Tafsir Surat Ali-Imron: 167-168

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

MAJLIS KAJIAN INTERAKTIF TAFSIR AL-QUR`AN
(M-KITA) SURAKARTA

Oleh: Al-Ustadz Dr. Hasan el-Qudsy, M.A.,M.Ed.

Allah berkalam:

وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ نَافَقُوا وَقِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوِ ادْفَعُوا قَالُوا لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَاتَّبَعْنَاكُمْ هُمْ لِلْكُفْرِ يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلْإِيمَانِ يَقُولُونَ بِأَفْواهِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ (167) الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (168)


Makna Umum dari Ayat 167
Di ayat sebelumnya (166), Allah telah memberitahukan kepada kita salah satu hikmah kekalahan perang Uhud adalah untuk menunjukkan mana orang-orang benar-benar beriman.
Di dalam ayat ini, Allah memberitahukan hikmah yang lain, yaitu untuk menunjukkan mana orang-orang yang munafik, sehingga orang mukmin mengetahui mereka dengan jelas dan dapat menghindari makar-makarnya.

Allah menjelaskan, bahwa saat orang munafik itu diminta oleh orang beriman (bisa jadi Rasulullah bisa juga sahabat) untuk ikut berjihad di jalan Allah, atau paling tidak bertahan tetap bersama dalam barisan pasukan orang mukmin (karena dengan demikian jumlah pasukan umat Islam terlihat banyak dan ini tentu memberi pengaruh kepada musuh), mereka malah mengatakan dengan entengnya, “Kami tidak tahu kalian sedang mengikuti peperangan. Kalau kami tahu, kami pasti ikut bersama kalian.”

Dengan jawaban mereka yang seperti itu, sudah sangat jelas bahwa mereka lebih memihak kepada kekafiran daripada kepada keimanan. Terbukalah apa yang mereka selama ini sembunyikan. Bila sebelumnya mereka menyembunyikan kekafiran, maka dengan perkataan mereka yang seperti itu, kekafiran mereka dapat dilihat dengan nyata oleh orang beriman.
Bagaimana mungkin mereka bilang “kalau kita tahu kalian mengikuti peperangan”?!.  Bukankah mereka juga yang mengusulkan agar perang dilakukan di dalam Madinah? Bagaimana mereka bisa berkata tidak tahu kalau ada peperangan. 

Ini tentu sebuah ungkapan yang menunjukkan kebusukan hati para orang-orang munafik.
Karena mereka itu suka mengatakan apa yang berbeda dengan yang ada di dalam hati. Mereka bilang bahwa mereka tidak tahu ada perang, kalau tahu pasti akan ikut, padahal kenyatannya mereka tahu kalau ada perang, tetapi mereka tidak mau ikut.
Mereka lupa bahwa Allah itu Maha Tahu segala hal, bahkan sampai apa yang mereka sembunyikan di lubuk hati mereka. Bila saja mereka ingat, tentu tidak mungkin mereka berani berkhianat seperti itu.



Makna Umum dari Ayat 168
Apa yang dilakukan oleh orang munafik itu? Di dalam ayat ini diterangkan bahwa orang munafik itu menyebarkan propaganda-propaganda busuk untuk mengejek dan menjelek-jelekkan orang beriman dengan mengatakan, Sekiranya mereka yang ikut perang itu mentaati kita dan ikut pendapat kita, mereka tentu tidak akan mati.
Namun gara-gara ikut Muhammad mereka jadi mati.” 

Mereka mengatakan seperti ini seakan merekalah yang mengatur takdir. Seakan kematian itu bisa diatur kapan dan di mana akan datang. Padahal kematian itu adalah sesuatu yang tak dapat ditebak kapan datangnya, meski itu orang yang sakit sangat parah sekali pun. Maka dari itu, Allah menyatakan kalau kalian benar dalam anggapan kalian bahwa kalian mampu untuk menghindar dari mati, maka coba saja. Larilah ke mana pun kalian mau lari. Tetapi kematian tetap akan menghampiri.



Penjelasan dan Hikmah Ayat 167

1. Salah satu karakter orang munafik adalah selalu menolak nasehat kebenaran. Mereka menolak karena iri dan merasa mendapat persaingan. Mereka masih ingin “dianggap”, lalu terpaksa seakan-akan bersikap baik kepada orang yang dia anggap menyainginya, tetapi sebenarnya dia menyembunyikan kebencian. Hingga di suatu titik tertentu, apa yang mereka sembunyikan itu akan ditampakkan oleh Allah. Maka hendaknya kita berhati-hati. Seperti yang terjadi pada perang Uhud ini. Orang-orang yang dulunya ada di Madinah sebelum Islam datang, mereka memiliki pengaruh di kalangan orang Madinah. Ternyata setelah Rasulullah datang, pengaruh yang dulunya mereka miliki lambat laun menipis. Mereka menganggap Rasulullah telah menyaingi dan merebut kekuasaan dan pengaruh mereka hingga akhirnya mereka menampakkan diri sebagai orang beriman. Padahal sebenarnya mereka lebih memihak kepada kekafiran daripada kepada keimanan kepada Allah dan Rasulullah saw.

2. Orang itu baru diketahui bagaimana aslinya –apakah dia benar-benar sabar, tawakkal, cinta pada Allah dan Rasulullah atau hanya mengaku di bibir saja- bila dia sudah ditimpa berbagai ujian yang menyempitkan dirinya. Bila keadaannya longgar dan lapang, gampang saja dia bilang bahwa dia sabar sehingga tak banyak mengeluh. Tetapi bila diuji oleh Allah dengan sesuatu yang menyusahkan, barulah dapat diketahui apakah dia benar-benar sabar atau tidak. Dalam surat al-Ankabut(29): 2-3 dijelaskan, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.

3.  Hasil dari sebuah cobaan dan tempaan ujian akan melahirkan Ar-Rijal (tokoh berkarakter) yaitu orang yang mempunyai komitmen, tidak penakut, penuh tanggung jawab,  siap menanggung resiko atas segala keputusan yang diambil, tidak mudah putus asa dan selalu bersemangat dalam melakukan segala hal yang menguntungkan akhiratnya. Bukan orang yang takut menghadapi tantangan, mudah takut, dan tak punya pandagan hidup yang pasti. Sebagaimana prilaku orang munafik dalam perang Uhud. Hal ini tentu sangat beda dengan sikap orang mukmin. Sebagaimana Allah jelaskan Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)” (QS. Al-Ahzab:23).


4. Salah satu karakter orang munafik yang suka memecah belah umat, sebagaiaman yang merekalakukan di perangUhud. Maka jangan sampai kita ini menjadi penyebab perpecahan umat. Terkadang secara tidak sadar, kita lah yang memperpecah umat Islam. Menuduh dan memfitnah saudara kita yang beriman dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya. Kita sibuk bertengkar menyalahkan saudara seiman dan kita melupakan bahwa ada hal yang lebih penting untuk diurus. Mari kita berpikir. Bagaimana mau bersatu dan melawan musuh bila umat Islam sendiri masih berpecah-pecah dan menganggap dirinya paling benar? Bagaimana mau mendapat pertolongan Allah bila umat Islam masih memenangkan ego masing-masing?

5.  Kalam Allah (لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَاتَّبَعْنَاكُمْ) yang artinya, “Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu”. Hal ini menunjukan kebusukan hati orang-orang munafik dan kekerdilan mereka. Dimana setiap mereka mendapatkan peringatan atau nasehat, mereka selalu mengelak, seakan mereka tidak bersalah. Bahkan secara tegas mereka berbalik menuduk orang lainlah yang bersalah. Sebagaimana Allah kabarkan dalam surah al-Baqarah:11, “Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan. Sama hal-nya sikap mereka dalam perang Uhud. Mereka tidak pernah merasa salah atau menyesali apa yang mereka lakukan. Bahkan lebih dari itu, mereka juga menyebarkan berbagai provokasi busuk di tengah masyarakat.


6. Kalam Allah (يَقُولُونَ بِأَفْواهِهِمْ), yang artinya, “Mereka mengatakan dengan mulut-mulut mereka”, mengapa memakai kata jamak yaitu: afwah (mulut-mulut)? Ini menunjukkan bahwa apa yang mereka omongkan itu banyak dan macam-macam. Dan mereka menyebarkan fitnah ke sana kemari. Mereka adalah provokator ulung.


7. Kenapa orang munafik tidak sadar bahwa mereka melakukan berbagai kesalahan, sebagaiman yang telah mereka lakukan pada perang Uhud? Jawabannya adalah karena mereka sudah mati rasa (QS.2:12) dan kebodohan yang mereka pertahankan (QS.2:13). Sehingga mereka tidak lagi mampu membedakan antara kebenaran dan kebathilan. Karena kebatilan telah berhasil dihiasi oleh syaitan sehingga terlihat baik. Sebagaimana Allah terangkan, “dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan (QS. al-An`am: 43). Akibatnya perbuatan maksiat sejelek apapun akan menjadi bagus dan indah bila syaithan sudah turut andil untuk menghias-hiasinya. Maka orang yang rugi secara hakiki adalah orang yang melakukan kemaksiatan tetapi dia menyangka bahwa dia telah melakukan perbuatan baik. Sebab orang yang seperti ini akan sangat sulit untuk dinasehati. Mengira bahwa ibadahnya diterima oleh Allah padahal amalan itu malah menjerumuskan dirinya ke dalam neraka. Allah berkalam, “Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al-Kahfi: 103-104)

8.  Maka, yang menjadi standar sebuah amalan itu bagus atau tidak adalah sesuai atau tidaknya amalan tersebut dengan syari’at Allah. Perlu dilihat pula apakah amalan tersebut mendatang keridhaan Allah atau tidak. Bila ya, maka insya Allah amalan itu pasti baik meskipun dipandang sebelah mata oleh manusia. 
Tetapi bila amalan itu tidak mendatangkan ridha Allah bahkan kemurkaan-Nya, maka meskipun seluruh dunia mengelu-elukan amalan tersebut tetaplah selamanya buruk. Maka kita jangan pernah merasa bosan untuk mempelajari kembali apa itu riya, sum’ah, ujub dan segala penyakit hati lainnya. Perlu untuk diingat-ingat selalu sehingga kita akan mudah untuk menjauhinya. Seperti halnya pusing, penyakit hati sering kambuh. Obatnya adalah ngaji. Sering mendengarkan nasehat. Siapapun kita, pasti pernah terjangkit penyakit hati. Disinilah perlunya selalu muhasabah (instrospeksi diri). Dengannya, kita bisa mengecek sudah benarkah amalan kita selama ini? Bagaimanakah niat kita menjalani kebaikan selama ini? Maka, hendaknya kita selalu bermuhasabah.

9.  Kalam Allah (وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ) yang artinya, “Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan”, menunjukkan bahwa, munculnya sifat kemunafikan itu karena merasa mampu menyembunyikan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ada dihati. Pandangan semacam ini dibantah oleh Allah yang menegaskan, bahwa bagi Allah tidak ada sedikitpun yang tersembunyi, maka tidak pantas seseorang melakukan kemunafikan, karena semua itu akan dibongkar oleh Allah baik didunia maupun di akherat. Dalam ayat ini juga mempertegas landasan keimanan seorang mukmin agar selalu sadar bahwa Allah maha mengetahui segala-galanya. Maka jangan sampai mencoba menipu Allah seperti yang dilakukan oleh orang-orang munafik. Sebagaimana Allah sampaikan, “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar”. (QS. al-Baqarah: 9)




Penjelasan dan Hikmah Ayat 168
1. Kalam Allah (الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ) yang artinya “Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya”, menunjukkan pentingnya konsep “Al-mar`u ma’a diini kholiilihi” (sesorang itu tergantung pada apa yang dicintai oleh temannya). Orang itu akan senang bila berkumpul dengan orang yang punya kesamaan dengan dirinya. Orang yang memiliki kecenderungan untuk melakukan perbuatan baik, maka dia akan senang berkumpul dan bergabung dengan orang yang demikian. Begitu juga sebaliknya. Maka dari itu, kita harus pandai memilih teman. Pilihlah teman yang dapat mendekatkan diri kita kepada Allah, meningkatkan iman kita kepada-Nya. Semakin kita berkumpul dengan orang shalih, insya Allah kita juga akan menjadi semakin baik. Sebaliknya kalau teman dan kolega kita itu adalah orang-orang munafik, maka sedikit banyak kita akan terpengaruhi dengan prilaku mereka. Dan ini terbukti pada kejadian perang uhud, dimana orang-orang munafik selalu berusaha untuk mempengaruhi para kolega mereka.  Diantaranya dengan mengatakan, “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh."

2.  Kematian itu bisa datang dengan sebab yang bermacam-macam. Perang atau tidak perang bukan menjadi penentu hidup atau mati. Ikut perang berkali-kali seperti Khalid bin Walid juga tidak mati di dalam perang, bahkan dia meninggal di atas tempat tidurnya. Kematian bisa saja menghampiri seseorang walaupun dia bersembunyi di tempat paling aman sekali pun. Sebagaimana Allah jelaskan “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh” (QS. an-Nisa`: 78). Oleh karena itu kematian hanya akan datang bila Allah Ta’ala menghendaki kedatangannya. Bila kita ingat hal yang demikian, hidup akan terasa nyaman. Sakit separah apapun, yakinlah bahwa kematian itu sudah ditentukan oleh Allah.“Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya)” (QS.Yunus:49).

3. Menurut Ibnul Qayyim, salah satu hikmah dalam kisah perang Uhud ini adalah, bahwa orang-orang munafik membongkar kedoknya sendiri dan bagaimana Allah membantah tuduhan-tuduhan mereka, sehingga orang mukmin mengetahuinya secara gamlang tentang kebusukan mereka agar orang mukmin dapat lebih berhati-hati.

* * *
http://mkitasolo.blogspot.com/



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 188-191

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 192-194