمًا

“Siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (akan dikumpulkan) bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Itulah karunia dari Allah. Cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui.”

Dalam ayat diatas, Ar-Razi menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan salah satu kewajiban untuk melakukan sesuatu ketaatan, karena lafadz ini menunjukkan atas sifat pengertian yang menjadi ketetapan dan terciptanya perintah untuk menaati Allah Swt dan Rasul-Nya. Lalu Ar-Razi juga menyebutkan turunnya ayat tersebut terkait dengan adanya salah seorang Anshar yang bertemu dengan Rasul Saw dan berkata, “Saat kami pulang bersama keluarga, lalu kami rindu kepadamu wahai Rasul dan kami berkata jika kami rindu bagaimana kami melihatmu.” Maka turunlah ayat ini.[16]

KESIMPULAN

Tafsir Mafatih al-Ghaib atau sering disebut tafsir al-Kabir merupakan salah satu karya tafsir yang dikarang oleh seorang mufasir yang bernama Fakhruddin Ar-Razi. Tafsir ini muncul sebagai bentuk kritikan sekaligus pembelaan mazhab dan aqidah yang dianut oleh Ar-Razi terhadap orang-orang dari kalangan Mu’tazilah dan Karamiyah yang dianggap pemahamannya menyeleweng dari syariat. Ar-Razi menggunakan metode tahlili dalam karya tafsirnya tersebut dan termasuk dalam tafsir bil ra’yi karena sumber tafsirannya banyak menggunakan argumen-argumen rasional yang beliau miliki serta menambahkan berbagai macam pendapat para mufasir lainnya untuk memperkuat argumen beliau tersebut.

Selain itu, tafsir Mafatih al-Ghaib juga mengandung berbagai macam corak penafsiran seperti corak tafsir ‘ilmi yang dimana tafsiran Ar-Razi ini mencakup berbagai macam disiplin ilmu yang berkembang pada saat itu, kemudian corak tafsir fiqh yang cenderung bermazhab Syafi’i, serta corak falsafi dan teologi yang cenderung pada kelompok Asy’ariyah.



[1] Khairunnas Jamal, Sukiyat dan Derhana Bulan D., “Dalam Pemikiran Hasbi Ash-Shiddeqy, Fakhr alDin Ar-Razi, Toshihiko Izutsu, dan M, Quraish Shihab,” Yogyakarta: Kalimedia, 2021, h. 96.

[2] Alam Tarlam, “Studi Analisis Metodologi Tafsir Mafatih Al-Ghayb Karya Fakruddin Ar-Razi”, Alkainah: Journal of Islamic Studies, 2.1 (2023), pp. 46–68, https://doi:10.69698/jis.v2i1.112

[3] Ibid.

[4] Khairunnas Jamal, Sukiyat dan Derhana Bulan D., “Dalam Pemikiran Hasbi Ash-Shiddeqy, Fakhr alDin Ar-Razi, Toshihiko Izutsu, dan M, Quraish Shihab”, Yogyakarta: KALIMEDIA, 2021, h. 97.

[5] Ibid.

[6] Ulil Azmi, “Basha’Ir Studi Kitab Tafsir Mafatih Al-Ghaib Karya Ar-Razi,” Jurnal Studi Alquran Dan Tafsir, 2.2 (2022), pp. 119–27. https://doi.org/10.47498/bashair.v2i2.1415

[7] Wakhida Nurul Muntaza and Abdullah Hanapi, “Studi Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Fakhruddin Ar-Razi 1149 – 1209 M,” Minaret Journal of Religious Studies 1, no. 1 (2023): 38-54.

[8] Alam Tarlam, ‘Studi Analisis Metodologi Tafsir Mafatih Al-Ghayb Karya Fakruddin Ar-Razi’, Alkainah: Journal of Islamic Studies, 2.1 (2023), pp. 46–68, https://doi:10.69698/jis.v2i1.112

[9] Ulil Azmi, ‘Basha’Ir Studi Kitab Tafsir Mafatih Al-Ghaib Karya Ar-Razi’, Jurnal Studi Alquran Dan Tafsir, 2.2 (2022), pp. 119–27. https://doi.org/10.47498/bashair.v2i2.1415

[10] Firdaus Firdaus, ‘Studi Kritis Tafsir Mafatih Al-Ghaib’, Jurnal Al-Mubarak: Jurnal Kajian AlQur’an Dan Tafsir, 3.1 (2020), pp. 52–61, https://doi:10.47435/al-mubarak.v3i1.214

[11] Muhammad Mansur, “Tafsir Mafatih Al-Gaib (Historisitas dan Metodologi),” Yogyakarta: Lintang Books, 2019, h. 92-104.

[12] Wakhida Nurul Muntaza and Abdullah Hanapi, “Studi Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Fakhruddin Ar-Razi 1149 – 1209 M,” MINARET Journal of Religious Studies 1, no. 1 (2023): 38-54

[13] Ulil Azmi, “Basha’Ir Studi Kitab Tafsir Mafatih Al-Ghaib Karya Ar-Razi,” Jurnal Studi Alquran Dan Tafsir, 2.2 (2022), pp. 119–27. https://doi.org/10.47498/bashair.v2i2.1415

[14] Tarto, Tarto. “Epistemologi Ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib”, El-Mu’Jam. Jurnal Kajian Al Qur’an Dan Al-Hadis 3, 1 (2023): 8. https://doi.org/10.33507/el-mujam.v3i1.1160

[15] Anas Shafwan Khalid, “Metodologi Tafsir Fakhr al-Din Ar-Razi: Telaah Tafsir QS. Al-Fatihah dalam Mafatih al-Ghayb.” Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 3, no. 1 (2018): 102-103. https://doi.org/10.30868/at.v3i01.257

[16] Alam Tarlam, ‘Studi Analisis Metodologi Tafsir Mafatih Al-Ghayb Karya Fakruddin Ar-Razi’, Alkainah: Journal of Islamic Studies, 2.1 (2023), pp. 46–68, https://doi:10.69698/jis.v2i1.112

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 31-32

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 20-21