Antara Haji "Mabrur" dan Haji "Mabur"

Oleh: Dr. Muhammad Khaliq Hasan el-Qudsy
( Kaprodi Studi Qur`an Pascasarjana STAIN Surakarta )


Suatu ketika seseorang datang dan berkat kepada Ibnu Umar r.a. : "Wahai Umar lihatlah orang-orang haji itu alangkah banyaknya” . Ibnu Umar menjawab : “Wahai fulan alangkah sedikitnya mereka ".
(Ibnu Roja, Lathoiful Ma`arif, 331)


Dialog singkat diatas memberikan gambaran realita nyata orang haji sekarang ini. Alangkah banyaknya peserta haji setiap tahun. Bahkan cenderung selalu ada peningkatan calon jamaah haji. Sehingga baru-baru ini dikabarkan terjadi pelebaran besar-besaran di area sekitar sa`i antara shofa dan marwa. Pelebaran ini ceritanya sampai mengusur bangunan-bangunan hotel sekitar Masjidil Haram. Termasuk "Pasar Seng", tempat langganan idola para haji Indonesia untuk menumpahkan uang belanjanya. Tahun ini para jamaah haji, bisa dipastikan tidak akan bisa lagi melihat orang berkerumun belanja di pasar tradisional yang menginternasional tersebut.

Jumlah peserta haji yang terus meningkat tiap tahunnya, dari satu sisi memberikan kegembiraan tersendiri. Karena fenomena semacam ini menunjukkan bertambahnya semangat keagamaan dalam diri umat Islam. Di samping menunjukkan adanya peningkatan taraf ekonomi umat. Bahkan ketika krisis moneter menimpa dunia termasuk Indonesia, keinginan umat untuk haji tidak cenderung adanya tanda-tanda penurunan. Walaupun biaya haji Indonesia ini dinilai cukup tinggi dibanding dengan negara-negara serumpunnya. Dalam sisi ini bolehlah diajungkan jempol. Namun, ternyata banyaknya jumlah jamaah haji ini, belum bisa dijadikan sebagai standar kualitas keagamaan seseorang ataupun suatu bangsa. Indonesia adalah salah satu negara yang dengan jumlah peserta haji terbanyak, tercatat tahun ini ada sekitar ... ini sungguh jumlah yang sangat banyak. Jumlah inipun karena terjadinya pembatasan kuota. Masih banyak disana waiting list yang setia menunggu pangilan berangkat ke tanah suci. Konon di beberapa daerah seperti Sulawesi, kuota haji pada tahun 2012 sudah habis ludes terborong. Jadi kalau dilihat dari jumlah orang yang sudah haji diIndonesia ini tentu jauh lebih banyak.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah para Hujjaj (orang yang sudah haji) ini telah mampu menjadi haji yang mabrur? memang untuk menjawab ini tidaklah mudah. Karena kata mabrur ini sangatlah abstrak, sehingga setiap orang memungkinkan mempunyai penilaian tersendiri. Namun yang jelas haji mabrur itu mempunyai tanda-tanda dan standarnya. Sebagaimana para ulama mengutarakan bahwa salah satu tanda seseorang mencapai gelar haji "mabrur " adalah mereka yang berhasil mendedikasikan sebagai agen af change bagi masyarakat sekitarnya, minimal untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain, sepulang haji jauh ia lebih baik dari pada sebelum haji.



Sungguh sangat ironis, apabila kita dapati para pemimpin kita, baik yang duduk di legislatif, yudikatif, maupun eksekutif yang mungkin mereka telah melakukan "perjalanan haji " lebih dari satu kali, bahkan ada yang tiap tahunnya haji. Namun, kenyataan masyarakat awam melihat haji mereka belum – kalau tidak dikatakan sama sekali – memberikan efek positif terhadap kualitas perilaku mereka. Terbukti pulang haji mereka tetap korupsi, memanipulasi, memperkaya diri, menjual hukum, bahkan menjual agama dan kepentingan negara. Para "Hujjaj" ini bahkan kalau titel hajinya tidak disebut atau lupa disebut dalam suatu acara, mereka bisa marah berang tidak kepalang. Ini mungkin haji yang lebih tepat disebut haji "mabur" (terbang, hangus tanpa memberi manfaat), bukan mabrur.

Karena ternyata tidak semua orang yang haji itu atas panggilan Allah SWT, tetapi ada juga orang haji itu atas rayuan dan panggilan iblis la`natullahi 'alaih. Sehingga kalaupun ia haji tidak semata-mata karena ingin mencari ridho Allah SWT. Namun bisa saja karena prestis, kepentingan politik, ataupun sekedar ikut-ikutan trend. Tentu haji yang dilakukan semacam ini tidak akan memberikan nilai sedikitpun di sisi Allah. Lihatlah para tokoh politik kita, semuanya sudah berlebel al- haaj atau al-hajjah. Bahkan digembar-gemborkan dalam iklan-iklan propaganda mereka. Namun – maaf – perilakunya tidak jauh dari Hajjaj.

Dari Harta Yang Halal

Menjadi salah satu syarat mutlaq tercapainya haji mabrur adalah harta yang digunakan untuk haji adalah betul-betul dari hasil yang halal, bukan hasil korupsi, menjual hukum, memanipulasi data, atau hasil transaksi riba. Seandainya diantara kita melakukan haji dari harta " abu-abu", maka yakinlah bahwa ibadah Anda hanya sia-sia saja. Kalaupun toh Anda berhasil mendapat panggilan ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Haji’ itu hanya di dunia saja, nanti di akherat Anda akan dipanggil dengan panggilan manakala di dunia, anda pasti akan malu bahkan marah atau menuntut ke pengadilan yang bisa Anda beli.

Dalam sebuah sabda nabi dikatakan "Wahai para manusia sesungguhnya Allah Maha Suci dan tidak akan menerima kecuali yang suci, dan sesungguhnya Allah menyuruh orang mukmin seperti apa yang diperintahkan kepada para utusannya, Rasul kemudian berkata: Allah berfirman: " Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. 23: 51). "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada Allah kamu menyembah." (QS. 2: 172) ( HR Muslim, No: 1682).

Berdasarkan hadits inilah, ulama sepakat bahwa hajinya orang yang berasal dari harta yang tidak halal, secara fqih ibadahnya sah, tetapi tidak diterima Allah. Kalau kita beramal tidak diterima Allah, lalu apa yang kita harapkan di hari kelak. Padahal kita semua akan kembali kepada Allah, semua akan ada penghisaban (penghitungan) terhadap semua apa yang telah kita kerjakan. Tentu kita akan menemui kerugian yang nyata. Allah SWT berfirman: Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. 18: 103-104).

Orang yang ingin mendapatkan haji mabrur, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan harta yang betul-betul halal dan bersih dari berbagai syubhat. Walaupun ia harus menabung rupiah demi rupiah dalam jangka yang mungkin cukup lama. Bahkan pernah ada cerita seorang ibu petani desa, ia harus menabung berpuluh-puluh tahun. Ia baru bisa berangkat haji ketika umur sudah menjelang senja, yaitu ketika sudah berumur 60-an tahun.

Namun yang pasti, orang seperti ini akan merasakan kepuasan yang amat sangat ketika kakinya berhasil menginjakkan di halaman Masjidil Haram dan kedua mata menatap keagungan Ka`bah musyarrafah yang begitu dahsyat. Sedikitpun tidak ada rasa ragu ataupun gundah, perasaannya selalu dipenuhi dengan ketenangan dan kegembiraan atas karunia yang diterimanya. Walau fasilitas dan penginapan tidak semewah dan selengkap haji plus. Semua isi hati, perasaan dan kerinduaan ditumpahkan di hadapan rumah Allah. Ia berharap hanya ridho Allah, semua waktunya dihabiskan untuk beribadah, iapun tidak terlalu memikirkan oleh-oleh apa yang harus ia bawa nanti kelak pulang. Ia tidak terlalu risau ketika tahu ada sebagian teman-temannya yang baru datangpun sudah langsung memborong barang oleh-olehan. Mungkin itu potret kehidupan mereka ketika masih di Indonesia yang suka hobi shopping. Sehingga ketika mereka pergi ibadahpun seperti pergi melancong, yang dipikirkan hanya memborong souvenir, mengumpulkan barang-barang yang dianggap antik untuk dibanggakan dan diceritakan kepada para tamu dan koleganya nanti ketika pulang.

Labbaikallahumma labbaik
Orang yang ingin hajinya mabrur, ia selalu menjauhi rafats (perkataan atau perbuatan yang kotor atau cabul), berbuat fasik (berbuat dosa) dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Selalu berbekal dengan ketaqwaan, karena bekal yang paling baik dan berguna bagi para calon haji adalah taqwa. (QS. 2:197).

Ia pun sadar bahwa perjalanan haji ini adalah merupakan jihad yang memerlukan pengorbaban yang totalitas (HR. al-Bukhari, No 1448). Bukan bersenang-senang ataupun melancong untuk menghabiskan uang anggaran. Sehingga setiap saat ketika ia bertalbiyah (mengucapkan labbaikallahumma labbaik: Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu), maka jawaban dari langit mengatakan "labbaika wa sa`daika" : Selamat datang dan bahagialah anda.

Adapun ketika jamaah haji "mabur" ketika bertalbiyah, maka yang di langit menjawab "la labbaik wala sa`daik" tidak selamat datang dan tidak pula bahagia anda. (HR: Ath-Thobroni fil Ausaad No: 5228). Ini karena Allah Maha Tahu tentang apa yang ada dalam hati mereka. Mereka haji karena riya`, ingin dipuji, ingin dipanggil dengan titel haji dan lain sebagainya. Intinya mereka beribadah tidak ikhlas karena Allah semata. Jumlah mereka ini tidak sedikit, bahkan mungkin secara kuantitas lebih banyak dibanding orang yang haji betul-betul khusyuk tunduk karena Allah SWT.

Maka benar apa yang dikatakan sayyidina Ibnu Umar r.a ketika menjawab seseorang yang mengatakan keheranannya tentang banyaknya jamaah haji. Ibnu Umar mengatakan "Alangkah sedikitnya mereka !". Yakni, sedikit sekali dari mereka yang begitu banyak jumlahnya, yang betul-betul ikhlas karena Allah, yang betul-betul diterima oleh Allah sebagai haji mabrur. Di mana pahala haji mabrur  ini tidak lain adalah surga yang kekal, penuh kenikmatan dan ridho Ilahi.

Dijelaskan dalam sebuah hadits nabi, "Barang siapa haji kemudian  menjahui rafats  dan berbuat fasik, maka ia keluar dari dosanya seperti anak yang baru dilahirkan. ( HR. Muttafaqun alaih). Mereka itulah yang mendapat titel haji "mabrur" bukan "mabur" dan mereka itu sedikit jumlahnya. Semoga kita termasuk yang sedikit itu. Amin.  

http://m--kita.blogspot.com/

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 188-191

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 192-194