Tazkiyyah 8: Merangkul Perbedaan, Menuai Ukhuwah
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Merangkul Perbedaan, Menuai Ukhuwah
Oleh: DR. Moh Abdul Kholiq Hasan el-Qudsy
Pembaca yang berbahagia,
Tidak dipungkiri, kuantitas umat Islam
sekarang ini jauh lebih banyak jika dibandingkan abad-abad sebelumnya. Namun,
jumlah kuantitas ini ternyata tidak cukup menggembirakan bagi kita semua.
Kondisi umat Islam yang dipenuhi dengan perselisihan, perbedaan bahkan saling
curiga dan permusuhan, menjadikan para musuh Islam berani dengan kita.
Kita lebih suka memelihara dan
menyuburkan perbedaan-perbedaan yang sebenarnya tidak prinsip. Atau lebih parah
lagi menjadikan yang tidak prinsip menjadi prinsip atau sebaliknya. Padahal perbedaan-perbedaan tersebut
semestinya bukanlah alasan untuk bersengketa atau berpecah-belah. Allah Swt
tidak melarang berbeda pendapat sejak awal, tetapi melarang berpecah-belah
gara-gara perbedaan pendapat tersebut (Ali Imran:103). Ulama-ulama terdahulu,
sejak zaman sahabat, mereka berbeda dalam beberapa masalah. Namun, mereka tetap
terikat oleh tali ukhuwwah Islamiyah.
Salah satu instrumen yang terpenting dalam
mensinergikan warna-warni kekuatan umat tersebut adalah perlu pemahaman
terhadap realita perbedan itu sendiri. Pemahaman terhadap perbedaan itu tidak
mungkin akan berhasil dengan mulus kecuali dengan pembekalan etika memahami
perbedaan atau yang lebih dikenal dengan adabul ikhtilaf. Di samping itu
semua, tentu dibutuhkan sebuah perubahan mindset dan ke-ikhlasan.
Pembaca yang dirahmati Allah,
Dalam kajian Islam, perbedaan
pemahaman agama (ikhtilaf) bisa
dibagi dua.
Pertama; Ikhtilaf yang masih diperbolehkan dan
ditolerir. Masuk dalam jenis ini adalah
setiap permasalahan dalam agama ini yang diperselisihkan sejak dahulu oleh para
ulama mujtahid dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, serta
para imam ahlul hadits dan imam kaum muslimin al-mu`tabaroh. Atau dengan kata lain
perbedaan dalam masalah furu-iyyah (cabang, non prinsip) yang tidak
ada dalilnya secara pasti. Di mana letak
tujuan utama perbedaan ijtihad mereka adalah penegakan syiar dan aturan agama.
Contoh: perbedaan tentang bacaan basmalah pada surah al-Fatihah di dalam sholat
dan doa Qunut dalam setiap sholat subuh. Dalam hal ini kaidah yang dipakai
adalah “Pendapat kami benar tetapi
mungkin mengandung kesalahan, dan pendapat selain kami salah tetapi
mungkin juga mengandung kebenaran”.
Kedua; Ikhtilaf yang madzmum atau tercela dan
dilarang. Setiap ikhtilaf yang dapat membawa
kepada perpecahan dan permusuhan serta kebencian di antara muslimin. Karena
perselisihan ini terjadi pada permasalahan prinsipil, yaitu masalah ushuluddin
(dasar agama) yang ditetapkan oleh nash yang qath’i (jelas dan tegas), ijma’
qath’i atau sesuatu yang telah disepakati sebagai manhaj (metodologi
beragama) Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak boleh diperselisihkan. Seperti
menyangkut masalah-masalah aqidah, dasar-dasar ibadah & dasar-dasar mu’amalah.
Termasuk dalam hal ini, adalah ikhtilaful qulub (perbedaan dan
perselisihan hati) dan ini termasuk dalam kategori tafarruq (perpecahan)
yang dilarang oleh agama. Kaidah yang
harus dipakai dalam hal ini adalah “Mazhab kami benar, tidak
mengandung kesalahan sama sekali, dan mazhab yang lain salah dan tidak mengandung
kebenaran sama sekali”. Meskipun demikian, sebagai sesama kaum muslimin tetap mengedepankan akhlaq dan tanpa kekerasan sehingga makna “Rahmatal lil `alamin” sebagai
karakter umat Islam tidak terdistorsi dengan perilaku yang tidak bertanggung
jawab.
Hadirin yang berbagia,
Di antara adab yang perlu
dikedepankan dalam menghadapi perbedaan antar umat adalah:
1- Mengutamakan I`tishom (persatuan) dan Ulfah (harmoni) dalam
Umat
2- Menjadikan masalah-masalah ushul
yang disepakati (ijma’) –dan bukan khilafiyah– sebagai standar dan parameter
komitmen dan keistiqamahan seorang muslim.
3- Manyakini bahwa yang ma`shum hanya
Nabi Muhmmad SAW
4- Mendahulukan akhlaq dan bekerjasama. (Bekerjasama
dalam masalah-masalah yang disepakati dan
saling toleransi dalam masalah yang
diselisihkan).
5- Mendahulukan
yang muhkamat dari mutasyabihat
6- Toleransi dan tidak mudah memvonis orang apalagi mengakafirkan
7- Selalu
menambah ilmu dan husnudhon kepada para ulama.
8- Diskusi dalam bingkai ukhuwwah dan untuk kemaslahatan umat
secara umum.
Dengan mengedepankan adab-adab di atas
dalam menyikapi perbedaan dan dengan hati yang ikhlas karena Allah, maka
persatuan umat tidaklah sesuatu yang mustahil.
http://mkitasolo.blogspot.com/
Komentar
Posting Komentar