Kitab Tafsir Ath-Thabari: Rujukan Penting dalam Dunia Tafsir

Al-Qur'an memberikan pedoman universal yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Namun, memahami serta mentadaburi makna dari kalam Allah tentu kurang memuaskan dengan melalui pembacaan saja. Diperlukan pemahaman ilmiah, pendekatan metodologis untuk mengungkap pesan-pesan ilahiah yang tersembunyi di balik teks. Salah satu ulama terkemuka yang memberikan kontribusi besar dalam disiplin ini adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari, seorang cendekiawan abad ke-4 Hijriyah yang karyanya tetap menjadi rujukan utama hingga saat ini.[1]

Ath-Thabari dikenal melalui tafsir monumentalnya. Dalam karya tersebut terdapat pembahasan luas dan menggunakan metode penafsiran yang unik. Ia mengombinasikan pendekatan tradisional, dengan berdasarkan kalam Allah, hadis, dan pendapat sahabat, dengan analisis kebahasaan dan pemikiran rasional (tafsir bil-ra’yi). Kombinasi ini mencerminkan keahlian intelektual Ath-Thabari dalam mengintegrasikan dua pendekatan yang sering dianggap berlawanan. Motivasi Ath-Thabari dalam menulis kitab ini berkaitan dengan kondisi umat Islam pada masanya. Ia merasa prihatin melihat banyak orang tidak bisa menelaah kalam Allah. dengan nya, ia menyusun panduan yang sistematis supaya manusia dapat menelaah kalam Allah. Sebagai ahli lughoh, ia juga menekankan keindahan sastra al-Qur'an melalui kajian balaghah (gaya bahasa) dan nahwu (tata bahasa).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji metode dan corak penafsiran yang diterapkan oleh Ath-Thabari dalam karyanya. Selain itu, penelitian ini juga membahas bagaimana pendekatan Ath-Thabari dapat membantu memahami al-Qur'an secara holistik. Kajian terhadap Jami' al-Bayan tidak hanya penting untuk menyoroti kontribusi Ath-Thabari dalam ilmu tafsir, tetapi juga untuk menunjukkan relevansi tradisi klasik Islam dalam konteks studi kontemporer.

A. Mengenal Ath-Thabari

Abu ja’far tinggal di wilayah Tabaristan yang terletak di pantai selatan Laut Tabaristan. Nama daerah tersebut menjadi asal usul gelar “Thabari” yang dinisbatkan kepadanya.[2] Para ahli sejarah menyebutkan bahwa Tabaristan adalah daerah pegunungan yang dihuni oleh penduduk yang terampil dalam perang. Ibnu Jarir sendiri dikenal sebagai Ulama yang menguasai beberapa disiplin keilmuan. Ayahnya, Jarir bin Yazid, adalah seorang saudagar ternama yang juga dikenal sebagai pencinta ilmu dan ulama yang selalu mendorong putranya untuk menuntut ilmu. Ibnu Jarir memulai studinya sejak usia sangat muda dan menunjukkan kecerdasan yang luar biasa di usianya.

Saat perjalanan menuntut ilmu, at-Thabari memulai langkah awalnya di tanah kelahirannya, Amul, dengan semangat dan kecerdasan yang luar biasa. Keinginan kuat untuk memperdalam ilmu mendorongnya untuk menuju Baghdad, Bashrah, Kufah, misro, untuk belajar dari para ulama terkemuka. Berkat usahanya, At-Thabari berhasil menguasai berbagai disiplin keilmuan. Beliau hafal kalam Allah beserta berbagai Riwayat Qiro’ahnya, serta memahami makna ahkam yang terkandung di dalamnya. Metode yang digunakan beliau umtuk mencari ilmu antara lain dengan Qona’ah, menghafal, mencatat apa yang mereka ajarkan. Perjalanan pertamanya dimulai di kota Ray, tempat ia menetap selama lima tahun dan belajar dari guru-gurunya.

Pada usianya yang sangatlah muda, beliau melanjutkan perjalanannya menuju Baghdad dengan tujuan untuk belajar dari Ahmad ibn Hanbal, seorang ahli hadis dan fiqih terkenal. Namun, ia sampai di Baghdad setelah Ahmad ibn Hanbal wafat. Di Baghdad, At-Thabari memperdalam ilmu hadis, fiqih, dan Al-Qur’an. Selanjutnya, ia menuju Bashrah dan Kufah, di mana ia mempelajari lebih dari 100.000 hadis dari Syekh Abu Kuraib serta belajar Qira’at dari Sulaiman bin Abd al-Rahman bin Hamad. Perjalanan ilmiahnya berlanjut ke Mesir, dengan singgah sebentar di Damaskus, di mana ia belajar hadis dari Ibrahim Al-Juzani. Pada tahun 253 H, At-Thabari tiba di Mesir dan bertemu dengan Abu al-Hasan al-Siraj al-Masri. Setelah beberapa waktu di Mesir, ia melanjutkan perjalanannya ke Syam untuk mendalami ilmu Qira’at.[3] Selanjutnya, beliau memutuskan ke misro untuk kesekian kalinya dengan tujuan mempelajari Syafi’iyah.

Kota Baghdad akhirnya menjadi tempat tinggal terakhir bagi Ibnu Jarir ath-Thabari, di mana ia menghabiskan banyak waktunya untuk menulis karya-karya monumental. Ketika wafat, Ia dimakamkan di dalam rumahnya, tepatnya di Rahbah Ya’qub. Dalam hal pemahaman teologinya, Ath-Thabari menganut Ahlusunnah wal Jamaah. Sedangkan dalam fiqih, beliau mengikuti mazhab al-Jaririyah. Meskipun awalnya seorang Syafi’iyah, Ath-Thabari banyak menjelaskan terkait ahkamul fiqhi hingga ia membuat mazhabnya sendiri dan dikenal dengan nama al-Jaririyyah. Beliau banyak dikenal sebagai sosok yang rajin melakukan 'ubudiyyah. Dikisahkan bahwa beliau pernah mengalami kelaparan dan terpaksa menjual pakaiannya karena keterlambatan nafkah yang biasa dikirimkan oleh orang tuanya.

Ath-Thabari menghabiskan sisa hidupnya di Baghdad, fokus pada membaca, beribadah, menulis, mengajar, dan menghindari jabatan kenegaraan. Beliau hidup membujang, tidak menikah, dan tidak memiliki anak. Ia hanya fokus pada ilmu pengetahuan, memperkaya dirinya dengan menulis, serta menyibukkan diri dengan mengajar murid.

B. Latar Belakang Penulisan

Penyusunan ini berawal dari kekhawatiran dan keprihatinan At-Thabari terhadap umat Islam pada masa itu, di mana umat Islam tidak mampu dalam menelaah kalam Allah. Melihat kondisi ini, ath-Thabari merasa terdorong untuk memberikan kontribusi yang lebih besar. Ath-Thabari berinisiatif menunjukkan kepada umat Islam kelebihan dan kedalaman makna al-Qur’an. Ia berusaha menggali dan mengungkapkan berbagai makna Al-Qur’an melalui pendekatan yang mendalam, dengan memanfaatkan berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu balaghah (retorika), dan ilmu-ilmu lainnya. Melalui karya ini, Ath-Thabari berharap dapat menyumbangkan penafsiran Al-Qur’an secara gamblang sehingga umat Islam dapat lebih menghayati dan memahami isi Al-Qur’an dengan benar. Ditambah beliau merupakan seorang sastrawan Arab, tak heran jika retorika dalam penyampaiannya terkesan indah, yang sastrawan lain jarang memilikinya. 

Kitab Jami’ul Bayan ditulis oleh Ibnu Jarir dengan sistematika tartib mushaf.[4] Yang berarti  setiap tafsirannya berdasarkan pada urutan dalam mushaf utsmani. memuat seluruh 30 juz yang diterbitkan oleh Dar al-Fikr Beirut pada tahun 1984. Pembagian juz dalam kitab ini dimulai dari Jilid 1 yang mencakup Juz 1, hingga Jilid 15 yang mencakup Juz 30. Karya monumental ini merupakan hasil usaha Ath-Thabari yang didiktekan kepada murid-muridnya selama tujuh tahun, dari tahun 283 hingga 290H. Tafsir ini berfungsi sebagai sarana untuk memberikan pemahaman mendalam tentang makna Al-Qur'an, menggali makna-makna tersiratnya, serta memperkenalkan berbagai disiplin ilmu bahasa Arab seperti nahwu dan balaghah untuk memperjelas pemahaman umat Islam terhadap wahyu Allah.

C. Metode dan Corak Penafsiran

Abad keempat hijriyah menjadi zaman dimana Tafsir Al-Qur’an dimulai yang dipelopori oleh Ibnu Jarir melalui karya tafsir monumentalya yang berjudul Jami’ ul-Bayan fi TafsirilQur’an. Dengan Pendekatan bil-matsur. Untuk menulis, ia memulai dengan mengumpulkan sumber-sumber tafsir dari Al-Qur'an itu sendiri, hadis, dan ijtihad para sahabat. Selain merujuk pada hadis, ia juga mengandalkan pemahaman bahasa. Dalam tafsirnya, ia membandingkan dan mentarjih (memilih) antara satu pendapat dengan yang lainnya. Ath-Thabari memiliki ciri khas dalam menggunakan istinbath dan mengulas aspek I'rab yang relevan. Selain itu, ia juga sering mengaplikasikan rasio (ra'yun) dalam penafsiran, meskipun tidak selalu berdasar pada riwayat, dan ia kadang-kadang mentarjih pendapat yang dianggapnya lebih tepat.Selain mengadopsi sistem isnad, Tahili menjadi metode ath-thabari dalam menafsirkan Al-Qur’an.  Dengan cara ini, dalam perkembangannya, tidak hanya mengandalkan sabda nabi, namun melibatkan akal pribadi sebagai sumber tafsir. 

Ath-thabari merupakan seorang dengan kemampuan balaghah yang sangat baik tak hanya itu ia merupaan sosok ahli sastra yang nampak melalui cara beliau menafsirkan yang tidak jarang menggunakan syair dan membahas dari segi i’rob. Corak tafsir yang ditulis oleh Ath-Thabari cenderung lebih berfokus pada aspek kebahasaan dan fikih, dengan dominasi yang lebih besar pada kebahasaan. Hal ini terlihat jelas dalam hampir setiap ayat yang ditakwilkannya, di mana ia banyak mengkaji persoalan-persoalan seperti kebahasaan yang hanya dibahas secara singkat dan terasa kurang mendalam. Seandainya Ath-Thabari lebih fokus pada aspek fiqih, kemungkinan besar ia akan mengulasnya secara lebih komprehensif dan mendalam.

D. Contoh Penafsiran

diakses melalui darmakkah.co.uk

Untuk memahami lebih jauh pendekatan dan metode yang digunakan oleh Imam ath-Thabari, dalam kitabnya, ia tidak hanya menyampaikan penafsiran, tetapi juga menyertakan berbagai riwayat dan pendapat ulama terdahulu untuk mendukung argumennya.[5] Berikut adalah salah satu contoh penafsiran beliau yang mencerminkan kedalaman ilmunya. Salah satu contoh interpretasi Imam At-Thabari adalah saat beliau menafsirkan Surat Al-An’am ayat 152. Dalam tafsir ini, beliau memilih salah satu pendapat tafsir setelah memaparkan berbagai pandangan lainnya.

﴿ وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ حَتّٰى يَبْلُغَ اَشُدَّهٗ ۚوَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِۚ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۚ وَاِذَا

قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۚ وَبِعَهْدِ اللّٰهِ اَوْفُوْاۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَۙ ١٥٢ ﴾

Janganlah kamu mendekati (menggunakan) harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, lakukanlah secara adil sekalipun dia kerabat(-mu). Penuhilah pula janji Allah. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu mengambil pelajaran.

Riwayat pertama: Al-Mutsanna meriwayatkan dari Al-Hamani, dari Syarik, yang mendengar dari Laits melalui Mujahid, bahwa maksud dari “kecuali dengan cara yang lebih baik” adalah menggunakan harta tersebut untuk berdagang.

Riwayat kedua: Muhammad bin Al-Husain menyampaikan dari Ahmad bin Muffaddhal, melalui Asbath dari Suddi, bahwa ayat ini merujuk pada pengelolaan harta anak yatim agar berkembang.

Riwayat ketiga: Al-Haris meriwayatkan dari Abdul Aziz, melalui Fudail bin Marzuq Al-Anazi dari Sulaith bin Bilal, yang mendengar dari Ad-Dhahak bin Muzahim. Dalam riwayat ini dijelaskan bahwa wali bertugas mengembangkan harta anak yatim, tetapi tidak diperbolehkan mengambil keuntungan pribadi darinya.

    Abu Ja’far menjelaskan bahwa ayat tersebut bermakna larangan mendekati harta anak yatim kecuali untuk tujuan yang mendatangkan manfaat dan menjaga keberlangsungan hartanya.

    Penafsiran Imam At-Thabari ini menunjukkan betapa beliau sangat memperhatikan berbagai sudut pandang, memilih pendapat yang paling kuat, dan memberikan kejelasan tafsir yang mendalam.

    E. Kelebihan dan Kekurangan

    Sebagai salah satu kitab tafsir paling berpengaruh. Dalam  menyajikan pendekatan yang kaya dan komprehensif dalam menelaah kalam Allah. Untuk memahami keistimewaan karya ini penulis akan memaparkan kelebihan dan kekurangan dalam penafsiran Ath-Thabari:

Kelebihan

a.     Kuat dalam Pendapat dan Analisis: Tafsir Ath-Thabari mengulas berbagai pandangan dan melakukan pentarjihan dalam riwayatnya, serta menjelaskan terkait dengan kebahasaan dan istimbat, yang mencerminkan keilmuan serta validitas pemikirannya.

b.  Penekanan pada Bahasa: Ath-Thabari memberikan perhatian besar pada bahasa sebagai kunci, dengan menekankan keakuratan dalam menyampaikan maknanya.

c.    Ibnu jarir menjaga mufasir tetap berpegang pada konteks, menghindarkan mereka dari subjektivitas dalam penafsiran.

d.     Integrasi Beragam Sumber: Tafsir ini mengutip perawi seperti Ka'ab al-Ahbar, memadukan berbagai pandangan untuk memberikan pemahaman yang lebih menyeluruh.

Kekurangan

a.  Minimnya Penjelasan Konteks Ayat: Ath-Thabari sering tidak memberikan uraian mendalam mengenai asbab al-nuzul atau konteks turunnya ayat, sehingga pemahaman terhadap ayat-ayat tersebut terkadang terasa kurang terhubung dengan konteks sosial dan budaya.[6]

b.      Ibnu jarir tidak jarang mengambil riwayat  yang perawinya menggunakan israiliyat.[7] Ath-Thabari dalam penafsirannya sering kali terjebak dalam pembahasan kebahasaan yang mendalam, sehingga menyebabkan  penafsiran ayat menjadi kurang jelas dalam penjelasannya.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa ibnu jarir memiliki komitmen yang luar biasa dengan pendekatan yang mendalam dan menyeluruh dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ia memberikan sumbangan besar bagi kajian Al-Qur'an. Namun, meskipun unggul dalam analisis kebahasaan, karya Ath-Thabari cenderung kurang mendalami konteks sosial-historis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Jami’ al-Bayan tetap menjadi salah satu rujukan utama dalam tafsir klasik karena kemampuannya mengintegrasikan tradisi dengan pendekatan ilmiah yang inovatif.


Penulis: Muhammad Zakian Ifada, Mohamad Ridwan Hasbulloh, Triyas Setianingsih 

(Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, UIN RM Said Surakarta)

Pembimbing: Prof. Dr. Moh. Abdul Kholiq Hasan, Lc., M.A., M.Ed.

(Dosen Mata Kuliah Kajian Sejarah dan Dinamika Tafsir Klasik)



[1] Rina Susanti, Abidin Bahren, and Sabil Mokodenseho, “Metode Dan Corak Penafsiran Ath-Thabari,” vol. 3, 2023. 

[2] Ahmad Mujahid, “Rekontruksi Penafsiran Ibnu Jarir Al-Thabari (224-310 H/839-923 M) Tentang Ayat-Ayat Gender,” 2021, https://doi.org/DOI: http://dx.doi.org/10.15548/jk.v11i2.361.

[3] Umi Nuriyatur Rohmah, “Qira’ah Dalam Pandangan Ath-Thabari,” Journal of Islamic Studies and History, vol. 1, 2022, https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.35132/assyifa.v1i1.191.

[4] Ibnu Rusydi and Siti Zolehah, “Al-Thabari Dan Penulisan Sejarah Islam; Telaah Atas Kitab Tarikh al-Rusul Wa al-Muluk Karya Al-Tabari,” Al-Afkar: Journal for Islamic Studies 1, no. 2 (2018): 142–59, https://doi.org/10.5281/zenodo.3554866.

[5] Ulfah, Amir Auliah and Basri Mahmud, “Analisis Penafsiran Al-Thabari Terhadap Ayat-Ayat Tabaruj,” Al-Bayan; Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 7, no. 2 (2024): 291–305, https://doi.org/https://doi.org/10.35132/albayan.v7i2.776.

[6] Nabila El Mumtaza Arifin, Luqmanul Hakim, and Faizin Faizin, “Studi Intertekstualitas Tafsir Al-Thabari Dalam Tafsir Ibnu Katsir Tentang Kisah Bani Israil Tersesat Selama Empat Puluh Tahun,” An-Nida’ 44, no. 1 (June 1, 2020): 77, https://doi.org/10.24014/an-nida.v44i1.12503.

[7] Ikhda Mar’atul Khusna, “Kisah Israiliyat Tentang Ya’juj Dan Ma’juj Menurut Tafsir Ibnu Katsir Dan Tafsir Ath-Thabari,” Khulasah; Islamic Studies Journal 5, no. 2 (2023): 85–102, https://doi.org/10.55656/ksij.v5i2.126.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 31-32

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 20-21