Tafsir Al-Ikhlas (ayat 1) - TERLENGKAP
1- قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa
Menjadi salah satu tujuan pokok al-Qur`an
diturunkan adalah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Diantara petunjuk
pokok yang disampaikan al-Qur`an adalah tentang konsep ketuhanan. Karena tidak
dipungkiri banyak orang telah sesat dalam masalah ketuhan. Sehingga menjadikan
bebatuan, pohon, bulan, matahari, api atau makhluk lain yang dianggap memiliki
kekutan lebih dijadikan sebagai tuhan sesembahan. Atau bahkan ada sebagian umat
yang telah sampai kepadanya tentang konsep ketuhanan yang benar seperti umat
nabi Musa dan Isa, namun ternyata setelah kematian nabi mereka banyak diantara
umatnya yang mengkaburkan konsep ketuhanan tersebut. Misalkan dengan cara
menyekutukan Tuhan dengan makhluq-Nya, sehingga konsep ketuhan tersebut tidak
lagi murni. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur`an. “Orang-orang
Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani
berkata: "Al Masih itu putera Allah." Demikianlah itu ucapan mereka
dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.
Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?
(Qs. At-Taubah:30).
Oleh karena itu surat ini
turun untuk menginformasikan kepada orang yang belum kenal dengan konsep
ketuhanan yang benar. Sekaligus meluruskan konsep-konsep ketuhan para nabi
terdahulu yang dikaburkan oleh umatnya. Karena pada dasarnya konsep ketuhanan
antara satu nabi dengan nabi lainnya adalah sama yaitu yang dikenal dengan
sebutan risalah tauhid. Sebagaimana Allah jelaskan, “Dia telah
mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama (
Yaitu: meng-Esakan Allah s.w.t.,
beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta
mentaati segala perintah dan larangan-Nya).dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Qs.
Asy-Syura:13).
Kata (قُلْ)
“Katakanlah”, menunjukkan bahwa al-Qur`an yang kita baca sekarang ini adalah
bukan karangan Muhammad saw atau hasil kreatifitas orang arab. Rasulullah hanya
sebagai penyampai apa yang telah diterimanya dari Tuhan-Nya. Tidak menambah,
mengurangi apa lagi merubahnya. Semua telah disampaikan kepada umatnya seperti
apa adanya wahyu itu diterimanya dari Jibril. Sebagaimana Allah jelaskan dalam
kalam-Nya, "Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku
menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang
diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada
siksa hari yang besar (kiamat). (Qs. Yunus :13).
Kalaupun sendainya ada sesuatu yang wajar
untuk dibuang -karena mungkin sebagian orang menganggap tidak bermakna- adalah
kata qul yang didalam al-Qur`an ada sebanyak 332. Namun kata qul
sebanyak itu sampai sekarang tetap tercantum dalam al-Qu`an sama ketika
al-Qur`an itu diwahyukan kepada baginda Rasulullah saw. Adapun hikmah
penyebutan kata “qul” selain menegaskan bahwa al-Qur`an adalah bukan
buatan Muhammad, dapat juga dimaksudkan untuk mempertegas sesuatu yang sering
terkaburkan atau dianggap kabur oleh sebagian orang. Dalam hal ini adalah
konsep ketuhan. Karenanya al-Quran ingin mempertegas dengan sejelas-jelasnya
permaslahan ini dengan menggunakan redaksi “ Katakanlah” agar semua menjadi
maklum dan jelas.[1]
Redaksi (هُوَ
اللَّهُ أَحَدٌ) “Dia-lah
Allah, Yang Maha Esa, menjadi jawaban
tegas dan lugas bagi orang yang menanyakan siapa Tuhannya orang Islam. Tuhan
itu bernama Allah. Sebuah nama bagi suatu Wujud Mutlak, Yang berhak disembah,
Pencipta, Pemelihara, Pemilik, Pengatur Yang menguasai seluruh alam semesta.
Allah yang memiliki sifat Esa. Esa dalam segal-galanya, baik dzat, sifat, nama,
maupun af`al (pekerjaan), sehingga tidak ada satupun makhluk yang
menyerupainya. Dan walaupun Allah itu ghoib (tidak terlihat) namun sangat nyata
melalui penciptaannya. Oleh karena itu menurut Syaikh Sya`rawi sebagaiamna
dinukil oleh Qurasy Shibah dalam tasfirnya (15/608) bahwa penggunaan kata (هُوَ) menunjukkan bahwa Allah itu ghaib. Dia
ghaib karena dia cahaya. Dengan cahaya kita dapat melihat sesuatu, tetapi Dia
sendiri tidak bisa dilihat sampai ada cahaya yang melebihi-Nya agar dia dapat
dilihat. Tetapi karena tidak ada yang
melebihi Allah, maka wajar jika Allah tidak dapat dilihat. Seandai-Nya Dia
terlihat, maka hakekat-Nya diketahui dan dengan demikian Dia dapat dijangkau,
apabila Dia dapat dijangkau maka Dia tidak wajar lagi diperuhankan. Pengetahuan
merupakan salah satu bentuk jangkauan. Karena itu pengetahuan kita bahwa kita
tidak tahu adalah merupakan jangkauan kita kepada Allah. Dan dengan kesadaran
tentang ketidak mamapuna kita meraih sesuatu, adalah merupakan pengetahuan
tentang sesuatu itu. Demikianlah ketika menyatakan bahwa “Dia yang ghaib itu
adalah Allah.”
Adapun pengunaan kata (أَحَدٌ) yang di dalam al-Qur`an
terdapat 53 kali, tetapi hanya sekali digunakan sebagai sifat Allah yaitu dalam
ayat ini, megandung arti bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersendiri yang tidak
dimiliki oleh selain-Nya. Secara bahasa kata “ahad” apabila dalam bentuk
nakirah dan dalam kontek redaksi positif, seperti dalam ayat ini tidaklah
digunakan kecuali untuk menunjukan Allah. Namun apabila kata “ahad” dalam
kontek redaksi negatif atau pertanyaan atau syarat, maka digunakan untuk selain
Allah, seperti dalam surah al-Ikhlas:4, Maryam: 98 dan at-Taubah:6. Disamping
itu, kata “ahad” walaupn memiliki akar kata yang sama dengan kata “waahid”
(satu), namun para ulama membedakan antara keduanya dalam maka dan penggunaannya.
Kata “ahad” hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan,
baik dalam benak apalagi dalam kenyataan, karena itu kata ini ketika berfungsi
sebgai sifat, tidak termasuk dalam rentetan bilangan, berbeda dengan kata
“waahid” yang dapat ditambah hingga menjadi dua, tiga dan seterusnya. Memang
didalam al-Qur`an, disebutkan bahwa Allah juga disifati dengan kata “waahid”
seperti dalam surah al-Baqarah:163. Sebagian ulama memhami bahwa dalam ayat
tesebut kata “waahid” menunjukkan kepada keesaan Dzat-Nya, disertai dengan
keragaman sifatnya, bukankah Dia Maha pengasih dan Maha penyayang dan sebagainya.
Sedangkan kata “ahad” dalam surah al-Ihlas dimaksudkan ke- Esaan Dzat-Nya saja
tanpa memperhatikan sifat-sifatnya.[2]
Terlepas dari perbedaan yang ada, yang
jelas dalam ayat ini mengaskan bahwa Allah itu Esa. Ke-Esaan-Nya yang muthlaq,
sempurna dan menyeluruh, tidak ada yang menyamai atau menyerupai-Nya. Baik
dalam dzat-Nya, sifat dan asma`-Nya, af`al-Nya dan dalam ibadah kepada-Nya. Allah
Esa dalam Dzat-Nya, maka Allah tidak tersusun dari berbagai unsur. Karena
apabila Dzat Allah tersusun dari berbagai unsur, maka itu artinya Dzat Allah
membutuhkan unsur lain. Dan hal itu mustahil bagi Allah. Karena Allah adalah
maha kaya tidak membutuhkan kepada apapun dan siapapun. Allah berkalam “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah
Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. (Qs. Faathir:15). Allah
Esa dalam sifat dan asma`-Nya, maka tidak ada satupun yang memiliki atau
menyerupai sifat dan nama-nama agung Allah, baik secara kapasitas maupun
subtabsi. Walupun boleh jadi secara bahsa ada beberap nama dan sifat Allah yang
juga dimiliki oleh makhluk-Nya seperti sifat Rahiim (sayang) yang juga menjadi
sifat Rasulullah saw (Qs. At-Taubah:128). Namun tentu sifat rahim yang dimiliki
manusia berbeda sifat rahiim yang dimiliki Allah. Allah berkalam, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
Mendengar dan Melihat. (Qs. Asy-Syura:11).
Allah Esa dalam af`al atau
pekerjaan-Nya, maka tidak ada satupun kejadian yang terjadi dialam semesta ini
kecuali atas izin Allah. Baik sistem kerjanya, maupun sebab dan wujudnya,
kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah swt semata. Tidak ada manfaat atau
madharat dimuka bumi ini terjadi kecuali atas izin Allah semata. Apa yang
dikehendaki-Nya maka terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak terjadi.
Tidak ada daya untuk memperoleh manfaat, tidak pula ada kakuatan yang mampu
menolak madharat kecuali atas izin Allah. Namun hal ini bukan berarti bahwa
Allah berlaku sewenang-wenang (Maha Suci Allah) atau berbuat tanpa “sistem”
yang ditetapkan-Nya. Ke-Esaan perbutan-Nya dikaitkan dengan hukum-hukum, taqdir
atau sunnatullah. [3]
Karena itu keimana kita terhadap Ke-Esaan perbuatan Allah, tidaklah
menghilangkan kewajiban memkasimalkan berbgai ikhtiyar sebagai manusia. Karena
bisa jadi ketetapan Allah untuk kita terkait dengan usaha yang kita lakukan.
Adapun Ke-Esaan dalam beribadah
kepada-Nya, menuntut kita untuk selalu memurnikan ibadah kita hanya kepada-Nya.
Ibadah apapun –baik makna khusus atau umum- yang kita lakukan haruslah tertuju
untuk Allah. Karena apabila ada sedikit campuran selain Allah dalam ibadah kita
maka ibadah tersebut akan tertolak. Dan itu terlihat dari niat ketika melakuan
sebuah aktifitas. Niat adalah pokok dari segala amal. Kesalahan niat,
menjadikan amal sia-sia. Diantara bentuk kesalahan dalam niat adalah ada riya`.
Ada pengharapan selain dari Allah. Riya` adalah salah satu bentuk dari
kesyirikan yang sangat dibenci oleh Allah. Karenanya ibadah semacam itu akan
tertolak dan akan menjerumuskan pemiliknya kedalam api neraka. Allah SWT
berkalam,“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah
ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
dalam beribadat kepada Tuhannya" (QS. Al-Kahfi: 110). Niat adalah ruh amal, inti dan
sendinya. Amal menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya amal jadi
rusak karena niat yang rusak. Oleh karena itu konsep Ke-Esaan
dalam beribadah kepada-Nya, menuntut kepada kita untuk selalu menjadikan
detik-detik kehidupan kita seluruhnya hnya untuk Allah. sebagamana Allah
tegaskan dalam kalam-Nya, “Katakanlah: sesungguhnya
sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam. (Qs. al-An`am: 162).
[1] -Tafsir al-Mishbah, Qurasy
Shihab, hh. 15/575-576.
[2] - Lih: Mufradaat al-Faadhul
Qur`an, h. 1/19, Ensiklopedia al-Qur`an, h. 1/60-61, Ruhul Ma`ani, h. 23/179, Tafsir
Abus Sau`d, h.7/68, Tafsir Jus `Amma, Masai`d bin Sulaiman ath-Thoyyar,
h. 267.
[3] -Lih: Tafsir al-Misbah, h.
15/614, Ensiklopedia al-Qur`an, h. 1/62
Komentar
Posting Komentar