Telaah Kitab Tafsir an-Nukat wa al-'Uyun Karya Imam al-Mawardi
Al-mawardi mencoba memberikan kontribusi dengan menulis karya tafsirnya dalam kitab An-nukat wal ‘uyun, tafsir ini merupakan tafsir terkenal dengan sumber riwayat (bil ma’tsur) dan disertai berbagai macam pemikiran al-Mawardi (bil ra’yi)[4] yang banyak berkontribusi dalam ijtihad fiqhnya serta saling memberikan pendapat kepada para ulama di zamannya. Tafsir al-Mawardi dikenal karena pendekatan analitisnya, menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an dari aspek bahasa, asbabunnuzul (sebab turunnya ayat), serta mencakup berbagai qira'at (bacaan) dan hukum-hukum fikih. Dalam penafsirannya, al-Mawardi sering mengutip pendapat ulama lain dan merujuk pada tafsir ath-Thabari sebagai salah satu sumber utamanya.[5]
Oleh karena itu, penelitian ini akan menjelaskan terkait biografi imam al-mawardi, sejarah penulisan kitab an-nukat wal ‘uyun, karakteristik, metode yang digunakan, corak, serta contoh penafsirannya.
A. Mengenal Imam al-Mawardi
Pada 365 H silam di sebuah kota dekat eufrat dan tigris-Basrah Iran, lahirlah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Basri, atau lebih dikenal dengan Imam al-Mawardi. Beliau dilahirkan dari sebuah keluarga berdarah Arab yang menjual air mawar. Dari situlah ia mendapat julukan al-Mawardi tersebut. Dalam 86 tahun hayatnya, ia menelurkan karya-karya fenomenal sebelum akhirnya tutup usia pada 30 Rabiul Awwal 450 H di Baghdad. Perjalanan menuntut ilmunya telah dimulai sedari kecil. Basrah pada saat itu, merupakan pusat studi dan ilmu pengetahuan. Hingga pada saat beranjak dewasa, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Za’farani, Baghdad.[6] Disana ia mempelajari ilmu hukum dari seorang ulama terkenal ahli hukum madzhab Syafi’i, Abu al-Qasim Abdul Wahid al-Saimari. Selain hukum, al-Mawardi muda juga menggeluti tata bahasa dan kesusastraan dari Abdullah al-Bafi dan syaikh Abdul Hamid al-Isfarayini. Kedua ilmu tersebut yang pada hari kemudian menjadi kecenderungan warna dalam karya tafsirnya. Namun tak hanya fiqh dan kesusastraan, Al-Mawardi pun penggeluti ilmu lain seperti Hadist, filsafat, politik, etika, dan lainnya.
Amanah sebagai duta
diplomatik ia dapatkan pada masa Khalifah al-Qaim (103-1074), pekerjaan
tersebut membuatnya harus melakukan negosiasi untuk menyelesaikan
persoalan-perosalan di kalangan pemimpin bani Buwaihi seljuk Iran. Kemudian,
beliau pun menuliskan banyak sekali karya, diantaranya adalah An-Nukat wa al-‘Uyun, dan Siyasah al-Wizarat
wa as-Siyasah al-Malik, Nasihat al-Muluk, al-Ahkam ash-Sulthaniyyah, al-Iqna,
al-Adab ad-Dunya wa ad-Din, Siyasah al-Maliki, al-Amtsal wa al-Hikam,dan al-Hawi al-Kabir.[7]
Al-Mawardi terkenal dengan ketinggian ilmu dan akhlaknya. Ia disegani baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Dari hal tersebut, beberapa kali ia berkesempatan untuk memerintah sebagai hakim di Baghdad, dalam naungan pemerintahan Abbasiyiah. Selain Baghdad, jabatan hakimnya juga tersemat padanya di kota Ustuwa, sebuah kota di kawasan Naisabur. Karena keahliannya pada hukum Islam inilah, ia mendapat gelar rais al-qudhat atau aqdha al-qudhat (Hakim Agung).[8] Hingga hari wafatnya, al-Mawardi terus memegang jabatan Hakim agung. Jabatan hakim agung terus dipegangnya sampai wafat di tahun 450 H. Dalam sejarah Islam, jabatan terhormat lain yang pernah dipegangnya adalah kedudukannya sebagai duta keliling bagi khalifah Al-Qadir, khalifah yang cendikiawan dan pencinta buku dari 381 H sampai 422 H.[9]
B. Sejarah dan Latar Belakang Penulisan an-Nukat Wa al-'Uyun
Hadirnya kitab ini dari kesungguhan al-Mawardi terhadap ilmu dan al-Qur’an tidak mendapatkan penjelasan secara eksplisit pada kitabnya. Kendati demikian, terdapat beberapa indikator yang ditemukan penulis terkait latar belakang kitab tersebut. Diantaranya adalah, pada masa hidupnya kondisi sosial politik dinasti Abbasyiah sedang bergejolak dan mengalami perpecahan. [10] Sebagaimana yang dialami banyak peradaban, disintegrasi pada masa Abbasyiah adalah buah dari hilangnya sifat amanah pada pejabatnya. Mereka melanggar janji-janji yang diucapkan. Kemudian dikalangan rakyatnya, mereka akhirnya tak percaya dengan kekuatannya sendiri, fanatisme dan saling serang antar mazhab, perebutan wilayah kuasa dengan dinasti Alawiyah, dan kebijakan yang lebih fokus pada pembinaan peradaban dan budaya ketimbang stabilnya politik.
Meskipun demikian, al-Mawardi pandai membaca situasi dan mengambil peran dengan baik. Sehingga ia mendapat jabatan yang strategis dalam pemerintahan. Al-Mawardi merupakan pribadi yang memiliki kapasitas ahli hukum mahdzab syafi’i[11] dan beberapa kali diangkat menjadi Hakim di berbagai kota.. [12] Maka dari itu, dengan kapasitas dan kebijakan wewenang atau otoritas yang ia miliki saat itu memungkinkan untuk menulis sebuah karya tafsir An-nukat Wa Al-‘Uyun yang mana isi didalamnya mengenai tafsir ayat lengkap 30 juz secara ringkas disertai asbabunnuzul, qira’at, kosa kata gramatikal, dan juga terdapat ijtihadnya dalam hukum fiqh mahdzab syafi’i yang kemudian dapat dijadikan sumber rujukan oleh para ulama lainnya.
C. Metode dan Corak Penafsiran
Sebagai seorang ulama’ dan hakim, tentu al-Mawardi memiliki tanggung jawab besar untuk mengungkap makna, hukum, dan ilmu yang jelas maupun tersembunyi dalam Kalamullah. Oleh karena itu, dalam perumusan kitab tafsirnya yakni An-nukat wa al-’Uyun , al-Mawardi menggunakan Metode bayani wal adabi.[13] Metode ini ialah dimana al-Mawardi mengungkap makna dari kata-kata yang samar, dalam artian, tafsir ini bertumpu pada aspek kebahasaan. Setiap kalimah pada ayat ia artikan dengan merujuk kepada qaul sahabat atau sya’ir-sya’ir bahasa arab, hal ini digunakan al-Mawardi untuk mengupayakan objektifitas dalam penafsirannya. Selain itu, ia juga mengumpulkan pendapat ulama salaf (Sahabat, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in) dan ulama khalaf (abad ke-3 hijriyah hingga kini) untuk mendapatkan makna yang menyeluruh, setelah ia mengemukakan pendapat barulah al-Mawardi menyertakan tarjihnya.[14]
Maka secara keseluruhan, tafsir al-Mawardi memiriki beberapa ciri khusus dalam metodologinya, diantaranya adalah:
1. Mengumpulkan qaul ulama salaf dan khalaf yang berkenaan dengan ayat.
2. Menjabarkan secara kebahasaan terkait kata yang terdapat dalam ayat.
3. Ketelitian metode dalam pengumpulan pendapat.
4. Tidak sebatas menggunakan riwayat atau dalil qath’i, al-Mawardi juga mengombinasikan dengan memaparkan perbedaan qira’at dan hukum fiqih.
5. Dalam menggunakan pendapat fiqih, ia menggunakan pendapat syafi'iyyah. Hal ini dikarenakan ia merupakan figur dalam otoritas mazhab syafi’i, maka seringkali ia mentarjih dalam penafsirannya.[15]
Berdasarkan muqaddimah An-nukat wa al-Uyun, al-Mawardi juga menjelaskan rujukan atau referensi dalam kitab tafsirnya. Diantaranya ialah:
1. Dalam ilmu Qira’at ia merujuk pada karya Ibn Khalawih, Abi Ali Hasan bin Ahmad al-Farisi, Abil Fath Usman bin Janiy, dan kitab terkait.
2. Kitab tafsir yang menjadi rujukannya ialah Jami’ul Bayan karya imam at-Thabari.
3. Untuk aspek kebahasaan dan gramatikal bahasa arab, ia merujuk pada ma’ani al-Qur’an.
4. Untuk fiqh, al-Mawardhi hanya menggunakan madzhab imam syafi’i.
Melalui pemaparan al-Mawadi dalam muqaddimahnya, serta bagaimana ia menjelaskan makna sebuah ayat, terdapat kesan bahwa corak dari penafsiran al-Mawardi adalah lughawi dan fiqhi. Corak lughawi dapat difenisikan sebagai tafsir yang memaparkan makna al-Qur’an dengan analisa gramatikal dan kaidah kebahasaan.[16] Adapun corak fiqhi adalah dikarenakan dalam penafsirannya, beliau melakukan tarjih hukum fiqh syafi’i.
D. Karakteristik Penafsiran
Sebelum masuk pada bab surah al-Fatihah, al-Mawardi memberi penjelasan terkait ulumul Qur’an, mencakup nama-nama lain dalam al-Qur’an, kitab-kitab sebelum al-Qur’an, klasifikasi surah dalam al-Qur’an, I’jazul Qur’an, Isti’adzah sebelum membaca al-Qur’an dan lain sebagainya.
Kemudian, sebelum masuk pada ayat pertama setiap surahnya, al-Mawardi menjelaskan profil surat tersebut. Diantaranya ialah klasifikasi kategori surah. Contohnya, dalam surah Al-Fatihah ia menuliskan pendapat qatadah yang mengatakan bahwa surah ini termasuk kedalam makiyyah, sementata menurut mujahid, surah ini masuk dalam kategori madaniyyah. Selain itu diterangkan pula nama-nama lain dari surat tersebut, dalam surat al-fatihah, ia memiliki nama lain yakni fatihatul kitab, ummul qur’an dan sab’ul matsani.[17] Hadits Rasul, pendapat sahabat dan sya’ir yang pernah menjabarkan terkait penyebutan nama lain al-Fatihah juga ia tuangkan didalamnya.
E. Contoh Penafsiran
Latar
belakang dan fokus keilmuan al-Mawardi adalah pada bidang fiqih dan jabatannya sebagai
seorang hakim, dalam hal ini penulis akan mengambil contoh-contoh
penafsiran dalam ayat-ayat hukum, terkhusus hukum dalam ketatanegraan.
Pemimpin Muslim (Al-Maidah: 51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا
يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Pada awal penjelasan, diterangkan
bahwa ayat ini turun kepada bani Quraidzah ketika melanggar perjanjian. Adapun
pendapat lain menegaskan bahwa surat ini turun ketika dua orang Anshar, salah
satunya mengatakan bahwa kebenaran berasal dari Yahudi dan yang lain berkata
kebenaran berasal dari Nasrani.
Dalam penggalan ayat ini, al-Mawardi menjabarkan pendapat pertama yakni ”barangsiapa yang patuh kepada mereka (Yahudi-Nasrani). Maka akan termasuk kedalam kelompok mereka. Walaupun al-Mawardi tidak menerangkan secara langsung kepada konteks bernegara, namun ia secara tegas mengisyaratkan bahwa makna ayat ini ialah tidak boleh mengangkat seorang pemimpin dari kalangan non-muslim. Hal terkait kepemimpinan lebih lanjut ia jabarkan dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah.[19]
Penerapan beryariat dalam negara (As-Syuura: 13)
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى
الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِ
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya).
Dalam ayat ini,
al-Mawardi hanya menjelaskan secara kebahasaan arti dari kata شرع لكم , Dimana yang dimaksud dari kata tersebut
ialah disunnahkan, dijelaskan, dipilihkan atau diwajibkan. Ia tidak mentarjih
atau mengemukakan pendapat mana yang ia ambil dari keempat makna tersebut.[20]
KESIMPULAN
Imam al-Mawardi merupakan seorang ulama, fuqaha, sekaligus hakim (qadhi’) pada masa kekhalifahan Abbasiyah yang lahir di Bashrah pada tahun 364 H/975 M, dan wafat dalam usia 86 tahun pada tanggal 30 Rabiul Awwal 450 H/27 juni 1058 M di Baghdad. Ia menghasilkan banyak karya yang ditulis menjadi sebuah kitab. Diantaranya ialah kitab tafsir lengkap 30 juz bertajuk an-Nukat wa al-‘Uyun.
Kitab ini bercorak lughawi dan fiqhi, dikarenakan al-Mawardi lebih mengupas makna al-Qur’an secara gramatikal, karena latar belakang ilmu Fiqhnya, ia pun seringkali memberikan penjelasan-penjelasan fiqh pada tulisannya. sumber kitab ini berupa hadits Rasul, qaul sahabat maupun tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Maka dapat dikatakan bahwa kitab ini merupakan tafsir bil-ma’tsur, namun dikarenakan setelah kutipan tersebut al-Mawardi memberikan tarjih atau pendapatnya, maka kitab ini juga bisa disebut dengan tafsir bil Ra’yi.
Penulis: Nayla Qonita, Zahra Izzatunnisa
(Mahasiswa Prodi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, UIN RM Said Surakarta)
Pembimbing: Prof. Dr. Moh. Abdul Kholiq Hasan, Lc., M.A., M.Ed.
(Dosen Mata Kuliah Kajian Sejarah dan Dinamika Tafsir Klasik)
[1] Rif’atul Khoiriah Malik,
‘Hermeneutika Al-Qur’an Dan Debat Tafsir Modern: Implementasinya Dengan Masa
Kini’, AT-TURAS: Jurnal Studi Keislaman,
6.1 (2019), pp. 56–76, doi:10.33650/at-turas.v6i1.583.
[2] Aprilita Hajar, ‘Telaah Kritis
Terhadap Kitab-Kitab Tafsir Bi Al-Ma’tsur: Periode Ulama’Mutaqaddimin’, Al Irfani: Journal of Al Qur’anic and Tafsir,
3.2 (2022), pp. 46–61.
[3] Maryam R Aisy and Indah Fatiha,
‘Mengupas Ragam Bentuk Penafsiran Al- Qur ’ an’, 2 (2025).
[4] Abdul Manaf, ‘EMPAT METODE DALAM
PENAFSIRAN AL-QUR’AN’, Jurnal Ilmu
Al-Qur’an Dan Tafsir, 3 (2023), p. 189.
[5] Syariful Anam, ‘Corak
Hermeneutika Al-Mawardi Dalam Kita Al-Nukat Wa Al-Uyun’, 7170.Ijtih di (2023),
doi:doi.org/10.22515/ajipp.v4il.712.
[7] Hoirul Amri, ‘Kontribusi Pemikiran Ekonomi Abu Hasan Al-Mawardi’, Economica Sharia, 2.1 (2016), pp. 9–18.
[8] Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syariat Islam (Darul Falah, 2020).
[9] Agus Handoki, ‘Relasi Agama Dan Negara Dalam Tafsir Al-Nukat Wal Al-Uyun Karya Al-Mawardi’, PTIQ Jakarta, 13.1 (2023), pp. 104–16.
[10] Moch Yunus, ‘Pemikiran Politik Imam Al-Mawardi Tentang Pengangkatan Imam (Khalifah)’, Jurnal Keislaman, 6.2 (2020), pp. 191–209, doi:https://doi.org/10.36835/humanistika.v6i1.319.
[11] Muhammad Amin, ‘Pemikiran Politik Al-Mawardi’, Jurnal Politik Profetik, 4.2 (2016), pp. 117–36, doi:10.24252/jpp.v4i2.2744.
[12] Anam.
[13] Anam.
[14] abu hasan ali bin muhammad Al-mawardi, ‘An-Nukat Wa Al-Uyun Juz Al-Awwal’ (Daarul Kutub ilmiyyah).
[15]Al-mawardi, ‘An-Nukat Wa Al-Uyun Juz Al-Awwal’.
Komentar
Posting Komentar