Tafsir Al-Falaq (ayat 1) - TERLENGKAP
1. قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
Katakanlah:
"Aku berlindung kepada Tuhan segala yang terbelah.
Setelah
Allah menyebutkan dalam surah al-Ihlas tentang identitas kesempurnaan Tuhan
yang berhak disembah dan tidak ada yang menyerupai atau menyamai-NYa, maka
dalam surah ini diterangkan kewajiban memohon perlindungan kepada Tuhan
tersebut dari berbagai bentuk kejahatan dan keburukan yang ada, baik lahir
maupun batin, baik yang terlihat maupun yang samar, baik yang telah, sedang
atau akan terjadi. Karena hanya Tuhan yang Maha Sempurna yang dapat memberikan
jaminan perlindungan secara sempurna. Jaminan perlindungan dan keselamatan
tersebut Allah proklamirkan supaya jelas dan diketahui kalayak umum dengan
memerintahakan kepada Rasulullah-NYa untuk mengatakan kepada seluruah manusia
yang dapat memahami perkataan tersebut. Maka Allah kalamkan “Katakanlah
!, "Aku berlindung kepada Tuhan…”
Sebagaiamana
telah disinggung sebelumnya, bahwa penggunaan kata (قُلْ)
“Katakanlah” dalam surah ini dan lainnya adalah sebagai salah satu bukti
keotentiakan al-Quran. Diriwayatkan dari Zir bin Hubais berkata, “Saya bertanya
kepada `Ubai bin Ka`b tetang al-Mu`awwidzatain, saya berkata, “Wahai
Abul Mundzir, sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas`ud berkata begini dan begini”. Ia
mengatakan, “ Saya bertanya kepada Rasulullah, lalu ia bersabda, “Dikalamkan
kepada ku “Qul” maka saya menucapakan begitu. Maka kami mengucapkan seperti apa
yang diucapkan oleh Rasulullah saw (yakni menetapkan kata “Qul”). (HR. Bukari).
Berkain
dengan surat al-Mu`awidzatain ini, ada sebagian orang yang hatinya
dipenuhi kedengkian kepada al-Qur`an, mereka mengatakan bahwa surat al-Mu`awidzatain
tidaklah termasuk dapat al-Qur`an. Mereka mencomot riwayat yang dinisbahkan
kepada Ibnu Mas`ud. Padahal sahabat Ibnu Mas`ud terbebas dari tuduhan semacam
itu, seperti bebasnya srigala yang dituduhkan telah memangsa nabi Yusuf.
Kalaupun riwayat yang dinisbahkan kepada Ibnu Mas`ud itu benar, maka
permasalahannya adalah bukannya Ibnu Mas`ud menolak al-Mu`awidzatain itu
bagian daripada al-Qur`an, tetapi dia hanya melihat bahwa al-Mu`awidzatain
sudah sangat populer dan tidak mungkin lupa dari ingatannya, maka menurutnya
tidak perlu dicantumkan dalam mushaf yang dimilikinya. Oleh karena itu, mereka
yang menuduh Ibnu Ma`ud sebenarnya tidak jujur dalam menyampaikan riwayat Ibnu
Mas`ud, karena pada akhirnya Ibnu Mas`ud juga menerima ketetapan Ijma` shabat tentang
al-Mu`awidzatain dan mencantumkan dalam mushafnya.[1]
Didalam
ayat ini Allah memerintahkan kepada kita orang yang mengimani kebenaran
al-Quran, untuk memohon perlindungan dan keselamat kepada Allah, Tuhan
al-Falaq. Kata al-Falaq secara umun diartikan oleh para ahli bahasa adalah segala
sesuatu yang terbelah. Imam al-Alusi dalam tafsirnya[2]
menjelaskan, bahwa kata al-Falaq memiliki arti memisah atau membelah. Dan Allah
adalah dzat yang membelah dan memecahkan sesuatu yang ada alam semesta ini.
Allahlah yang memancarkan air dari sela-sela pecahan bebatuan digunung. Dan
hujuan dari sela-sela awan yang ada dilangit, dan anak yang membelah Rahim,
menumbuhkan tanaman dari dalam perut bumi dan membelah pagi dengan malam dan
membalelah malan dengan pagi dan sebagainya. Penggunaan makna semacam ini dapat
kita lihat dalam kalam Allah surah al-An`am: 95 dan 96.
إِنَّ اللَّهَ
فَالِقُ الْحَبِّ وَالنَّوَى يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَمُخْرِجُ الْمَيِّتِ
مِنَ الْحَيِّ ذَلِكُمُ اللَّهُ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ (95)
“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji
buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang
mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka
mengapa kamu masih berpaling?
فَالِقُ
الْإِصْبَاحِ وَجَعَلَ
اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ
الْعَلِيمِ (96)
Dia
menyingsingkan pagi
dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan
untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui.
Dari
kata al-falaq yang menunjukan makna terpisah atau terbelah ini, oleh sebagian
ulama tafsir diartkan dengan waktu subuh. Karena waktu itu adalah yang
memisahkan dari waktu malam dan siang. Ada pula yang tentap memahami makna umum
dengan pengertian segala sesuatu yang terbelah dari ciptaan Allah.[3]
Baik itu berupa mata air, hewan, waktu, tumbuh-tumbuhan, biji-bijian, bahkan boleh
jadi ciptaan alam yang menurut teori Big Bang bermula dari ledakan
dahsyat sehingga terjadi pecahan-pecahan artikel yang akhirnya berkembang
menjadi alam jagat raya atas izin Allah. Bahkan lebih jauh, ada ulama yang
memahami bahwa dalam frase (أَعُوذُ
بِرَبِّ الْفَلَقِ), memberikan isyarat tentang
munculnya cahaya setelah kegelapan, keluasan setelah kesempitan, kemudahan
setelah kesulitan.[4]
Walhasil,
ayat ini mengaskan bahwa Allahlah yang membelah seluruh ciptaan-Nya appaun itu
bentuknya dan macamnya. Karenanya seluruh makhluk membutuhkan kepada-Nya dalam
kondisi apapun, untuk itu pantas jika Dia swt dijadikan sebagai tempat untuk
memohon perlindungan.
[1] - Jam`ul Qur`an Fii Marahilihi
at-Taarikhiyah min Ashrin Nabawi ila `Ashril Hadits, Muhammad Syar`I Abu Zaid, h. 178-181.
[2] - Ruhul Ma`ani, al-Alusi,h.
23/185.
[3] -Lih: al-Bahrul Bukhith, h.
11/51, Mafatihul Ghoib, h.
31/176, at-Tafsir al-Wasith, h. 4580, Lisanul Arab, Ibnul
Mandzur, 10/309.
[4] - Ruhul Ma`ani, al-Alusi,
h. 23/185.
Komentar
Posting Komentar