Tafsir Surat Ali-Imron: 153-154

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

MAJLIS KAJIAN INTERAKTIF TAFSIR AL-QUR`AN
(M-KITA) SURAKARTA

Oleh: Al-Ustadz Dr. Hasan el-Qudsy, M.A., M.Ed.

Allah berkalam:

إِذْ تُصْعِدُونَ وَلَا تَلْوُونَ عَلَى أَحَدٍ وَالرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ فِي أُخْرَاكُمْ فَأَثَابَكُمْ غَمًّا بِغَمٍّ لِكَيْلَا تَحْزَنُوا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا مَا أَصَابَكُمْ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (153)ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا يَغْشَى طَائِفَةً مِنْكُمْ وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لَا يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (154)
Artinya:
153:
(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan , supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput dari pada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

154:
Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu , sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah . Mereka berkata: "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?". Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah". Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini". Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.


Makna umum dari ayat:

153:
Di dalam ayat ini, Allah menggambarkan kondisi sebagian pasukan Islam dan bagaimana Rasulullah saw. mempertahankan pasukan beliau yang kocar-kacir. Saat perang sedang genting-gentingnya Rasulullah saw. memanggil-manggil mereka untuk kembali. Salah satu tujuannya adalah supaya mereka tahu bahwa beliau masih hidup. Waktu itu memang isu yang terdengar adalah Rasulullah telah meninggal. Sehingga wajar bila pasukan menjadi resah karena mengira pemimpin benar-benar meninggal. Perilaku sebagian pasukan tersebut telah membuahkan berbagai kesedihan. Dan semua kejadian itu, bertujuan untuk membentuk mental dan karakter seorang mukmin agar tidak mudah sedih atau kecewa terhadap suatu harapan yang tidak tercapai atau musibah yang menimpanya. Karena pada dasarnya, Allah mengetahui tentang hikmah segala kejadian.

154:
1.Ayat ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada hambanya. Di mana Allah memberikan nikmat-Nya, kepada pasukan yang masih bertahan dan taat kepada perintah Rasulullah, berupa rasa aman dengan hadirnya kantuk di saat perang. Kondisi seperti itu beda dengan apa yang dirasakan oleh kelompok munafikin. Orang munafik itu tercemaskan oleh diri mereka sendiri. Itu disebabkan karena mereka punya prasangka buruk kepada Allah, yang mana hal itu menyebabkan diri mereka merasa tersiksa.
2.Karena dasar kejiwaan dan perasaan mereka sudah rusak, maka yang muncul dari mulut mereka juga perkataan yang buruk. Mereka dengan sombong dan seenaknya mengatakan: هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ  maksudnya, “Kami tidak punya sedikit pun kendali (penentu kebijakan) dalam masalah perang ini. Seandainya kita punya, tentu tidak akan terjadi kekalahan.” Maka Allah menjawab terhadap ucapan mereka dengan landasan akidah: قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ Yaitu: bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, termasuk kekalahan di perang uhud, tidak akan lepas dari ketentuan Allah. Namun tentunya, manusia berkewajiban untuk selalu memaksimalkan ikhtiyar dan mengambil sebab-
sebab yang telah ditentukan oleh Allah dalam kehidupan dunia ini (QS. Al-Kahfi: 84).
3.Yang didengar oleh Nabi Muhammad tentang perkataan munafikin saat itu hanya sebagian saja. Sebenarnya banyak sekali apa yang mereka katakan. Salah satunya adalah: لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا  . Mereka seakan menyalahkan Rasul atas segala musibah yang menimpa. Seakan mereka merasa bila yang mengatur segalanya adalah mereka, musibah itu tak akan terjadi. Jawaban Allah terhadap anggapan mereka adalah: لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ. Maksudnya: di manapun kalian, sekalipun berada di tempat tidur,kalau sudah waktunya mati, tentu pasti akan mati juga. Karena mati itu tidak memandang  tempat dan waktu. Datang kapan saja tanpa diminta. Maka tidak benar apabila kalian menyakini bahwa kekalahan mukminin di perang Uhud dan kematian sebagian mereka, itu akibat tidak menaati kalian.
4.Musibah di perang Uhud sebagai ujian terhadap keimanan orang-orang beriman waktu itu. Sehingga akan terlihat secara jelas mana yang benar-benar beriman dan mana yang hanya pura-pura. Dan Allah Maha Mengetahui segala yang ada dalam diri seorang hamba.


Penjelasan Ayat:

153:
1. Pemakaian lafal تُصْعِدُونَ  berarti naik ke jalan yang menanjak. Biasanya kalau jalannya naik, kita akan mengerahkan kekuatan yang lebih besar agar sampai ke tujuan. Begitu juga keadaan waktu itu, sebagian pasukan muslim pada perang Uhud lari dari medan perang dengan mengerahkan sekuat tenaga ke arah bukit-bukit. Bahkan sebagian dari mereka ada yang lari langsung menuju pulang ke Madinah. (Tafsir Ath-Thabari: 4/133). Dan karena dahsyatnya kondisi, mereka lari tanpa menoleh dan memperdulikan siapa pun. 

2. Perlu dicatat, bahwa orang yang beriman memang ada yang berlari dari perang. Tetapi bukan karena ingin menjauhi Rasulullah. Mereka lari karena refleks sebagai seorang manusia yang bersifat selalu menghindari sesuatu yang memadhoroti mereka. Beda dengan orang munafiq yang lari karena ingin menjauhi Rasulullah dan berlepas tangan.

3. Mengapa memakai lafal فَأَثَابَكُمْ  , padahal biasanya lafal ini digunakan dalam al-Qur`an untuk balasan yang baik, sedang di ayat ini yang diberikan adalah kesedihan di atas kesedihan? Hal ini bertujuan (wallahu a`lam) salah satunya adalah lit tahakkum, yaitu mengejek atas kesalahan mereka (Tafsir Ath-Thanthawi: 770). Di mana mereka di awal peperangan menginginkan balasan dari Allah. Namun, ternyata dalam perjalanannya mereka lebih memilih dunia. Dan ini terlihat sekali dari sebagian pasukan pemanah yang tidak taat kepada perintah Rasulullah, dengan mengejar harta rampasan. Maka “pahala” yang tepat adalah kesediahan atas kesediahan. Menurut Ath-Thabari dalam tafsirnya (4/134) penggunakan lafal فَأَثَابَكُمْ menunjukkan bahwa Allah akan memberikan balasan sesuai amal perbuatan seseorang, baik maupun buruk. 

4. (غَمًّا بِغَمٍّ) Kata Ghamman yang pertama berupa isu kematian Rasul. Ghamman yang kedua adalah kesedihan dengan banyaknya orang yang meninggal dan terluka (ada 70 muslimun yang meninggal). Padahal orang kafir hanya 7 yang mati. Ada juga yang berpendapat sebaliknya (Ath-Thabari: 4/134). Alakullihal (yang penting) bahwa berbagai kesedihan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik telah dialami oleh pasukan muslimin di perang Uhud.

5. Salah satu tujuan atas kejadian di perang Uhud adalah untuk melatih dan mendidik umat agar terbiasa dengan berbagai kesedihan dan cobaan. Tidak mudah sedih atau kecewa terhadap berbagai harapan atau target yang tidak semuanya bisa diperoleh. Disinilah perlunya seseorang memiliki karakter istiqomah dalam hidup. Konsinten dalam memegang kebenaran. Karena tidak sedikit orang yang dulunya begitu semangat dalam perjuangan, namun dalam perjalanannya kendor (futur) bahkan menjual agamanya untuk kepentingan sesaat. 

6.Bila melakukan suatu kesalahan, atau ada harapan yang belum tercapai, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Tidak usah terlalu dipikirkan. Jadikan sebagai pelajaran yang berharga dan tidak perlu mengingat terus menerus kejadian yang sudah berlalu. Hidup ini akan terus berputar (QS. 3: 140). Kegagalan adalah salah satu jalan mencapai kesuksesan. Bila tak pernah gagal, mana tahu caranya menggapai sukses? Mana bisa kita merasakan bahwa sukses itu manis? Yang paling penting adalah selalu memperbaiki diri dan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan serta jangan sampai berputus asa (QS. 12: 87).

7.Bila terlanjur melakukan sesuatu dan akibatnya tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, maka jangan sampai kita mengatakan: ‘kalau seandainya atau misalnya saja tadi tidak ku lakukan itu...’ atau kalimat-kalimat semisal. Sebab kalimat-kalimat itu membuka pintu syaithan untuk memalingkan kita dari husnuzhzhan kepada Allah. Ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: ... kalau suatu musibah menimpamu, maka janganlah kamu mengatakan: kalau saja kemarin aku melakukan hal ini atau hal itu. Tetapi katakanlah: QADARULLAH WA MAA SYAA`A FA’ALA (sudah jadi takdir Allah dan Dia melakukan apa yang Dia kehendaki). Karena kalimat law (semua kalimat untuk berandai-andai) itu membuka pintu syaithan.

8.وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. Allah ingin mengabarkan bahwa Dia itu tahu segalanya. Kata Khobiir di sini berarti tahu sesuatu hingga sedetail-detailnya. Ayat ini memang berbentuk pengabaran akan tetapi mengandung tahdzir atau ‘penyuruhan untuk berhati-hati’ dalam segala amal perbuatan. Karena semua amal manusia selalu diawasi oleh Allah. Maka sudah seharusnya kita merasakan muraqabatullah (pengawasan Allah) dalam 3 keadaan:
·    Fi awwalil amal. Di saat kita akan memulai pekerjaan. Ini berupa niat. Orang yang menyadari bahwa pekerjaannya seluruhnya diawasi Allah, maka dia tidak akan lepas dari niat bahwa hanya untuk Allah dia beramal. Entah itu berpakaian, mengajar,belajar, berjuang dll.
·    Fi atsnail amal. Di tengah melaksanakan pekerjaan. Kita harus ikhlas. Biasanya dalam proses ini kita diuji oleh Allah. Ini tidak mudah. Makanya kita harus minta perlindungan kepada Allah dari semua godaan yang ada di tengah-tengah amal kita.
·    Fii akhiril amal. Di akhir pekerjaan, yaitu dengan melakukan muhasabatul amal. Mengevaluasi amalan. Apakah sudah benar amalanku, diterimakah amalanku oleh Allah? Atau sebaliknya.


Ayat ke 154:

1.(نُعَاسًا) Ibnu Mas’ud menjelaskan bahwa rasa kantuk saat perang itu datang dari Allah dan rasa kantuk saat shalat itu dari syaithan (Ibnu Katsir, 1/419). Hal itu karena kantuk di saat perang tidak akan muncul kecuali dari perasaan aman dan yakin terhadap pertolongan Allah dan lepas dari bayangan dunia, sedang kantuk ketika shalat tidak muncul kecuali karena jauh dari Allah (Tafsir al-Kabir, 9/37).

2.Imam Ar-Razi (9/37) mengatakan bahwa ada 4 faedah rasa kantuk saat dalam perang Uhud:
·      Memperlihatkan mukjizat Rasulullah. Dengan adanya mu`jizat tersebut akan menambah keimanan seorang mukmin dan menambah semangat berperang.
·      Memberikan kesegaran badan dan mengembalikan kekuatan mereka untuk berperang.
·      Menghindarkan rasa trauma dan ketakutan saat melihat saudaranya terbunuh.
·      Menunjukkan adanya penjagaan Allah terhadap umat Islam.

3.Rasa kantuk yang dirasakan orang mukmin dan disaksikan oleh tentara kafir Quraisy, bisa jadi merupakan salah satu bentuk cara Allah untuk memberikan rasa takut dalam diri orang kafir. Akibatnya mereka berpikir seribu kali untuk kembali menyerang dan menghabisi orang Islam. Sebagaimana telah disinggung dalam ayat ke- 151.
4.(قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ) bahwa mereka yang lari dari medan perang telah tersedihkan oleh dirinya sendiri. Di dalam diri mereka terdapat berbagai kebusukan. Mereka tidak berpikir kecuali diri dan kepentinga mereka. Sehingga ketika tidak memperoleh apa yang dipikirkan, mereka begitu kecewa, bahkan berprasangka buruk kepada Allah. Dan mengucapkan kata-kata yang tidak layak. Misalkan dengan mengatakan, “Sebenarnya Muhammad itu benar nabi atau tidak? Kalau benar nabi harusnya menang dalam perang”.
5.Sebenarnya, masalah seseorang itu lebih cenderung dipengaruhi faktor pribadi dalam dirinya. Kalau dalam diri seseorang sudah ada perasaan buruk, maka akan muncul pikiran yang buruk dan kalau pikirannya sudah buruk maka akan muncul perkataan dan berbuatan yang buruk. Kenyataan demikian itulah yang menimpa orang-orang munafik dalam perang Uhud.
6.Kewajiban bagi orang mukmin adalah selalu berbaik sangka kepada Allah. Karena hasil prasangka itu akan kembali kepada diri seseorang, baik maupun buruk (HR. Ahmad).

* * *
http://mkitasolo.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 31-32

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 20-21