Fiqh dan Korelasi Surat Al-Falaq - Apakah Rasulullah saw pernah terkena sihir?

Dr. KH. Moh. Abdul Kholiq Hasan Lc.MA.M.Ed



 

A.    Fiqh Surat al-Falaq

1-      Ayat ini mendorong kepada kita untuk selalu memaksimalkan usaha demi keselamatan diri kita. Dimanamapun dan kapanpun kita berada harus selalu terkoneksi dengan dzat yang maha agung dan memiliki segala-galanya. Hubungan yang kuat yang dibangun seorang hamba dengan RabbNya akan memberikan kekuatan yang luar biasa. Usaha itu diantaranya dengan bedoa dan memohon pertolongan dan perlindungan kepada Allah swt.

2-      Hukum Sihir dan Hakekatnya. Kata sihir dalam bahasa Arab tersusun dari huruf ر, ح, س (siin, kha, dan ra), yang secara bahasa bermakna segala sesuatu yang sebabnya nampak samar. Oleh karenanya kita mengenal istilah ‘waktu sahur’ yang memiliki akar kata yang sama, yaitu siin, kha dan ra, yang artinya waktu ketika segala sesuatu nampak samar dan “remang-remang”.

 

Para ulama memiliki pendapat yang beraneka ragam dalam memaknai kata ‘sihir’ secara istilah. Sebagian ulama mengatakan bahwa sihir adalah benar-benar terjadi ‘riil’, dan memiliki hakikat. Artinya, sihir memiliki pengaruh yang benar-benar terjadi dan dirasakan oleh orang yang terkena sihir. Ibnul Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sihir adalah jampi atau mantra yang memberikan pengaruh baik secara zhohir maupun batin, semisal membuat orang lain menjadi sakit, atau bahkan membunuhnya, memisahkan pasangan suami istri, atau membuat istri orang lain mencintai dirinya. Namun ada ulama lain yang menjelaskan bahwa sihir hanyalah pengelabuan dan tipuan mata semata, tanpa ada hakikatnya.

 

Menurut aqidah ahli sunnah wal jama’ah, sihir itu memang ada dan memiliki hakikat, dan Allah Maha Menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya, keyakinan yang demikian ini berbeda dengan keyakinan kelompok Mu’tazilah.  Namun tidaklah dipungkiri, bahwa ada jenis-jenis sihir yang tidak memiliki hakikat, yaitu sihir yang hanya sebatas pengelabuan mata, tipu muslihat, “sulapan”, dan yang lainnya. Jenis-jenis sihir yang demikian inilah yang dimaksudkan oleh perkataan beberapa ulama yang mengatakan bahwa sihir tidaklah memiliki hakikat. Dan sihir termasuk dosa besar, (HR. Bukhari).

 

Kafirkah Tukang Sihir? Allah ta’ala berkalm (yang artinya), “Dan Nabi Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi para syaitan lah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia” (Al Baqarah : 102). Imam Adz Dzahabi rahimahullah berdalil dengan ayat di atas untuk menegaskan bahwa orang yang mempraktekkan ilmu sihir, maka dia telah kafir. Karena tidaklah para syaitan mengajarkan sihir kepada manusia melainkan dengan tujuan agar manusia menyekutukan Allah ta’ala.  Syaikh As Sa’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu sihir dapat dikategorikan sebagai kesyirikan dari dua sisi. Pertama: orang yang mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang meminta bantuan kepada para syaitan dari kalangan jin untuk melancarkan aksinya, dan betapa banyak orang yang terikat kontrak perjanjian dengan para syaitan tersebut akhirnya menyandarkan hati kepada mereka, mencintai mereka, ber-taqarrub kepada mereka, atau bahkan sampai rela memenuhi keinginan-keinginan mereka. Kedua: orang yang mempelajari dan mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib. Dia telah berbuat kesyirikan kepada Allah dalam pengakuannya tersebut (syirik dalam rububiyah Allah), karena tidak ada yang mengetahui perkara ghaib melainkan hanya Allah ta’ala semata. Sedangkan Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah merinci bahwa orang yang mempraktekkan sihir, bisa jadi orang tersebut kafir, keluar dari Islam, dan bisa jadi orang tersebut tidak kafir meskipun dengan perbuatannya tersebut dia telah melakukan dosa besar. Pertama; Tukang sihir yang mempraktekkan sihir dengan memperkerjakan tentara-tentara syaitan, yang pada akhirnya orang tersebut bergantung kepada syaitan, ber-taqarrub kepada mereka atau bahkan sampai menyembah mereka. Maka yang demikian tidak diragukan tentang kafirnya perbuatan semacam ini. Kedua; Adapun orang yang mempraktekkan sihir tanpa bantuan syaitan, melainkan dengan obat-obatan berupa tanaman ataupun zat kimia, maka sihir yang semacam ini tidak dikategorikan sebagai kekafiran.

 

Adapun Hukuman Bagi Tukang Sihir; Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika, di akhir kekhalifahan beliau, mengirimkan surat kepada para gubernur, sebagaimana yang dikatakan oleh Bajalah bin ‘Abadah radhiyallahu ‘anhu, “Umar bin Khattab menulis surat (yang berbunyi): ‘Hendaklah kalian (para pemerintah gubernur) membunuh para tukang sihir, baik laki-laki ataupun perempuan’. Dalam kisah Umar radhiyallahu ‘anhu di atas memberikan pelajaran bagi kita, bahwa hukuman bagi tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya adalah hukuman mati. Terlebih lagi terdapat sebuah riwayat, meskipun riwayat tersebut diperselisihkan oleh para ulama tentang status ke-shahihan-nya, Rasulullah bersabda, “Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang” (Diringkas dari: http://muslim.or.id/aqidah/sihir-dalam-pandangan-islam.html).

 

3-      Apakah Rasulullah saw pernah terkena sihir? Dalam hal ini banyak sekali perbedaan antara ulama. Namun semua sepakat, baik yang mengatakan Rasulullah pernah terkena sihir atau tidak, bahwa sihir itu ada dan Rasulullah tidak pernah terkena pengaruh sihir dalam hal penyampaian wahyu. Walaupun begitu pendapat yang lebih menyejukkan hati dalam hal ini adalah bahwa Rasulullah saw tidak pernah terkena sihir selama hidupnya. Supaya kita semuanya maklum, meskipun beberapa tafsir yang besar dan ternama menyalin berita ini dengan tidak menyatakan pendapat, dan bahkah sebagian mempertahankan kebenaran riwayat itu berdasar kepada shahih riwayatnya, Bukhari dan Muslim. Namun ada juga yang membantahnya. Di antaranya Ibnu Katsir. Ibnu Katsir setelah menyalinkan riwayat tentang Rasulullah terkena sihir ini seluruhnya, membuat penutup demikian bunyinya: “Demikianlah mereka meriwayatkan dengan tidak lengkap sanadnua, dan di dalamnya ada kata-kata yang gharib, dan pada setengahnya lagi ada kata-kata yang mengandung nakarah syadidah (kemungkaran yan gsangat parah).” Sayid Quthub di dalam tafsirnya “Fi Zhilalil Qur’an” menegaskan bahwa sekalipun hadits yang menjelaskan tentang Rasulullah tersihir itu diriwayatkan oleh Bukhori Muslim, namun hadis tersebut adalah hadis Al-Ahad, bukan mutawatir. Jika hadis ahad tersebut bertentangan dengan ayat yang sharih dari Al-Qur’an (dalam hal ini adalah ayat yang menegaskan tentang kema`suman Rasulullah saw sebagaimana dalam surah al-Maidah:67), maka hadis tersebut tertolak. Disamping riwayat tersebut bertentangan dengan peniadaan al-Qur`an dari Rasulullah saw bahwa beliau terkena sihir serta mendustakan orang-orang musyrik mengenahi dakwaan-dakwaan kebohongan mereka. Untuk itu riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah terkena sihir adakah jauh dari kebenaran. Wallahu `alam bish showab.[1]

 

B.     Korelasi Antar Surah

            1.         Surah al-Falaq dengan an-Naas, kedua-duanya sama menegaskan sifat-sifat Tuhan yang pantas untuk dimintai perlindungan dari berbagai kejahatan.

            2.         Kedua-duanya sama mengajak kepada manusia, bahwa hanya kepada Allah-lah manusia menyerahkan perlindungan diri dari segala kejahatan.

            3.         Keduanya sama dimulai dengan kata “Qul” (katakanlah), sebagai sebuah pemberitaan bagi seluruh manusia agar sadar bahwa keburukan bisa datang dari mana saja, bahkan dari dalam dirinya sendiri.  



[1] -Lih: Tafsir Ibnu Katsir, h. 8/538,  Tafsir Fii Dhilalil Qur`an, Sayyid Qutub, Terjemah: As`ad yasin dan Abdul Aziz Salim, h. 12/381.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 188-191

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 192-194