Kitab Tafsir Bercorak Linguistik: Tafsir al-Bahr al-Muhith Karya Abu Hayyan


Al-Qur’an menempati kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, tidak hanya sebagai kitab suci, tetapi juga sebagai petunjuk utama dalam kehidupan umat manusia. Kesakralannya mendorong umat untuk lebih meresapi dan memahami isi al-Qur’an secara mendalam agar dapat mengaplikasikan ajarannya dalam kehidupan.[1] Namun, pemahaman al-Qur’an yang tepat membutuhkan penafsiran yang cermat oleh para mufassir dengan keilmuan yang mendalam.

Fenomena penafsiran al-Qur’an tejadi sejak sejak masa Nabi Muhammad Saw. dan mengalami perkembangan hingga saat ini. Permasalahan yang semakin kompleks dari masa ke masa menuntut berkembangnya pendekatan dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga sesuai dengan kebutuhan zaman. Di samping itu, setiap mufassir memiliki latar belakang intelektual, sosial, dan pengalaman yang memengaruhi sudut pandangnya dalam menyingkap setiap makna al-Qur’an yang terkandung. Tidak heran ketika banyak dijumpai mufassir yang berfokus pada hukum, teologi, kebahasaan, dan sebagainya.

Salah satu tokoh yang terkenal dengan pendekatan kebahasaan dalam tafsir adalah Abu Hayyan, melalui karyanya yang monumental, yaitu al-Bahr al-Muhith. Beliau dikenal sebagai seorang ahli bahasa dan sastra Arab sehingga berusaha menafsirkan al-Qur’an dengan menyingkap makna kata, kedudukannya, bahkan unsur sastra yang terkandung di dalamnya.[2] Dalam tulisan ini, penulis berusaha mengungkap latar belakang sosial dan keilmuan Abu Hayyan yang melatarbelakangi dominasi corak kebahasaan dalam karya tafsirnya. Selain itu, untuk membuktikan keabsahan klaim tersebut, penulis akan menguraikan dan menjelaskan metode penafsiran yang digunakan Abu Hayyan dalam kitab tafsirnya. Lebih lanjut, penulis juga akan menyoroti berbagai tanggapan dari para mufassir lain terhadap kitab ini, karena setiap karya tafsir, termasuk Al-Bahr al-Muhith, tidak terlepas dari kritik maupun apresiasi.

PEMBAHASAN

Biografi Pengarang

Kitab Tafsir al-Bahr al-Muhith ditulis oleh Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf ibn ‘Ali ibn Yusuf ibn Hayyan al-Gharnathiy al-Andalusiy, popular dengan sebutan Abu Hayyan, dan juga memiliki nama julukan yaitu atsirudin. Nama al-Gharnathiy adalah tempat belajar pertamanya sekaligus nama kota kelahirannya, yaitu Granada yang terletak di wilayah Andalusia. Beliau dilahirkan di Andalusia pada abad ke-13, tepatnya tahun 1256 M (654 H) dan menghembuskan napas terakhirnya di Mesir pada abad ke-14, tepatnya tahun 1344M (745 H).

Abu Hayyan hidup dalam lingkungan keluarga yang mendukung perkembangan dalam memahami Islam serta perkembangan intelektualnya. Sedari kecil, beliau banyak mempelajari al-Qur’an baik memahami, menghafal, serta mempelajari qiraatnya. Selain itu, Abu Hayyan telah menunjukkan kegemaraanya terhadap bahasa karena pandai dalam membuat dan menggubah syair-syair Arab. Ia sangat mengidolakan Sibawayh, tokoh nahwu. Awalnya beliau berhubungan baik denan Ibnu Taymiyayah, dan menciptakan qasidahpujian untuknya. Namun hubunan itu renggang karena Ibnu Tamiyyah banyak menyalahkan Sibawayh dalam masalah tata Bahasa Arab.[3]

Setelah usia Abu Hayyan menginjak 25 tahun, beliau banyak berkelana untuk menuntut ilmu dengan mendatangi beberapa ulama terkemuka di berbagai belahan dunia. Diantaranya seperti wilayah Afrika, Iskandaria, Hijaz dan Mesir. Abu Hayyan banyak berjumpa dengan para ‘alim ulama’ dan berbagai tokoh yang terkenal untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang luas. Adapun Mesir, menjadi wilayah di mana Abu Hayyan menetap dan menggunakan sisa waktunya untuk menulis serta mengajar hingga akhir hayatnya.[4]

Karya-karya yang ditulis Abu Hayyan mencakup berbagai bidang, seperti hadis, tafsir, bahasa Arab, qiraat, sastra, sejarah, serta nahwu sharaf. Kekayaan karya ini mencerminkan hasil dari perjalanan panjangnya menuntut ilmu dengan berbagai guru terkemuka, sebanyak 450 guru.[5] Diantara guru-guru besar tersebut adalah Ahmad ibn Ibrahim ibn Zubai ibn Muhammad ibn Ibrahim sebagai seorang muhaddis, nahwiyyin (ahli nahwu), ahli ushul fiqh, ahli sastra, serta fasih dalam memahami al-Qur’an. Al-Husain ibn Muhammad Abd al-‘Aziz ibn Muhammad ibn Abd al-‘Aziz yang merupakan seorang fuqaha, muhaddis, ahli nahwu dan sastra. Selanjutnya Ali ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abd ar-Rahim, Muhammad ibn Ali ibn Yusuf, dan Muhammad ibn Ibrahim ibn Muhammad yang merupakan ulama besar dari Mesir. Penyebutan para guru ini menggambarkan betapa luasnya ilmu yang dikuasai Abu Hayyan di masanya.[6]

Abu Hayyan banyak menghasilkan karya yang terkemuka dan bertebaran di berbagai penjuru dunia, baik selama hidup ataupun setelah meninggal[7], diantaranya adalah:[8]

1.      Al-Bahr al-Muhīth

2.      Al-Nahr al-madd min Bahr al-Muhīth (ringkasan dari kitab tafsir al-Bahr al-Muhīth)

3.      ‘Aqdu Al-Lali ‘ala wazni al-Syātibiyyah wa Qāfiyatihā.

4.      Awali,Al-Khalil Khaliah fi Isnād Qirā’at Al-Aliah.

5.      Taqrīb Al-Nā’I fi Qirā’at Al -Kisā’i.

6.      Al-Wahaj fi Ikhtisār Al-Minhaj.

7.      Al-Anwār Al-Ajali fi Ikhtisār Al-Mahla.

8.      Masāil Al-Rasyīd fi Tajrīd Masāil Nihāyah Ibn Rasd.

Selain keahlian Abu Hayyan dalam berbagai disiplin ilmu, para ulama juga banyak yang mengakui keilmuwannya, diantaranya:[9]

1.      Imam Ibnu Jazari mengatakan bahwa beliau adalah seorang hafizh, dan ulama besar di bidang bahasa Arab, adab, qiraat, dan penguasannya yang tsiqoh.

2.      Imam asy-syaukani mengaatakan bahwa beliau adalah ulama yang sangat menguasai di bidang bahasa Arab dan tafsir, di mana beliau merupakan pakar yang tidak dapat disamakan di masanya,

3.      Ibnu Qadhi menulisnya di kitab thabaqot asyafi’iyyah bahwa beliau adalah seorang yang hafizh, ahli nahwu, tafsir dan bahasa. Karyanya dikenal secara luas baik di barat maupun timur.

Sejarah dan Latar Belakang Penulisan

Diantara karya-karya yang ditulis oleh Abu Hayyan, kitab tafsir Al-Bahr al-Muhīth menjadi yang paling terkenal dengan jumlah 8 jilid. Kitab tersebut ditulis sejak berusia 57 tahun, tepatnya pada tahun 710 H, saat menjabat sebagai pengajar tafsir di Kubah Sultan al-Malik al-Mansur. Di dalam karya tafsir ini, Abu Hayyan banyak merujuk pada penafsiran al-Zamakhsyari dan Ibnu ‘Athiyyah, khususnya dari segi bahasa sambil tetap memperhatikan aspek-aspek penting seperti asbabunnuzul, naskh mansukh, qiraat, dan balagah, Walaupun cakupannya luas, Abu hayyan lebih menonjolkan penjelasan seputar i’rab dan nahwu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an[10]

Sebagian besar karyanya berfokus pada bidang nahwu, shorof, bahasa, fiqh, i’rab, dan qira’at. Semua disiplin ilmu ini terangkum dalam kitab tafsirnya, Al-Bahr al-Muhīth, sehingga mencerminkan keluasan ilmunya. Nama Al-Bahr al-Muhīth berasal dari dua unsur kata, yaitu al-bahr dan al-muhīth. Secara Bahasa, kata al-bahr artinya lautan, yang dalam konteks tafsir diartikan sebagai penyelaman ke kedalaman makna. Sedangkan kata al-muhīth berarti segala sesuatu yang mengelilingi lautan, melambangkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk menyelami makna dan hikmah dalam al-Qur’an al-Karim.[11]

Dalam proses penulisan tafsir bahrul Muhith Ini dilandasi oleh tiga hal, pertama: ia berkeinginan selalu membaca al-Quran, kedua: beliau ingin memperbanyak amal kebaikan, kemudian yang ketiga: Agar jiwanya selalu terjaga.[12] Melalui penamaan kitab ini, Abu Hayyan berharap dapat menjelaskan makna setiap kata dalam al-Qur’an secara detail serta mendalam. Beliau dalam tafsirnya menguraikan setiap ayat al-Qur’an secara mendalam baik dari segi i’rab, bentuk-bentuk kata, susunan kalimat, hingga sisi kebahasaannya kecuali bagian-bagian yang telah jelas maknanya. Selain itu, beliau juga menjelaskan segi kemu’jizatan al-Qur’an melalui ilmu sastra dan memberikan penafsiran dengan memadukan berbagai disiplin ilmu yang dimilikinya. Dengan pendekatan ini, Al-Bahr al-Muhīth menjadi salah satu karya tafsir yang menggabungkan keluasan ilmunya dengan kedalaman analisis terhadap al-Qur’an.[13]

Sumber, Metode dan Corak Penafsiran

Berkembangnya peradaban Islam bersamaan dengan munculnya berbagai macam corak tafsir salah satunya yaitu corak Lughawy. Corak Lughawy yaitu menguraikan makna setiap ayat al-Qur’an dengan petunjuk atau kaidah kebahasaan.[14] Corak Lughawy merupakan corak yang digunakan Abu Hayyan, sesuai pemaparan tafsirnya yang dituliskan dengan rinci. Dalam pendekatan ini, Abu Hayyan sering mengutip penafsiran Az-Zamakhsyari dan Ibnu Athiyyah, dua mufasir yang juga banyak menggunakan pendekatan bahasa dalam karya tafsir mereka.[15] Karya tafsirnya juga dianggap sebagai madrasah lughawy dan Nahwu bagi siapa pun yang berkeinginan untuk memahami al-Qur’an dengan bahasa Arab yang fasih. Salah satu muridnya yang mencapai kedudukan sebagai imam besar dalam ilmu nahwu adalah Ibnu Hisyam al-Nahwi.[16] Berdasarkan corak yang digunakan Abu Hayyan, maka diambil kesimpulan bahwa sumber penafsirannya didasarkan pada ra’yi.[17]

Selanjutnya, Penguraian tafsir ditempuh dengan menggunakan metode/manhaj tahlili. Metode ini adalah cara penafsiran yang ditempub oleh para mufassir dalam menjelaskan makna setiap ayat al-Qur’an secara berturut-turut dengan rinci dan lengkap.[18] Walaupun dalam perincian tafsirnya, beliau cenderung membahas terkait kebahasaan yang terdapat di dalam setiap ayatnya.[19] Bahkan kecenderungan ini mengantarkan pada anggapan bahwa kitab tafsir Al-Bahr al-Muhīth lebih mendekati kepada kitab Nahwu daripada kitab tafsir.[20]

Sistematika Penafsiraan

Abu Hayyan memisahkan penjelasan tafsirnya menjadi dua macam, yaitu mufrodat dan tafsir. Pada bagian pertama, ia membahas seputar lafazh ayat. Sedangkan pada bagian kedua, ia membahas makna dari suatu lafazh atau ayat. Adapun Langkah-langkah penafsiran yang dilakukannya sebagai berikut:

1.      Membahas kosa kata ayat yang perlu diuraikan baik dari segi Bahasa maupun kedudukan kata pada bagian awal penjelasan. Kemudian menggunakan syair Arab atau mencontohkan suatu kalimat sebagai petunjuk memahami sebuah kata. Namun demikian, ada beberapa bagian ayat yang tidak disertakan sebagaimana di dalam penjelasannya pada QS. Ali Imran ayat 164.[21]

2.      Menjelaskan sebab turunnya ayat, naskh Mansukh, munasabah ayat, menyebutkan setiap qiroat yang ada baik bacaan yang mutawatir maupun syadz, dan menukil perkataan nabi, sahabat, dan tabiin dalam memahami maknanya. Dalam hal penyebutan qiroat syadz di dalam tafsirnya, Abu Hayyan memberikan keterangan dan menjadikannya sebagai salah satu alat bantu untuk menafsirkan sekiranya memiliki keterkaitan dengan ayat.[22] Abu Hayyan juga bersikap tegas dalam penukilan bacaan qiraat sebagaimana kritiknya terhadap az-Zamakhsyari dan Abu Ubaid yang dianggap lebih mengedepankan kaidah kebahasaan.

3.      Beliau mahir dalam Bahasa Arab sehingga menguraikan penjelasan I’rob yang memiliki kerancuan di dalamnya. Selain itu, beliau juga merincinya dari segi balaghah baik badi’ ataupun bayan.

4.      Menjelaskan hukum syariat berkaitan dengan lafadz al-Qur’an berdasarkan Imam-imam arba’ah (Imam Hanafi, Malik, Syafi’i, dan Hanbali) dan selainnya yang merujuknya kepada kitab-kitab fiqh.[23]

Selain itu, ketika menemukan hukum-hukum yang dianggap aneh dan menyelisihi pendapat mayoritas, Abu Hayyan melakukan tarjih dengan menggunakan dalil-dalil yang diperlukan. Metode ini sebagai upayanya dalam menjelaskan makna al-Qur’an dengan sebaik-baiknya karena al-Qur’an dianggap sebagai kalam yang paling fasih. [24]

Kontroversi Karya Tafsir Abu Hayyan

Kitab tafsir al-Bahru al-Muhīth menuai berbagai kritik, baik dalam perujukan pendapat, sanad, penisbatan hadits, dan sebagainya. Diantara kritik yang didapatkannya yaitu:

1.      Tidak merujuk suatu perkataan kepada kitab aslinya

Abu Hayyan memiliki buku rujukan yang utama dalam mengutip perkataan ahli Tafsir dan ini telah disebutkan secara jelas dalam mukadimahnya yaitu kitab tafsir al-Kasyaf dan al-Muharrir al-Wajiz.[25] Di mana seharusnya, beliau mengutip suatu pemikiran langsung kepada rujukan aslinya. Hal ini dapat menyebabkan kekeliruan dalam memahami dan pengutipan suatu penjelasan. Kekeliruan tersebut ditemukan dalam tafsirnya Qs. Al-Hijr ayat 88 yang berbunyi:

لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلٰى مَا مَتَّعْنَا بِهٖٓ اَزْوَاجًا مِّنْهُمْ

Jangan sekali-kali engkau (Nabi Muhammad) menujukan pandanganmu (tergiur) pada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang kafir)...

Pada penjelasan ayat tersebut, Abu Hayyan mengutip tafsir ar-Razi yang merujuk kepada pendapat Ibnu Abbas. Ibnu Abbas mengatakan, “Janganlah mengharapkan kenikmatan duniawi yang telah diberikan Allah kepada orang lain.” Pendapat ini juga disampaikan oleh Imam ath-Thabari melalui kitab tafsirnya yang merupakan imam yang lahir sebelum Abu Hayyan. Adapun kesalahan juga ditemukan dalam penukilan pendapat mutaqaddimin melalui tafsir Ibnu Athiyyah di mana Abu Hayyan dianggap melakukan wahm karena beliau menyebutkan suatu pendapat yang disandarkan pada Ibn Athiyyah dari ath-Thabari yang pada kenyataannya tidaklah demikian.

2.      Terlalu banyak menukil pendapat

Abu Hayyan seringkali berlebihan dalam menukil pendapat sehingga ditemukan banyak pendapat yang sama secara makna walaupun berbeda secara lafazh atau dapat dikatakan “Qoulun wahidun bi alfadzin mutaqoribatin”. Sebagaimana penafsirannya dalam QS. Ali Imran ayat 117:

كَمَثَلِ رِيْحٍ فِيْهَا صِرٌّ

…seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin”.

Pada penjelasan ayat tersebut, Abu Hayyan menukil lebih dari satu pendapat yang memiliki kesamaan makna. Pertama, disebutkan oleh Ibnu Kaisan berupa “suara api”. Dan yang kedua disebutkan oleh az-Zajjaj bahwa kata “Shir” juga merupakan suara api yang tertiup angin.

Permasalahan ini banyak ditemukan di dalam kitab tafsir al-Tahrīr al-Tahbīr karya Syaikh Ibn al-Naqīb yang merupakan kitab rujukan Abu Hayyan. Sedangkan penjelasan dalam tafsir al-Tahrīr al-Tahbīr dianggap terlalu bertele-tele dan banyak terjadi pengulangan yang tidak berguna.

3.      Meringkas suatu pendapat

Terkadang pula, Abu Hayyan sekedar menyimpulkan suatu pendapat tanpa menukilnya secara utuh. Hal ini menyebabkan pembaca harus merujuknya kembali kepada kitab pokoknya supaya dapat memahami penjelasannya.

4.      Terdapat Wahm

Sebagaimana beliau dalam menyebutkan periwayat hadits mengenai mendengarkan bacaan al-Qur’an. Disebutkan bahwa faktanya, perkataan itu hanya diriwayatkan oleh Said bin Musayyab namun beliau menyebutkan Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Jabir, Atha’, dsb.[26]

Contoh Penafsiran

Pada QS. Al-Fatihah ayat 1 akan terlihat bagaimana Abu Hayyan menguraikan kata pertama dalam lafazh bismillah begitu kental dari segi bahasanya.[27] Dalam Huruf ba’ disebutkan memiliki berbagai macam makna, diantaranya sebagai pelekat, permintaan tolong, sumpah, penyebab, keadaan, menunjukkan tempat dan waktu, dan perpindahan. Kemudian menjelaskan setiap katanya ketika digunakan di dalam kalimat.

Setelah melakukan penguraian dan penjelasan pada lafazh, beliau melakukan pemilihan makna yang sesuai dengan ayat yang ditafsirkannya. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:


Wallahu a'lam bishshowab, Semoga bermanfaat...

[1] Nova Yanti, “Memahami Makna Muhkaman Dan Mutasyabihat Dalam Al-Qur’an,” Al-Ishlah: Jurnal Pendidikan 08, no. 02 (2016): 246–256.

[2] Ahmad Kamil Taufiq and Deswanti Nabilah Putri, “Telaah Metodologis Kitab Tafsir Al-Bahr Al-Muhith Karya Abu Hayyan Al-Andalusy,” Jurnal Agama dan Sosial-Humaniora 2, no. 1 (2023): 57–65.

[3] Saichul Anam, “Bayang-Bayang Ibnu ’Atiyah Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhith Karya Abu Hayyan Al-Andalusiy,” Qaf 06, no. 01 (2024): 59–78.

[4] M Rusydi Khalid, “Al Bahr Al-Muhîth: Tafsir Bercorak Nahwu Karya Abu Hayyân Al-Andalusî,” Jurnal Adabiyah 15, no. 2 (2015): 181–192.

[5] Romlah Widayati, Dimensi Fiqh Abu Hayyan Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, 2023.

[6] Miatul Qudsia, “Khazanah Keintelektualan Abu Hayyan Dalam Samudera Ilmu Yang Luas” (2014): 327–328.

[7] Muhammad Hasdin Has, “Karakteristik Tafsir Al-Bahru Al Muhith ( Telaah Metodologi Penafsiran Abu Hayyan Al-Andalusy ),” Shautut Tarbiyah vol 18, no (2012): 42–52.

[8] Elmia Zarchen Haq and Khoirul Umami, “Telaah Kitab Tafsir Bercorak Lughawi Di Abad Pertengahan (Studi Komparasi Antara Tafsir Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta’wil Fi at-Tafsir Dan Al-Bahr Al-Muhit),” Al Muhafidz: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan tafsir 02, no. 01 (2022): 50–65.

[9] M.Atho’ Illah Hikam et al., “Implikasi Ayat Kursi Menurut Abu Hayyan Al-Andalusi Dalam Kitab Bahr Al- Muhit Fi Al- Tafsir,” Relinesia: Jurnal Kajian Agama dan Multikulturalisme Indonesia 1, no. 2 (2023): 104–114,

[10] Abu Hayyan, Al-Bahr Al-Muhith, Jilid 1. (Damaskus: Dar al-Risalah al-Alamiyyah, 1435). Hal. 45-46

[11] Restu Ashari Putra and Andi Malaka, “Manhaj Tafsir Bahrul Muhith Abu Hayyan Al-Andalusiy,” Jurnal Iman dan Spiritualitas 2, no. 1 (2022): 91–96.

[12] Abu Hayyan, Al-Bahr Al-Muhith, Jilid 1. (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.). Hal. 5

[13] ‘Amilatu Sholihah, “Analisis Ibdal Dalam Al-Qur’an Perspektif Abu Hayyan Al-Andalusia an-Naysaburi Dan an-Nasafi,” Profetika: Jurnal Studi Islam 1, no. 9 (2020): 195–211.

[14] Widayati, Dimensi Fiqh Abu Hayyan Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhith.

[15] Muchammad Fariz Maulana Akbar and Muhammad Rijal Maulana, “Kajian Historisitas Tafsir Lughowi,” Jurnal Iman dan Spiritualitas 2, no. 2 (2022): 239–246.

[16] Has, “Karakteristik Tafsir Al-Bahru Al Muhith ( Telaah Metodologi Penafsiran Abu Hayyan Al-Andalusy ).”

[17] Hayyan, Al-Bahr Al-Muhith. Hal. 11

[18] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Cetakan IV. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2021). Hal. 376

[19] Has, “Karakteristik Tafsir Al-Bahru Al Muhith ( Telaah Metodologi Penafsiran Abu Hayyan Al-Andalusy ).”

[20] Widayati, Dimensi Fiqh Abu Hayyan Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhith.

[21] Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Tafsir Walmufassirun, vol. Jilid 1 (Mesir: Maktabah Wahbah, n.d.). Hal. 226

[22] Hayyan, Al-Bahr Al-Muhith. Hal 26

[23] Ibid. Hal.10

[24] Abu Hayyan, Al-Bahru Al-Muhith, Jilid 1. (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.). Hal. 6. Maktabah Syamilah

[25] Hayyan, Al-Bahr Al-Muhith. Hal. 10

[26] Ibid. Hal. 39

[27] Abu Hayyan, Bahr Muhith, Jilid 1. (Damaskus: Dar al-Risalah al-Alamiyyah, n.d.). Hal 26-34

[28] Putra and Malaka, “Manhaj Tafsir Bahrul Muhith Abu Hayyan Al-Andalusiy.” Hal. 93


Penulis:

Hanifah As Sa'diyah Jannati (email: hanifahjannati21@gmail.com)

Rahma Aulia Irmawati

(Program Studi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, UIN Surakarta)


Pembimbing:

Prof. Dr. KH. Moh Abdul Kholiq Hasan, Lc., M.Ag., M.Ed


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 31-32

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 20-21