Tafsir Al-Ikhlas (ayat 2) - TERLENGKAP
2- اللَّهُ الصَّمَدُ
“Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu”
Setelah Allah menegaskan ke-Esaan-Nya yang
muthlaq dan sempurna, dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia adalah dzat
yang menjadi tumpuan seluruh makkluq yang ada di seluruh jagat raya ini.
Semuanya membutuhkan kepada-Nya..Tidak ada satupun makhluk di muka jagat ini
yang tidak membutuhkan dan bertumpu kepada-Nya. Sekalipun sejara dhahir, ada
sebagian makhluk itu bertumpu kepada lainnya, namun pada akhirnya ia pun
bertumpu kepada-Nya. Dia-lah Allah as-Shamad “Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”. Maka tidak benar jika kita
sebagai seorang mukmin sejati mengantungkan diri kita kepada selain Allah,
karena ia sendiri lemah, tidak memiliki kemampuan apapun dan butuh kepada
Allah. Dengan kata lain, ikhtiyar apapun yang kita lakukan, maka kita tidak
boleh bergantung kepadanya. Karena hakekat ikhtiyar itu hanyalah sarana. Bukan
sebagai penentu. Penentu hakiki adalah Allah, maka kita bergantung hanya
kepada-Nya. Selain Allah adalah lemah, maka tidak pantas untuk dijadikan Tuhan
sesembahan. Allah berkalam, “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka
dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain
Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka
bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka,
tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang
menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.”(Qs. Al-Haaj:73).
Kata
(الصَّمَدُ) yang berasal dari kata “sh-ma-da” secara
bahasa memiliki perngertian sekitar dua makna yaitu tujuan dan kekukuhan atau
kepadatan, tidak kosong di dalamnya. Dalam segi penggunaan kata “shamad” dapat
digunakan untuk Allah, manusia atau lainnya. Namun kata “ash-Shamad” dengan ada
tambahan “al” didepan kata tersebut menjadikan kata tersebut ma`rifah (definit)
yang hanya dapat digunakan sebagai sifat khusus untuk Allah swt. Jadi,
Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Sekalipun makhluk juga meliki sifat shamadiyyah
(tumpuan harapan) namun tidak sempurna, berbeda dengan Allah swt. Karenanya
Allah adalah tumpuan harapan satu-satunya. Dialah ujung dan puncak segala
tujuan, dimana seluruh makhluk menjadikan-Nya sebagai tujuan untuk memenuhi
seluruh hajatnya. Kebutuhan segala sesuatu dalam wujud ini tidak tertuju
kecuali kepada-Nya dan yang membutuhkan sesuatu apapun itu bentuknya, tidak
boleh mengajukan permohonannya kecuali kepada Allah yang Maha Kuasa dan Kaya.
Dan manusia yang diberikan oleh Allah untuk memilih, apabila bermaksud untuk
mendapatkan sesuatu, maka wajib baginya untuk berikhtiyar semaksimal mungkin
sesuai dengan ketantuan syariah dengan melihat kaitannya sebab dan akibat.
Tetapi tetap pada akhirnya ia harus mengembalikan segalanya kepada Allah. [1]
Demikian itu adalah hakekat tawakkal yang benar.
Didalam
ayat ini dipertegas juga konsep ketuhanan dalam Islam. Dimana Allah selain Esa
secara muthlaq, Allah juga menjadi satu-satunya tumpuan dan tujuan bagi seluruh
makhluq agar terpenuhi seluruh hajatnya. Maka apabila ada sebagia orang yang
mempertuhankan sesuau, padahal ia tetap membutuhkan kepada yang lain untuk
bertumpu dan memenuhi hajatnya, maka ia tidak pantas untuk dipertuhankan dan
dijadikan sebagai sesembahan. Karena itu, ayat ini secara tegas menolak konsep
ketuhanan orang nashrani yang menjadikan Isa sebagai Tuhan, padahal ia tetap
membutuhkan makan dan minum, bahkan ibunya sendiri yang melahirkannya pun tetap
membutuhkan makan dan minum untuk hidup. Sebagaimana Allah swt kabarkan, “
مَا
الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ
وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ انْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ
لَهُمُ الْآَيَاتِ ثُمَّ انْظُرْ أَنَّى يُؤْفَكُونَ (75)
Al
Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu
sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya
biasa memakan makanan[433]. Perhatikan bagaimana Kami
menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian
perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami
itu).
[1] - Lih: al-Miizân
fi Tafsir al-Qur’ân,Sayid Muhammad Husain Thabathabai, hh. 20/ 449-450, Ensiklopedia al-Qur`an, h.3/899, Mufradaat al-Faadhul Qur`an, h.
1/592, Al-Lubab Fii Ulumil Kitab, Abu Hafsh al-Hambali, h. 20/60-6, al-Muharrar al-wajiiz, Ibnu `Athiyah, h. 5/502.
Komentar
Posting Komentar