Tafsir Surat Ali-Imron: 165-166

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

MAJLIS KAJIAN INTERAKTIF TAFSIR AL-QUR`AN
(M-KITA) SURAKARTA

Oleh: Al-Ustadz Dr. Hasan el-Qudsy, M.A., M.Ed.


Allah berkalam:

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (165) وَمَا أَصَابَكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ (166)

Makna umum dari ayat 165-166:
v  165

Di dalam ayat ini, Allah mengingatkan kepada orang mukmin umumnya dan orang munafikhususnya, tentang salahnya perkataan mereka saat mengetahui kekalahan pada perang Uhud. Bagaimana perkataan mereka? Mereka mengatakan dengan nada terheran-heran: Bagaimana mungkin kekalahan ini terjadi? Bukankah kita bersama Rasulullah? Bukankah kita ada di pihak yang benar? Kenapa bisa kalah?.

Allah ingin mengingatkan mereka bahwa apa yang menimpa orang-orang musyrik di perang Badar yang disebabkan oleh orang-orang mukmin adalah dua kali lipat (jauh lebih) menyedihkan dari apa yang menimpa mereka di perang Uhud. Bandingkanlah dengan apa yang mereka terima saat perang Badar! Lantas, apakah pantas kalian mengatakan bagaimana mungkin kalian kalah? Bukankah mereka sudah mendapatkan penderitaan yang dua kali lipat dari apa yang kalian dapatkan di perang Uhud? Selain itu, bukankah kekalahan kalian di perang Uhud ini juga karena kesalahan kalian sendiri? Mengapa kalian seakan mewajibkan bahwa kalau bersama Rasulullah pasti menang? Salah kalau kalian beranggapan demikian. Lalu Rasulullah saw. diperintah oleh Allah untuk menjawab mereka. Kalau kalian bertanya demikian, maka jawabnya adalah kekalahan itu disebabkan oleh perbutan kalian sendiri. Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kalau Allah mau langsung menolong Rasulullah, Allah bisa saja menolong beliau tanpa kalian. Tetapi Allah –Yang Maha pengasih- menciptakan segala sesuatu didunia ini dengan adanya sebab. Tinggal manusianya sendiri apakah mau mengambil sebab tersebut atau tidak.

v  166
Allah menegaskan dalam ayat ini, bahwa apa yang terjadi saat perang Uhud itu adalah atas izin dari Allah. Salah satu tujuannya adalah untuk memperlihatkan kepada semua hamba-Nya, mana yang benar-benar beriman tunduk kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.

Penjelasan dan Hikmah Ayat 165-166:
v  165
1.       Tujuan ayat ini adalah meluruskan berbagai persepsi atau angggapan salah dari sebagaian orang mukmin dan mengungkap hakikat keimanan seseorang, serta kebusukan orang-orang munafik. Karena ketika umat Islam menang dalam perang Badar, banyak orang munanfik masuk Islam dengan tujuan mendapatkan rampasan  perang. Namun dalam kekalahan uhud, niatan busuk mereka terbongkar. Tujuannya adalah agar umat Islam waspada dengan perilaku busuk mereka. Bahwa orang munafik kapanpun dan dimanapun yang dikejar hanyalah keuntungan duniawi.

2.    أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ. ‘a’ di sini adalah ‘a’ istifhamiyyah inkariyah untuk memberi kesan keheranan. wa’ adalah waw athof. Sehingga أَوَلَمَّا artinya dan bukankah ketika kalian tertimpa musibah.

3.       Musibahasli artinya adalah sasaran tembak yang tepat. Dialihkan maknanya menjadi: segala sesuatu yang menimpa seseorang dan sesuatu tersebut tidak disukai. Bisa mengena pada jiwa, raga atau harta, baik ringan maupun berat. Dan perlu diketahui, bahwa termasuk kategori musibah adalah yang menimpa keimanan seseorang. Dan ini sebenarnya musibah yang terberat. Sebab, akidah adalah penentu selamat atau tidaknya kita dari adzab Allah. Maka dari itu, marilah kita semua berlindung kepada Allah dari musibah yang menimpa pada akidah kita. Misalnya, hidup di lingkungan orang kafir, disiksa dan dipaksa untuk menjadi kafir. Atau bisa juga dengan cara yang halus, tidak terasa, namun pelan-pelan iman kita digerogoti dengan berbagai cara.

4.       Dikatakan (قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا), yang artinya “sungguh kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada meraka orang kafir”, karena pada waktu perang Badar, sebanyak 70 tokoh dari kalangan kafir Quraisy terbunuh ditambah 70 orang lagi ditawan. Ini adalah suatu pukulan yang begitu menyakitkan bagi orang-orang kafir saat itu. Baik yang dibunuh dan ditawan adalah para tokoh kafirin. Sehingga tawanan ini bisa dimanfaatkan untuk mengajari baca tulis mukminin di Madinah. Sedangkan di perang Uhud ini, yang terbunuh dari kalangan kalian adalah 70 orang dan tidak ada yang ditawan. Tentu kekalahan orang kafir dua kali lipat dari apa yang diderita orang mukmin di perang Uhud. Bahkan diawal pertempuran Uhud, kemenangan sudah ditangan orang mukmin, kalau bukan karena kesalahan sebagian pasukan mukminin, tentu kemenangan tersebut dapat dituntaskan. Dengan demikian, maka tidak pantas ada komentar atau ucapan yang tidak layak. Karena penyebab kekalahan adalah mereka sendiri.

5.       (قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا) yang artinya “ mereka berkata, dari mana kekelahan ini”, pernyataan ini menunjukkan bahwa mereka belum dewasa dalam menghadapai sebuah permasalahan. Belum mampu meletakkan permasalahan pada tempatnya. Bisa saja hal ini muncul karena keimanan mereka yang lemah atau karena niat mereka yang tidak benar dalam berperang. Sebagaimana perilaku orang-orang munafik.

6.       (مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ) yang artinya bahwa kekalahan mukminin di perang Uhud adalah karena kesalahan yang diperbuat diantara mereka sendiri. Diantara kesalahan tersebut sebagaimana disebutkan oleh Sayyid Thanthawi dalam tafsirnya (hal: 793) adalah: 1)Mengusulkan perang di luar kota madinah, padahal Rasulullah mengisyaratkan untuk tetap di Madinah. 2)Para pemanah yang meninggalkan pos pertahanan mereka. 3)Nafsu untuk mendapatkan rampasan perang sehingga lupa terhadap nasehat Rasulullah saw. 4)Tidak peduli dengan panggilan Rasulullah, untuk kembali mempertahankan barisan perang.

7.       Dengan memahami kesalahan-kesalahan tersebut, maka tidak layak untuk mengatakan sesuatu yang tidak pantas bagi orang yang berakal. Karena kalau orang berakal dia harus segera sadar atas berbagai kesalahan yang ia lakukan, mengintropeksi (muhasabah) diri, agar tidak terjadi kembali.

8.       Belajar dari ayat 165, seharusnya orang mukmin kapanpun dan dimanapun, harus sadar betul bahwa musibah yang menimpa, kekalahan yang diderita, kondisi umat yang terpinggirkan, semua itu adalah karena kesalahan yang di perbuat oleh orang Islam sendiri. Lihatlah orang islam, lebih senang berteman dengan musuh Allah, senang memakai UU selain syariat Allah, senang berselisih, saling menyalahkan, tidak mau bersatu, tidak mau belajar. Semua kondisi semacam ini, tentu tidak menguntungkan kemajuan umat Islam. Jika umat Islam terpuruk, maka itu sudah sewajarnya. Jangan menyalahkan orang lain atau Islam sebagai agama. Karena sejarah mencatat, bahwa Islam pernah mengangkat derajat umatnya dibelantara peradaban dunia, dikala mereka tunduk dan bersatu dalam panji-panji Islam.

9.       Dan perlu disadari, bahwa kondisi seseorang begitu pula umat, tidak akan mungkin tetap ada dalam satu keadaan. Senang terus, sedih terus, sakit terus atau sehat terus. Perang juga begitu. Kadang menang kadang kalah. Tidak mungkin sebuah umat selalu di atas, atau selalu di bawah. Yang perlu dicari adalah apa penyebabnya? Sehingga kita bisa berbenah. Segera bangkit sepenuh kekuatan yang dimiliki. Karena Allah telah menjadikan dalam aturan kehidupan didunia ini tidak lepas dari hukum sebab-akibat.

11.    Bila kita tertimpa sesuatu yang tidak kita sukai, hendaknya kita selalu bermuhasabah terhadap apa yang kita lakukan dan jangan sampai menyalahkan orang lain. Oleh karena itu sebagian salafush sholeh, ketika mendapati sesuatu yang tidak beres, mereka segara bermuhasabah dan minta ampun kepada Allah. Karena mereka berkenyakinan bahwa dosa akan membawa efek negatif dalam kehidupan.

v  v166
1.       يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ  iltaqa artinya bertemu. Al-jam’an artinya dua kelompok besar. Yaumal taqal jam’an artinya adalah hari pertemuan antara dua kelompok yang besar, yaitu di hari perang antara orang mukmin dan kafir.

2.       Apapun yang menimpa kita, baik senang maupun susah, semuanya sudah ditetapkan oleh Allah. Maka kembalikan semuanya hanya pada Allah. Maka hendaknya kita yakin terhadap qadha dan qadar dari Allah. Tetapi kita juga tidak diperbolehkan untuk menyerah begitu saja tanpa berusaha semaksimal mungkin. Karena masalah qadha dan qadar adalah hak pribadi Allah. Dan kita sebagai manusia diperintahkan untuk berusaha maksimal sesuai tuntunan syariat. Karena bisa saja Allah mengantungkan terjadinya sesuatu bergantung kepada usaha-usaha kita.

3.       Ibnu ‘Abbas berkata: laa yanfa’ul hadzaru ma’al qadari, wa laa kinnad du’a` yaf’alu maa yasyaa` (kalau sudah ada ketetapan dari Allah, maka kehati-hatian kita tak akan bermanfaat. Tetapi doa itu bisa mengubah apa yang sudah ditetapkan jika Allah menghendaki). Oleh karena itu, jangan sampai kita meremehkan doa, sekecil dan seremeh apapun.

4.       Suatu kali, Umar bin Khaththab bersama pasukannya menuju ke Syam. Setelah itu ada intel pihak muslim mengabarkan bahwa di Syam tersebar wabah penyakit. Setelah itu, Umar memutuskan untuk pulang dan tidak jadi ke Syam. Lantas ada yang protes. Bukankah sudah ada qadha dan qadar Allah? Kalau takdirnya tak kena, meskipun ke sana juga tak akan kena. Lalu Umar menjawab: perkataanmu memang benar. Tetapi kalau kita ke sana, sama saja kita lari dari ketetapan Allah yang ini menuju ketetapan Allah yang lain. Maksudnya kita sehat di sini adalah ketetapan dari Allah juga. Bila kita kesana berarti kita menuju ketetapan Allah yang lain berupa tertimpa penyakit wabah. Dari kisah di atas, dapat kita simpulkan bahwa berikhtiyar itu adalah kewajiban. Kita tak pernah tahu apa yang Allah tetapkan untuk kita. Untuk tahu, kita harus berdoa dan berusaha.

5.      وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ (dan supaya Dia –Allah- Tahu mana orang-orang beriman). Maksud dari supaya Allah tahu di sini bukan Allah sebelumnya tidak tahu. Tetapi supaya Allah memperlihatkan dan menunjukkan kepada semua hamba-Nya bahwa inilah orang beriman atau inilah orang munafik atau inilah orang kafir. Allah itu Maha Tahu segala-galanya. “Innallah ya’lamu ghaibas samaawaati wal ardh” (Allah itu tahu keghaiban langit-langit dan bumi ini).

6.     Musibah yang menimpa orang kafir dinamakan adzab atau siksaan. Bagi kita sebagai orang yang beriman menyakini bahwa musibah yang menima seorang mukmin pada dasarnya adalah bukanlah adzab / siksaan. Namun lebih tepat sebagai ujian untuk meningkatkan kualitas keimanan seseorang. Karena keimanan seseorang, itu bukan berarti ia bebas dari ujian. Bahkan dalam surat al-‘Ankabut ayat 2-3 secara gamblang ditegaskan. Yang artinya, apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.

7.      Oleh karena itu ketika ujian datang, kita semua harus sadar bahwa kita sedang di uji. Sehingga kita mampu untuk mengadapi ujian tersebut dengan penuh ketabahan dan keikhlasan serta berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan syarak. Lima kata kunci yang dibutuhkan untuk menyelesaikan ujian tersebut adalah sabar, ihlas, ihktiyar, doa dan tawakkal. Memang tidak mudah dalam melaksanakannya. Tetapi itulah landasan dan solusi agama yang diberikan kepada kita agar mampu bertahan dan lahir menjadi hamba Allah yang terbaik. Sebagimana Allah jelaskan, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. al-Mulk: 2)

* * *
http://mkitasolo.blogspot.com/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 188-191

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 192-194