Tafsir Surat Ali-Imron: 155-158


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

MAJLIS KAJIAN INTERAKTIF TAFSIR AL-QUR`AN
(M-KITA) SURAKARTA

Oleh: Al-Ustadz Dr. Hasan el-Qudsy, M.A., M.Ed.

Allah berkalam:

إِنَّ الَّذِينَ تَوَلَّوْا مِنْكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا وَلَقَدْ عَفَا اللَّهُ عَنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ (155) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا وَقَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا فِي الْأَرْضِ أَوْ كَانُوا غُزًّى لَوْ كَانُوا عِنْدَنَا مَا مَاتُوا وَمَا قُتِلُوا لِيَجْعَلَ اللَّهُ ذَلِكَ حَسْرَةً فِي قُلُوبِهِمْ وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (156) وَلَئِنْ قُتِلْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ مُتُّمْ لَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَحْمَةٌ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (157) وَلَئِنْ مُتُّمْ أَوْ قُتِلْتُمْ لَإِلَى اللَّهِ تُحْشَرُونَ (158)
Artinya:
155:
Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu , hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi ma'af kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

156:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: "Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh." Akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.

157:
Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Allah atau meninggal , tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan.

158:
Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan.


Makna umum ayat:
155:
Di ayat ini, Allah ingin memberitahukan kepada hamba-Nya bahwa sebab kekalahan mukminin di perang Uhud itu bukan hanya sebab yang bisa dilihat oleh panca indra saja, seperti yang telah disebutkan dalam ayat 152, tetapi juga ada sebab yang tidak terlihat. Sebab tak terlihat tersebut adalah syaithan. Syaithan mendorong atau menjadikan mukminin terjerumus dalam kesalahan melalui apa yang telah mukminin kerjakan sendiri. Saat itu, memang dalam diri mereka ada sesuatu yang tidak beres. Pasukan pemanah lihat ghanimah lalu lupa perintah Rasul. Kesempatan inilah yang digunakan oleh syaithan untuk menggoyahkan hati mukminin sehingga mereka lari dan meninggalkan pos yang ditentukan oleh Rasul untuk bertahan. Akan tetapi, meskipun mereka bersalah karena lari dalam perang (perlu diulangi, bahwa larinya mukminin dari perang Uhud itu bukan disebabkan karena nifaq atau ingin menjauhi Rasul. Tetapi karena naluri manusia untuk menghindari bahaya), mereka mau bertaubat kepada Allah, maka Allah pun mengampuni mereka.

156:
Ayat ini berlaku bagi semua orang yang mengaku beriman. Kalau memang benar-benar beriman, maka seseorang tidak boleh meniru-niru orang kafir dalam segala aspek kehidupannya. Baik cara berpikir, budaya, apalagi prinsip hidup. Dalam ayat ini, yang dibahas adalah larangan meniru orang-orang kafir dalam menyikapi suatu kejadian. Di mana mereka tidak mengimani adanya qadha dan qadar Allah. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa kalau saja orang-orang tidak pergiataukeluar untuk perang, mereka pasti akan tetap hidup dan tak akan mati atau terluka. Dengan kata lain mereka selalu mengandalkan hitungan akal semata, mereka tidak percaya adanya yang ghaib. Akibat sikap semacam itu. Allah menanamkan dalam hati mereka kesedihan dan penyesalan yang mendalam, karena banyak kejadian di luar kemampuan akal.

Maka seorang mukmin harus menyakini, bahwa segala hal itu hanya di tangan Allah. Atas kuasa Allah. Hidup dan mati bukan atas kehendak manusia. Allah itu maha melihat segalanya. Amalan baik sekecil apapun tak akan disia-siakan oleh Allah. Pasti Allah akan memberi balasan bahkan dilipat gandakan. Sebagaimana Allah jelaskan di ayat lain, “Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." (QS. 12:90).

157:
Allah menegaskan bahwa bila seseorang meninggal di jalan Allah (misal; berperang atau belajar din al-Islam) atau mati secara wajar (tidak dengan sebab apapun), maka jangan merasa rugi. Kenapa? Karena ia akan diampuni dan dirahmati oleh Allah. Ampunan dan rahmat Allah itu lebih baik dari apa yang orang-orang kafir kumpulkan dari segala harta di dunia ini.

158:
Mati dengan cara apapun, semua pasti akan kembali kepada Allah. Kata (la`in) di sini ada lam taukid yang berfungsi sebagai penguat. Jadi, sebagai seorang mukmin harus berkeyakinan secara total bahwa siapa pun ia dengan cara apapun ia mati, semuanya akan kembali pada Allah untuk mendapatkan keadilan dan pembalasan atas amal perbuatannya selama di dunia. Sebagaimana dalam ayat lain, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalanitu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. 21: 47).


Penjelasan Ayat:
155:
1.  Pekerjaan yang baik akan melahirkan pekerjaan baik. Begitu pula, pekerjaan yang buruk akan melahirkan pekerjaan yang buruk. Misalnya berbohong. Perbuatan bohong akan membuat pelakunya terus melakukan kebohongan berikutnya untuk menutupi kebenaran.
2.   Al-Jahidz, seorang sastrawan Arab mengatakan, “Idza lam yusyghilka khoirun, syaghalaka syarrun. Kalau kamu tidak disibukkan dengan kebaikan, maka kamu akan disibukkan oleh keburukan.
3.  Syaithan itu bisa menjerumuskan kita melalui kelemahan yang kita miliki. Maka, marilah kita berhati-hati! Jangan sampai kita menyepelekan suatu kemaksiatan dan menganggapnya wajar atau sah-sah saja dilakukan. Sebab bila demikian, maka lambat laun kita akan melakukan dosa yang merupakan kelanjutan dari kemaksiatan yang kita remehkan. 
4.  Allah Ta’ala itu Maha Bijaksana. Dia mencegah hamba-Nya jatuh pada perbuat dosa, dengan melarang hamba-Nya dari melakukan hal-hal yang membuatnya terdorong melakukan dosa. Misalnya Allah melarang zina. Allah juga melarang segala hal yang membuat orang dapat terjatuh untuk melakukan zina. Misalnya pacaran, berduaan dengan bukan mahram, dlsb.
5.Kalau kita mampu menahan bisikan-bisikan syaithan, supaya kita melakukan atau merasakan sesuatu yang tidak benar menurut Allah, maka lambat laun bisikan itu akan berhenti dengan sendirinya. Jadi sebisa mungkin kita berusaha agar syaithan tidak menjerumuskan kita karena kelakuan kita sendiri. Misalnya, hati dibisiki syaithan untuk mencuri. Bila bisikan itu tidak kita layani, maka dia akan hilang sendiri. Kita harus iringi dengan doa sepenuh hati, dan berusaha terus untuk menjaga kebersihan hati. 
6. Kita harus iringi dengan doa sepenuh hati, dan berusaha terus untuk menjaga kebersihan hati. Di antaranya dengan selalu mendengarkan taushiah, menghadiri majlis ilmi dan mencari komunitas yang baik.
7.  Taubat itu harus segera dilakukan. Kenapa? Karena dosa itu ibarat rantai yang akan terus menerus bersambungan dengan dosa-dosa yang lain. Bila tidak segera taubat, maka ikatan rantai tersebut akan semakin panjang dan akan menjadi sulit untuk diputus.
8. Hidup itu mempunyai gema. Apapun yang kita suarakan, kita pasti akan mendengar pantulan suara yang sama persis seperti suara kita. Begitu juga kehidupan ini. Bila kita memberi yang baik, maka kita akan mendapat balasan yang baik pula. Kalau memberi yang buruk, maka kita akan dapat yang buruk pula. 
9. Allah selalu membuka kesempatan kepada siapapun yang mau kembali kepada-Nya. Tujuannya adalah supaya manusia mampu mengubah dirinya dan bangkit kembali dari keterpurukan.

156:
1.  Kalimat ‘dharabuu fil ardhi’ diartikan dengan safar. Mengapa demikian, padahal dharaba arti asilnya adalah memukul? Sebab, biasanya orang kalau bersafar selalu menekan, menyentuh atau berpijak pada sesuatu. Kata ini kemudian menjadi istilah yang berarti bepergian.
2. Kita sebagai orang mukmin telah dimuliakan oleh Allah dengan berbagai fadhilah (keutamaan), lalu kenapa kita merendahkan diri kita sendiri dengan mengikuti orang kafir? Di antara keutamaan itu, Allah telah memberikan aturan hidup bagi orang mukmin. Maka, jangan sampai kita itu latah atau suka meniru orang kafir.
3.  Di antara sikap orang kafir yang kita dilarang untuk mengikutinya adalah sikap meniadakan campur tangan Allah dalam sebuah kejadian yang terjadi. Ketika misalkan terjadi kegagalan atau musibah, mereka tidak pernah mengembalikan kepada Allah. Akibatnya mereka akan selalu dirundung kesedihan dan tidak pernah mendapatkan ketenangan jiwa.
4.Kita tak bisa menata takdir, misalnya hidup, mati atau rizki. Semuanya hanya Allah yang mengatur. Oleh karena itu, kita harus punya rasa tawakkal yang besar. Bila sudah merencanakan sesuatu dan merancangnya dengan matang, maka sikap seterusnya yang harus diambil adalah maju dan bertawakkal kepada Allah. Sikap orang mukmin selalu mengantungkan segala urusannya hanya pada Allah. Tidak takut dan gamang seperti orang kafir. Apapun resikonya, bila sudah dirancang dengan matang, maka orang yang mengaku beriman akan siap menerimanya. Dia yakin bahwa Allah pasti akan menolongnya. Dan semua itu membutuhkan kejujuran diri dengan Allah. Allah berkalam, “Tetapi jikalau mereka benar (jujur) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS.47: 21). Di antara bentuk kekujuran adalah mampu bersabar, bertaqwa dan menegakkan kebenaran dengan sebenar-benarnya. (QS. 3: 186, 31: 17, 42: 43).
5. Dalam ayat ini terdapat kalimat: hasratan fi qulubihim yang berarti, Allah menimbulkan rasa penyesalan, kesedihan yang sangat di dalam hati mereka. Lantas muncul pertanyaan: apakah ada sedih yang di luar hati? Memang tidak ada.
* * *
http://mkitasolo.blogspot.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 31-32

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 20-21