Istiqomah Adalah Puncak Nilai Kefitrian Kita

Oleh: Dr. Hasan el-Qudsy. MA.,M.Ed.



Muqoddimah

Sudah menjadi tradisi bagi orang Islam Indonesia dalam setiap tahunnya selepas puasa bulan ramadhan untuk mengadakan acara halal-bihalal. Konon, acara ini pertama kali digelar oleh bung Karno dan Cokroaminoto. Kedua tokoh inilah yang menjadikan acara halal-bihalal menjadi sebuah tradisi dalam masyarakat islam di Indonesia.

Hari lebaran bagi orang muslim Indonesia cenderung lebih identik dengan baju baru, makanan bermacam-macam, dan gegap-gempita sebuah pesta. Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dirasa oleh para sahabat nabi, mereka merasa sedih, menangis tersendu-sendu dengan berakhirnya bulan Ramadhan. Mereka khawatir amalan mereka selama sebulan penuh tidak diterima oleh sang Kholiq. Mereka khawatir atas kalalaian yang terjadi, atau bahkan amalan-amalannya terselubungi oleh riya’, ingin dipuji orang atau kadar keikhlasanya masih begitu tipis.

Dari Jabir, Nabi Muhammad saw bersabda, "Apabila tiba malam terakhir dari bulan Ramadhan, maka menangislah langit, bumi dan para malaikat atas musibah yang menimpa umat Muhammad SAW.” Seseorang lalu bertanya, "Yaa Rasulullah, musibah apakah itu?" Jawab Rasulullah SAW, " Perginya bulan Ramadhan. Karena sesungguhnya doa-doa di waktu itu dikabulkan, sedekah-sedekah diterima, kebaikan-kebaikan dilipatkan, sedang azab ditahan."



Memang musibah manakah yang lebih besar daripada perginya bulan Ramadhan. Apabila langit dan bumi saja menangis demi kita, maka kita lebih patut menangis dan menyesal atas terputusnya keutamaan-keutamaan dan kemuliaan-kemuliaan ini dari kita.



Madrasah Ramadhan


Ibadah puasa merupakan salah satu cara untuk membimbing orang-orang beriman ke jalan kesucian. Karena dalam ibadah ini, seseorang yang berpuasa berpotensi besar mampu meraih kesuciannya kembali. Kesucian ini hanya diperoleh orang-orang yang mampu menjalankan ibadah puasa dengan konsekuen. Bukan hanya untuk menahan lapar dan dahaga, tetapi berpuasa yang mampu mengekang keinginan-keinginan kotor nafsu yang setiap saat bergejolak. Dengan demikian puasa adalah jalan efektif meraih kembali kesucian jiwa yang telah lama ternoda oleh dosa yang menggurita. Nafsu di bulan puasa dikekang semaksimal mungkin untuk itu semua. Ketika nafsu sudah terkontrol, jiwa akan mudah terisi penuh dengan sinaran cahaya Allah SWT yang suci.

Puasa merupakan ibadah sir (rahasia) antara hamba dengan Allah. Bahkan Allah sendiri yang akan membalas pahala puasa, ini menunjukkan dimensi kejujuran diutamakan, dengan harapan setelah lulus pada madarasah Ramadhan ini, nilai-nilai semacam itu bisa dibudayakan dalam masyarakat.

Ramadhan yang telah berlalu, juga memiliki nilai strategi yang menentukan dalam kehidupan kita selama 11 bulan ke depan. Ia merupakan wahana, madrasah yang mendidik dan mencetak manusia yang siap menjadi penerang umat. Orentasi yang ingin dicapai adalah pemahaman pada hakekat kehidupan dunia ini yang sifatnya sementara. Orentasi ini diharapkan menjadi parameter dalam menentukan pilihan kebijaksanaan seorang mu`min dalam mengisi aktivitas dunia. Dalam sebuah hadist diriwayatkan, “Orang yang paling cerdas adalah mereka yang membiasakan menginteropeksi dirinya sendiri dan berbuat untuk kehidupan setelah mati. Adapun orang yang paling lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya”.

Pada Bulan Ramadhan kita dilatih untuk berbuat sholeh, baik bagi individu maupun sosial bermasyarakat. Ia menjadi tempat penempaan untuk memperbaiki segala sisi lini manusia. Moment semacam ini merupakan anugerah Allah yang sangat besar sebagia sarana untuk menjernihkan dan mensucikan diri sebagai cerminan atas sebuah ketaqwaan.



Setandar Kesuksesan

Satu-satuya ayat al-Qur’an yang secara jelas memerintahkan kewajiban puasa bulan suci Ramadhan adalah ayat 183 dari surat al-Baqarah, "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa."

Pada akhir ayat ini di sebutkan kata- kata taqwa. Kata taqwa disini hadir dalam bentuk fi`il mudhori` yang berarti ketaqwaan tersebut bersifat sekarang dan masa depan. Hal ini mengisyaratkan bahwa nilai keberhasilan seorang mukmin ketika berpuasa adalah berhasilnya mencapai standar ketaqwaan yang terus terkondusikan dimasa-masa yang akan datang. Dengan arti lain, nilai ketaqwaan tersebut bisa telestarikan di luar kondisi Ramadhan

Oleh karena itu, orang yang sukses dalam menjalankan ibadah puasa pada hakikatnya ia telah meraih kebahagiaan sejati, karena telah menemukan kesuciannya kembali. Rasulullah SAW bersabda, ''Orang yang berpuasa itu memiliki dua kebahagiaan, pertama ketika berbuka (di dunia), dan kedua kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhan di akhirat kelak.'' (HR Bukhari dan Muslim). Bahagia ketika sukses menyucikan jiwanya dengan berpuasa, dan juga bahagia ketika kesucian jiwa itu mampu dipertahankan sampai ia bertemu dengan Allah SWT yang Maha Suci.

Orang-orang yang selalu berusaha membersihkan dirinya dari dosa, maka ia akan berjumpa dengan Allah SWT dalam keadaan yang juga bersih dan suci, seperti awalnya. Namun jika jiwa kotor, maka ia akan menghadap Allah SWT dalam kekotorannya. Allah SWT sesungguhnya tidak akan dapat menerima hamba-hamba-Nya yang berjiwa kotor. Ia hanya menerima jiwa-jiwa yang tenang dan bersih, ''Wahai jiwa-jiwa yang tenang yang bersih, kembalilah kepada Tuhan sejatimu dalam keridhaan. Masuklah kalian ke dalam golongan hamba-hamba-Ku yang akan masuk surga.'' (QS. Al-Fajr: 27-30).



Kefitrian Yang Kita Cari

Idul fitri artinya kembali kapada fitrah atau kesucian. Ketika selepas sebulan penuh berpuasa, seorang mukmin diharapkan pada hari raya akan kembali seperti bayi dalam kesuciannya. Paling tidak ada empat tipelogi bagi seorang bayi, yaitu:

Pertama: Tawadhu`  

Seorang bayi tidak akan mempunyai sifat sombong, yang ada hanya tawadhu`, merendahkan diri karena Allah SWT. Begitu juga diharapkan seorang mukmin selepas puasa mampu menghilangkan kesombongannya. Ia sadar bahwa sifat sombong hanya pantas dimiliki Tuhan. Manusia dengan segala kelemahannya harus mampu bersifat tawadhu`, kecongkaan dan kesombongan hanya membawa kehancuran manusia itu sendiri.

Kedua: Tidak punya rasa hasud

Ini adalah sifat seorang bayi, karena kesucian hatinya ia sedikitpun tidak mempunyai rasa iri atau hasud. Begitu juga diharapkan seorang mukmin selepas puasa mampu menghilangkan rasa iri atau hasud yang terdapat di dalam benaknya. Rasa iri atau  hasud hanya dimiliki orang-orang yang hatinya sakit.

Ketiga: Tidak pendedam

Kesucian seorang bayi menjadikan ia tidak mempunyai sifat pendendam. Setelah berpuasa selama sebulan penuh, seorang mukmin yang ditempa dalam madrasah ilahiyah, diharap telah mencapai kesuciannya, sehingga ia tidak akan mempunyai rasa pendedam. Sifat pemaaf menjadi cirinya. Oleh karenanya sifat pemaaf ini seharusnya dimiliki setiap insan yang merayakan Idul Fitri. Bahkan dalam QS. Ali Imran: 134) sifat pemaaf adalah salah satu ciri derajat para muttaqin.

Keempat: Ikhlas

Ketika hati itu bersih, yang muncul ketika kita beraktivitas apapun adalah keikhlasan. Keikhlasan ini akan muncul dan berhasil setelah adanya latihan. Selama sebulan penuh seorang mukmin digembleng dan dilatih untuk selalu bisa ikhlas. Oleh karena itu puasa adalah ibadah rahasia, yang mengetahui adalah Allah.

Inilah sebagian kecil nilai-nilai kefitrahan yang ingin kita capai pada acara halal-bihalal ini. Nilai kesucian ini diharap bisa bertahan dan berkembang di hari-hari depan. Dari sini kita mampu memahami kenapa tujuan utama puasa itu mencapai derajat taqwa? Karena hanya mereka yang muttaqin yang berhasil kembali kepada kesuciannya.    

  

Buah Keikhlasan

Seseorang ketika berhasil mencapai keikhlasan dalam aktivitasnya, maka Allah akan memberikan kepadanya keistiqomahan dalam melakukan aktivitas tersebut. Banyak sekali amalan-amalan sholeh yang kita kerjakan dalam puasa Ramadhan, mulia dari menahan hawa nafsu, membaca al-Quran, jujur, membantu sesama sampai qiyamullail. Ketika keikhlasan menjadi pendorong pada amalan-amalan tersebut, maka insyaallah keistiqomahan akan mudah dicapai, karena istiqomah pada intinya adalah buah keihklasan.

Oleh karena itu sudah seharusnya sebagai seorang mukmin pada hari-harinya selalu menuju pada peningkatan ibadah, baik secara kualitas maupun kuantitas, ritual maupun sosial. Nilai keistiqomahan dalam beribadah inilah nilai puncak kefitrian yang ingin kita capai. Karena sesungguhnya mempertahankan sebuah prestasi itu lebih sulit daripada memperolehnya.

Istiqomah atau konsisten sangat diperlukan dalam kehidupan beragama maupun bermasyarakat. Suatu ketika salah satu shahabat (Ibnu Umar) bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku sebuah perkataan yang tidak akan saya tanyakan selain kepadamu,” kemudian Rasulullah menjawab, “Katakanlah : ‘Aku beriman’ dan beristiqomahlah”.

Yang dimaksud istiqomah dalam hadits ini adalah istiqomah terhadap seluruh apa yang menjadi ajaran Islam. Dan keimanan orang tidak akan konsisten kecuali hatinya telah konsisten, dan hati tidak akan konsisten sehingga lisannya juga konsisten.

 

Al-Mu`Tabar Adalah Yang Terakhir

Benih-benih nilai keimanan yang kita tanam selama sebulan pada bulan Ramadhan, harus bisa terus istiqomah dalam meniti kehidupan yang penuh godaan.. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Jalan menuju neraka selalu dipenuhi dengan hal-hal yang menyenangkan (duniawi), sedang surga dipenuhi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan.”

Istiqomah ini perlu dipertahankan, karena yang dihitung dan yang dijadikan ukuran adalah akhir dari sebuah cerita kehidupan. Padahal hari-hari kita setiap harinya berkurang terus, sebagaimana dikatakan oleh Imam Hasan al-Bisyri, “Sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari-hari, setiap hari berlalu, berlalu pula sebagian darimu.”

Ketika seorang mukmin menyadari akan sebuah kematian yang mengincar kapanpun dan di manapun, maka ia akan selalu waspada dari incaran maut, maka ia akan selalu termotivasi untuk istiqomah di jalan Allah dan berlomba-lomba dalam mencapai keridhaan Allah. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Seorang mukmin tidak akan merasa puas dalam berbuat kebaikan, sampai ia  berhasil menggapai surganya.”

 

Penutup

Setiap makhluk hidup membutuhkan perawatan, begitu juga amalan-amalan sholeh yang kita lakukan di Ramadhan membutuhkan perawatan. Lingkungan yang kondusif akan lebih bisa menjaga keistiqomahan ibadah kita. Oleh karena itu, kita disuruh agama untuk mencari atau menciptakan lingkungan yang sehat dan kondusif.

Semoga Allah memberikan pertolongan pada kita agar bisa lebih istiqomah dalam beribadah dan penghambaan diri kepadaNya. Amin. Wallahu a`lam bish-showab.

Komentar

  1. Assallamu'alaikum Wr. Wb. salam santun silaturahmi. mohon ijin untuk mencopy artikelnya untuk di share sebagai motivasi bersama dalam ukhuwah islamiyah.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Surat An-Nisa' (4): Ayat 2-3

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 188-191

Tafsir Surat Ali-Imron (3): Ayat 192-194