Analisis Tafsir Bercorak Fiqh: Tafsir al-Qurthubi



Tafsir tergolong sebagai salah satu bidang ilmu yang sangat krusial dalam memahami al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Sepanjang sejarah perkembangannya, banyak ulama besar yang telah menulis karya monumental yang menjadi rujukan bagi generasi setelahnya. Salah satu ulama terkemuka dalam bidang tafsir, fiqh, dan hadis adalah al-Imam al-Qurthubi, berasal dari Cordoba, Andalusia (sekarang Spanyol). Karya monumentalnya adalah Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, lebih dikenal dengan sebutan Tafsir al-Qurthubi.

Tafsir Al-Qurthubi memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan karya tafsir lainnya. Selain membahas makna ayat-ayat Al-Qur’an, tafsir ini juga menyoroti aspek hukum Islam (fiqh) secara mendalam, karena Al-Qurthubi sendiri adalah seorang ahli fiqh Mazhab Maliki. Tafsir ini tidak hanya menjelaskan linguistik dan retorika dari ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga menjelaskan berbagai hukum yang terkandung di dalamnya, menjadikannya referensi penting bagi para ulama fiqh.

Penelitian ini dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang kontribusi Al-Qurthubi dalam bidang tafsir Al-Qur’an serta memahami metode dan pendekatan yang digunakannya dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, terutama yang berkaitan pada hukum Islam. Melalui kajian terhadap tafsir al-Qurthubi, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai peran tafsir klasik ini dalam perkembangan ilmu tafsir dan hukum Islam, baik di masa lalu maupun masa kini. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan wawasan mengenai pentingnya tafsir Al-Qurthubi dalam memperkaya kajian hukum Islam yang tetap relevan hingga saat ini.

Biografi Imam al-Qurthubi

Nama lengkapnya adalah al-Qurtubi Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh al-Ansari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurtubi. Beliau adalah seorang ulama besar yang dikenal sebagai hamba Allah yang shaleh dan wara’, serta seorang ulama fiqh yang terkenal dengan kearifan dan pengetahuan yang luas. Selain menjadi pakar hadis, ia  menulis banyak karya. Karyanya yang paling terkenal, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, mengangkat namanya sejajar dengan ulama besar seperti al-Jashshash dan Ibnu ‘Arabi, serta ulama lainnya. Ia lahir di kota Qurtuba, di wilayah Andalusia yang sekarang dikenal sebagai Spanyol. Dia belajar banyak ilmu keagamaan, terutama hadis.[1]

Beliau dibesarkan di lingkungan yang penuh dengan orang-orang yang berilmu, di mana kota Qurtuba pada saat itu merupakan pusat ilmu di Andalusia. Dengan banyaknya kelompok belajar agama di masjid-masjid yang tersebar di seluruh kota, beliau banyak mendapatkan kemudahan akses untuk mempelajari apa yang diinginkan. Sejak kecil Ia belajar berbagai ilmu pengetahuan, diantaranya bahasa Arab, syair, dan Al-Quran. Hal demikian dipandang aneh karena kebanyakan teman sebayanya hanya mempelajari al-Qur’an.

Selain ketertarikannya terhadap ilmu pengetahuan, Ia juga dikenal sebagai hamba Allah yang shalih, ulama yang mengenal Allah, zuhud, dan sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya di akhirat. Maka tidak heran jika Ia dipandang sebagai salah satu tokoh ulama yang sangat produktif. Selama masa hidupnya, ia gunakan untuk beribadah kepada Allah dan menulis buku, di mana karyanya memberikan manfaat kepada orang banyak.

Diantara keahlian al-Qurthubi terhadap ilmu pengetahuan, salah satunya adalah menjadi ahli fiqih utama madzhab Maliki. Meski demikian, ia menghindari sifat fanatik dan menghargai perbedaan pendapat. Dalam memandang sebuah perspektif, Ia lebih banyak menekankan objektivitas di mana Ia tidak selalu setuju dengan imam madzhabnya.[2]

Berdasarkan keahlian yang al-Qurthubi miliki, terdapat beberapa guru yang sangat berkualitas. Beliau berguru kepada Abu Ja’far Ahmad dan Rabi’ bin Abdurrahman bin Ahmad bin Rabi’ di kota Qurthubah. Abu Ja’far adalah seorang ulama ahli ulumul Qur’an dan ahli bahasa Arab. Beliau terkenal sebagai guru yang produktif, dengan banyak karya termasuk kitab mukhtasar ala shahihain. Selain itu, guru kedua adalah Abu Muhammad bin ‘Arafah al-Warghami, yang dikenal sebagai hakim kota Qurthubah yang baik hati dan jujur. Beliau seorang ulama yang sangat mahir dalam ilmu hadis. Ketika Al-Qurthubi pindah ke Mesir, dia diajar oleh Abu Muhammad Abdul Wahab bin Rawaj, yang ahli dalam ilmu hadis, yang merupakan salah satu guru Al-Qurthubi yang sangat mempengaruhi pemikirannya.

Adapun sifat objektif yang dijunjung oleh al-Qurthubi tidak lepas dari latar belakang keilmuannya. Ia mempelajari fiqh dari berbagai guru dengan mazhab yang berbeda, sehingga tidak hanya berguru kepada ulama madzhab Maliki. Misalnya, Ibnu Al-Jumaiz al-Mishri, yang ahli hadist dan fiqih dari madzhab asy-Syafi’i. Oleh karena itu, keilmuan Al Qurthubi tidak fanatik terhadap salah satu madzhab.[3] Beliau wafat di kota Isbiliyah pada tahun 633 H setelah kota tersebut berhasil ditaklukan oleh kerajaan Romawi.

Selama masa hidupnya, ia banyak memiliki murid dan diantaranya menjadi ulama terkenal hingga saat ini. Diantara muridnya-muridnya adalah Shihabuddin Abu Abbas, Abu Abdullah Wali, dan Al-Hafizh Ibn Katsir yang menjadi penulis kitab tafsir terkemuka. Dalam menulis kitabnya, Ibn Katsir terpengaruh oleh al-Qurthubi, di mana ia banyak meriwayatkan perkataan dari al-Qurthubi secara maknawi, yaitu hanya memahami maknanya, bukan secara eksplisit dari teks aslinya. Meski demikian, Ibn Katsir mengkritik dan mengomentari pendapat al-Qurthubi dalam beberapa hal.

Murid terkenal lainnya adalah Abu Hayyan al-Andalusi al-Gharnathi, dalam kitab tafsirnya yang berjudul Al-Bahr Al-Muhith, dan Asy-Syaukani, yang nama lengkapnya adalah Al-Qadhi Al-Allamah Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani. Ia juga belajar dari al-Qurthubi dan meriwayatkan darinya.[4]

Tidak dapat diragukan lagi bahwa Al-Qurthubi telah memberikan kontribusi besar dalam tradisi keilmuan Islam, terutama dalam bidang tafsir al-Qur’an. Karya tafsirnya memiliki dampak yang signifikan pada dunia keilmuan Islam sehingga banyak ulama yang memujinya.[5] Beberapa karya beliau seperti Al-Jami’ li ahkamil Qur’an yang merupakan sebuah karya tafsir yang komprehensif. Selain itu, terdapat juga Syarah asmaul khusna, Kitabul tadzkir fi afdlolul adzkar, Kitabul tadzkir bi umuril akhirah, Kitab syarah attaqsyi, Kitab qam’ul chirsyi bizzuhdi wal qana’ah, Radu dzalli sual bil kutub wa shafa’ah. Beliau masih memiliki banyak karangan yang sangat bermanfaat lainnya.[6]

Latar Belakang Penulisan Kitab Tafsir Al-Qurthubi

Kitab Tafsir Jami’ li Ahkamil Qur’an adalah salah satu kitab karangan Imam Al-Qurthubi dalam bidang tafsir yang sangat masyhur sehingga banyak menjadi rujukan para ulama setelahnya.[7] Nama asli kitab ini adalah al-Jami’ li ahkamil Qur’an wal Mubin lima tadhommanahu min as sunnah wa ahkami al-furqan. Kemudian disingkat menjadi tafsir al-Jami’ li ahkamil Qur’an atau tafsir al-Qurthubi. Dalam tafsir ini, beliau menulis pilihan penafsiran, mulai dari masalah kebahasaan, ‘irab, berbagai bacaan atau qiraat, dan penolakan terhadap ahli ilmu kalam. Beliau juga mencantumkan banyak hadis yang berkaitan dengan ayat yang dibahas, serta asbabunnuzul nya. Kemudian beliau memberikan penjelasan menyeluruh tentang maknanya serta pendapat ulama salaf dan khalaf yang membuatnya sulit dipahami. Kemudian, dalam kitab tafsirnya, ia melekatkan pendapatnya kepada ulama yang menyatakan bahwa mereka adalah sumber dari hadis, dan ia menjelaskan berbagai takwil dan penafsiran jika ayat yang di bahas tidak memiliki hubungan dengan hukum. Dengan cara ini, Imam Qurthubi menulis kitab tafsirnya.[8]

Latar belakang al-Qurthubi menyusun kitab tafsir ini dijelaskan pada bagian pendahuluan kitabnya. Menurutnya, Al-Qur’an adalah kitab Allah yang berisi hukum syariat yang telah diberikan oleh Allah. Kitab tafsir ini ditulis di sebagian umurnya. Selain itu, motivasi utama al-Quthubi untuk menulis karyanya adalah ingin orang-orang yang mempelajari karyanya dapat memahami al-Qur’an dengan baik, dan mengambil pelajaran dari setiap ayatnya.[9]

Sistematika Penulisan Kitab Al-Qurthubi

Tafsir al-Qurthubi disusun berdasarkan urutan mushaf, yang berawal dari Surah al-Fatihah sampai kepada Surah an-Nas.[10] Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, beliau biasanya mengutip satu atau beberapa ayat terlebih dahulu, lalu memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ayat tersebut, sesuai susunan dalam mushaf.

Pembahasannya diawali dengan muqaddimah yang menguraikan cara-cara berinteraksi dengan Al-Qur’an serta beberapa aspek ulum al-Qur’an. Setelah itu, Al-Qurthubi membahas isti’adah dan basmalah dalam bab tersendiri. Dalam pembahasan isti’adah, terdapat dua belas persoalan yang dikaji, sedangkan pada bab basmalah, beliau menguraikan dua puluh topik terkait.

Adapun langkah-langkah dalam penafsirannya, mencakup:

1)      Menyebutkan ayat.

2)      Menyebutkan poin-poin masalah ayat yang dibahas.

3)      Mengulas makna dari segi bahasa.

4)      Menyajikan ayat lain yang memiliki keterkaitan serta hadis yang disertai dengan sumbernya.

5)      Mengutip pandangan para ulama beserta referensinya untuk menjelaskan hukum yang relevan dengan topik yang dibahas.

6)      Membantah pandangan yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.

7)      Mendiskusikan pandangan para ulama dengan pendapatnya masing-masing lalu mengambil pendapat yang dianggap paling kuat (tarjih).[11]

Sebagai contoh, dalam menafsirkan Q.S. Al-Baqarah, al-Qurthubi mengawali pembahasannya dengan menjelaskan konteks turunnya surat tersebut beserta keutamaannya, disertai dengan banyak hadis sebagai landasan. Setelah itu, ia membahas ayat-ayatnya secara mendalam, mengupas berbagai persoalan yang muncul, dan mengemukakan pandangan para ulama beserta argumen mereka. Di akhirnya, ia melakukan tarjih dengan menetapkan pendapat yang dinilainya paling tepat.[12]

Beliau menjelaskan betapa pentingnya mempelajari tafsir dan mengimbau agar selalu menghormati al-Qur’an, khususnya bagi mereka yang secara khusus mendalami kitab suci tersebut. Beliau juga memperingatkan bahaya menafsirkan al-Qur’an hanya berdasarkan nalar semata dan menekankan peran hadis sebagai penjelas bagi al-Qur’an. Selain itu, beliau mengulas tentang cara mempelajari dan memahami al-Qur’an, proses pengumpulannya, susunan surat dan ayat, keajaiban al-Qur’an, serta berbagai hal terkait lainnya.[13]

Metode, Corak dan Bentuk Penafsiran Tafsir Al-Qurthubi

Tafsir al-Qurthubi dikenal memiliki corak yang didominasi oleh fikih. Hal ini terlihat karena isi keseluruhan tafsirnya lebih banyak berfokus pada persoalan hukum Islam. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui beberapa indikator. Pertama, penamaan kitab tafsirnya, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, menunjukkan bahwa tujuan utama penulis adalah membahas hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Kedua, sistematika penafsiran yang digunakan. Dalam menafsirkan suatu ayat, al-Qurthubi sering kali memaparkan berbagai permasalahan yang terkandung dalam ayat tersebut. Metode ini digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai aspek-aspek fikih terkait.[14]

Tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’an disusun dengan mengikuti sistematika mushafi, di mana penafsirannya dimulai dari Surah al-Fatihah hingga Surah an-Nas, sesuai urutan yang terdapat dalam mushaf Al-Qur’an. Al-Qurthubi mengupas makna ayat-ayat Al-Qur’an secara mendalam, disertai dengan penjelasan yang detail dan menyeluruh, mencakup berbagai aspek terkait. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan adalah metode tahlili. Sebagai contoh, dalam tafsir Surah al-Fatihah, ia membagi pembahasannya menjadi beberapa topik, seperti keutamaan nama surah, hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bacaan amin (ta’min), serta pembahasan tentang qira’at dan i’rab.[15]

Al-Qurthubi menggunakan metode tafsir yang mengombinasikan bil ma’tsur dan bil ra’yi. Ia merujuk pada ayat Al-Qur’an, hadits, asbab al-nuzul, qira’at, syair Arab, dan pendapat ulama, lalu menganalisisnya secara logis untuk memilih pandangan yang paling kuat berdasarkan dalil. Pendekatan ini menunjukkan bahwa tafsirnya memadukan kajian tradisional dan rasional, dengan memanfaatkan ilmu bahasa Arab, balaghah, dan syair untuk menilai berbagai pendapat. Metode ini dikenal sebagai metode komparatif.[16]

Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Qurthubi

Pada muqaddimmah muhaqqiq, disebutkan beberapa kelebihan dari tafsir al-Qurthubi. Dalam kitab at-Tafsir wa al-Mufassirun, Syeikh adz-Dzahabi menjelaskan bahwa secara umum, al-Qurthubi menunjukkan sifat objektif dalam menyampaikan pembahasan-pembahasan dalam kitab tafsirnya. Ia bebas dari kecenderungan tertentu dalam menyampaikan kritik, menghindari hal-hal yang tidak etis dalam diskusi atau perdebatan serta memberi perhatian yang besar terhadap ilmu tafsir dalam segala aspeknya. Al-Qurthubi mendalami setiap ilmu yang dibahas dalam kitabnya dengan penuh teliti.

Tafsir ini juga meliputi beragam madzhab fiqih, khususnya dalam penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum. Namun, perhatian beliau pada aspek qira’at, i’rab serta masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu nahwu, balaghah dan nasikh-mansukh, tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan fokusnya terhadap ilmu fiqih dan ilmu lainnya.[17] Tafsir al-Qurthubi dianggap sebagai sebuah ensiklopedia besar yang memuat berbagai cabanh ilmu.[18] Beberapa kelebihan lainnya, di antaranya:

1.      Tafsir ini memuat ahkam-ahkam dalam al-Qur’an dijelaskan secara mendalam dan terperinci dengan merujuk pada banyak hadis-hadis untuk memperkuat penjelasan hukum-hukumnya.

2.      Hadis-hadis yang digunakan dalam tafsir ini di takhrij, ditelusuri sanadnya dan disandarkan langsung kepada perawinya untuk memastikan keshahihan sumbernya.[19]

3.      Al-Qurthubi mengumpulkan ayat-ayat, hadis dan pamdanga para ulama terkait masalah hukum, kemudian menetapkan pendapat yang dianggap paling kuat berdasarkan alasan yang jelas.[20]

Selain kelebihan, muhaqqiq juga menyebutkan kelemahan dari tafsir ini pada muqaddimah. Al-Qurthubi berusaha untuk tidak banyak menyebutkan kisah-kisah israilliyat dan hadis maudhu’i. Namun, terdapat beberapa kesalahan kecil terkait penyebutan kisah-kisah israilliyat dan hadis maudhu’i dalam tafsir ini, terkadang disampaikan tanpa disertai komentar atau penjelasan tambahan. Tetapi, jika terdapat kisah atau hadis yang merendahkan kemuliaan para malaikat dan nabi, atau berpotensi merusak akidah seseorang, al-Qurthubi akan menyatakan bahwa kisah tersebut batil atau menjelaskannya sebagai hadis yang dha’if (lemah).[21] Namun, terkadang ia juga mengutip berbagai sumber tanpa memberikan keterangan tambahan di dalamnya.[22]

Contoh Penafsiran pada Tafsir Al-Qurthubi

Setelah menghasilkan karya yang besar, yaitu tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, banyak ulama tafsir yang muncul setelah Al-Qurthubi. Meskipun al-Qurhtubi mengikuti madzhab Maliki, dalam metode penafsirannya beliau sangat tidak terikat pada satu madzhab.[23] Hal ini yang memberikan keistimewaan tersendiri pada karya tafsirnya. Salah satunya terlihat dalam tafsirnya terhadap Q. S. Al-Baqarah: 187, meunjukkan bahqa ia sangat toleransi pada semua pendapat ulama, seperti yang akan dijelaskan berikut ini:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌۭ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌۭ لَّهُنَّ ۗ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka adalah pakaian baginu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.”

Dalam penafsirannya, Al-Qurthubi menyatakan terdapat tiga puluh enam masalah yang terkandung di ayat ini, salah satunya mengenai permasalahan yang kedua belas yaitu tentang perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum makan seseorang yang lupa di siang hari pada bulan Ramadhan. Menurut al-Qurthubi, seseorang yang makan atau minum karena lupa saat berpuasa tidak perlu untuk mengganti puasanya. Pendapat ini berbeda dengan Imam Malik, yang beranggapan bahwa puasa orang tersebut batal dan ia wajib mengganti puasanya. Pendapat Imam Malik ini didasarkan pada pemahaman bahwa puasa dianggap batal jika seseorang melanggar kehormatan puasa, termasuk makan atau minum, meskipun dalam keadaan lupa. Alasan ini didasarkan pada firman Allah swt. yang terdapat pada Q.S. Al-Baqarah (2): 187 [24]

ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”

Imam Malik menafsirkan hal ini sebagai tuntutan untuk menyempurnakan puasa tanpa pelanggaran, sehingga ketika seseorang makan di siang hari, puasa itu dianggap tidak sempurna dan wajib di-qadha.

Namun, Al-Qurthubi menegaskan bahwa menurut pandangan selain Imam Malik, puasa seseorang tidak batal jika ia makan dikarenakan lupa. Ia menganggap pandangan ini lebih tepat dan didukung hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw., bersabda:

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Barangsiapa lupa sedang dia dalam keadaan berpuasa, lalu dia makan atau minum, maka hendaklah dia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum.”  (H.R. Bukhari dan Muslim).

Al-Qurthubi menginterpretasikan hadis ini sebagai bukti bahwa Allah swt. memberikan kelonggaran kepada hamba-Nya yang tidak sengaja melanggar puasa karena lupa, sehingga puasa mereka tetap dianggap sah.

Di samping itu, Al-Qurthubi mengutip pandangan Abu Umar yang berpendapat bahwa berdasarkan prinsip yang digunakan oleh Imam Malik, seseorang yang makan karena lupa seharusnya tidak wajib membayar kaffarat. Dalam pandangan Abu Umar, ketika seseorang melanggar puasa dengan cara ini, ia hanya diwajibkan meng-qadha puasa pada hari yang batal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua pelanggaran puasa berakibat pada kewajiban kaffarat.[25]

Al-Qurthubi menekankan bahwa pendapatnya sejalan dengan mayoritas ulama yang menyatakan bahwa seseoranh yang makan atau minum karena lupa tidak memiliki kewajiban untuk mengganti puasa. Seperti yang dinyatakan oleh al-Qurthubi:

“Demikianlah yang dikemukakan oleh para ulama kami, dan apa yang dikemukakan oleh mereka itu merupakan suatu hal yang benar, seandainya tidak ada sesuatu yang bersumber dari Allah, yang telah kami kemukakan di atas. Sesungguhnya nash yang tegas dan shahih telah datang, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda: “Barangsiapa yang berbuka pada bulan Ramadhan dalam keadaan yang lupa, maka dia tidak ada kewajiban qadha terhadap dirinya dan tidak ada pula kewajiban untuk membayar kaffarat.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni. Ad-Daraquthni berkata, “Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Ibnu Marzuq, dan dia adalah orang yang tsiqqah jika meriwayatkan hadits dari orang-orang Anshar. Dengan demikian, maka hilanglah kemungkinan-kemungkinan itu, dan musnahlah kerancuan-kerancuan tersebut. Segala puji bagi Allah Dzat yang Maha Memiliki Keperkasaan dan Kesempurnaan.” [26]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendapat al-Qurthubi menunjukkan perbedaan dengan madzhabnya, karena ia memilih untuk mengikuti pandangannya sendiri kemudian bersikap indenpendwn dan adil pada madzhab yang lain.

Kesimpulan

Tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’an karya Imam al-Qurhubi merupakan kitab tafsir yang komprehensif dengan menggabungkan berbagai perspektif dari imam madzhab fiqh dan membahas berbagai aspek, seperti qira’at, nahwu, balaghah, serta nasikh-mansukh. Fokus utama tafsir ini adalah hukum-hukum syariat dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, dengan metode tahlili yang mendalam. Al-Qurthubi menggunakan tafsir bil ra’yi namun tetap mengacu pada tafsir bil ma’tsur dengan mengumpulkan pendapat sahabat dan tabi’in yang didukung dalil yang kuat. Kelebihannya adalah penjelasan hukum yang rinci, namun kekurangannya terdapat pada pengutipan kisah israiliyat dan hadis maudhu’i tanpa adanya komentar. Meskipun demikian, tafsir ini tetap menjadi referensi penting dalam kajian tafsir dan fiqh Islam.

 



[1] Arisiana Eka Prasetiawati, Thias, ‘Wawasan Al-Qur’an Tentang Khamar Menurut Al-Qurthubi Dalam Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an’, Fikri:Jurnal Kajian Agama, Sosial Dan Budaya, 4.2 (2019), 247 <https://doi.org/https://doi.org/10.25217/jf.v4i2.588>.

[2] dkk Deni Albar dan Ela Sartika, Variasi Metode Tafsir Al-Qur’an, Cetakan Pe (Bandung: Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020).

[3] Muhammad dan Aris Fuzan Habib, ‘Implikasi Hukum Kata Junaha Dalam Khuluk Dan Rujuk (Studi Pada QS Al-Baqarah: 229-230 Dalam Tafsir Al-Qurthubi)’, Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan Dan Kemasyarakatan, 17.6 (2023), 4352 <https://doi.org/https://dx.doi.org/10.35931/aq.v17i6.2805>.

[4] Bela Sinta dkk, ‘Zina Dalam Surah Al-Isra Ayat 32 Menurut Al-Qurthubi Dalam Tafsir Al- Jami Li Ahkam Quran’, Jurnal Sambas (Studi Agama, Masyarakat, Budaya, Adat, Sejarah), 6.2 (2023) <https://doi.org/https://doi.org/10.37567/sambas.v6i2.2680>.

[5] Ahmad Jalaluddin dkk, Abdul Rohaman, ‘Menelisik Tafsir Al-Jami Li Ahkam Al-Quran Karya Al-Qurthubi Sumber, Corak, Dan Manhaj’, Al- Kawakib: Journal of Islamic Studies, 3.2 (2022), 99 <https://doi.org/https://doi.org/10.24036/kwkib.v3i2.70>.

[6] H. Abdullah AS, ‘Kajian Kitab Tafsir “Al-Jami Li Ahkamil Qur’an” Karya: Al-Qurthubi’, Al- Ijaz: Jurnal Kewahyuan Islam, 4.4 (2018) <https://doi.org/https://dx.doi.org/10.30821/al-i’jaz.v0iIV.5417>.

[7] Masykar Tabsyir, ‘Perspektif Imam Al-Qurthubi Dalam Penafsiran Surat Al-Maidah Ayat 89 Tentang Kifarat Yamin’, Basha’ir: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Tafsir, 2021, 44 <https://doi.org/https://doi.org/10.47498/bashair.v1i1.608>.

[8] AS. Abdullah. Op.cit., h. 4.

[9] Bela Sinta dkk.Op.cit., h. 134.

                [10] Moh. Jufriyadi Sholeh, ‘Tafsir Al-Qurthubi: Metodologi, Kelebihan Dan Kekurangannya’, Jurnal Reflektika, 13.1 (2018), 49–66 <https://doi.org/https://dx.doi.org/10.28944/reflektika.v13i1.173>.

Moh. Jufriyadi Sholeh, ‘Tafsir Al-Qurthubi: Metodologi, Kelebihan Dan Kekurangannya’, Jurnal Reflektika, 13.1 (2018), 49–66 <https://doi.org/https://dx.doi.org/10.28944/reflektika.v13i1.173>.[11] Rumni Hafizah dan Risman Bustamam, ‘Pemahaman Al-Qurthubi Terhadap Konsep Riddah Dalam Al-Qur’an Dan Relevansinya Dengan Indonesia’, Istinarah: Riset Keagamaan, Sosial Dan Budaya, 3.1.

[12] Moh. Jufriyadi Sholeh. Op.cit., h. 53.

[13] Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-Kitab Tafsir, Cetakan 2 (Jakarta: eLSiQ Tabarakarrahma, 2019).

[14] dkk, Abdul Rohaman. Op.cit., h.

[15] Muhammad Nur Iqbal, ‘Metode Tafsir Ahkam Ash-Shabuni Tafsir Ayat Al-Ahkam Dan Al-Qurthubi Al-Jam’I Li Ahkam Al-Qur’an’, Labdraad: Jurnal Syariah & Hukum Bisnis, 1.2.

[16] Irham Muhammad A Havid C.P, ‘Pandangan Ushul Fikih Al-Quthubi Dalam Penafsiran Ayat-Ayat Jual Beli’, Alhamra: Jurnal Studi Islam, 4.2.

[17] Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi Terj. Faturrahman Dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007). h. 12-13.

[18] Lia Nur Aini dkk, Muhammad Solehodin, ‘Infiltrasi Hadis Dha’if Dalam Penafsiran Aurat Perempuan: Studi Komparatif Penafsiran Ibnu Katsir Dan Al- Qurthubi’, KACA:Jurnal Dialogis Ilmu Ushuluddin, 13.2.

[19] Imam Qurthubi. Op.cit., h. 20.

[20] Muhammad Ismail dan Makmur, ‘Al-Qur’an Dan Metode Penafsirannya Dalam Kitab Al-Jami Li Ahkami Qur’an’, Jurnal Pappasang, 2 (2AD) <https://doi.org/https://doi.org.10.46870/jiat.v2i2.68>.

[21] Imam Al-Qurthubi, Op.cit., h. 21.

[22] Imam Qurthubi. Op.cit., h.

[23] Cholid Ma’arif, ‘Aspek Ushul Fiqih Dalam Tafsir Al-Qurthubi: Studi Analisis Q.S. An Nur:31’, Ta’wiluna: Jurnal Ilmu Al-Qur’an, Tafsir Dan Pemikiran Islam, 1.1.

[24] Imam Qurthubi. Op.cit., h. 713.

[25] Imam Qurthubi. Op.cit., h. 730-732.

[26] Imam Qurthubi. Op.cit., h. 733.


        Penulis:
        1. Silmi Kaffah (Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Surakarta 2022, email: silfaafh@gmail.com)
        2. Darul Azka (Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Surakarta 2022, email: azkdarul@gmail.com)
        3. Nieha Nadhifa (Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Surakarta 2022, email: justnieha@gmail.com)

        Pembimbing:
        Prof. Dr. Moh. Abdul Kholiq Hasan, Lc., M.A, M.Ed.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 31-32

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 20-21