Tafsir Surat Ali-Imron: 161-163


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

MAJLIS KAJIAN INTERAKTIF TAFSIR AL-QUR`AN
(M-KITA) SURAKARTA

Oleh: Al-Ustadz Dr. Hasan el-Qudsy, M.A., M.Ed.


Allah berkalam:

 وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (161) أَفَمَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَ اللَّهِ كَمَنْ بَاءَ بِسَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (162) هُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ (163)
Artinya:
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.

Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam?. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.

(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.

Makna Umum:
Ayat 161:
Ayat ini merupakan bara`ah (pembebasan) Rasulullah dari tuduhan telah mengorupsi harta ghanimah (harta rampasan perang). Tidak pantas seorang Nabi melakukan korupsi atau pengkhianatan terhadap harta yang bukan haknya. Orang yang dipilih Allah untuk membawa risalah-Nya pastilah orang yang sangat terjaga dari hal-hal yang tidak pantas. Maka, tuduhan orang munafik ini dibantah secara tegas oleh Allah. Siksaan bagi orang yang mengorupsi harta orang lain,kelakbesok di hari kiamat, hartatersebutakan menjadibumerang bagi dirinya. Akan dibebankan ke pundaknya. Allah bukanlah Dzat yang zhalim. Dia akan memberikan balasan sesuai dengan apa yang telah semua hamba-Nya kerjakan di dunia. 

Ayat 162:
Ayat ini mengandung pertanyaan retorika, yaitu pertanyaan yang tak perlu jawaban. Allah bertanya di sini apakah sama antara orang yang menjalankan syari’at Allah dengan orang yang tidak menjalankannya lalu mendapatkan kemarahan dan siksa dari Allah? Tentu jawabannya adalah tidak sama. Bahkan orang bodoh pun bisa menjawabnya. Tempat orang yang tidak mau menjalankan syari’at Allah adalah di neraka. Dan neraka itu adalah sejelek-jelek tempat kembali. Tiada kebahagiaan di sana. Sedang tempat orang yang mau menjalankan syari’at Allah itu di surga. Jadi tidak mungkin sama antara dua golongan itu.

Ayat 163:
Dalam ayat ini Allah menegaskan, bahwa semua orang, baik yang berbuat baik ataupun jahat, semua punya derajat masing-masing di hadapan Allah besok di hari kiamat, sesuai dengan amal perbuatan mereka.

Penjelasan:
Ayat 161:
1.  Ghulul adalah mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi.Hukumnya adalah haram dan termasuk dosa besar.

2.  Termasuk dalam keharaman ghulul adalah keharaman korupsi dan semua perbuatan pengambilan harta tanpa hak.

3.  Sababun nuzul (sebab turun) ayat ini ada dua pendapat:
*  Terjadi waktu perang badar. Saat itu ada kain bludru berwarna merah hilang. Lalu orang munafik berkata bahwa Rasulullah saw. yang mengambil kain bludru itu.
Maka turun ayat ini sebagai pembebasan untuk Rasulullah atas tuduhan mereka (HR. Abu Daud).
*  Terjadi berkaitan dengan kejadian di perang Uhud. Saat para pemanah yang berada di atas bukit melihat ghanimah dikumpulkan, mereka khawatir jangan-jangan mereka dilupakan karena mereka berada di atas bukit. Sehingga mereka tidak akan mendapat bagian dari ghanimah tadi. Maka turunlah ayat ini. (AsbabunNuzul, Al-Wahidi)

Di antara dua pendapat ini, pendapat yang kedua adalah pendapat yang lebih kuat. Karena ayat ini masih berhubungan dengan pasca perang Uhud.

4.  Ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah saw. itu sangat amanah dalam segala hal. Termasuk keuangan dan harta benda. Beliau bersih dari segala hal-hal kotor yang tak pantas dilakukan. Seorang nabi itu dijaga oleh Allah sehingga tidak mungkin beliau melakukan sesuatu yang tidak pantas sesuai dengan derajatnya sebagai seorang nabi. Terlihat mulai kecil sampai besar, beliau terjaga dari hal-hal yang sifatnya bisa menjatuhkan martabat seorang nabi.

5.  Siapa pun orang yang menggelapkan harta, besok di hari kiamat harta yang digelapkan tadi akan dibebankan ke pundaknya. Tentang siksa ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut: 

*  Bermakna hakiki. Artinyaharta yang dighululatau dikorupsi itu benar-benar akan menjadi bebanan yang ditaruh di pundaknya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
* Bermakna majaz tentang gambaran beratnya siksaan. Artinya, bukannya harta yang dighulul atau dikorupsi tersebut benar-benar akan dibebankan diatas pundaknya, tetapi hanya sebagai gambaran tentang beratnya siksaan yang diterima oleh orang tersebut.

6.      Untuk  menanggapi perbedaan ulama tersebut, kita perlu melihat kepada kaidah-kaidah kebahasaan. Diantaranya kaidah, ketika ada kata mempunyai dua makna, yaitu hakiki dan metafora (majaz), maka selama makna hakiki itu bisa digunakan, maka tidak boleh menggunkan makna majazi. Dalam ayat ini (161), tidak ada penghalang untuk tetap menggunakan makna hakiki. Sehingga, makna yang benar adalah sebagaimana dikatakan oleh ulama jumhur.

7.      Dalam Islam, perbuatan ghulul, korupsi atau semakna denganya, sangat dibenci dan merupakan perbuatan dosa besar. Banyak hadist menerangkan hal tersebut. Diantaranya adalah sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara dhalim, maka Allah akan mengalungkan di lehernya pada Hari Kiamat nanti dengan setebal tujuh lapis bumi. (HR. Bukhari dan Muslim). Dalamkesempatan lain Rasulullah bersabda, “Barangsiapa di antaramu kami minta mengerjakan sesuatu untuk kami, kemudian ia menyembunyikan satu alat jahit (jarum) atau lebih dari itu, maka perbuatan itu ghulul (korupsi) harus dipertanggungjawabkan nanti pada Hari Kiamat.” (HR Muslim).

8.      Termasuk dalam hal ini adalah keharaman menerima hadiah bagi seorang pejabat dari koleganya. Sebagaimana dalam sebuah hadits shahih, diriwayatkan dari Abu Humaid as-Saaidi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam telah member tugas kepada seorang lelaki dari Kaum al-Asad yang dikenal sebagai Ibnu Lutbiyah. Ia ikut Amru dan Ibnu Abu Umar untuk urusan sedekah. Setelah kembali dari menjalankan tugasnya, lelaki tersebut berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam: Ini untuk Anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku. Setelah mendengar kata-kata tersebut, laluRasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam berdiri di atas mimbar.

Setelah mengucapkan puji-pujian kehadirat Allah, beliau bersabda: “Adakah patut seorang petugas yang aku kirim untuk mengurus suatu tugas berani berkata: Ini untuk Anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepdaku? Kenapa dia tidak duduk di rumah bapak atau ibunya (tanpa memegang jabatan apa-apa) sehingga ia menunggu, apakah dia akan dihadiahi sesuatu atau tidak? Demi Dzat Muhammad yang berada di tangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian mengambil sesuatu darinya kecuali pada Hari Kiamat kelak dia akan dating dengan memikul di atas lehernya (jika yang diambil itu seekor unta maka) seekor unta itu akan mengeluarkan suaranya, atau seekor lembu yang melenguh atau seekor kambing yang mengembek.“ Kemudian beliau mengangkat kedua-dua tangannya tinggi-tinggi sehingga Nampak kedua ketiaknya yang putih, dan beliau bersabda: “Ya Allah! Bukankah aku telah menyampaikannya,” sebanyak dua kali. (HR. Bukhari dan Muslim).

9.    Dalam kata(مَاكَسَبَتْ)“maa”di sini adalah nakiroh (umum). Artinya sekecil apapun suatu perbuatan, semunya kelak diakherat akan dimintai pertanggungjawaban. Walau di dunia kelihatan seorang koruptor selamat, namun diakherat kelak ia tidak akan bisa lepas dari hukuman Allah. Sebagaimana Allah tegaskan dalam ayat lain, “Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun." (QS. Al-Kahfi:49)..

10. Kalam Allah, ثُمَّتُوَفَّىكُلُّنَفْسٍمَاكَسَبَتْوَهُمْلَايُظْلَمُونَ   (kemudian setiap diri akan disempurnakan balasannya sesuai dengan apa yang dia lakukan dan mereka tidak dizhalimi), adalah kaidah umum tentang keadilan Allah. Siapapun dan apapun perbuatan yang dilakukan, akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dan Allah Ta’ala tidak pernah menzhalimi seorang hamba sedikit pun. Bahkan dengan kemahamurahan-Nya, Dia berkenan melipat gandakan pahala dan tidak melipat gandakan dosa.

11. Batas dimulainya perhitungan amal bagi seseorang adalah semenjak dia baligh. Bagi laki-laki adalah sejak ia mimpi basah atau keluar air mani. Dan perempuan adalah sejak ia datang bulan. Bila belum datang bulan, maka disesuaikan dengan usia standar seorang wanita yang datang bulan. Saat itulah semua amalan sudah dicatat oleh malaikat. Sudah ada konsekwensi dari segala amalan yang dikerjakan.

12. Cara bertaubatnya orang yang berbuat ghulul atau korupsi adalah dengan mengembalikan semua harta yang dighulul atau dikorupsi kepada pemiliknya. Bila ternyata sudah tidak tahu lagi siapa pemiliknya, maka hendaknya dikembalikan sebagai kas negara guna keperluan rakyat. Bila melihat negara sudah rusak dan khawatir nanti malah digunakan untuk sesuatu yang tidak benar, maka hendaknya harta tersebut dishadaqahkan dengan niatan pahalanya untuk pemilik asli harta tersebut. Disamping itu, tentu menyesali  atas segala kesalahan yang telah dilakukan dan bertekat untuk tidak mengulang kembali.

13.Solusi utama untuk memberantas penyakit korupsi adalah pembersihan jiwa dari sifat tamak. Dan selalu ditumbuhkan rasa syukur dan qonaah (merasa cukup) terhadap apa yang telah ia peroleh. Sehingga ia akan selalu hati-hati dan tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang ia inginkan. 

    Ada kisah teladan dari Umar bin Abdul Aziz. Beliau adalah seorang pemimpin negara yang diberi subsidi gaji untuk kebutuhan keluarganya sebesar 3,5 dirham. Suatu kali, istri beliau memasak roti yang istimewa rasanya. Lalu Umar bin Abdul Aziz bertanya tentang asal uang yang istri beliau habiskan untuk membuat roti istimewa tersebut. Sang istri menjawab bahwa uang itu berasal dari subsidi bulanan. Mendengar jawaban istri, Umar bin Abdul Aziz tenang karena uang yang digunakan adalah uang yang halal. Tetapi kejadiannya tidak sampai di situ saja. Beliau lantas mendatangi menteri keuangan negara dan mengatakan bahwa subsidi bulanannya itu kelebihan. Beliau minta untuk dikurangi, menjadi 3 dirham saja. 

    Subhanallah, masyaAllah! Betapa berbedanya beliau dengan kita. Bila beliau hanya dengan menikmati masakan istri yang lebih lezat dari biasanya saja sudah merasa subsis gajinya kelebihan, maka sungguh ironis (kebangeten) jika ada seorang pejabat yang menuntut kenaikan gaji, tanpa memperhatikan kebutuhan rakyatnya.

Ayat 162:
1.      Mengapa Allah bertanya apakah sama antara orang yang mengikuti syari’at Allah dan yang tidak? Padahal jawabannya adalah jelas sekali bahwa tidak sama. Apa hikmahnya? Salah satu hikmahnya –wallahu `alam- adalah supaya kita semakin sadar dan semakin bisa membuat kita berpikir. Bila sudah tahu jawabannya adalah tidak sama, maka tak ada yang harus dilakukan selain menjadi seorang hamba yang selalu tunduk pada Allah supaya tak kembali kepada-Nya dalam keadaan dimurkai oleh-Nya.

2.    Hidup adalah pilihan. Di dalam hidup, Allah sudah memberi akal dan petunjuk syariat kepada kita. Mana jalan yang membuat-Nya ridha dan mana yang membuat-Nya murka. Maka sekarang tinggal kita yang menjalani hidup ini. Apakah kita memilih untuk mendapatkan ridha Allah dengan menjalankan segala yang meridhakan-Nya atau mendapatkan kemarahan-Nya dengan tidak mau mentaati-Nya.

3.    Salah satu cara agar kita istiqomah dalam keridhoaan Allah adalah dengan memilih teman yang shalih, yang bisa membantu kita untuk semakin dekat dengan Allah, sering mendatangi majlis ta’lim dan berusaha mencari lingkungan yang baik (dilihat dari kacamata syari’at). Oleh karena itu perlu disyiarkan konsep amar ma’ruf nahi mungkar. Supaya kebaikan itu tidak hanya terbatas pada pribadi, melainkanmenyebar menjadi kebaikan dan kesholehan masyarakat umum. Sebab bila yang baik hanya diri kita saja dan lingkungan kita tidak kita jaga dengan amar ma’ruf nahi mungkar, maka tidak akan ada gunanya. Lambat laun pasti akan terseret juga. Maka dari itu, jangan pernah merasa takut atau bosan untuk menegakkan amar ma`ruf nahi munkar. Apapun resikonya, pasti Allah akan menolong kita. Tentu saja dengan cara-cara yang sesuai dengan syari’at. Tidak dengan kekerasan.

Ayat 163:
1.      Penggunan kata “دَرَجَاتٌ” dalam ayat ini, walaupun dimaksudkan untuk menunjukkan tingkakan posisi baik bagi orang mukmin maupun kafir, namun kata tersebut seakan menunjukkan bahwa hanya orang mukminlah mereka yang berhak mendapatkan tingkatan-tingkatan derajat disisi Allah. Karena dalam istilah al-Qur`an kata darajat adalah untuk menunjukkan tingkatan orang baik. Sedangkan untuk orang jahat, disebut dengan kata darakat (QS. 4;145).

2.    Adanya tingkatan derajat kelak di akherat, menunjukkan keadilan Allah subhanahuwata`ala terhadap hambanya. Karena Allah Maha Melihat segala yang dilakukan oleh hamba-Nya. Tak ada yang luput dari pengawasan Allah. Karena itulah sebabnya mengapa surga dan neraka itu bertingkat-tingkat.

3.    Dengan menyakini bahwa Allah maha melihat terhadap apa yang dikerjakan seorang hamba, maka sudah seharusnya manusia selalu hati-hati terhadapa apa hendak ia lakukan.
* * *
http://mkitasolo.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 188-191

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 192-194