Tafsir Al-Ikhlas (ayat 1) - TERLENGKAP

Dr. KH. Moh. Abdul Kholiq Hasan Lc.MA.M.Ed

 


1-    قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa

 

Menjadi salah satu tujuan pokok al-Qur`an diturunkan adalah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Diantara petunjuk pokok yang disampaikan al-Qur`an adalah tentang konsep ketuhanan. Karena tidak dipungkiri banyak orang telah sesat dalam masalah ketuhan. Sehingga menjadikan bebatuan, pohon, bulan, matahari, api atau makhluk lain yang dianggap memiliki kekutan lebih dijadikan sebagai tuhan sesembahan. Atau bahkan ada sebagian umat yang telah sampai kepadanya tentang konsep ketuhanan yang benar seperti umat nabi Musa dan Isa, namun ternyata setelah kematian nabi mereka banyak diantara umatnya yang mengkaburkan konsep ketuhanan tersebut. Misalkan dengan cara menyekutukan Tuhan dengan makhluq-Nya, sehingga konsep ketuhan tersebut tidak lagi murni. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur`an.Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah." Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? (Qs. At-Taubah:30).

 

Oleh karena itu surat ini turun untuk menginformasikan kepada orang yang belum kenal dengan konsep ketuhanan yang benar. Sekaligus meluruskan konsep-konsep ketuhan para nabi terdahulu yang dikaburkan oleh umatnya. Karena pada dasarnya konsep ketuhanan antara satu nabi dengan nabi lainnya adalah sama yaitu yang dikenal dengan sebutan risalah tauhid. Sebagaimana Allah jelaskan, “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama ( Yaitu: meng-Esakan Allah s.w.t., beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan larangan-Nya).dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Qs. Asy-Syura:13).

Kata (قُلْ) “Katakanlah”, menunjukkan bahwa al-Qur`an yang kita baca sekarang ini adalah bukan karangan Muhammad saw atau hasil kreatifitas orang arab. Rasulullah hanya sebagai penyampai apa yang telah diterimanya dari Tuhan-Nya. Tidak menambah, mengurangi apa lagi merubahnya. Semua telah disampaikan kepada umatnya seperti apa adanya wahyu itu diterimanya dari Jibril. Sebagaimana Allah jelaskan dalam kalam-Nya, "Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat). (Qs. Yunus :13).

 

Kalaupun sendainya ada sesuatu yang wajar untuk dibuang -karena mungkin sebagian orang menganggap tidak bermakna- adalah kata qul yang didalam al-Qur`an ada sebanyak 332. Namun kata qul sebanyak itu sampai sekarang tetap tercantum dalam al-Qu`an sama ketika al-Qur`an itu diwahyukan kepada baginda Rasulullah saw. Adapun hikmah penyebutan kata “qul” selain menegaskan bahwa al-Qur`an adalah bukan buatan Muhammad, dapat juga dimaksudkan untuk mempertegas sesuatu yang sering terkaburkan atau dianggap kabur oleh sebagian orang. Dalam hal ini adalah konsep ketuhan. Karenanya al-Quran ingin mempertegas dengan sejelas-jelasnya permaslahan ini dengan menggunakan redaksi “ Katakanlah” agar semua menjadi maklum dan jelas.[1]

 

Redaksi (هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, menjadi jawaban tegas dan lugas bagi orang yang menanyakan siapa Tuhannya orang Islam. Tuhan itu bernama Allah. Sebuah nama bagi suatu Wujud Mutlak, Yang berhak disembah, Pencipta, Pemelihara, Pemilik, Pengatur Yang menguasai seluruh alam semesta. Allah yang memiliki sifat Esa. Esa dalam segal-galanya, baik dzat, sifat, nama, maupun af`al (pekerjaan), sehingga tidak ada satupun makhluk yang menyerupainya. Dan walaupun Allah itu ghoib (tidak terlihat) namun sangat nyata melalui penciptaannya. Oleh karena itu menurut Syaikh Sya`rawi sebagaiamna dinukil oleh Qurasy Shibah dalam tasfirnya (15/608) bahwa penggunaan kata (هُوَ) menunjukkan bahwa Allah itu ghaib. Dia ghaib karena dia cahaya. Dengan cahaya kita dapat melihat sesuatu, tetapi Dia sendiri tidak bisa dilihat sampai ada cahaya yang melebihi-Nya agar dia dapat dilihat.  Tetapi karena tidak ada yang melebihi Allah, maka wajar jika Allah tidak dapat dilihat. Seandai-Nya Dia terlihat, maka hakekat-Nya diketahui dan dengan demikian Dia dapat dijangkau, apabila Dia dapat dijangkau maka Dia tidak wajar lagi diperuhankan. Pengetahuan merupakan salah satu bentuk jangkauan. Karena itu pengetahuan kita bahwa kita tidak tahu adalah merupakan jangkauan kita kepada Allah. Dan dengan kesadaran tentang ketidak mamapuna kita meraih sesuatu, adalah merupakan pengetahuan tentang sesuatu itu. Demikianlah ketika menyatakan bahwa “Dia yang ghaib itu adalah Allah.”

 

Adapun pengunaan kata (أَحَدٌ) yang di dalam al-Qur`an terdapat 53 kali, tetapi hanya sekali digunakan sebagai sifat Allah yaitu dalam ayat ini, megandung arti bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh selain-Nya. Secara bahasa kata “ahad” apabila dalam bentuk nakirah dan dalam kontek redaksi positif, seperti dalam ayat ini tidaklah digunakan kecuali untuk menunjukan Allah. Namun apabila kata “ahad” dalam kontek redaksi negatif atau pertanyaan atau syarat, maka digunakan untuk selain Allah, seperti dalam surah al-Ikhlas:4, Maryam: 98 dan at-Taubah:6. Disamping itu, kata “ahad” walaupn memiliki akar kata yang sama dengan kata “waahid” (satu), namun para ulama membedakan antara keduanya dalam maka dan penggunaannya. Kata “ahad” hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan, baik dalam benak apalagi dalam kenyataan, karena itu kata ini ketika berfungsi sebgai sifat, tidak termasuk dalam rentetan bilangan, berbeda dengan kata “waahid” yang dapat ditambah hingga menjadi dua, tiga dan seterusnya. Memang didalam al-Qur`an, disebutkan bahwa Allah juga disifati dengan kata “waahid” seperti dalam surah al-Baqarah:163. Sebagian ulama memhami bahwa dalam ayat tesebut kata “waahid” menunjukkan kepada keesaan Dzat-Nya, disertai dengan keragaman sifatnya, bukankah Dia Maha pengasih dan Maha penyayang dan sebagainya. Sedangkan kata “ahad” dalam surah al-Ihlas dimaksudkan ke- Esaan Dzat-Nya saja tanpa memperhatikan sifat-sifatnya.[2]

 

Terlepas dari perbedaan yang ada, yang jelas dalam ayat ini mengaskan bahwa Allah itu Esa. Ke-Esaan-Nya yang muthlaq, sempurna dan menyeluruh, tidak ada yang menyamai atau menyerupai-Nya. Baik dalam dzat-Nya, sifat dan asma`-Nya, af`al-Nya dan dalam ibadah kepada-Nya. Allah Esa dalam Dzat-Nya, maka Allah tidak tersusun dari berbagai unsur. Karena apabila Dzat Allah tersusun dari berbagai unsur, maka itu artinya Dzat Allah membutuhkan unsur lain. Dan hal itu mustahil bagi Allah. Karena Allah adalah maha kaya tidak membutuhkan kepada apapun dan siapapun. Allah berkalam Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. (Qs. Faathir:15).  Allah Esa dalam sifat dan asma`-Nya, maka tidak ada satupun yang memiliki atau menyerupai sifat dan nama-nama agung Allah, baik secara kapasitas maupun subtabsi. Walupun boleh jadi secara bahsa ada beberap nama dan sifat Allah yang juga dimiliki oleh makhluk-Nya seperti sifat Rahiim (sayang) yang juga menjadi sifat Rasulullah saw (Qs. At-Taubah:128). Namun tentu sifat rahim yang dimiliki manusia berbeda sifat rahiim yang dimiliki Allah. Allah berkalam, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (Qs. Asy-Syura:11).

Allah Esa dalam af`al atau pekerjaan-Nya, maka tidak ada satupun kejadian yang terjadi dialam semesta ini kecuali atas izin Allah. Baik sistem kerjanya, maupun sebab dan wujudnya, kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah swt semata. Tidak ada manfaat atau madharat dimuka bumi ini terjadi kecuali atas izin Allah semata. Apa yang dikehendaki-Nya maka terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak terjadi. Tidak ada daya untuk memperoleh manfaat, tidak pula ada kakuatan yang mampu menolak madharat kecuali atas izin Allah. Namun hal ini bukan berarti bahwa Allah berlaku sewenang-wenang (Maha Suci Allah) atau berbuat tanpa “sistem” yang ditetapkan-Nya. Ke-Esaan perbutan-Nya dikaitkan dengan hukum-hukum, taqdir atau sunnatullah. [3] Karena itu keimana kita terhadap Ke-Esaan perbuatan Allah, tidaklah menghilangkan kewajiban memkasimalkan berbgai ikhtiyar sebagai manusia. Karena bisa jadi ketetapan Allah untuk kita terkait dengan usaha yang kita lakukan.

 

Adapun Ke-Esaan dalam beribadah kepada-Nya, menuntut kita untuk selalu memurnikan ibadah kita hanya kepada-Nya. Ibadah apapun –baik makna khusus atau umum- yang kita lakukan haruslah tertuju untuk Allah. Karena apabila ada sedikit campuran selain Allah dalam ibadah kita maka ibadah tersebut akan tertolak. Dan itu terlihat dari niat ketika melakuan sebuah aktifitas. Niat adalah pokok dari segala amal. Kesalahan niat, menjadikan amal sia-sia. Diantara bentuk kesalahan dalam niat adalah ada riya`. Ada pengharapan selain dari Allah. Riya` adalah salah satu bentuk dari kesyirikan yang sangat dibenci oleh Allah. Karenanya ibadah semacam itu akan tertolak dan akan menjerumuskan pemiliknya kedalam api neraka. Allah SWT berkalam,“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya" (QS. Al-Kahfi: 110). Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya amal jadi rusak karena niat yang rusak. Oleh karena itu konsep Ke-Esaan dalam beribadah kepada-Nya, menuntut kepada kita untuk selalu menjadikan detik-detik kehidupan kita seluruhnya hnya untuk Allah. sebagamana Allah tegaskan dalam kalam-Nya, “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (Qs. al-An`am: 162).



[1] -Tafsir al-Mishbah, Qurasy Shihab, hh. 15/575-576.

[2] - Lih: Mufradaat al-Faadhul Qur`an, h. 1/19, Ensiklopedia al-Qur`an, h. 1/60-61, Ruhul Ma`ani, h. 23/179, Tafsir Abus Sau`d, h.7/68, Tafsir Jus `Amma, Masai`d bin Sulaiman ath-Thoyyar, h. 267.

[3] -Lih: Tafsir al-Misbah, h. 15/614, Ensiklopedia al-Qur`an, h. 1/62


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 188-191

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 192-194