Tafsir Al-Fatihah (ayat 2) - TERLENGKAP
Dr. KH. Moh. Abdul Kholiq Hasan Lc.MA.M.Ed
“Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam”
(الْحَمْدُ
لِلَّهِ ) Segala
puji-pujian, baik berupa ucapan ataupun tindakan hanya bagi Allah. Makna ini
dapat diapahami dari al (أل) yang ada dalam kata
(حَمْدُ).
Sebagaimana dikatakan para ahli tafsir bahwa al (أل)
tersebut adalah al-ta`riful jinsi yang memiliki makna Istghraqiyyah
atau menyeluruh, mencakup cakupan yang luas[1].
Kenapa puji-pujian hanya bagi Allah? karena Allah-lah
satu-satu Pencipta dan sumber segala nikmat yang terdapat dalam alam ini.
Dia-lah yang menciptakan, memelihara dan menumbuhkan seluruh makhluq-Nya sesuai
dengan kehendaknya. Berbagaia karunia dan kenikmatan Allah berikan kepada kita
tanpa kita memintanya. Ambil contoh misalkan nikmat kehidupan. Apakah ada
diantara kita yang pernah terbanyang meminta kehidupan dilahirkan dibumi yang
indah ini? Tentu tidak ada. Namun Allah mengindupkan kita dibumi ini. Bahkan
nikmat kehidupan ini adalah kenikmatan yang paling agung. Karena dengan hidup berbagai kenikmatan lainnya dapat dirasakan. Imam Ar-Razi, salah satu ahli tafsir
mengatakan: "Ketahuilah bahwa hidup merupakan asal-muasal dalam
memperoleh kenikmatan. Jika kehidupan tidak ada, maka tidak ada seorangpun yang
meraih kenikmatan dunia, begitu pula hidup merupakan asal-muasal memperoleh
kenikmatan diakherat. Apabila tidak ada kehidupan, maka pahala yang kekal tidak
bisa dicapai"[2]
Kita dapat hidup dan
menikmati berbagai fasilitas kehidupan di dunia ini, tidak lain juga kecuali
atas karunia Allah. Karena bagi Allah sangat mudah untuk
mengambil nikmat-nikmat itu dari kita. Kita baru dapat merasakan nikmatnya
sehat ketika sakit, nikmatnya makan ketika lapar, nikmatnya pekerjaan ketika
ngangur, nikmatnya tidur ketika dapat bagun kembali. Pada dasarnya, kita diperintahkan
bersyukur dan mememuji kepada Allah dalam segala kondisi. Tidak hanya ketika
kita mendapatkan kenikmatan saja, namun ketika dalam menerima cobaan dan
musibah. Karena dibalik semua itu pasti ada hikmahnya, yang mana bisa jadi jauh
lebih baik bagi kita dari musibah tersebut. Belum tentu sesuatu yang kita
senangi itu baik bagi kita, begitu pula sebaiknya,walupun dhahirnya cobaan itu
adalah sesuatu yang tidak menyenangkan bagi kita. Sebagaimana Allah katakana
dalam surah al-Baqarah 216:
…وَعَسَى
أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا
وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (216)
“…. Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui”.(al-Baqarah:216).
Karena itu kita tetap diperintahkan untuk bersyukur
dan memuiji-Nya dalan kondisi apapun. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ
تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ ». وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ
عَلَى كُلِّ حَالٍ ». (رواه أبن ماجة قال
الشيخ الألباني : حسن).
Rasulullah saw
ketika melihat sesuatu yang menyenangkan, maka beliau mengucapkan “الْحَمْدُ لِلَّهِ
الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ ” (segala
puji bagi Allah yang dengan kenikmatannya segala kebaikan menjadi sempurna,
namun jika beliau melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, beliau mengucapkan “الْحَمْدُ
لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ” (segala puji bagi Allah atas segala
kondisi).
Para
ahli tafsir ketika membahas ayat ini, menerangkan tiga kosa kata yang memiliki
kedekatan makna. Yaitu al-hamdu, al-madhu, ats-tsana` dan asy-syukru (الحمد، المدح، الثناء ، الشكر). Sebagaian ulama
menyatakan bahwa الحمد digunakan untuk
neyanjung kepada sebuah kebaikan yang sangaja dilakukan, baik kebaikan itu
untuk orang yang menyanjungnya atau orang lain. Sedangkan المدح
adalah sanjungan secara umum, baik kepada sanjungan atas nikmat yang disengaja
atau tidak. Seperti orang yang menyanjung keindahan berlian atau hiasan. Adapun kata الثناء
walaupun maknanya memuji dan menyanjung, namun dalam penggunaannya dapat
digunakan untuk memuji sesuatu kebaikan atau kejahatan. Sedangkan الشكر adalah bentuk mengakuan terhadap nikmat
yang diperoleh dari pemberi, pengakuan tersebut baik dengan lesan, hati atau
raga.[3]
Dengan demikian antara al-Hamdu dan asyukru memiliki
kedekatakan makna. Bedanya bedanya al-Hamdu lebih umum dari pada syukur, karena
kita memuji seseorang memuji terhadap seluruh sifat kebaikannya dan
pemberiannya. Adapun syukur hanya
terhadap pemberiannya bukan terhadap sifat kebaiknnya. Dalam hal ini al-hamdu
lebih umum daripada syukur.[4]
Dalam sebuah hadits diakatakan “al-Hamdu
itu kepalanya asy-Syukr dan manusia tidak dikatan bersyukur kepada Allah
sehingga ia memujinya” (HR. al-Baihaqi dalam Syu`abul Iman). Dikatakan demikian
karena al-Hamdu itu hanya dengan lesan sedangkan asy-Syukru itu bisa dengan
lesan, hati dan angota tubuh. Dengan demikian al-hamdu adalah bagian dari
asy-Syukru. Dan dikatakan bahwa seserong belum dianggap bersyukur apabila belum
memuji, hal itu karena orang yang bersyukur jika tidak melaukan sesuatu yang
menunjukkan pengagungan kepada Alah maka tidak terlihat darinya rasa syukur,
walaupun secara hati dan prilaku telah melakukannya. [5]
Menurut imam al-Gazali, syukur merupakan
tinggatan tertinggi melebihi sabar, takut dan zhuhud. Karena sabar, takut dan
zhuhud bukan menjadi tujuan pokok, melainkan untuk mencapai tujuan lain.
seperti sabar bertujuaan untuk mengekang nafsu. Sedangkan syukur adalah prilaku
yang memang menjadi tujuan seorang hamba. karenanya syukur tidak akan berhenti
dengan berhentinya dunia, ia akan terus berkumandang sampai didalam surga.
sebagaiamna Allah kalamkan dalam surah Yunus:10, “Dan
penutup doa mereka (ahli surga) ialah: "Alhamdulilaahi Rabbil 'aalamin.[6]
Dikatakan bahwa al-hamdu (pujian) itu dengan lesan, Allah
berkalam, “Dan katakanlah: "Segala puji
bagi Allah” (Qs. Al-Isra:111), syukur dengan prilaku, Allah berkalam
“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) (Qs. Saba`: 13). Dan al-hamdu itu lebih umum dari pada syukur, jadi setiap pemuji
adalah syuklur, tetap tidak semua orang yang bersyukur itu adalah memuji.[7]
Maka ketika kita mengucapakan al-Hamdullah atas nikmat Allah, berarti kita
selaian memuji-Nya juga bersyukur kepada-Nya dan dengan bersyukur, selaian akan
menambah berbagai kenikmatan juga berfungsi untuk menjaga berbagai nikmat yang
telah dimiliki[8].
Dan orang dikatakan telah bersyukur apabila dengan lesannya ia memuji kepada
sang pemberi nikmat, hatinya pun menyakini bahwa ia adalah pemberi nikmat
tersebut, dan tubuhnya digunakan untuk beribadah atas nikamt yang didapatkan.[9].
Sebagai contoh dalam mensyukuri atas nikmat Islam adalah kita harus bangga dan percaya diri menjadi seorang
muslim dan muslimah. Katakan kepada semua orang dengan
penuh kebanggaan, ”Saya adalah orang Islam. Saya adalah umat Muhammad saw.”
Tunjukkan identitas kita sebagai orang Islam tanpa sedikit keraguan atau
kegamangan. Dimanapun kita berada dan kapanpun waktunya. Tentu yang kita
maksudkan identitas disini adalah identitas ajaran Islam yang bersumber kepada
al-Quran dan Sunnah Nabi yang bersifat universal. Bukan identitas tradisi
keagamaan yang bersifat local. Seperti berpeci, bersarung atau pakaian baju
taqwa. Karena identitas simbolitas semacam itu kenyataannya sekarang ini tidak
harus menunjukan ia sebagai seorang muslim yang benar.
Begitupula dalam mensyukuri nikmat hidup.
Kita harus dapat memaksimalakan kehidupan kita untuk selalu berbuat kebaikan
kepada sesama dan memperbanayk investasi akherat. Karena nikmat hidup ini nantinya akan
ditanyakan oleh Allah SWT. di hari penghisaban seluruh amal perbuatan manusia.
Sejak manusia baligh, ia akan bertanggung jawab secara pribadi atas segala
prilakunya. Ia akan ditanya untuk apa umur yang telah diberikan Allah selama
ini ? apakah ia telah mampu menggunakan umurnya, yang tidak lain terdiri dari waktu,
hari, jam, menit dan detik untuk beramal sholeh ?. Dengan menyadari dan mensyukuri nikmat hidup
yang masih melekat dalam badan, tentu akan menyadarkan seseorang untuk lebih
berpacu dalam kebaikan. Dan semua itu adalah hakekat syukur kita kepada Allah. Rasulullah
bersabda, “Pergunakanlah dengan baik lima hal sebelum datangnya lima hal
yang lain, yaitu; 1. Masa mudamu sebelum masa tuamu, 2. Sehatmu sebelum
sakitmu, 3. Waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, 4. Kayamu sebelum miskinmu,
dan 5. Hidupmu sebelum matimu” (HR. al-Hakim).
Kata (لِلَّهِ) hanya
untuk Allah dan milik Allah. artinya seluruh bentuk puji-pujian dan ucapan
syukur itu pada hakekatnya hanya untuk Allah dan mikik Allah. Karenanya,
setiap kita mendapatkan pujian atau ucapan trimakasih dari siapapun, harus kita
kembalikan pujian dan ucapan syukur tersebut untuk Allah. Karena atas
pertolongan Allah juga kita dapat membantu atau menolong sesama. Maka kita
ucapakan “al-hamdulillah”, segala puji bagi Allah. ucapan itu harus dilakukan
dengan penuh keihlasan hanya mengharap ridha Allah. Dengan demikian seseorang
akan merasa nyaman dan hidup tanpa beban sedikitpun, karena ia tidak lagi
mengharapkan pujian dari siapapun. Ia akan bekerja sepenuh hati, ihklas dan
professional. Hasil pekerjaan yang lahir dari tangannya akan berkualitas dan
membawa keberkahan bagi seluruh manusia bahkan alam semesta.
Diantara
teladan salaf tentang sikap mereka terhadap pujian. Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thobari bahwa,
ketika kaum muslimin menduduki kota Madain dan memperoleh rampasan perang,
datang seorang laki-laki membawa harta rampasan untuk diserahkan kepada petugas
pengumpul. Ketika melihat harta yang diserahakan,
orang-orang saling berbisik dengan mengatakan, “Belum pernah kita melihat
barang berharga seperti itu. Apa yang kita serahkan sungguh tiada menyamai,
bahkan mendekatipun tidak”. Para petugas bertanya, “Apakah engkau tidak
mengambilnya barang sedikit ?”. Ia menjawab, “ Tidak, demi Allah! Kalau bukan
karena Allah, Aku tidak mungkin menyerahkan harta ini kepada kalian”. Karena
melihat laki-laki itu mempunyai kejujuran yang luar biasa, mereka bertanya:
“Siapakah engkau?. Ia menjawab, “Demi Allah Aku tidak akan memberitrahukan
kepada kalian siapa diriku, agar kalian tidak memujiku. Juga kepada selain
kalian, agar mereka tidak memberikan penghargaan kepadaku. Tetapi Aku hanya
mengaharapkan pujian dari Allah dan puas dengan pahala-Nya”. Karena mereka
merasa ingin tahu, maka mereka mengikuti laki-laki tadi, sampai ketempat
kawan-kawannya. Dan setelah ditanyakan kepada orang lain, diketahui bahwa ia
adalah Amir bin Qois.[10]
Begitulah prilaku para salfus shaleh mereka sangat tukut dari
pujian, karena jika tidak hati-hati pujian itu akan menjatuhkannya kedalam
lobang kesombongan, ujub dan riya`. Berbeda dengan orang dizaman sekarang,
banyak diantara mereka yang mengejar apa yang disebut dengan pencintraan diri,
yang tidak lain adalah riya`, mencari pujian dari manusia. Maka mereka
melakukan apa saja, menghalalkan segala hal untuk mendapatkan citra baik
dihadapan manusia, padahal ia busuk dan sangat hina diahadapan Allah dan para
malaikatnya. Fenomena semacam ini sangat terlihat sekali dari prilaku
kebanyakan para tokoh politik yang begitu tekun dan sabar dalam kemunafikan,
hanya untuk meraup suara rakyat. Menjelang pemilu, mereka menampilkan figur
para malaikat tanpa dosa. Rajin ke masjid, mendatangi para ulama, menjenguk
orang sakit dan menyapa para fakir miskin dan anak gelandangan, menyantuni
yatim piatu dan seribu langkah pencintraaan diri. Namun sayang, kesabaran kemunafikan
itu akan segera pudar, dikala mereka berhasil menduduki jabatan atau terpilih
sebagai wakil rakyat yang berhasil dibohongi. Figur malaikat yang selama ini
ditampilan, berubah menjadi figur Iblis yang siap menerkap mangsanya. Semua
cara dihalalkan untuk segera mengambalikan modal kampanye. Atau ketika mereka
gagal membeli suara rakyat, sehingga banyak mereka yang gila. Jika tidak gila
beneran, minimal gila pencintraan.
Baik yang “sukses atau gagal dengan pencintraan, keduanya
sama-sama gagal menjadi hamba yang berhak mendapatkan pujian dari Allah. Karena
mereka beramal bukan ihlas karena Allah. Mereka kelak diakherat akan menjadi
penghuni pertama istana nerka jahanam (HR. Muslim). Wal `iyadzu billah.
Sebab itulah Rasulullah sangat mengkhawatirkan jika umatnya jatuh dalam
kenistaan riya`. Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya yang paling aku
takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya'. Allah akan mengatakan
kepada mereka pada hari Kiamat tatkala memberikan balasan atas amal-amal manusia
“Pergilah kepada orang-orang yang kalian berbuat riya' kepada mereka di dunia.
Apakah kalian akan mendapat balasan dari sisi mereka?" (HR. Ahmad).
Berbeda dengan orang yang bekerja
dengan tulus dan penuh keihlasan, ia tidak akan bekerja kecauli hanya mengarap perjumpaan
yang baik dan pujian dari Allah. Allah SWT berkalam,“Barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya"
(QS. Al-Kahfi: 110). Dari sini perlunya
niat yang benar dalam seluruh aktifitas kita agar amal ibadah kita tidak
sia-sia. Niat adalah
ruh amal, inti dan sendinya. Amal menjadi benar karena niat yang benar dan
sebaliknya amal jadi rusak karena niat yang rusak. Berkata Ibnul Mubarak
rahimahullah: "Berapa banyak amalan yang sedikit bisa menjadi besar
karena niat dan berapa banyak amalan yang besar bisa bernilai kecil karena
niatnya". [11]
Dalam kalimat “الْحَمْدُ
لِلَّهِ”, Allah memuji dirinya sendiri, hal itu karena
yang dapat memuji dengan tepat dan pantas sesuai dengan kedudukan-Nya hanyalah
Dirinya sendiri. Seluruh makhluk-Nya tidak akan ada yang
mampu memuji dengan pujian yang patut dengan kedudukannya. Karena seluruh
makhluq-Nya tidak ada yang mengetahui jumlah nikmat-nikmat-Nya dan juga tidak
akan mampu menghitungnya. Yang mampu mengetahui dan mampu menghitung
nikmat-nikmat-Nya adalah Allah sendiri. Rasulullah sendiri dalam doanya pun
mengakui ketidak mampuan tersebut. Sehingga Rasulullah mengatakan dalam
berdoanya :لاَ أُحْصِى ثَنَاءً
عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Aku
tidak dapat menghitung pujian - pujian bagi - MU sebagaimana Engkau memuji diri
- MU sendiri”. (HR. Muslim). Karena itu pastas jika Allah memuji diri-Nya
sendiri. Dan yang berhak memuji dirinya sendiri hanyalah Allah swt. Jika ada
makhluq yang memuji dirinya sendiri adalah merupakan kesombongan yang tidak
pantas disandangnya.
Disamping
itu. Allah juga ingin mengajarkan bagaimana caranya seorang hamba memuji
tuhannya, maka Allah ajarakan kapada kita pujian “الْحَمْدُ
لِلَّهِ” .
Kalimat (رَبِّ الْعَالَمِينَ) Allah
adalah Rabb seluruh alam semesta. Dalam kata (رَبِّ) yang merupakan salah satu derivasi dari kata
tarbiyyah (تربية) mengandung pengertian, bahwa
alam semesta, tidak hanya sekedar diciptakan oleh Allah swt, tetapi juga
dipelihara dan dijaga agar alam semesta ini dapat berjalan dengan baik dan
dapat menjadi kehidupan bagi makhluq hidup, terutama manusia. Dan pada dasarnya
Allah swt menciptakan alam semesta ini adalah untuk manusia. Sebagaimana Allah
jelaskan dalam banyak ayat al-Qur`an. Diantaranya Allah sebutkan dalam surat
al-Jatsiyyah ayat ke 13,
وَسَخَّرَ
لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (13)
“Dan
Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”
Jadi, degan Allah sebagai “Rabb seluruh alam semesta”,
alam semesta ini menjadi teratur, indah, berjalan sesuai dengan fungsinya, dan
lanyak untuk kehidupan makhluqnya, sampai saat Allah menghendaki kehancurannya.
Sedangkan
kata (الْعَالَمِينَ) adalah bentuk
jama` dari kata (عَالَم). Oleh para ahli menjelaskan, bahwa yang dimaksud kata
`Alam adalah semua selain Allah. Semua makhluq ciptaan termasuk benda padat,
benda cair, udara, partikel, cahaya dan malaikat semua adalah `Alam. Dengan
demikian kalimat (رَبِّ
الْعَالَمِينَ) menjelaskan
bahwa Allah-lah yang memelihara, menjaga dan memenuhi seluruh kebutuhan makhluk
ciptaan-Nya. Karena itu hanya Allah-lah
yang pantas untuk dipuji, bukan selainnya.
Berbagai kenikmatan
baik yang langsung kita terima dari-Nya seperti kenikmatan hidup, sehat,
jantung tetap berdetak, menghirup udara dengan mudah, nikmat dapat mengunyah
dan menelan makanan dengan mudah, telinga masih bisa mendengar, mulut masih
bisa bicara, kaki masih bisa berjalan bahkan rambut yang tumbuh sesuai batas
yang ditentukan dan berbagai nikmat lainnya. Atau kenimatan yang diperoleh
lewat orang atau makhluk lain, semua itu adalah dari Allah. Allah-lah yang
menggerakkan hati orang, sehingga orang tersebut mau menolong kita, mau mengormati
kita, mau berbuat baik kepada kita. Dan Allah-lah yang menumbuhkah berbagai
tanaman sehingga dapat kita nikmati buahnya, bumi masih mengeluarkan hasil
buminya, air mata masih mengeluarkan airnya. Atau nikmat dapat beribadah,
menjadi muslim yang benar dan istiqomah, menjadi muslimah yang istiqomah dalam
berjilbab dan beraakhlaq mulia. Bahkan nikmat dapat bersyukur dan memuji Allah.
Semua itu atas karunia Allah. Sungguh nikmat Allah kepada kita, tidak terhitung
berapa banyaknya (Qs. An-Nahl:18). “Maka nikmat Tuhan kamu
yang manakah yang kamu dustakan?” (Qs. Ar-Rahman: 13). Karena itu
segala puji dan syukur hanya untuk Allah. Bukan-nya Allah membutuhkan syukur
dan pujian dari kita. Namun syukur dan pujian itu, semua kebaikannya kembali
kepada kita sendiri. Sebagaimana Allah kalamkan dalam al-Qur`an yang artinya, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih." (Qs. Ibrahim:7). Dan kalamnya, “Dan
barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha
Kaya lagi Maha Mulia." (Qs.
An-Naml:40).
Namun sayang, tidak semua manusia pandai bersyukur atas
nikmat Allah (Qs. Saba`:13). Kebanyakan manusia adalah sebagaimana dikalamkan
oleh Allah “Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak
berterima kasih kepada Tuhannya” (Qs. Al-`Adiyat:
6). Diantara
sebab manusia tidak pandai bersyukur adalah kesombongan yang ada dalam
dirinya. Ia meresa bahwa berbagai kesuksesan dan keberhasilnya itu tidak lain
karena jerih payahnya dan kehebatannya. Kalau bukan karena kecerdasannya,
keuletannya, kecanggihannya. Tentu berbagai kenikmatan itu tidak akan
diperoleh. Kesombongan semacam itulah yang menjadikan Firaun, Qorun dan para
pengikutnya tidak mau tunduk kepada petunjuk Allah. Kapanpun dan dimanapun
mereka berada. Mata dan hati mereka dibutakan oleh dunia, sehingga mereka tidak
mampu menangkap cahaya kebenaran.
Sebab lain adalah hasud atau rasa dengki
dan yang ada dalam diri seseorang. Rasa dengki menjadikan orang tidak akan
mampu bersyukur terhadap apa yang telah diperoleh atau dimilikinya. Ia akan
selalu memadang bahwa apa yang dimiliki orang lain seharusnya menjadi milik dia.
Ia merasa kecewa atau sakit hati jika orang lain memiliki sesuatu yang ia tidak
memilikinya. Ia tidak pernah puas dengan apa yang telah ia miliki. Dapat satu, tidak terasa nikmat karena
menginginkan dua, dapat dua tidak terasa nikmat karena menginginkan tiga dan
begitulah seterusnya. Penyakit semacam ini akan menjadikan hidup tidak tenang
dan mudah terkena 3S (stres, struk dan sedo atau mati). Disamping hasad akan
merusak amal kebaikan (HR. Abu Daud). Padahal kalau ia mau memperhatikan dan
merenungi, apa yang diperolehnya sebenarnya sudah sangat menyenangkan karena
begitu banyak orang yang memperoleh sesuatu tidak lebih banyak atau tidak lebih
mudah dari apa yang ia peroleh.
Sebab lain yang menjadikan orang lupa atas
nikmat Allah adalah karena nikmat tersebut sudah menjadi rutinitas
keseharian. Seperti nikmatnya sinar matahari, bernafas, melihat, mendengar,
makan dan minum. Nikmat semacam itu karena telah menjadi rutinitas dan konsumsi
keseharian, manusia sering lupa untuk bersyukur. Manusia baru terasa jika
nikmat-nikmat rutinas itu hilang darinya atau mengalami kondisi lain dari
rutinitasnya. Misalkan nikmatnya orang yang biasa makan nasi, akan sangat
terasa jika ia mengalami kondisi diamana nasi sangat jarang digunakan sebagai
makanan pokok. Seperti ketika seseorang berada ditanah suci yang mayoritas
masyarakatnya menjadikan gandum sebagai makanan pokok. Tentu nasi menjadi
sesuatu yang istimewa. Pandai bersyukur dan tidak mengecilkan arti kenikmatan
dari Allah meskipun dari segi jumlah memang sedikit dan kecil tentu akan
membuat hidup lebih bermakna dan membuat nikmat itu bertambah banyak
keberkahannya.
Karena manusia sering lupa untuk bersyukur
dan kebanyakan juga tidak mampu bersyukur, maka Rasulullah saw mengajarkan
sebuah doa kepada kita untuk memohon kepada Allah agar kita dijadikan termasuk
dalam hamba-Nya yang pandai bersyukur.
اللَّهُمَّ أَعِنِّى
عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Ya
Allah tolonglah kami untuk selalu mengingat-Mu, mensyukuri nikmat-nikmat-Mu dan
beribadah kepada-Mu dengan baik (HR. Abu Daud, Turmudzi
dan Nasai`).
Diantara faedah orang yang pandai bersyukur adalah:
Pertama, Mendapatkan pahala dan ridho dari Allah. Karena selain merupakan perintah, syukur juga bentuk peribadahan kepada Allah SWT (al-Baqarah:172).
Kedua, dengan
bersyukur nikmat akan bertambah dan terpelihara (Qs. Ibrahim:7) Bertambahnya
nikmat tidak harus diartikan dengan meningaknya jumlah nikmat tersebut. Seperti
pemahaman orang yang sudah terpengaruh dengan paham kapitalis. Tetapi
penambahan nikmat bisa jadi dengan bertambahnya keberkahan nikmat tersebut.
Ketiga, syukur
akan menciptakan perasaan positif. Artinya hidup akan lebih bahagia, tenang,
tidak kemrungsung dan pikiran akan lebih jernih. Karena ia akan lebih
focus kepada berbagai kenikmatan yang ada. Dengan banyak mensyukuri semakin
banyak pula perasaan positif pada diri kita. Semakin banyak perasaan positif
dari kita, akan semakin banyak pula muncul ide-ide kreatif. Dengan ide-ide
kreatif , kita semakin berkesempatan untuk menjadi orang yang sukses.
Keempat, dengan bersyukur, berbagai musibah dan mala petaka akan di
hindarkan oleh Allah dari hambanya. Allah SWT berkalam, “Mengapa
Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha
Mensyukur lagi Maha Mengetahui. (an-Nasa`:147). Maka dari itu, kita harus lebih jeli dan
peka terhadap berbagai nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Kurangnya
kepekaan terhadap nikmat Allah akan mengurangi rasa syukur kita, sebab kita
merasa tidak ada yang perlu disyukuri lagi. Maka benar apa yang disabdakan oleh
Rasulullah bahwa hanya orang mukminlah yang pandai bersyukur atas berbagai
kenikmatan.
Kelima, menurut Erbe Sentanu, rasa syukur yang mendalam dinyakini oleh para ahli
mampu melepaskan getaran (vibrasi) yang luar biasa, yang akan menarik lebih
banyak “hadiah” lain untuk diri kita. Rasa syukur juga akan membawa kenikmatan
yang terasa di dalam hati, menyebar ke seluruh tubuh, dan akhirnya mempengaruhi
hormon, gelombang, dan energi yang ada di tubuh kita. Selain menyehatkan, efeknya
juga menarik hal-hal positif di sekitar kita.
Wallahu `alam bishowab
[1] - Lih: al-Bahrul Bukhith,
Abu Hayyan, h. 1/6, al-Muharra wajiz, Ibnu `Athiyyah, h. 1/2, At-Tafsir
al-Wasith, Sayyid Thanthawi, h. 1/3, Ruhul Ma`ani, al-Alusi, hh. 1/
43-44
[2] - Mafaatuhul
Ghaib, Ar-Razi, h. 15/ 395
[3] - Tafsir al-Maraghi, Ahamd
Musthafa al-Maraghi, h. 1/29.
[4] - An-nihayah fii Ghoribil
Hadist wal Atsar, al-Jazri, Tahqiq: Thahir Ahmad az-Zawi-Mahmud ath-Thahani., h. 1/1043
[5] -
At-Taisir bi Syarhil Jami` ash-Shaghir, al-Manawi, h. 1/1030
[6] -
Ibid.
[7] - Syarhus Sunnah,
al-Baghawi, h. 5/50-51
[8] - At-Taisir bi
Syarhil Jami` ash-Shaghir, al-Manawi, h. 1/1030.
[9] - Al-Fai`iq
fii Ghoribil Hadits, az-Zamakhsyari, Tahqiq: Ali Muhammad al-Bijawi, h.
1/314.
[10] - Merasakan
Kehadiran Tuhan, Yusuf Qordhawi, h. 233.
[11] -
Komentar
Posting Komentar