Fiqh dan Korelasi Surat Al-Falaq - Apakah Rasulullah saw pernah terkena sihir?
A. Fiqh Surat al-Falaq
1-
Ayat
ini mendorong kepada kita untuk selalu memaksimalkan usaha demi keselamatan
diri kita. Dimanamapun dan kapanpun kita berada harus selalu terkoneksi dengan
dzat yang maha agung dan memiliki segala-galanya. Hubungan yang kuat yang
dibangun seorang hamba dengan RabbNya akan memberikan kekuatan yang luar biasa.
Usaha itu diantaranya dengan bedoa dan memohon pertolongan dan perlindungan
kepada Allah swt.
2-
Hukum Sihir dan Hakekatnya. Kata sihir dalam bahasa Arab tersusun dari
huruf ر, ح, س (siin, kha, dan ra),
yang secara bahasa bermakna segala sesuatu yang sebabnya nampak samar. Oleh
karenanya kita mengenal istilah ‘waktu sahur’ yang memiliki akar kata yang
sama, yaitu siin, kha dan ra, yang artinya waktu ketika segala sesuatu nampak
samar dan “remang-remang”.
Para
ulama memiliki pendapat yang beraneka ragam dalam memaknai kata ‘sihir’ secara
istilah. Sebagian ulama mengatakan bahwa sihir adalah benar-benar terjadi
‘riil’, dan memiliki hakikat. Artinya, sihir memiliki pengaruh yang benar-benar
terjadi dan dirasakan oleh orang yang terkena sihir. Ibnul Qudamah rahimahullah
mengatakan, “Sihir adalah jampi atau mantra yang memberikan pengaruh baik
secara zhohir maupun batin, semisal membuat orang lain menjadi sakit, atau
bahkan membunuhnya, memisahkan pasangan suami istri, atau membuat istri orang
lain mencintai dirinya. Namun ada ulama lain yang menjelaskan bahwa sihir
hanyalah pengelabuan dan tipuan mata semata, tanpa ada hakikatnya.
Menurut
aqidah ahli sunnah wal jama’ah, sihir itu memang ada dan memiliki hakikat, dan
Allah Maha Menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya, keyakinan yang
demikian ini berbeda dengan keyakinan kelompok Mu’tazilah. Namun tidaklah dipungkiri, bahwa ada
jenis-jenis sihir yang tidak memiliki hakikat, yaitu sihir yang hanya sebatas
pengelabuan mata, tipu muslihat, “sulapan”, dan yang lainnya. Jenis-jenis sihir
yang demikian inilah yang dimaksudkan oleh perkataan beberapa ulama yang
mengatakan bahwa sihir tidaklah memiliki hakikat. Dan sihir termasuk dosa
besar, (HR. Bukhari).
Kafirkah
Tukang Sihir? Allah ta’ala berkalm (yang artinya), “Dan
Nabi Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi para syaitan lah yang kafir, mereka
mengajarkan sihir kepada manusia” (Al Baqarah : 102). Imam Adz Dzahabi
rahimahullah berdalil dengan ayat di atas untuk menegaskan bahwa orang yang
mempraktekkan ilmu sihir, maka dia telah kafir. Karena tidaklah para syaitan
mengajarkan sihir kepada manusia melainkan dengan tujuan agar manusia
menyekutukan Allah ta’ala. Syaikh As
Sa’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu sihir dapat dikategorikan sebagai
kesyirikan dari dua sisi. Pertama: orang yang mempraktekkan ilmu sihir
adalah orang yang meminta bantuan kepada para syaitan dari kalangan jin untuk
melancarkan aksinya, dan betapa banyak orang yang terikat kontrak perjanjian dengan
para syaitan tersebut akhirnya menyandarkan hati kepada mereka, mencintai
mereka, ber-taqarrub kepada mereka, atau bahkan sampai rela memenuhi
keinginan-keinginan mereka. Kedua: orang yang mempelajari dan
mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang mengaku-ngaku mengetahui perkara
ghaib. Dia telah berbuat kesyirikan kepada Allah dalam pengakuannya tersebut
(syirik dalam rububiyah Allah), karena tidak ada yang mengetahui perkara ghaib
melainkan hanya Allah ta’ala semata. Sedangkan Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah
merinci bahwa orang yang mempraktekkan sihir, bisa jadi orang tersebut kafir,
keluar dari Islam, dan bisa jadi orang tersebut tidak kafir meskipun dengan
perbuatannya tersebut dia telah melakukan dosa besar. Pertama; Tukang
sihir yang mempraktekkan sihir dengan memperkerjakan tentara-tentara syaitan,
yang pada akhirnya orang tersebut bergantung kepada syaitan, ber-taqarrub
kepada mereka atau bahkan sampai menyembah mereka. Maka yang demikian tidak
diragukan tentang kafirnya perbuatan semacam ini. Kedua; Adapun orang
yang mempraktekkan sihir tanpa bantuan syaitan, melainkan dengan obat-obatan
berupa tanaman ataupun zat kimia, maka sihir yang semacam ini tidak
dikategorikan sebagai kekafiran.
Adapun
Hukuman Bagi Tukang Sihir; Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
pernah suatu ketika, di akhir kekhalifahan beliau, mengirimkan surat kepada
para gubernur, sebagaimana yang dikatakan oleh Bajalah bin ‘Abadah radhiyallahu
‘anhu, “Umar bin Khattab menulis surat (yang berbunyi): ‘Hendaklah kalian (para
pemerintah gubernur) membunuh para tukang sihir, baik laki-laki ataupun
perempuan’. Dalam kisah Umar radhiyallahu ‘anhu di atas memberikan pelajaran
bagi kita, bahwa hukuman bagi tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya adalah hukuman
mati. Terlebih lagi terdapat sebuah riwayat, meskipun riwayat tersebut
diperselisihkan oleh para ulama tentang status ke-shahihan-nya, Rasulullah
bersabda, “Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang” (Diringkas
dari: http://muslim.or.id/aqidah/sihir-dalam-pandangan-islam.html).
3- Apakah Rasulullah saw pernah terkena sihir? Dalam
hal ini banyak sekali perbedaan antara ulama. Namun semua sepakat, baik yang
mengatakan Rasulullah pernah terkena sihir atau tidak, bahwa sihir itu ada dan
Rasulullah tidak pernah terkena pengaruh sihir dalam hal penyampaian wahyu. Walaupun
begitu pendapat yang lebih menyejukkan hati dalam hal ini adalah bahwa
Rasulullah saw tidak pernah terkena sihir selama hidupnya. Supaya kita
semuanya maklum, meskipun beberapa tafsir yang besar dan ternama menyalin
berita ini dengan tidak menyatakan pendapat, dan bahkah sebagian mempertahankan
kebenaran riwayat itu berdasar kepada shahih riwayatnya, Bukhari dan Muslim.
Namun ada juga yang membantahnya. Di antaranya Ibnu Katsir. Ibnu Katsir setelah
menyalinkan riwayat tentang Rasulullah terkena sihir ini seluruhnya, membuat
penutup demikian bunyinya: “Demikianlah mereka meriwayatkan dengan tidak
lengkap sanadnua, dan di dalamnya ada kata-kata yang gharib, dan pada
setengahnya lagi ada kata-kata yang mengandung nakarah syadidah (kemungkaran
yan gsangat parah).” Sayid Quthub di dalam tafsirnya “Fi Zhilalil Qur’an”
menegaskan bahwa sekalipun hadits yang menjelaskan tentang Rasulullah tersihir
itu diriwayatkan oleh Bukhori Muslim, namun hadis tersebut adalah hadis
Al-Ahad, bukan mutawatir. Jika hadis ahad tersebut bertentangan dengan ayat
yang sharih dari Al-Qur’an (dalam hal ini adalah ayat yang menegaskan tentang
kema`suman Rasulullah saw sebagaimana dalam surah al-Maidah:67), maka hadis
tersebut tertolak. Disamping riwayat tersebut bertentangan dengan peniadaan
al-Qur`an dari Rasulullah saw bahwa beliau terkena sihir serta mendustakan
orang-orang musyrik mengenahi dakwaan-dakwaan kebohongan mereka. Untuk itu
riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah terkena sihir adakah
jauh dari kebenaran. Wallahu `alam bish showab.[1]
B. Korelasi Antar Surah
1.
Surah
al-Falaq dengan an-Naas, kedua-duanya sama menegaskan sifat-sifat Tuhan yang
pantas untuk dimintai perlindungan dari berbagai kejahatan.
2.
Kedua-duanya
sama mengajak kepada manusia, bahwa hanya kepada Allah-lah manusia menyerahkan
perlindungan diri dari segala kejahatan.
3.
Keduanya
sama dimulai dengan kata “Qul” (katakanlah), sebagai sebuah pemberitaan bagi
seluruh manusia agar sadar bahwa keburukan bisa datang dari mana saja, bahkan
dari dalam dirinya sendiri.
[1] -Lih: Tafsir Ibnu Katsir,
h. 8/538, Tafsir Fii Dhilalil Qur`an,
Sayyid Qutub, Terjemah: As`ad yasin dan Abdul Aziz Salim, h. 12/381.
Komentar
Posting Komentar