Tafsir Surat Ali-Imron: 159-160


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

MAJLIS KAJIAN INTERAKTIF TAFSIR AL-QUR`AN
(M-KITA) SURAKARTA

Oleh: Al-Ustadz Dr. Hasan el-Qudsy, M.A., M.Ed.

Allah berkalam:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159) إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (160)
Artinya:
159:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

160:
Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu'min bertawakkal.


Makna Umum:
Ayat ini berhubungan dengan pasca perang Uhud. Di mana dalam kondisi evaluasi kerja, tidak jarang seorang pemimpin terjebak dalam sebuah emosi bahkan berbuat semena-mena terhadap anggota yang dianggap sebagai penyebab sebuah kegagalan. Namun, apa yang dilakukan Rasulullah –dengan bimbingan dari Allah- terhadap sahabat beliau telah menjadi contoh yang sungguh mulia bagi seorang pemimpin. Sikap beliau terhadap mereka –walaupun sebagian mereka telah lari dari medan perang- tetap santun, tidak kasar, tidak keras hati, mudah memaafkan dan memintakan ampun atas dosa mereka kepada Allah. Bahkan untuk mengembalikan kepercayaan antara pemimin dengan umat, beliau tidak segan-segan mengajak mereka kembali untuk memperbaiki kondisi dengan mengajak musyawarah. Sikap mulia semacam itu ditegaskan sebagai rahmat Allah yang diberikan kepada Rasulullah, untuk bisa menjadi contoh bagi seluruh umat beliau. Allah berkalam, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (at-Taubah:128)

Selain itu, Allah Ta’ala juga mengajari hamba-Nya lewat Rasulullah saw. bahwa apabila dalam diri sudah ada tekad yang kuat, dibarengi dengan usaha maksimal dan tidak melenceng dari syari’at Allah, maka hal yang harus dilakukan setelah semua itu adalah bertawakkal kepada Allah. Mengapa demikian? Karena Allah Ta’ala itu mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Kalau sudah dicintai Allah, maka pertolongan dari-Nya pasti akan datang. Segala kesulitan akan dimudahkan. Oleh karena itu pada ayat ke 160, Allah menjelaskan bahwa salah satu kunci kemenangan adalah dengan melakukan tawakkal secara benar. Karena pada hakekatnya kemenangan dan kekalahan adalah dari Allah. Maka orang mukmin harus menyandarkan segalanya hanya kepada Allah. Sebagaimana pada ayat lain, “Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. 65: 3).

Penjelasan:
1.      فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ  , ba` di situ adalah ba` lit ta’qib. Maksudnya adalah hanya dengan rahmat Allah sajalah kamu, wahai Muhammad saw. , bisa berlemah lembut kepada umatmu.

2.      لِنْتَ  Kata ‘linta’ di sini artinya kamu berlemah lembut. Al-layyin itu artinya lemah lembut dan bersikap mudah (tidak suka menyakiti) kepada orang yang berbeda pendapat.

3.      فَظًّا  Artinya adalah suka bersikap kasar, cepat marah dan emosional. غَلِيظَ الْقَلْبِ Artinya adalah keras hati, tidak mau memaklumi orang lain. Sikap ini lebih buruk dari fazhzhan.

4.      Ayat ini merupakan hasungan kepada umat Rasulullah saw. bila menjadi seorang pemimpin (dalam segala hal), misalnya menjadi suami, ayah, ustadz, guru, dan berbagai bentuk kepemimpinan yang lain, maka hendaknya umat Rasulullah ini meniru akhlak-akhlak mulia beliau tersebut. Apabila seorang pemimpin bersikap kasar, keras hati, tidak mau memahami orang yang dipimpin, maka otomatis orang yang dipimpin akan lari dari pemimpinnya. Tidak mau mentaati meski apa yang dikatakan oleh pemimpin adalah benar.

5.      Da`i itu ibarat penjual dagangan. Semakin pandai dia menawarkan dagangannya pada orang lain, maka dagangannya akan semakin laku. Begitu pula seorang da`i, semakin ia pandai mengambil simpati masyarakat, maka semakin besar kesempatan dakwah itu akan mereka terima. Oleh karena itu, Islam selalu mengendepankan cara dakwah yang penuh dengan kasih sayang dan menolak cara-cara pemaksaan dan  kekerasan. Kewajiban seorang da’i harus bisa membaca kepribadian mad’unya (yang diajak) sehingga dia bisa berinteraksi terhadap mad’unya dengan baik. Dia harus berpikir, apa akibatnya bila dia bersikap sangat tegas dan bahkan memberi hukuman yang berat kepada mad’u tadi. Apakah mad’u itu bertipe orang yang akan mengikuti da’i hanya dengan sekali peringatan saja. Bila cukup sekali kenapa harus diulang? Bila bisa diselesaikan dengan halus kenapa dengan kasar? Ini dilakukan untuk menghindari madhorot yang lebih besar. Jadi, seorang da`i harus mempunyai ilmu yang luas dan hikmah yang tinggi. Tidak hanya sekedar ingin berdakwah. Oleh karena itu, dalam berdakwah dibutuhkan adanya hamasatusy syabab wa hikmatusy syuyukh. Yaitu: semangat menggelora seorang pemuda dan kebijaksanaan seseorang yang sudah tua. Dua hal ini harus digabungkan. Bila salah satu tidak ada, maka akan pincang akibatnya dan tidak akan terjadi kebaikan.

6.      Tidak semua masalah akan selesai dengan kekerasan. Adakalanya bila kita bersikap keras, maka masalah lain justru akan muncul karena kekerasan tersebut. Sehingga masalah tidak akan selesai, tapi malah justru bertambah. Hendaknya kita bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya dan pada porsi yang tepat, supaya tidak menyesal di akhir perkara.

7.      Sesungguhnya dalam lemah lembut itu terdapat berbagai kelebihan. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah-lembut dan mencintai sikap lemah-lembut. Allah memberikan sesuatu dengan jalan lemah-lembut, yang tidak dapat diberikan jika dicari dengan cara kekerasan, juga sesuatu yang tidak dapat diberikan selain dengan jalan lemah- lembut itu." (HR. Muslim).

8.      Alkisah, ada seorang tabi’in bernama Sa’id bin Jubair. Beliau tinggal di rumah susun. Rumah di atas beliau adalah rumah seorang majusi (penyembah api). Setiap hari, selama bertahun-tahun, Rumah Sa’id bin Jubair selalu dibasahi oleh air dari kamar mandi orang majusi tadi. Tetapi Sa’id diam dan tidak mengingatkannya. Beliau tetap bersabar dan setiap kali tempat yang dipakai untuk menadahi tetesan air itu penuh, beliau membuangnya tanpa banyak bicara. Hingga suatu ketika, Sa’id hendak meninggal, beliau memanggil orang majusi tadi. Beliau meminta maaf karena telah memanggilnya dan menyuruhnya untuk memperbaiki kamar mandinya, karena khawatir bila anak turunnya tidak sekuat beliau dalam bersabar, sehingga melakukan sesuatu yang tidak pantas. Akhirnya, karena merasa sangat takjub dan terkesima atas sikap Sa’id, orang majusi tadi langsung masuk Islam. Inilah contoh manfaat sikap santun kepada orang lain. Bisa saja orang yang belum beriman menjadi beriman karena sikap baik kita pada mereka.

9.      Dalam sikap berdakwah, para ulama membedakan antara sikap mudarah dan mudahanah. Mudarah artinya sikap simpatik santun kepada orang lain, tetapi tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip agama. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahakan untuk bersikap lembut (berlaku santun) kepada manusia, sebagaimana aku diperintahkan untuk menjakankan kewajiban. (HR. Ad-Dailami, Hadits ini lemah).

Seorang da’i harus punya rasa simpatik yang besar. Ini seperti sikap Rasulullah kepada Abdullah bin Ubay bin Salul yang merupakan pioner orang munafik. Beliau masih berlemah lembut kepadanya, kepada orang-orang yahudi dll. Bila dalam soal social interaksi dan tidak menyangkut keyakinan, maka Rasulullah saw. tetap berlemah lembut kepada mereka. Tetapi dalam soal prinsip agama, Rasulullah saw. tidak pernah mengajarkan kompromi. Kalau melihat ada yang salah, tetap diluruskan. Hal ini terlihat diantaranya sikap Rasulullah yang menolak dengan tegas tawaran orang kafir Quraisy untuk sekedar mengusap patung berhala mereka. (Al-Suyuthi, Lubabun Nuqul: 138). Bagi Rasulullah saw. hal itu adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid, walupun kelihatannya sangat remeh. Karena sesungguhnya tidak ada yang remeh dalam prinsip agama.

Adapun “mudahanah” artinya bersikap lunak atau lembek. Di dalam (Qs.68:9) وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونMereka (orang kafir) ingin seandainya kamu bersikap lunak kepada mereka lalu mereka pun akan bersikap lunak padamu”. Mudahanah cenderung kepada toleransi dan kompromi yang berlebihan sampai mengorbankan prinsip-prinsip agama. Maka hukum mudahanah adalah HARAM. Hanya orang yang berilmu dan bertakwalah yang mempu menghindarkan dirinya dari sikap mudahanah. Karena tidak sedikit ulama yang terjebak dalam mudahanah dengan alasan melaksanakan mudarah. Semoga Allah swt. selalu menjaga kita semua.

10.  Sikap lemah lembut tidak musti tanpa ketegasan sama sekali. Lembut pada tempatnya dan tegas juga pada tempatnya. Kita harus mampu bersikap secara proporsional dan bijak. Termasuk sikap yang harus tegas (bukan keras) adalah terhadap semua aliran sesat, seperti Ahmadiyyah. Perlu diingat, bahwa perbedaan kita dengan Ahmadiyyah itu bukanlah perbedaan pemahaman agama, seperti antara Muhammadiyyah dan NU. Akan tetapi, sudah merupakan perbedaan prinsip dan keyakinan. Mereka menyakini ada nabi setelah nabi Muhammad SAW. Sehingga, haram hukumnya kita membenarkan Ahmadiyyah. Kewajiban bagi umat Islam, secara tegas untuk menolak Ahmadiyah dan meminta pemerintah untuk membubarkannya. Adapun perbedaan pendapat dengan sesama muslim, hendaknya tidak membuat kita lantas merasa paling benar sendiri dan tidak mau saling menasehati, bertegur sapa atau berjabat tangan. Orang yang berbeda pendapat dengan kita tentang masalah furu’ (ijtihad fikih), tetaplah saudara kita yang kehormatannya dijaga oleh Allah. Maka jangan sampai kita mudah diprovokasi dan diadudomba dengan sesama muslim. Sudah cukup kita dalam perpecahan selama ini.

11.  Musyawarah merupakan salah satu pilar dan prinsip agama. Rasulullah adalah orang yang paling banyak bermusyawah dengan para sahabatnya (di luar masalah agama). Dalam bermusyawah tentunya melibatkan pendapat ahli ilmu untuk mencapai perkara yang lebih mendekati kepada kebenaran, dan hal yang dimusyawarahkan adalah perkara yang tidak terdapat keterangan Al-Qur’an dan Hadits. Bila ada orang yang mengajak kita musyawarah, hendaknya kita menjadi orang yang bisa dipercaya. Rasulullah bersabda, “Penasehat (orang yang dimintai pendapat) adalah orang yang amanah (dipercaya)” (HR. Tirmidzi, no. 2823).

Maksudnya, orang tersebut adalah ahli dalam bidangnya, memberi masukan yang benar, tidak menyebarkan rahasia orang lain. Adapun ketika kita meminta nasehat, maka jangan salah pilih. Tidak semua orang pantas kita ajak bicara. Apalagi jika menyangkut kemaslahatan umat dan masalah strategi. Rasulullah bersabda, “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, dan tiadalah Allah menjadikan seorang khalifah (penguasa) melainkan ia memiliki dua pembantu, yang pertama pembantu yang memerintahkan dan menganjurkan berbuat kebaikan, dan yang lain pembantu yang memerintahkan dan menganjurkan berbuat kejahatan, maka yang terjaga adalah orang-orang yang dijaga Allah Ta’ala” [HR. Bukhari , 71981].

12.  Diantara tujuan Rasulullah saw. mengajak para sahabat bermusyawarah adalah untuk membangun kembali kepercayaan kepada mereka. Supaya mereka merasa masih dianggap oleh Rasulullah sehingga tidak ada yang merasa kecil hati atau putus asa. Akhlak semacam ini perlu kita contoh. Bila kita menjadi seorang pemimpin, dan ada anggota yang mengecewakan, hendaknya jangan dijauhi. Tetapi bangunlah kembali kepercayaan kepada mereka, rangkullah kembali dan selalu berhusnuzhzhan pada Allah dan hamba-hamba-Nya. Memang, hal ini tidaklah mudah. Maka, hanya kepada Allah-lah kita meminta pertolongan dan bimbingan dalam bersikap.

13.  Sebagai seorang muslim, kita harus selalu menyerahkan segala urusan kepada Allah. Keinginan, cita-cita, harapan, semuanya kita kembalikan kepada Allah. Tentu saja setelah usaha maksimal (tentu yang dibenarkan syara`), bermusyawah, berkonsultasi kepada para ahli, dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Ketawakkalan seseorang kepada Allah, adalah bukti kebenaran keimanan seorang hamba. Karena hanya kepada Allah kita bersandar.

* * *
http://mkitasolo.blogspot.com

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 188-191

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 192-194