Tafsir Al-Ikhlas (ayat 2) - TERLENGKAP

Dr. KH. Moh. Abdul Kholiq Hasan Lc.MA.M.Ed

 

2-    اللَّهُ الصَّمَدُ

“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”

 

Setelah Allah menegaskan ke-Esaan-Nya yang muthlaq dan sempurna, dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia adalah dzat yang menjadi tumpuan seluruh makkluq yang ada di seluruh jagat raya ini. Semuanya membutuhkan kepada-Nya..Tidak ada satupun makhluk di muka jagat ini yang tidak membutuhkan dan bertumpu kepada-Nya. Sekalipun sejara dhahir, ada sebagian makhluk itu bertumpu kepada lainnya, namun pada akhirnya ia pun bertumpu kepada-Nya. Dia-lah Allah as-ShamadTuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”. Maka tidak benar jika kita sebagai seorang mukmin sejati mengantungkan diri kita kepada selain Allah, karena ia sendiri lemah, tidak memiliki kemampuan apapun dan butuh kepada Allah. Dengan kata lain, ikhtiyar apapun yang kita lakukan, maka kita tidak boleh bergantung kepadanya. Karena hakekat ikhtiyar itu hanyalah sarana. Bukan sebagai penentu. Penentu hakiki adalah Allah, maka kita bergantung hanya kepada-Nya. Selain Allah adalah lemah, maka tidak pantas untuk dijadikan Tuhan sesembahan. Allah berkalam, “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.”(Qs. Al-Haaj:73).

 

Kata (الصَّمَدُ) yang berasal dari kata “sh-ma-da” secara bahasa memiliki perngertian sekitar dua makna yaitu tujuan dan kekukuhan atau kepadatan, tidak kosong di dalamnya. Dalam segi penggunaan kata “shamad” dapat digunakan untuk Allah, manusia atau lainnya. Namun kata “ash-Shamad” dengan ada tambahan “al” didepan kata tersebut menjadikan kata tersebut ma`rifah (definit) yang hanya dapat digunakan sebagai sifat khusus untuk Allah swt. Jadi, Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Sekalipun makhluk juga meliki sifat shamadiyyah (tumpuan harapan) namun tidak sempurna, berbeda dengan Allah swt. Karenanya Allah adalah tumpuan harapan satu-satunya. Dialah ujung dan puncak segala tujuan, dimana seluruh makhluk menjadikan-Nya sebagai tujuan untuk memenuhi seluruh hajatnya. Kebutuhan segala sesuatu dalam wujud ini tidak tertuju kecuali kepada-Nya dan yang membutuhkan sesuatu apapun itu bentuknya, tidak boleh mengajukan permohonannya kecuali kepada Allah yang Maha Kuasa dan Kaya. Dan manusia yang diberikan oleh Allah untuk memilih, apabila bermaksud untuk mendapatkan sesuatu, maka wajib baginya untuk berikhtiyar semaksimal mungkin sesuai dengan ketantuan syariah dengan melihat kaitannya sebab dan akibat. Tetapi tetap pada akhirnya ia harus mengembalikan segalanya kepada Allah. [1] Demikian itu adalah hakekat tawakkal yang benar.


Didalam ayat ini dipertegas juga konsep ketuhanan dalam Islam. Dimana Allah selain Esa secara muthlaq, Allah juga menjadi satu-satunya tumpuan dan tujuan bagi seluruh makhluq agar terpenuhi seluruh hajatnya. Maka apabila ada sebagia orang yang mempertuhankan sesuau, padahal ia tetap membutuhkan kepada yang lain untuk bertumpu dan memenuhi hajatnya, maka ia tidak pantas untuk dipertuhankan dan dijadikan sebagai sesembahan. Karena itu, ayat ini secara tegas menolak konsep ketuhanan orang nashrani yang menjadikan Isa sebagai Tuhan, padahal ia tetap membutuhkan makan dan minum, bahkan ibunya sendiri yang melahirkannya pun tetap membutuhkan makan dan minum untuk hidup. Sebagaimana Allah swt kabarkan, “

مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ انْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْآَيَاتِ ثُمَّ انْظُرْ أَنَّى يُؤْفَكُونَ (75)

Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan[433]. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).



[1] - Lih: al-Miizân fi Tafsir al-Qur’ân,Sayid Muhammad Husain Thabathabai, hh. 20/ 449-450, Ensiklopedia al-Qur`an, h.3/899, Mufradaat al-Faadhul Qur`an, h. 1/592, Al-Lubab Fii Ulumil Kitab, Abu Hafsh al-Hambali, h. 20/60-6, al-Muharrar al-wajiiz, Ibnu `Athiyah, h. 5/502.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 188-191

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 192-194