Tafsir Isyari: Lathaif al-Isyarat Karya Imam al-Qusyairi
Kemunculan berbagai karya tafsir baik dari mufassir era klasik sampai era kontemporer tentunya tidak terlepas dari kecenderungan seorang mufassir. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kondisi sosial politik, para gurunya, atau mazhab yang dianutnya. Dengan demikian, pemahaman al-Qur'an menjadi sangat beragam, dengan beberapa makna yang disesuaikan dengan pandangan mufassir. Dalam hal ini, sosok mufassir memiliki peran yang signifikan dalam menafsirkan firman Allah, seperti yang dilakukan gerakan sufi dalam menafsirkan firman-firman Allah dengan cara yang dikenal sebagai Tafsir Isyari.
Al-Qusyairi berusaha menafsirkan firman-firman Allah dengan perspektif yang mengedepankan pengalaman spiritual dan penghayatan jiwa. Melalui tafsirnya, al-Qusyairi mengaitkan konsep-konsep tasawuf dengan ayat-ayat al-Qur'an, memberikan wawasan baru tentang hubungan antara Allah dan hamba-Nya. Dengan demikian, Tafsir al-Qusyairi menjadi salah satu sumber yang penting bagi mereka yang ingin mengeksplorasi tafsir yang mengandung nuansa spiritual dalam memahami al-Qur'an.
Penelitian ini akan menjelaskan biografi Syekh al-Qusyairi, tafsirnya yang bernama Lathaif al-Isyarat, karakteristik, metode yang digunakan, corak, serta contoh penafsiran beliau yang kental dengan tasawuf. Maka dari itu jurnal ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan berupa, pertama Bagaimana kisah perjalanan hidup al-Qusyairi. Kedua, Bagaimana latar belakang beliau melakukan penulisan tafsir Lathaif al-Isyarat. Ketiga, Apa metode, corak, dan contoh penafsiran dari kitab tafsir Lathaif al-Isyarat.
A. Mengenal Imam al-Qusyairi
Imam Al-Qusyairi memiliki nama lengkap Abu al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad al-Naisaburi al-Qusyairi.[1] Beliau lahir di Istiwa, kawasan Nasaibur, Iran Timur Laut, di bulan Rabiul Awwal tahun 376 H/986M.[2] Nama asalnya ialah Abdul Karim. Beliau keturunan Bani Qusyayr dari jalur ayahnya, yaitu suku Arab yang tinggal di Khurasan dan keturunan Bani Salam dari jalur ibunya. Beliau mendapatkan laqab al-Qusyairi sebagai sebutan dari salah satu wilayah di Negeri Arab yaitu Qusyair. Istilah Al-Qusyairi juga sebagai penyebutan sebuah marga Sa’ad al-‘Ashirah al-Qahtaniyyah. Sedangkan Julukan an-Naisaburi diperolehnya berdasarkan asal kota yang terletak di Khurasan, di mana pada abad pertengahan menjadi salah satu kota terbesar pada peradaban Islam.
Al-Qusyairi telah mejadi seorang anak yatim sejak kecil sehingga ketika ayahnya meninggalkannya, ia terbiasa untuk membantu bekerja ibunya. Mereka hidup pada masa pemerintahan Ghaznawiyah[3] yang saat itu mengalami krisis ekonomi akibat penerapan pajak yang tinggi dan melanda seluruh daerah disebabkan pertikaian politik yang terus terjadi. Namun, keluarganya tetap mengutamakan pendidikan. Sejak kecil al-Qusyairi memperoleh pendidikan yang baik dibawah bimbingan Abu al-Qasim al-Alimani, guru serta kerabat keluarga al-Qusyairi. Imam al-Qusyairi mempelajari bahasa dan sastra Arab dari al-Alimani. Kemudian saat umurnya beranjak dewasa, ia melakukan perjalanan intelektualnya ke kota Naisabur, yang merupakan salah satu central ilmu pengetahuan di Khurasan saat itu. Disana ia belajar berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, bahasa Arab, tasawuf, fiqh, teologi (kalam), hadits, ilmu keuangan, dan lain sebagainya. Al-Qusyairi melanjutkan kehidupannya bersama pamannya yaitu Abul Qasim al-Yamani, sekaligus belajar bahasa Arab darinya. Selanjutnya, beliau melanjutkan thalabul ‘ilmi dengan para ulama, pemuka agama serta para syekh diantaranya:
1. 1. Abu
Abd Rahman bin al-Husain bin Muhammad al-Azdi al-Sulami al-Naisaburi (325 H/936
M sd 412 H).
2. 2. Abu
Bakar Muhammad bin Abu Bakar al-Tusi (385 H/990 M – 460 H/1067 M) dan Abu al-‘Abbas
bin Sharih untuk belajar ilmu fiqh.
3. 3. Abu
Mansur ‘Abd al-Qahir bin Muhammad al-Baghdadi al-Tamimi al-Afrayaini (w. 429 H)
untuk belajar madzhab syafi’i.
4. 4. Abu
Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al-Asfarayaini (w. 418 H/ 1027 M) untuk
belajar ilmu ushuluddin.
5. 5. Abu Bakr Muhammad bin al-Husain bin Farak al-Ansari al-Shabani (w. 406 H/1015 M) untuk belajar ilmu kalam.[4]
Salah satu guru yang memberikan pengaruh semasa hidupnya yaitu Abu Ali al-Hasan bin Ali al-Naisaburi al-Daqaq (w. 1023 H/ 412 M).[5] Beliau adalah seorang yang sangat terkenal karena keilmuannya di masanya dan bermadzhab syafi’i. Al-Qusyairi berguru kepadanya untuk belajar dan memperdalam ilmu tasawuf. Dari syekh al-Daqaq tersebut akhirnya banyak memengaruhi pemikiran al-Qusyairi hingga pada mazhab dan kalamnya. Dalam bidang fiqh, al-Qusyairī adalah pengikut mazhab syafi’i, mengacu pada mazhab fiqih yang dipelopori oleh Al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i. Dalam bidang teologi, ia merupakan penganut al-Asy'ari, mengacu pada Al-Imam Abū al-Hasan al-Asy'ari. Artinya, al-Qusyairī merupakan salah satu pembela Islam yang paling kuat, yaitu kelompok Ahl al-Sunnah wal jamaah dan merupakan penentang mazhab Mu’tazilah dan Syi’ah. Al-Qusyairi menghabiskan sebagian hidupnya di kota Naisabur, Iran. Syekh al-Daqaq akhirnya menikahkan al-Qusyairi dengan putri kesayangannya yaitu Fatimah[6], dari tahun 405 H/1014 M hingga 412 H/1021 M, dan memiliki enam anak laki-laki dan satu putri.
Mula-mula, ketika peralihan kekuasaan terjadi, penguasa Seljuk, Rukn al-Dunya wa al-Din Tughril memiliki hubungan baik dengan Imam al-Qusyairi. Namun, kebijakan perdana menteri, Mid al-Mulk Abu Nasr al-Kunduri, yang menganut mazhab Hanafiyyah dan berpaham Mu’tazilah yang kuat, membuat kedudukan al-Qusyairi menjadi kurang stabil. Selama pemerintahan al-Kunduri, mihnah dan fanatisme kelompok melanda Naisabur dan wilayah lain. Al-Kunduri menimbulkan ketakutan bagi kelompok Asy'ariyah dan Syafi'iyyah. Pada tahun 436 H/1044 M dalam situasi seperti ini, al-Qusyairi mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa keyakinan al-Asy'ari sepenuhnya sejalur dan tidak menyimpang dengan al-Quran dan Hadis. Dengan demikian, al-Qusyairi dipenjara selama satu bulan tambahan. Tetapi hukuman penjara kepada al-Qusyairi berlangsung singkat karena seorang pemimpin madzhab Syafi’i yaitu Abu Sahl membela al-Qusyairi di pengadilan dan membebaskannya.
Kemasyhuran al-Qusyairi dikarenakan Risalah al-Qusyairiyah yang berisi nasehat kepada kaum sufi dari abad yang sama dengannya. Tujuannya agar menangkal pengaruh mereka yang membebaskan diri dari kewajiban syari’at agar kembali pada syari’at yang harus diteladani oleh kaum sufi. Kemudian terbitlah kitab tafsir yang bernuansa tasawuf yaitu tafsir Lathaif al-Isyarat. Dengan tafsir ini beliau menekankan aspek tasawuf dan spiritualitas di tengah dominasi rasionalisme mu’tazilah yang seringkali mengabaikan makna teks asli al-Qur’an. Keduanya dijadikan induk kajian keilmuan tasawuf. Dikarenakan karya-karyanya tersebut, Qusyairi menjadi tokoh penting dalam bidang kajian tasawuf. Pada abad 5 Hijriyah, al-Qusyairi dinobatkan oleh Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazani sebagai seseorang yang paling berpengaruh dalam dunia tasawuf. Karya-karya beliau lainnya antara lain; Balaghah al-Maqashid fi al-Tasawuf, Hayat al-Arwah dan Al-Fushul fi al-Ushul, Istifadhah al-Muradat, al-Ajwibah fi Ushul al-Asilah, al-Dalil ila Thariq al-Shalah, Al-Luma’ fi al-I’tiqad, At-Tahbir fi Tadzkir.[7]
Al-Qusyairi menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 87 tahun, ahad pagi tanggal 16 Rabiul Akhir di Naisabur, tahun 465 H/1073 M.[8] Jenazahnya dimakamkan di sebelah makam syekhnya, Asy-Syaikh Abu Ali ad-Daqaq.
B. Latar Belakang Penulisan
Al-Qusyairi menulis sebuah kitab tafsir yang bernama Lathaif al-Isyarat yang kental dengan nuansa sufistik yang menjadi hasil dari taqarrub (upaya manusia guna memperdekat diri kepada Allah Swt) dan mujahadahnya (kesungguhan untuk melawan hawa nafsu dan menghindari perilaku yang dilarang Allah Swt) kepada Allah Swt.[9] Kitab ini ditulis oleh Imam al-Qusyairi di tahun 434 H dan terbit pertama di Kairo pada tahun 1917 M.[10] Kemudian, penerbitan kedua pada tahun 1974 M. Kitab tafsir Lathaif al-Isyarat termuat dari 3 jilid. Tafsir ini tergolong ke dalam tafsir yang bercorak sufistik karena disusun oleh al-Qusyairi setelah beliau mengenal dan mempelajari tasawuf dari gurunya.
Tidak ada penjelasan mengenai nama kitab tersebut. Jika dilihat dari susunan katanya, kata Lathaif adalah jama’ dari kata lathifah yang artinya halus dan lembut, sementara al-Isyarat berasal dari kata asyara memiliki arti atau makna tanda, isyarat, atau petunjuk dengan tidak secara langsung.[11] Nama karya kitab tersebut mendeskripsikan sebuah dimensi religiusitas al-Qusyairi yang dalam dan luas, yang menngangkat makna isyarat-isyarat dari Allah SWT. Melalui tafsir ini al-Qusyairi ingin membedah isyarat-isyarat yang terdapat dalam al-Qur’an untuk memperbaiki rohani meliputi hati dan jiwa umat manusia dalam beribadah kepada Allah Swt.[12] Pada muqaddimah, al-Qusyairi menyampaikan bahwa apa yang ia tulis dalam karya tafsirnya merupakan interpretasi isyarat-isyarat dalam al-Qur’an yang dipahami oleh para ahli ma’rifat.[13] Isyarat-isyarat tersebut mengandung makna yang mendalam, meskipun tidak dijelaskan secara rinci. Walaupun al-Qusyairi menguraikan tentang hakikat, ia menegaskan bahwa penjelasannya tidak bertentangan sedikitpun dengan syariat. Karakteristik Tafsir Lathaif al-Isyarat sebagai berikut:[14]
1. 1. Setiap
penafsiran selalu sebelum menjelaskan ayat yang ditafsirkan diawali keutamaan
surat.
2. 2. Menjelaskan terlebih dahulu sisi dzahir suatu ayat dari awal hingga akhir kemudian menafsirkan dari sisi tasawuf.
C. Sumber, Metode, dan Corak Penafsiran
Imam Qusyairi menulis buku ini menjadi dan mencoba sebagai mendamaikan ilmu syariat dan hakikat. Karena beliau berpendapat bahwa sebenarnya kedua ilmu ini tidak memiliki kontradiktif sama sekali. Secara corak kitab tafsir Lathaif Al-Isyarat memiliki nuansa sufi yang sangat kental. Al-Qusyairi selalu mempunyai pemikiran baru yang unggul dalam mengkombinasikan tasawuf dan psikologi pada satu dimensi dan waktu bersamaan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip tasawuf sufistik seperti maqamat dan ahwal (keadaan), Imam al-Qusyairi dalam menafsirkan al-Qur’an berusaha mengaplikasikannya sebagai pendekatan dalam menafsirkan firman-firman Allah, sehingga bisa menjadikannya sebagai dasar penafsirannya dalam mengungkapkan pengalaman sufistik di dalam jiwanya.[15]
Secara metode penafsiran kitab Lathaif Al-Isyarat karangan Syekh al-Qusyairi menggunakan metode penafsiran tahlili. Beliau menafsirkan tidak menafsirkan keseluruhan dari al-Qur’an, menjelaskan menggunakan asbabun nuzul, menerangkan secara per kosa-kata dan beberapa ayat dimaknai secara mendalam dan spesifik.[16]
Disebabkan ini tafsir termasuk tafsir isyari, tafsir isyari adalah menakwilkan ayat al- Qur’an dengan agak menjauh dari makan dzohirnya guna untuk menyingkap isyarat-isyarat yang tersembunyi dan terkandung didalam ayat tersebut, kemampuan menangkap isyarat ini tidak akan nampak kecuali bagi orang yang telah menadapatkan penerangan dari Allah. Melalui pendekatan secara mendalam dan melaksanakan riyadhoh[17] yang jarang orang awam lakukan.[18] Tafsir tasawuf harus diverifikasi berdasarkan 4 hal, diantaranya:
2. Tidak meyakini bahwa makna batin sepenuhnya benar.
3. Dikuatkan dengan makna syariat lain.
Tafsir yang bercorak isyari dengan bil ra’yi dapat divalidasi kebenarannya melalui ulama atau guru-guru para mufassir.
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Huruf “ب”
dalam “بسم الله” menunjukkan bahwa segala
sesuatu terjadi dengan izin Allah. Semua makhluk dan kejadian ada karena Allah.
Tidak ada yang terjadi tanpa kehendak-Nya. Segala sesuatu, baik yang terlihat
maupun yang tidak, berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Dengan
izin-Nya, orang yang beriman mengenal-Nya, dan orang yang ingkar menolak-Nya.
Dengan izin-Nya juga, orang yang mengakui-Nya mengenal-Nya, dan orang yang
berdosa tertinggal.
Mengapa “بسم الله”
dan bukan “بالله”: Ini untuk menunjukkan
keberkahan dengan menyebut nama-Nya. Juga untuk membedakan antara ini dan
sumpah. Nama Allah adalah yang dimaksud oleh para ulama, dan untuk membersihkan
hati dari keterikatan duniawi serta menyucikan rahasia dari hambatan, sehingga
nama “Allah” datang ke hati yang bersih dan rahasia yang murni.
Makna huruf-huruf dalam “بسم الله”:
“ب”
mengingatkan kita akan kebaikan Allah kepada para wali-Nya.
“س”
mengingatkan kita akan rahasia-Nya dengan orang-orang pilihan-Nya.
“م”
mengingatkan kita akan karunia-Nya kepada orang-orang yang dicintai-Nya.
Makna lain dari huruf-huruf tersebut:
“ب”
menunjukkan kebebasan Allah dari segala keburukan.
“س”
menunjukkan kesucian Allah dari segala cacat.
“م”
menunjukkan kemuliaan Allah dengan sifat-sifat-Nya yang agung.
Mengapa “بسم الله الرحمن الرحيم” diulang dalam setiap surah?
Allah mengulang ayat ini di setiap awal surat
sebagai penegasan bahwa setiap surat dimulai dengan keberkahan dan rahmat
Allah. Oleh karena itu, dalam tafsir ini, di setiap surat akan diberikan
pemahaman dan petunjuk yang berbeda terkait ayat ini, agar tidak ada
pengulangan yang sia-sia, melainkan tiap kali membawa makna baru yang dalam.[19]
Selanjutnya akan kami sajikan penafsiran
beliau tentang basmallah yang ada didalam surat an-Nas. " بسم الله "
adalah dengan menyebut nama Allah, yang akal manusia tidak mampu mencapainya
sepenuhnya, sehingga akal tersebut berhenti. Ilmu pengetahuan pun tidak bisa
mencapainya, sehingga membuat para ilmuwan menjadi bingung. Pengetahuan manusia
yang terbatas merasa malu karena tidak bisa menyentuh hakikat-Nya, dan
pemahaman yang paling mendalam pun akhirnya merasa takjub dan kebingungan di
hadapan keagungan-Nya.
Allah, dengan keagungan-Nya, keindahan-Nya, dan kebesaran-Nya,
dapat diketahui oleh manusia. Namun, untuk sepenuhnya memahami atau melingkupi
ilmu tentang-Nya adalah hal yang mustahil. Allah dapat dilihat tanda-tanda
kebesaran-Nya, tetapi tidak ada yang bisa benar-benar memahami hakikat-Nya. Dia
dikenal, tetapi tidak ada manusia yang bisa sepenuhnya menggambarkan atau
menguraikan sifat-sifat-Nya secara lengkap dan benar.[20]
Dari dua kata basmallah yang ditafsirkan oleh Imam al-Qusyairi
ini bisa kita pahami memang beliau selalu ingin menyajikan makna baru walau
dari kata atau frasa yang sama. Dan ini menjadi keunikan tersendiri karena
tidak semua mufassir melakukan hal yang seperti ini. Ini bisa menjadi sisi
positif dan bisa juga menjadi sisi negatif tergantung pada bagaimana pembaca
memandang hal tersebut.
Selain dari kata basmallah yang selalu ditafsirkan berbeda
oleh syekh al-Qusyairi beliau juga sering kali menukil pendapat ulama namun
tidak menyebutkan penukilnya. Hal ini menyebabkan sulit dalam menganalisis
kebenaran dan keabsahannya bagi pembaca. Contohnya dalam surat al-Humazah,
beliau hanya menggunakan kata ” يقال”
saja tidak menyebutkan nama dari orang yang mengatakan, berikut isi tafsirnya:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (1)
يقال: رجل همزة لمزة: أي كثير الهمز والّلمز
للناس وهو العيب والغيبة.
ويقال: الهمزة الذي يقول في الوجه، والّلمزة
الذي يقول من خلفه.
ويقال: الهمز الإشارة بالرأس والجفن وغيره،
واللّمز باللسان.
ويقال: الهمزة الذي يقول ما في الإنسان،
واللّمزة الذي يقول ما ليس فيه.
Dalam
menafsirkan ayat ini, Imam al-Qusyairi mengutip 4 pendapat dalam memaknai kalimat
“هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ” [21]sebagai
berikut:
1) Orang yang banyak menyebarkan aib
dan melakukan ghibah
2) “هُمَزَةٍ”
untuk orang yang mengumpat didepan wajahnya dan “لُمَزَةٍ”
untuk orang yang mecela dibelakangnya
3)
“هُمَزَةٍ”
diartikan mengumpat dengan isyarat kepala, mata dan lain sebagainya sementara “لُمَزَةٍ” diartikan untuk orang yang mengumpat
dengan lisan
4)
“هُمَزَةٍ”
ditafsirkan dengan mengumpat sesuatu yang berkaitan dengan manusia sementara “لُمَزَةٍ” tentang sesuatu yang tidak ada didalam
manusia
Berdasarkan penafsiran yang beliau lakukan, kita menemukan bahwa beliau mengutip beberapa pendapat
namun tidak mencantumkan kepemilikan pendapat. Hal ini memang memberikan kita
pandangan dan pemahaman yang lebih luas. Namun membuat kita juga kesulitan
dalam mengecek dan memvalidasi pendapat ini benar atau salah.
Dan tentunya karena tafsir ini bercorak sufi isyari sehingga banyak ditemukan penafsiran ayat yang menggunakan isyarat-isyarat tanpa menyalahi makna dzahirnya. Dan dalam menandai hal ini atau sebagai bukti, beliau sering menggunakan lafazh “والاشارة منه” atau “ اشار الى” dan lain sebagainya sebagai tanda bahwa itu adalah isyarat dari beliau, contohnya dalam surat al-An’am ayat 83 yang berbunyi:
وَتِلْكَ حُجَّتُنا آتَيْناها إِبْراهِيمَ عَلى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجاتٍ مَنْ نَشاءُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
أَشَارَ إِلَى تَرَقُّيِهِ مِن شَهَادَةِ آيَاتِهِ إِلَى إِثْبَاتِ ذَاتِهِ، وَذَٰلِكَ تَرْتِيبُ أَهْلِ السُّلُوكِ فِي وُصُولِهِمْ إِلَى اللّهِ، فَالْتَّحَقُّقُ بِالْآيَاتِ الَّتِي هِيَ أَفْعَالُهُ وَمُرَاعَاةُ ذَٰلِكَ وَهِيَ الأُولَى، ثُمَّ إِثْبَاتُ صِفَاتِهِ وَهِيَ الثَّانِيَةُ، ثُمَّ التَّحَقُّقُ بِوُجُودِهِ وَذَاتِهِ وَهُوَ غَايَةُ الْوُصُولِ، فَبِرُسُومِهِ يُعَرَّفُ الْعَبْدُ نَعُوتَهُ، وَبِنعُوتِهِ يُعَرَّفُ ثَبَاتُهُ[22].
Mengisyaratkan tentang perjalanan spiritual seseorang menuju Allah. Prosesnya terdiri dari beberapa langkah:
Tahap pertama: Melihat dan menyaksikan tanda-tanda (ayat) Allah di alam, yang merupakan perbuatan-Nya. Ini adalah langkah awal yang penting.
Tahap kedua: Mengakui dan memahami sifat-sifat Allah. Di sini, seseorang mulai menyadari sifat-sifat-Nya yang agung.
Tahap ketiga: Mencapai kesadaran akan keberadaan dan hakikat Allah. Ini adalah puncak dari perjalanan spiritual dan tujuan akhir.
Dengan melihat
tanda-tanda-Nya, seorang hamba dapat mengenal sifat-sifat Allah, dan melalui
sifat-sifat tersebut, ia bisa memahami keberadaan Allah dengan lebih dalam.
KESIMPULAN
Imam Al-Qusyairi terlahir di dunia pada tahun 376 H di Istiwa, Naisabur, Iran. Dalam perjalanan intelektualnya al-Qusyairi banyak menimba ilmu dengan para guru-gurunya tentang berbagai aspek ilmu seperti ilmu keuangan, fiqih, Bahasa Arab, dan tasawuf. Namanya terkenal masyhur dikalangan zamannya karena Risalah al-Qusyairiyah sebagai nasehat kepada kaum sufi sezamannya. Kemudian beliau menulis tafsir Lathaif al-Isyarat yang bercorak isyari.
[1] MA Achlami HS and Siti Huzaimah, “The Sufism of Abū Al-Qāsim Al-Qusyairī,”
Proceedings of the 1st Raden Intan
International Conference on Muslim Societies and Social Sciences (RIICMuSSS
2019) 492, no. RIICMuSSS 2019 (2020): hlm 33.
[2] Omar S.H.S. et al., “Nature of Af’al According to Imam Al-Qushayri in the
Book ‘At-Tahbir Fi At-Tazkir,’” International
Journal of Academic Research in Business and Social Sciences 7, no. 8
(2017), hlm 259.
[3] Baidawi Baidawi and Ihwan Amalih, “Konsep Ilmu Ladunî Dalam Al-Quran
(Study Atas Tafsir Sufi Al-Qusyairi Dalam Lataif Al-Isyarat),” El-Waroqoh : Jurnal Ushuluddin dan Filsafat
4, no. 2 (2020), hlm 185.
[4] Luthfi Maulana, “Studi Tafsir Sufi: Tafsir Latha’if Al-Isyarat Imam
Al-Qusyairi,” Hermeneutik 12, no. 1
(2019): hlm 7.
[5] Anisa Listiana, “Menimbang Teologi Kaum Sufi Menurut Al-Qusyairi Dalam
Kitab Al-Risālah Al-Qusyairiyah,” Kalam:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 7, no. 1 (2017): hlm 202.
[6] Deniansyah Damanik, “Moderasi Beragama Sufi: Sikap Dan Pemikiran Imam
Al-Qusyairi,” Jurnal Moderasi: the
Journal of Ushuluddin and Islamic thought, and Muslim Societies 17, no. 1
(2022): hlm 190.
[7] Khaerul Anwar, “Nahwu Sufistik: Kajian Tasawwuf dalam Kitab Nahw al-Qulub Karya Imam al-Qusyairi,” Tsaqofiya :
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Arab 75, no. 17 (2021): hlm 167.
[8] Hamdan Maghribi and Alfina Hidayah, “Between Salafi and Sufi: Ibn
Taimiyyah’s Critique of Al-Qusyairi’s Views on Sufism,” Tsaqafah: jurnal Peradaban Islam 19, no. 2 (2023): hlm 477.
[9] M. Minanur Rohman, “De-Radicalization of Interpretation the Concept of Jihad in Tafsir Al-Qusyairi,” Jurnal At-Tibyan: Jurnal Al-Qur’an dan Tafsir 5, no. 2 (2020): hlm 329.
[10] Abdul Ghoni and Hari Fauji, “Kajian Metodologis Dalam Kitab Tafsir Lathaif Al-Isyarat Karya Imam Al-Qusyairi,” Mashadiruna: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 2, no. 2 (2023): 237–243.
[11] Maulana, “Studi Tafsir Sufi: Tafsir Latha’if Al-Isyarat Imam Al-Qusyairi.” Hermeneutik 12, no. 1 (2019): hlm 8
[12] Abdul Ghoni and Hari Fauji, “Analisis Kajian Metodologis Atas Kitab Tafsir Lathaif Al-Isyarat Karya Imam Al-Qusyairi,” Jurnal Iman dan Spiritualitas 3, no. 1 (2023): hlm 20.
[13] Al-Qusyairi, Lathaif Al-Isyarat (Mesir, 1977).
[14] N A Kamal and S M Munawwaroh, “Metode Tafsir Lathaif Al-Isyarat Karya Imam Al-Qusyairi,” Jurnal Iman dan Spiritualitas 1 (2021): 40–46, hlm 42.
[15] Ghoni and Fauji, “Kajian Metodologis Dalam Kitab Tafsir Lathaif Al-Isyarat Karya Imam Al-Qusyairi.”Mashadiruna: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 2, no. 2 (2023): Hlm 240.
[16] T Mairizal and Siti Marwah, “Makna Syukur Dalam Perspektif Mufassir Al-Qusyairi,” Istifham:Journal of Islamic Studies 1, no. 3 (2023): hlm 216.
[17] Irwan Muhibudin, “Tafsir Ayat-Ayat Sufistik (Studi Komparatif Tafsir Al-Qusyairi Dan Al-Jailani” (UIN Syarif Hidayatullah, 2018), http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/40554.
[18] Surya Alfathah, Asep Ahmad Fathurrahman, and Ade Jamarudin, “Shaawat Perspektif Tafsir Sufi (Studi Komparasi Tafsir Al-Jailani Dan Tafsir Lathaif Al-Isyarat),” Tafakkur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 3, no. 2 (2023): hlm 163.
[19] Al-Qusyairi, Lathaif Al-Isyarat Juz 1, hlm 42.
[20] Ibid. hlm 878
[21] Al-Qusyairi, Lathaif Al-Isyarat Juz 3, hlm 766.
[22] Ibid. Juz 1 hlm 486
Komentar
Posting Komentar