Kitab Ma'alim at-Tanzil Karya Imam al-Baghawi


Artikel ini akan mengupas salah satu kitab tafsir klasik, yaitu kitab tafsir karya imam al-Baghawi yang dikenal dengan kitab Ma’alim at-Tanzil. Tafsir ini memiliki ciri khas tersendiri karena mengambil ringkasan-ringkasan dari kitab tafsir yang disusun oleh ats-Tsa’labi yang berjudul al-Kasyf wa al-Bayan fii Tafsir al-Qur'an. Selain itu, karya Imam al-Baghawi ini masih kurang mendapat perhatian dalam penelitian atau kajian terhadap Al-Qur’an dan tafsir. Melalui artikel ini, penulis bertujuan untuk menguraikan biografi penulis kitab Ma’alim at-Tanzil, serta mengkaji metode, sumber, dan Pendekatan yang diterapkan oleh penulis dalam memberikan penjelasan terhadap tafsir al-Qur’an.

            Biografi penulis

Imam al-Baghawi mempunyai nama lengkap Imam al-Hafidz Abu Muhammad al-Husain bin Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad al-Farrah al-Baghawi. Julukan al-Baghawi berasal dari kata bagh atau baghshur, yang merujuk pada sebuah wilayah di Khurasan. Beliau dilahirkan di Baghshur, sebuah wilayah kecil yang berada diantara kota Harah dan Marwah al-Rudh. Meskipun tahun kelahiran al-Baghawi tidak disebutkan secara pasti dalam beberapa sumber, menurut Yaqut, beliau lahir di bulan Jumadil Ula tahun 433 Hijriah. Sementara itu, menurut al-Zirikli, beliau lahir pada tahun 436 Hijriah. Imam al-Baghawi meninggal dunia pada tahun 510 H (1122 M) di Marwarus dan diletakkan di dekat makam gurunya, al-Qadhi Husain, di pemakaman Tholiqani.[1]

Imam al-Baghawi dikenal dengan berbagai julukan, di antaranya Muhyi as-Sunnah (penghidup sunnah), Zahir ad-Din (penjelas agama), ,Rukn ad-Din (pilar agama), Shaikhul Islam (guru Islam). Julukan muhyi al-Sunnah diperoleh setelah beliau menulis kitab Sharh al-Sunnah. Dalam sebuah mimpinya, Rasulullah SAW menyampaikan pesan, “Engkau telah menghidupkan sunnahku karena engkau menjelaskan hadits-haditsku”[2]

Imam al-Baghawi mengawali perjalanan belajarnya di kampung halamannya, Bagh, di bawah bimbingan para hafidz. Setelah menuntut ilmu dari al-Qadhi Husain, ia menguasai bidang fiqh dan hadis. Pada tahun 460 H, ketika berusia 27 tahun, beliau berpindah ke Mawarrudz. Di daerah tersebut, ia memperdalam terhadap ilmu dengan mempelajari kitab Tafsir al-Kilaby kepada gurunya yang bernama Muhammad Ibn al-Hasan al-Marwarziy. Ketertarikannya pada ilmu, semangatnya untuk menuntut ilmu, serta minat yang mendalam terhadap sunnah, mendorongnya untuk mengunjungi Marwarrudz dan bertemu dengan Imam al-Husain bin Muhammad al-Marudzi al-Qadhi. Dari gurunya ini, Imam al-Baghawi mempelajari berbagai ilmu dan meriwayatkan hadis, menjadikannya salah satu murid yang paling cerdas, memahami dengan baik, dan paling istimewa.[3]

Al-Baghawi lahir pada abad pertengahan, tepatnya pada masa dinasti Abbasiyah, yang merupakan periode munculnya banyak ulama besar di berbagai bidang ilmu. Era Abbasiyah dikenal sebagai masa kejayaan Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan, di mana perhatian pemerintahan banyak terfokus pada masalah ilmu kalam dan fikih. Sepanjang hidupnya, al-Baghawi lebih cenderung mengikuti madzhab Syafi’i dalam masalah hukum fiqih dan menganut ajaran ahlussunah wal jama’ah.[4]

Pada periode ini, mulai tersebarnya tulisan tafsir penting yang muncul, yaitu Karya Imam al-Thabari yang berjudul Jami' al-Bayan, lalu al-Kashshaf ditulis al-Zamakhshari, dan Mafatihul al-Ghaib yang ditulis oleh Fakhruddin al-Razi. Di era dinasti Abbasiyah, banyak ulama yang membentuk kumpulan kitab hadis yang dikenal dengan sebutan al-Kutub al-Sittah (enam kitab), dan dihimpun oleh Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasai, dan Ibnu Majah. Serta Ilmu-ilmu seperti bahasa Arab, sastra, dan sejarah mengalami perkembangan yang terbilang cepat, berkat perhatian besar yang diberikan oleh para amirul mu’minin terhadap ulama, ahli sejarah (mu'arrikh), dan sastrawan. Sejarawan Nabi Muhammad SAW, yaitu Muhammad bin Ishaq, dan juga mendapat sokongan dari Khalifah Abu Ja'far al-Manshur di Baghdad.

Al-Baghawi membangun ilmunya dengan mengacu pada dua sumber utama yang menjadi tolok ukur pluasnya pengetahuan,sehingga ia berhasil menjadi ulama tafsir yang terkenal. Terdapat dua pengalaman penting yang membentuk keahliannya dalam karya tafsir. Beliau menuntut ilmu dari beberapa ulama besar. Di antaranya adalah al-Imam al-Husain bin Muhammad bin Ahmad al-Mawardzi al-Qadhi, beliau adalah ahli fiqih dari Khurasan yang menganut mazhab Syafi'i dan wafat pada tahun 462 Hijriah. Beliau belajar pada al-Faqih al-Fadhil Abu Hasan Ali bin Yusuf al-Juwaini, seorang syekh terkenal di Hijaz yang meninggal pada tahun 463 H, serta kepada al-Fadhil Abu Bakar Ya'qub bin Ahmad al-Sairafi al-Naisaburi, seorang muhaddis yang wafat pada tahun 466 H.

Selanjutnya, Al-Baghawi mendapat ilmunya melalui pembelajaran dari buku-buku. Sebagai muhaddis, ia banyak mendengarkan hadits dari muridnya yang juga hafal hadis, Ia mempelajari kitab-kitab shahih, sunan, dan musnad dari para guru tersebut. Bersamaan dengan hal tersebut, beliau juga mempelajari buku-buku tentang bahasa dan aspek hukum sebagai dasar untuk memperkuat ilmunya dalam menyusun karya tafsir. Dengan kedua pendekatan ini, al-Baghawi berhasil menjadi ahli dalam berbagai bidang ilmu agama, yang tercermin dalam karya-karya kitab yang ia tulis.

Beberapa karya terkenal Imam al-Baghawi antara lain Al-Arba'un Haditsan, Al-Anwar atau Atsar al-Anwar fi Syama'il an-Nabiy al-Mukhtar, Tarjamah al-Ahkam yang membahas hukum-hukum furu' dalam bahasa Persia, At-Tahdzib, sebuah kitab fikih bermazhab Syafi'i yang sangat terkenal yaitu, Al-Jam' bain as-Shahihain, Syarh al-Jami' li at-Tirmidziy, Syarh as-Sunnah, Fatawa al-Baghawi, Fatawa al-Marwarrudziy yang merupakan kumpulan pendapat dari gurunya, Al-Kifayah fi al-Furu', Al-Kifayah fi al-Qira'ah, Al-Madkhal ila Mashabih as-Sunnah, Mashabih as-Sunnah, dan Ma'alim at-Tanzil fi Tafsir al-Qur'an, yang biasa disebut dengan Tafsir al-Baghawi.[5]

Al-Baghawi mempunyai banyak murid, di antaranya adalah Abu al-Futuh Muhammad bin Muhammad al-Ta’iy, Abu Mansur Muhammad bin As’ad al-‘Attariy, Abu al-makarim Fadlu Allah bin Muhammad al-nauqaniy, serta al-Fakhr bin ‘Ali al-Bukhoriy.

            Latar belakang penulisan

Tentang latar belakang penulisan penafsirannya, beliau menyatakan, sebagai berikut:

[6]

Berdasarkan kutipan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa penulisan kitab Ma’alim al-Tanzil diawali dengan permintaan dari para sahabat dan murid-muridnya untuk membuat sebuah kitab. Selain itu, faktor eksternal juga berperan penting terhadap lahirnya karya-karya para ulama. Kegelisahan intelektual pada masa itu turut mempengaruhi latar belakang penulisan kitab ini, yang didasari dari hadits dari Abu Said al-Khudri. Dengan hal tersebut, dapat disimpulkan baik faktor eksternal maupun internal memberikan dorongan kuat bagi al-Baghawi untuk menulis kitab tafsirnya.[7]

Bentuk, metode, dan corak Tafsir Al Baghawi

Tafsir Baghawi dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, digolongkan sebagai tafsir dengan riwayat, karena al-Baghawi merujuk pada hadis, riwayat, serta pendapat para sahabat dan tabi’in. Dalam penjelasannya, al-Baghawi menyajikan tafsir menggunakan cara yang ringkas dan jelas, berdasarkan pemahaman para sahabat, tabi’in, atau ulama salaf, meskipun terkadang tidak mencantumkan sanad secara terperinci. Penjelasan ayat-ayat tersebut disusun secara berurutan mengikuti tata letak mushaf Utsmani. Dengan demikian, dapat disimpulkan metode yang ia gunakan dalam menafsirkan adalah metode tahlili.

Metode tafsir tahlili dalam menelaah dan menguraikan ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan pendekatan yang berdasarkan urutan yang tertulis seperti di mushaf, dengan menjelaskan arti kata-kata, alasan dari turunnya ayat (asbabun nuzul), hubungan antar ayat (munasabah), serta argumentasi dari Rasulullah SAW maupun perkataan dari para sahabat, tabi'in, atau ulama mujtahid.[8] Meskipun termasuk dalam kategori tafsir bil ma’tsur, Al-Baghawi jarang sepenuhnya bergantung pada sumber-sumber riwayat, namun juga kadang-kadang menggunakan pendekatan al-ra’yi (ijtihad) yang shahih.[9] Dari penjelasan tersebut, yang kita ketahui al-Baghawi mengombinasikan metode tafsir riwayat dan tafsir ijtihad, meskipun pendekatan utama menonjol dalam tafsirnya adalah metode tahlili.[10]

        Sedangkan Ciri Khas dari karya Imam Al baghawi, yaitu:

1.      Tafsir ini disusun dengan bahasa yang sederhana dan padat, serta membahas kata-kata yang jarang digunakan (gharib) untuk memahami maknanya. Al-Baghawi merujuk pada asal-usul kata, memverifikasi maknanya melalui sumber utama yaitu Al-Qur'an dan Hadis, serta berkonsultasi dengan para tabi'in dan ahli bahasa.

2.      Dalam menjelaskan makna ayat, Al-Baghawi menggunakan metode Al-Qur'an dengan al-Qur'an, dengan hadits, atau dengan perkataan sahabat. Pendapat tabi'in dan mujtahidin juga dijadikan referensi. Metode ini mencerminkan konsep munasabah ayat yang letak ayatnya bersifat umum (mujmal) dan di satu tempat dijelaskan secara lebih rinci (tafsil) pada letaknya yang lain, atau ayat yang umum ('aam) dijelaskan dengan cara yang lebih khusus (takhsis) oleh ayat lainnya.

3.      Al-Baghawi melakukan klarifikasi terhadap qira’at yang dianggap dapat mengubah makna ayat. 

4.   Ia merujuk pada pandangan Ahlus Sunnah dalam membela dan memperkuat pendapat mereka, serta menolak pandangan yang bertentangan, baik melalui pendekatan manqul maupun ma'qul. 

5.      Penafsiran Al-Baghawi juga mencakup pembahasan tema-tema fiqh terhadap ayat-ayat yang relevan. Sebagian besar ulama fiqh sering merujuk pada pandangannya, terutama yang mengulas pendapat Imam Syafi'i. Namun, Al-Baghawi terkadang memberikan kebebasan interpretasi tanpa mengikatnya pada pengkajian tertentu. 

6.      Dalam tafsirnya, Al-Baghawi masih kerap menyebutkan kisah-kisah  Israiliyyat. 

7. Dalam tafsirnya juga mengadopsi jalur periwayatan dari Al-Kalabi dalam beberapa penjelasannya.[11]

Contoh penafsiran

    Sebagian dari sistematika penulisan tafsirnya bias dikatakan termasuk dalam  tafsir dengan ijtihad. Salah satu contohnya dapat ditemukan dalam penafsiran kata bismillah, yang dijelaskan sebagai berikut:

            

“Penyebutan nama Tuhan dimulai dengan huruf ba, yang berfungsi untuk menyederhanakan atau merangkum makna dari kata yang mengikutinya, seperti 'dengan' atau 'dari'. Huruf  ba  ini terhubung dengan kata lain yang tidak disebutkan secara eksplisit karena maknanya sudah tersirat. Dengan demikian, maknanya adalah: Mulailah bismillah, atau ucapkan bismillah. Huruf alif pada kata Allah dihilangkan untuk mempermudah pengucapan dan karena kata tersebut sering digunakan, sedangkan pelafalan kata al-Qatiyi  diperpanjang agar menjadi pembukaan yang indah untuk suatu pidato. Al-Qur'an dimulai dengan surat yang paling agung."Umar bin Abdul Aziz, semoga Allah merahmatinya, biasa memberikan arahan kepada para penulisnya: ‘Panjangilah huruf  ba , perjelas huruf syin , dan beri jarak di antara keduanya.’  Karena mengagungkan Kitab Tuhan Yang Maha Esa, maka dikatakan: Jangan hilangkan alif, gantilah panjang alif dengan ba, sehingga menandakan dihilangkannya alif tertulis dalam “Bacalah dengan nama Tuhanmu” (Al-Alaq) ba dikembalikan ke Rumusannya yaitu, alif tidak terhapus jika kata benda tersebut ditambahkan pada selain Allah, atau pada selain ba. Dan namanya, matanya dan hakikatnya.

Allah Yang Maha Esa berfirman: “Sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu tentang seorang anak laki-laki yang bernama Yahya” (Maryam). Juga disebutkan, “Wahai Yahya”, dan firman-Nya, “Kamu tidak menyembah selain Dia kecuali nama-nama yang telah kamu beri nama” (Yusuf). Selain itu, Tuhan Yang Maha Tinggi berfirman, “Maha Suci nama Tuhanmu” (Al-A'la:1).  Oleh karena itu, dikatakan bahwa pemberian nama memiliki kedudukan yang penting, sehingga fungsinya dalam penamaan lebih menonjol dibandingkan tujuan lainnya. Hal ini juga menjadi pelajaran bagi para hamba tentang cara yang benar untuk memulai pembacaan.

Dari penjelasan tersebut, bisa kita pahami bahwa penggunaan bil ma’tsur lebih dominan dibandingkan dengan bil ra’yi. Namun demikian, Al-Baghawi sesekali menggunakan penafsiran berdasarkan ijtihad, yang tetap dianggap sah dan shahih. Oleh karena itu, di kitab Tafsir Al-Baghawi mengombinasikan metode tafsir dengan riwayat dan dengan ijtihad, yang biasa kita sebut tafsir bil iqtiran.

Al-Baghawi menerapkan dua pendekatan dalam penafsirannya, yaitu pendekatan kebahasaan (lughawi) dan pendekatan hukum Islam (fiqhi). Menurut Hujair, gaya penafsiran seorang mufassir sangat dipengaruhi oleh sudut pandangnya, motivasi yang melatarbelakangi, tujuan yang ingin dicapai, tingkat keilmuan yang dimiliki, serta kondisi sosial dan lingkungan pada masanya. Dalam tafsirnya, Al-Baghawi cenderung lebih menonjolkan pendekatan lughawi, dengan penekanan yang lebih besar pada aspek linguistik. Contohnya dapat kita lihat ketika ia menafsirkan lafaz Bismillah:

“Bismillah, huruf ba berfungsi untuk menyatukan atau menyederhanakan makna dari kata yang mengikutinya, seperti kata 'dari' atau 'tentang,' dan ba yang terhubung tersebut dihilangkan. Ini berarti memulai membaca bismillah atau mengucapkan "Bismillah."

Sebelum memberikan penjelasan yang lebih mendalam, Al-Baghawi mengawali dengan menelaah aspek bahasa yang berkaitan pada tata bahasa Arab (nahwu). Pendekatan ini menjadikan corak tafsir Al-Baghawi paling tepat digambarkan sebagai corak lughawi (linguistik atau kebahasaan).[12]

Selain itu, tafsir Al-Baghawi juga memiliki corak fiqhi, karena beliau mengikuti mazhab Syafi’i dan hidup pada masa perkembangan empat mazhab utama. Namun sat ditelaah dalam tafsirnya, terdapat beberapa pembahasan yang mencakup aspek-aspek hukum Islam. Corak fiqhi ini berkembang pesat seiring dengan kemajuan ijtihad, yang dapat dianggap sebagai bentuk integrasi dalam hukum Islam. Dalam konteks ini, seorang mufassir sering menghubungkan penafsirannya dengan hukum, yang dapat merujuk pada mazhab yang diikutinya. Salah satunya adalah al-Baghawi, yang dalam penafsirannya mengacu pada mazhab fiqih Syafi’i yang diikuti. Kemudian Contoh yang berikutnya, yaitu:

 


    Yang artinya: Jika orang yang berhutang mengalami kesulitan, berikanlah penundaan sampai dia mendapat kemudahan memberikan sedekah (setengah atau seluruh utang) dapat memberikan kebaikan bagi kalian, jika kalian memahami hal tersebut.

Kelebihan dan kekurangan Tafsir Al-Baghawi

            Berikut ini adalah kelebihan mengenai kitab tafsir Al-Baghawi, yaitu:

1.      Termasuk dalam kitab tafsir pertama yang menjelaskan isi yang ringkas, jadi mudah dibaca, ditelaah, serta dipelajari pada banyak kalangan, khususnya oleh orang yang tidak paham pada ilmu yang lebih mendalam. Penjelasannya jelas dan padat, tetap informatif, dan didasarkan pada riwayat yang sahih. 

2.      Tidak menggunakan istilah-istilah ilmiah yang biasa ditemukan dalam bidang bahasa, sastra, dan fiqih, sehingga memudahkan pembaca untuk memahami teks. 

3.  Selektif dalam memilih hadis, hanya menggunakan hadis yang shahih dan hasan, dengan memperhatikan persyaratan yang ketat, sehingga Al-Baghawi menghindari hadis yang tidak jelas asal-usul dan keasliannya. 

4.     Memberikan penjelasan yang komprehensif dengan menafsirkan ayat menggunakan ayat lain dalam Al-Qur'an (munasabah), hadis, bahasa, fikih, serta sudut pandang para ulama.

5.      Hati –hati dalam menguraikan variasi bacaan (qira’at).

6.     Memberikan perhatian besar terhadap aspek kebahasaan, seperti kaidah-kaidah dalam bahasa Arab.[13]

 Berikut ini adalah analisis mengenai kekurangan kitab tafsir Al-Baghawi, yaitu:

1.  Buku tafsir ini kurang memberikan penjelasan yang mendalam untuk para peneliti dan pengkaji tafsir, karena pembahasannya cenderung singkat dan padat. 

2.   Sebagian besar hanya mengutip riwayat atau pendapat yang berbeda tanpa banyak melakukan tarjih atau membahas pendapat-pendapat yang dikutip. 

3.  Al-Baghawi masih sering mengutip kisah-kisah Isra'iliyat, khususnya yang tidak adanya kesesuaian dengan kedudukan dan kesucian para nabi seperti kisah Nabi Yusuf, Dawud, dan Sulaiman. Kisah-kisah ini perlu ditinjau kembali kebenarannya. Dalam hal Isra'iliyat, Al-Baghawi mencatat pendapat-pendapat yang menerima cerita-cerita tersebut beserta konsekuensinya.[14]

4.  Terkadang cenderung fanatik terhadap mazhab fiqih dan ideologi tertentu, yang dapat mempengaruhi objektivitas penulis.[15]

Kesimpulan

Imam al-Baghawi adalah seorang mufassir yang menulis kitab Ma’alim al-Tanzil. Beliau dilahirkan di Baghshur, Khurasan, pada bulan Jumadil Ula tahun 436 H (1044 M) dan wafat pada tahun 510 H (1122 M). Salah satu gelar yang ditujukan kepada beliau adalah "Muhyi al-Sunnah" (penghidup sunnah). Al-Baghawi mengikuti mazhab fiqih Syafi'i dan menganut ajaran teologi Sunni (Ahlussunnah). Dalam penafsirannya, beliau menggabungkan sumber tafsir bil riwayah dan pendapat rasional, serta menjelaskan dengan metode tahlili dengan pendekatan lughawi dan fiqhi. Seperti halnya kitab tafsir lainnya, tafsir beliau juga memiliki kelebihan dan kekurangan, yang telah dijelaskan sebelumnya.

           


[1] Abdul Manaf, “Sejarah Perkembangan Tafsir,” n.d.

[2] A Fahrur Rozi, “Tafsir Klasik: Analisis Terhadap Kitab Tafsir Era Klasik,” Kaca (Karunia Cahaya Allah): Jurnal Dialogis Ilmu Ushuluddin 9, no. 2 (2019): 33–58, https://doi.org/10.36781/kaca.v9i2.3036.

[3] Iqlima Khairunnisa and Alwizar Alwizar, “Sumber-Sumber Penafsiran Al-Qur’an,” MESIR: Journal of Management Education Social Sciences Information and Religion 1, no. 1 (2024): 11–18, https://doi.org/10.57235/mesir.v1i1.2066.

[4] Abdul Basid et al., “Kontribusi Doa Nabi Ibrahim Terhadap Perkembangan Perekonomian Arab Pra Islam – Pasca Islam (Studi Pemikiran Tafsir Ma’alim Al-Tanzil Karya Al-Baghawi),” Al Yasini : Jurnal Keislaman, Sosial, Hukum Dan Pendidikan 7, no. 1 (2022): 85, https://doi.org/10.55102/alyasini.v7i1.4620.

[5] Studi Analisis, Qs Al- Ma, and Kartini Fujiyanti Agustin, “The Komparasi Audhaul  Asy Syinqithi” 6, no. 1 (n.d.): 18–31.

[6] Basid et al., “Kontribusi Doa Nabi Ibrahim Terhadap Perkembangan Perekonomian Arab Pra Islam – Pasca Islam (Studi Pemikiran Tafsir Ma’alim Al-Tanzil Karya Al-Baghawi).”

[7] U I N Maulana and Malik Ibrahim, “Tafsir Al-Baghawi : Metodologi , Kelebihan Dan Kekurangan A . Pendahuluan Tafsir Ma ’ Alim Al -Tanzil Merupakan Salah Satu Kitab Karya Abu Muhammad Al- Husain Bin Mas ’ Ud Al -Baghawi , Kitab Ini Lebih Sering Disebut Tafsir Al-Baghawi . Banyak Yang Menggo” 14, no. 1 (2020): 135–60.

[8] M Rusydi Khalid, “Metodologi Kitab Ma’alim Al-Tanzil Karya Al-Baghawiy” 17 (n.d.): 109–23.

[9] Ibn Mas’ūd al-Baghawī, “Tafsīr Al-Baghawī: Ma’āl Al-Tanzīl” 1 (2015): 33.

[10] Maulana and Ibrahim, “Tafsir Al-Baghawi : Metodologi , Kelebihan Dan Kekurangan A . Pendahuluan Tafsir Ma ’ Alim Al -Tanzil Merupakan Salah Satu Kitab Karya Abu Muhammad Al- Husain Bin Mas ’ Ud Al -Baghawi , Kitab Ini Lebih Sering Disebut Tafsir Al-Baghawi . Banyak Yang Menggo.”

[11] Zuailan Zuailan, “Metode Tafsir Tahlili,” Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Al-Hadis 4, no. 01 (2016): 59–86, https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/diya/article/view/805.

[12] Muh Jauhari, “‘Jurnal Studi Pemikiran Pendidikan Agama Islam’ METODOLOGI TAFSIR DALAM AL-QUR’AN Oleh,” Jurnal Ilmiah "Kreatif 19, no. 2 (2021): 57.

[13] Muh. Maksum, “Ilmu Tafsir dalam Memahami Kandungan al-Qur'an,” 2015, 6.

[14] F W B Nugrahadi, “Study of the Book of Tafsir Ma’Alim At Tanzil By Al Baghawi,” … : Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 8, no. 0 (2023): 235–44, https://doi.org/10.30868/at.v8i02.

[15] Nugrahadi.

[16] Aprilita Hajar, “Telaah Kritis Terhadap Kitab-Kitab Tafsir Bi Al-Ma’tsur: Periode Ulama’Mutaqaddimin,” Al Irfani: Journal of Al Qur’anic and Tafsir 3, no. 2 (2022): 46–61.

[17] Munirah Munirah, “Kontroversi Penggunaan Kisah Israiliyyat Dalam Memahami Ayat-Ayat Kisah Al-Qur’an,” Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin 16, no. 2 (2018): 95, https://doi.org/10.18592/jiu.v16i2.1727.

[18] Izzudin Washil, “Problem Subjektifitas Dalam Tafsir Bi Al-Ma’tsur, Tafsir Bi Al-Ra’yi, Dan Tafsir Bi Al-Isyarah,” Diya Al-Afkar 4, no. 01 (2016): 1–18.


Penulis: 

1. Siti Nur Khalimah (Prodi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN RM Said Surakarta, 2022)

2. Salma Ramadhani Hidayat (Prodi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN RM Said Surakarta, 2022)

3. Khoirul ilham asydiky (Prodi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN RM Said Surakarta, 2022)

Pembimbing:

Prof. Dr. Moh. Abdul Kholiq Hasan, Lc. M.A, M.Ed


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 31-32

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 20-21