tafsir Tahliliy

A.    PENGERTIAN TAFSIR TAHLILIY
Tafsir tahliliy [1] adalah metode yang digunakan untuk menerangkan ayat-ayat Al-Qur`an secara terperinci (sesuai dengan kemampuan dan syarat-syarat mufassir) dari segi:
1.    Pembahasan-pembahasan lafal ayat-ayat yang meliputi keterangan setiap kosa katanya, i’robnya dan penyebutan qira`atnya.
2.    Pembahasan-pembahasan makna ayat-ayat yang meliputi apa yang terkandung di dalamnya tentang akidah, cabang-cabang syari’at dan perincian hukum-hukum, pondasi-pondasi akhlak dan sebagainya.
Di dalam kitab lain disebutkan bahwa yang dibahas dalam tahsir tahliliy juga meliputi sabab nuzul sebuah ayat, perbedaan pendapat para ulama dalam menafsirkan suatu ayat, dan kecocokan atau munasabah antar ayat. [2]
Namun, apabila seorang ulama hanya menyebutkan sebagiannya saja, misalnya hanya menyebutkan analisis makna ayat, sababun nuzul, perbedaan pendapat ulama dalam qira`at saja tanpa menyebutkan munasabah antar ayat atau i’rob atau yang lainnya, maka metode penafsiran yang dia gunakan tetap dinamakan metode tafsir tahliliy. Ini dilihat dari segi penguraiannya atau penganalisisan yang dia gunakan untuk menafsirkan suatu ayat.
Wallahu a’lam bish shawwab.


Sejarah singkat tentang tafsir hingga berkembang menjadi tafsir tahliliy


As-Sayyid Muhammad ‘Aqil bin Ali Al-Mahdaliy dalam kitabnya Ad-Dirasat At-Tahliliyyah menjelaskan tentang tafsir pada zaman Rasulullah sas. hingga zaman sesudah beliau; bagaimana bisa sampai kepada tafsir tahliliy. Berikut keterangannya: [3]
Ayat-ayat Al-Qur`an sudah ditafsirkan atau diterangkan sejak zaman Rasulullah sas.. Bahkan beliau adalah orang yang pertama kali menerangkan maksud kalam-kalam Allah Ta’ala. Saat Rasulullah sas. masih hidup, para sahabat tidak berani menerangkan Al-Qur`an. Baru setelah Rasulullah sas. meninggal, mereka mau tak mau harus menjadi pengganti untuk menerangkan kepada manusia tentang keterangan kalam Allah.
Para sahabat yang terkenal sebagai ahli tafsir adalah: Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Ma’sud, Ibnu ‘Abbas, Ubayy bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ariy, dan Abdullah bin Zubair.
Sifat-sifat tafsir pada masa Rasulullah sas. dan para sahabat yaitu:
1.      Al-Qur`an masih hanya ditafsirkan sebagian yang dirasa sulit untuk difaham. Belum ditafsirkan secara keseluruhan.
2.      Antar para sahabat tidak banyak berbeda dalam memahami makna ayat.
3.      Mereka mencukupkan diri mereka untuk memahami makna ijmali dan tidak mengharuskan untuk mengetahui makna secara detail. Contohnya:
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا [4]
Artinya:
Dan buah-buahan dan rumput-rumputan.

Mereka cukup memahami ayat ini dengan hitungan nikmat Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya.
4.      Jarangnya ada istimbat untuk hukum-hukum fikih dari suatu ayat. Dan waktu itu belum ada orang yang ingin memenangkan madzhabnya.
5.      Tafsir belum dibukukan. Pembukuan tafsir dilakukan pada kurun ke-2.
6.      Tafsir pada masa ini masih berupa periwayatan-periwayatan hadits. Belum ada kitab tersendiri tentang tafsir.
Tafsir pada masa Rasulullah sas. berada dalam marhalah pertama. Sedangkan marhalah kedua yaitu pada masa tabi’in. Pada masa ini, tafsir dinukil dengan cara talaqqi dan riwayat kepada para sahabat yang ahli di bidang tafsir sesuai dengan tempatnya masing-masing. Misalnya penduduk Mekah, mereka belajar tafsir dari Ibnu ‘Abbas, penduduk Madinah belajar tafsir dari Ubayy bin Ka’ab dan penduduk Iraq belajar tafsir dari Ibnu Mas’ud.
Mulai saat itulah muncul perbedaan-perbedaan dalam tafsir, tentang penciptaan alam semesta, cerita-cerita, kabar-kabar israiliyyat dan lain-lain. Adapun yang berkaitan dengan akidah dan hukum syari’at, maka hal itu masih seperti pada zaman sahabat, yaitu belum ada perselisihan.
Marhalah ketiga adalah pembukuan tafsir. Marhalah ini dimulai pada masa akhir-akhir Bani Umayyah dan awal-awal Bani Abbasiyyah. Pembukuan hadits pertama kali dimulai dengan menuliskan tafsir Al-Qur`an dengan cara periwayatan-periwayatan hadits.
Setelah marhalah ketiga, tafsir secara bertahap mulai terpisah dari hadits. Tafsir mulai berdiri sendiri, tiap-tiap ayat ditafsirkan secara tersendiri, dan diurutkan sesuai dengan urutan mush-haf. Para ulama di masa ini yang terkenal sebagai ahli tafsir adalah:
1.      Ibnu Majah (w. 273 H)
2.      Ibnu Jarir (w. 310 H)
3.      Abu Bakar bin Mundzir (w. 318 H)
4.      Ibnu Abi Hatim (w. 327 H)
5.      Ibnu Hibban (w. 329 H)
6.      Al-Hakim (w. 405 H)
7.      Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410 H)

Tafsir-tafsir yang disusun oleh para ulama di atas disandarkan kepada Rasulullah sas. , para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Bahkan Ibnu Jarir menambahkan perkataan-perkataan ulama tentang suatu ayat, kemudian mentarjih perkataan-perkataan tersebut. Beliau juga menambahkan i’rob dan istimbat hukum yang bisa diambil dari ayat tersebut.
Pada tahap berikutnya, banyak sekali orang yang menafsirkan ayat Al-Qur`an dengan menukil perkataan ulama tafsir yang ada sebelum mereka, tetapi tanpa mereka sandarkan kepada ulama tafsir tersebut. Dengan sebab itu, muncullah banyak pemalsuan dan kerancuan mana sebenarnya tafsir yang benar dan mana tafsir yang tidak benar yang hanya berhenti pada pendapat mereka sendiri. Banyak di antara mereka yang memasukkan israiliyyat dan menganggap bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Semakin lama, pembukuan tafsir sudah dicampur antara tafsir yang didapat dari penukilan dan yang datang dari kepahaman logika. Awalnya, mereka menuliskan paham individual dan mentarjih sebagian perkataan atas sebagian yang lain. Hal ini dapat diterima selama logika tersebut masih kembali kepada batas-batas bahasa dan dalalah dalam Al-Qur`an. Pemahaman individual ini kemudian berkembang dan bertambah banyak seiring dengan bertambahnya ilmu pengetahuan, pendapat-pendapat golongan dan akidah-akidah yang kontradiksi.
Pada masa dinasti ‘Abbasiyyah, ilmu bahasa sudah dibukukan. Madzhab-madzhab fikih sudah bercabang-cabang. Partai-partai Islam juga sudah banyak. Tiap-tiap partai menyebarkan madzhabnya. Kitab-kitab filsafat sudah banyak diterjemahkan. Setelah itu, tafsir tercampur dengan pikiran-pikiran filsafat dan dibuat agar orang-orang mengikuti madzhab mufassir.
Setiap ulama menjadikan kitab tafsir mereka lebih banyak membicarakan ilmu-ilmu tertentu sesuai dengan bidang mereka masing-masing. Contoh:
1.      Abul Hayyan, Az-Zujaj dan Al-Wahidi berbicara banyak tentang ilmu bahasa.
2.      Ar-Razi berbicara banyak mengenai falsafat.
3.      Al-Qurthubi dan Al-Jashshash berbicara banyak tentang fikih.
4.      Ats-Tsa’labiy berbicara banyak tentang tarikh.

Oleh sebab itu, dari sana dapat kita ketahui bahwa studi para mufassir adalah studi dengan cara menganalisis. Ada analisis lughawiyyah (bahasa), balaghiyyah (balaghah), adabiyyah (sastra), nahwiyyah (nahwu), fiqhiyyah (fikih) dan falsafiyyah (falsafat).
Sehingga dapat dikatakan bahwa tafsir tahliliy itu memiliki dua segi, yaitu:
1.      Segi Pendahuluan, yang meliputi :
a.       Penyebutan nama-nama surat dan sebab-sebab dinamakannya surat tersebut
b.      Jumlah ayat
c.       Sebab-sebab nuzul
d.      Tempat dan waktu turun
e.       Munasabah atau kesesuaian antara satu surat dengan surat lain
f.       Fadhilah-fadhilah surat
g.      Tujuan-tujuan surat
2.      Segi Asas dalam tafsir tahliliy. Segi ini mencakup apa yang akan dijelaskan oleh mufassir dalam kitab tafsirnya, yang meliputi:
a.       Segi bahasa
b.      Segi balaghah
c.       Segi sastra
d.      Segi nahwu
e.       Segi akidah
f.       Segi fikih
g.      Segi akhlak
h.      Segi filsafat
i.        Segi sejarah
j.        Segi dakwah
k.      Segi ilmu pengetahuan




[1] Madkhalun ila Manahijil Mufassirin, Muhammad As-Sayyid Jibril, hlm. 117-118.
[2] Arsyif Multaqa Ahlil Hadits 4, Al-Mishriy, jld. 39, hlm. 210.
[3] Disadur dari Ad-Dirasat At-Tahliliyyah, As-Sayyid Muhammad ‘Aqil bin Ali Al-Mahdaliy, hlm. 15-21.
[4] Q. S. ‘Abasa: 31.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 188-191

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 192-194